Tuesday, September 06, 2005

Radio (dan Carpenters) Dalam Kehidupan Seorang Epistoholik

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



When I was young
I'd listen to the radio
Waitin' for my favorite songs
When they played I'd sing along
It made me smile.
(“Yesterday Once More”, Carpenters).


All we hear is radio ga ga
Radio goo goo, radio ga ga
All we hear is radio ga ga, radio bla bla
Radio what's new ?
Radio, someone still loves you!
(“Radio Ga Ga”, Queen).


RADIO KARAVAN FM, SOLO. Akhir-akhir ini saya mencoba mempromosikan Epistoholik Indonesia melalui radio. Tentu saja bukan seperti produk balsem atau bengkel jok mobil yang berpromo melalui iklan. Saya mempromosikan Epistoholik Indonesia melalui acara-acara musik di radio.

Hari Minggu (3/4) sore melalui acara Jazz On Sunday-nya Radio Karavan FM Solo (107.30 MHz), melalui SMS saya meminta lagu. Dengan menyebutkan nama diri dan Epistoholik Indonesia, yang lalu di ad-lib-kan penyiarnya, saya menikmati sensasi kecil.

Termasuk sensasi memutar kenangan saat nomor Angela-nya Bob James, yang saya minta itu, mengalun di udara. Sekadar Anda tahu, nomor instrumentalia indah ini adalah lagu tema sitkom Taxi yang dibintangi Judd Hirsch dan Danny de Vito, diputar di TVRI setiap Sabtu petang, tahun 1980-an.

Ada cerita kecil. Di tahun 80-an saya mencari-cari kaset Bob James ini di bilangan Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, oh, rupanya menarik perhatian pengunjung lain. Ngobrol punya ngobrol, seputar musisi Bob James dan karya-karyanya, sobat baruku itu bernama Dudi, anak Teknik UI. Tinggalnya di Asrama UI Daksinapati, dimana sering nampak Imam Prasodjo sampai Yusril Ihza Mahendra nongkrong di kantin Daksinapati-nya Tuti. Dudi, mungkin terkecoh atas selera musikku, sampai-sampai menawari saya untuk bergabung dalam orkestranya UI, Mahawaditra. Ajakan yang harus saya tolak !

Dalam kesempatan lain ketika radio yang sama menggelar acara rutin bertajuk Symphony Boulevard (Senin, 22.00 sd 24.00), saat malam merambat saya dimanjakan dengan disebutnya Epistoholik Indonesia oleh penyiarnya, Ratih Ramadinta, ketika mengawali hadirnya Rainy Days And Mondays-nya Carpenters. Intro harmonika lagu ini begitu indah tetapi pesan yang hadir sangatlah merujit-rujit hati :


Talkin' to myself and feelin' old
Sometimes I'd like to quit
Nothing ever seems to fit
Hangin' around
Nothing to do but frown
Rainy Days and Mondays always get me down

Wonogiri saat-saat ini memang lebih sering diterpa hujan. Membuat suasana hati cenderung menjadi gloomy, jidat terlipat, tetapi sekaligus juga merupakan momen menawan untuk pijakan melakukan sekadar bernostalgia, menganyam kembali masa-masa silam. Tentu saja termasuk tentang radio. Juga berintrospeksi mengenai hidup ini.


RRI SURAKARTA. Radio menjadi barang ajaib ketika saya duduk di kelas 2 SD. Tahun 1960-an. Saat itu om saya, yang seorang prajurit TNI-AD, baru saja pulang dari Kongo, Afrika. Ia bertugas dalam kontingen Garuda III, menjaga keamanan di negara yang terkenal dengan presiden Patrice Lumumba itu. Ketika pulang, ia membawa motor Vespa dan radio Philips. Diajari memutar-mutar tombol gelombang radio, yang kebanyakan hanya memunculkan suara desis, pengalaman itu sudah seperti sebuah sensasi yang luar biasa.

Radio transistor menjadi perabot di rumah saya baru terjadi pada tahun 1968. Mereknya Telesonic. Warnanya biru tosca. Sebelum kehadiran radio itu saya dan adik-adik saya terpaksa bermain ke tetangga, Bapak Maryomo, bila ingin mendengarkan siaran langsung pertandingan sepakbola perserikatan. Momen yang paling saya ingat adalah pertandingan Persib Bandung melawan Persija Jakarta. Sepulang dari nguping pertandingan tadi, saya mencoba merekonstruksi pertandingan tersebut dalam sebuah karangan. Untuk dibaca sendiri. Kata favorit saya saat itu adalah scrimmage, yaitu keadaan kacau di mulut gawang, sekaligus suasana yang menegangkan, terjadi gol atau sebaliknya !

Di usia SMP itu lagu-lagu favorit saya antara lain Don’t Forget to Remember dan Massachusetts (The Bee Gees) sampai Aline (Christophe). Acara Siaran ABRI RRI Surakarta, acara permintaan lagu-lagu dengan penyiar terkenal Kak Mulato, menjadi favorit. Saya pernah meminta lagu yang saya tujukan kepada ayah saya, seorang TNI-AD yang saat itu bertugas di Yogya (keluarganya tetap di Wonogiri). Esoknya, kelas saya, III B di SMP Negeri I Wonogiri, rada heboh guna membincangkan “pemunculan” saya di media radio tersebut.

Acara favorit lainnya, Tangga Lagu-Lagu Pop Indonesia RRI Surabaya. Setiap Sabtu sore, sebelum acara itu mengudara, saya siapkan tabel untuk memasukkan data : berapa minggu sesuatu lagu muncul dalam daftar, berada di urutan berapa, dan lagu-lagu apa yang baru masuk atau keluar dari daftar chart atau daftar tangga lagu-lagu itu. Nama penyanyi besar saat itu termasuk Anna Mathovani, Erni Johan, Tetty Kadi, sampai Titiek Sandhora. Saya pribadi menyukai penyanyi imut asal Solo, Inneke Kusumawati.


RADIO GERONIMO, YOGYA. Tahun 1970, saya bersekolah di Yogya. Saya sudah diterima di SMA Negeri V (saat itu jadi satu dengan SMA Bopkri I), tetapi akhirnya memutuskan untuk masuk ke STM Negeri II, Jetis. Pilihan yang berbuntut dengan konsekuensi yang tak mudah dalam hidup saya hari-hari mendatang. Tetapi itu cerita yang lain lagi. Tinggal saya saat itu di messnya ayah, di Jl. Ahmad Jajuli, Kotabaru (kini sudah jadi rumah tinggal), dan tidak ada radio.

Baru pada tahun 1971 ayah saya membeli radio Philips. Warnanya hitam dengan lapisan ornamen serat kayu coklat kemerahan. Saat itu saya tinggal di bilangan Jalan Dagen, sepelemparan batu dari Jalan Malioboro. Kehadiran radio kali ini seolah sinkron dengan makin terpaparnya diri saya terhadap perkembangan musik Indonesia dan dunia. Saya membaca majalah Aktuil, bacaan wajib generasi muda saat itu. Sering saya tidak harus membeli, karena kiriman humor-humor saya dimuat sehingga selain mendapatkan honor, saya juga memperoleh nomor bukti majalah bersangkutan.

Radio favorit saya saat itu adalah Radio Geronimo. Karena radio ini hanya memutar lagu-lagu Barat. Lewat radio inilah saya terpapar nama-nama agung seperti Deep Purple, Led Zeppelin, Grand Funk Railroad, Uriah Heep, Black Sabbath, Three Dog Night, sampai Blood Sweat & Tears. Juga Crosby, Still, Nash & Young. James Taylor. Caroline King. Carpenters. Don McLean. Conway Twitty. Glen Campbell. Sonny & Cher. Shocking Blue. Dawn. Eagles. Simon & Garfunkel. America. Kali ini tidak hanya musiknya, tetapi juga kisah personil dan tur-tur mereka. Wartawan idola saat itu adalah wartawan musik Denny Sabri.

Pernah dalam kertas ulangan, pada bagian bawah saya tambahkan tulisan judul lagunya Simon & Garfunkel yang baru saya gandrungi, The Only Living Boy In New York. Ketika kertas ulangan itu dikembalikan kepada masing-masing murid oleh guru STM saya, Pak Sumarto, ternyata ada tulisan tambahan dari beliau : “But, why do you live in Yogya ?”

Pada saat yang sama saya merasa sebagai sebuah generasi yang hilang terutama untuk kelompok The Beatles. Selain nomor Oh Darling dan Don’t Let Me Down, saya tidak tahu banyak tentang lagu-lagu sebelumnya dari John Lennon dkk asal Liverpool ini. Untuk Bee Gees atau pun The Rolling Stones, saya masih merasa beruntung. Karena mereka terus berkarya, sementara The Beatles bubar, sehingga saya masih menikmati ketika di akhir 70-an The Bee Gees hadir dalam kemasan disco dalam How Deep Is Your Love (dikenalkan oleh Krisdinah “Miduk” Purnamaningsih, yang punya senyum gemintang menyilaukan, mirip Baby Spice-nya Spice Girls, tahun 1978) atau Mick Jagger dkk dalam Angie atau Brown Sugar.

Usai The Beatles bubar, saya masih memperoleh sisa-sisa kejeniusan pentolan-pentolannya. Misalnya Paul McCartney dan Wings dalam Uncle Albert Admiral Halsey, George Harrison dalam Bangladesh, All Thing Must Pass dan tentu saja, My Sweet Lord. Ringo Starr dengan Back Off Bogaloo dan It Don’t Come Easy. Sementara John Lennon dengan karya-karya agungnya seperti Imagine, Jealous Guy sampai Mind Games.

Tahun 1972, saya sempat bermain-main di radio Waringin Kencana, Yogya. Kisahnya ada seorang tauke yang suka mengoprek radio, lalu bekerjasama dengan fihak Kodim 0735 Yogyakarta, mendirikan pemancar radio setengah resmi sebagai corong promosi Golkar. Dengan koneksi ayah saya, saya bisa gabung.

Segalanya masih serba amatiran. Dua-tiga kali saya juga tampil sebagai penyiar. Bonus dari aktivitas itu adalah : saya memperoleh bungkus piringan hitam dari album The Bee Gees, yang antara lain berisi lagu Massachusetts. Dibawa-bawa ke sekolah, untuk nampang di antara kawan-kawan. Terutama untuk unjuk gigi kepada teman sekelas saya, Bambang Tamtomo Adiguno, asal Magelang, yang perbendaharaan lagu The Bee Gees (ia mampu menyanyikannya mirip suara khas Robin Gibbs) dan pengetahuannya tentang film sering membuat saya iri hati.

Tetapi kita berdua, ditambah Muhammad Umar Hidayat, asal Demangan, seolah membuat kubu sebagai penikmat lagu-lagu barat “berkualitas tinggi”. Kita pun sering menertawakan kelompok lain yang saat itu baru getol menyenandungkan lagu-lagunya Koes Plus, Panbers atau lagu Baratnya penyanyi seperti Victor Wood sampai Eddie Peregrina.


MLOYOSUMAN BROADCASTING CORPORATION, SOLO. Tahun 1972, saya meninggalkan Yogya. Saya pindah ke Solo, meneruskan kuliah di Fakultas Keguruan Teknik, IKIP Surakarta (kemudian menjadi UNS Sebelas Maret).

Saya tinggal di Tamtaman, Baluwarti, di lingkaran dalam tembok Keraton Surakarta. Saya tinggal di lingkungan rumahnya Eyang Laksmintorukmi, salah satu garwo ampil dari Paku Buwono XI. Kalau mendapat kiriman obat-obatan yang petunjuknya berbahasa Inggris, saya menjadi “apoteker” untuk menerjemahkan aturan pemakaian obat bersangkutan kepada Eyang Laksminto. Ia adalah penasehat spiritual sekaligus guru menarinya Guruh Soekarnoputra.

Kembali beberapa tahun, saat itu, saya terputus dari radio. Baru pada tahun 1978-an, seorang tetangga, Unggul, yang berkuliah di UGM Yogyakarta, mengutak-atik perangkat elektronik hingga tercipta pemancar radio mini. Bisa ditangkap oleh radio penerima dalam radius sekitar ratusan meter, suaranya pun termasuk jelek. Jadilah kami mengudara, Mloyosuman Broadcasting Corporation (MBC) !

Lagu yang sering diputar saat itu adalah nomornya Alice Cooper, School’s Out” atau No More Mr. Nice Guy. Juga Blockbuster-nya Sweets. Saya juga menyiar. Gemar menyontek gaya penyiar radio Geronimo, Yogya. Yaitu banyak memakai istilah sok Inggris, temponya dibuat cepat dan enerjik. Sebutan untuk penyiar pun menyontek radio Geronimo, di mana penyiar menyebut diri dengan Senator. Di Mloyosuman, Baluwarti, Solo ini, saya menyiar dengan nama Senator Harry Nillson !

Kebetulan di dekat kos saya, tinggal beberapa bule asal Australia. Mereka dapat disebut pelopor “bule masuk kampung” ya ? Mereka mengontrak rumah, yang jauhnya hanya 5 meter dari tempat saya. Salah satu penghuninya adalah cewek asal Melbourne, Victoria Monk. Matanya biru. Saya merasa enak berinteraksi dengannya. Kaos saya pernah dilukis logo Penguin dengan tinta akrilik olehnya.

Suatu saat saya pernah ia siksa, ketika harus mengantarnya jalan-jalan memutari Yogyakarta. Kaki saya sangat kecapekan. Tetapi Tory juga baik hati. Ia mau menemaniku nonton wayang di Sriwedari saat ada pesta mahasiswa, juga senang hati mengantarku hingga kereta api berangkat dari stasiun Solo Balapan ketika aku kepingin keluyuran sendiri ke Bali. Sebelumnya ia mengajariku main harmonika untuk menyenandungkan lagu “500 Miles”, hitnya Paul, Peter and Mary :

If you missed the train I’m on
You will know that I’m gone
You can hear the whistle blow
A hundred miles


Beberapa teman Tory itu pernah aku ajak ngobrol di depan mik radio super-amatiran Mloyosuman Broadcasting Corporation itu. Beda bangsa, tetapi musik mendekatkan kita. Lagu dan musik adalah bahasa universal. Tak aneh bila mendiang Paus Johanes Paulus II ketika kembali pulang ke Polandia tahun 1979, lalu disuguhi nyanyian gereja bergaya folk-rock, ia pun berkomentar : “Saya punya kegemaran yang amat sangat terhadap lagu dan musik. Inilah dosa yang saya bawa dari kebangsaan Polandia saya”

Begitulah, dengan lagu dan musik, di depan mik itu pula saya seperti memperoleh keberanian ekstra untuk menyapa cewek-cewek Baluwarti yang selama ini bila ketemu di jalanan hanya bertukar senyum. Sokurlah, sebagian mereka sepertinya (GR berat !) suka.

Sayang, saat itu Kenil, salah seorang putri tokoh terhormat dan berdarah biru Kraton Surakarta, Pak Panji Mloyosuman, masih imut. Beberapa tahun kemudian baru ketahuan pesona Kenil yang sebenarnya !

Tahun-tahun itu, 1977-1980, saya lalu tinggal di Galeri Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Tempat ini ya workshop seni lukis anak-anak, pusat aktivitas kesenian, asrama gratisan, tempat bertanding scrabble, juga untuk cuci mata. Baik ketika menonton turis-turis yang berkunjung ke Kraton Solo, sampai menyambut rutin lambaian tangan dan senyum penuh makna dari Kenil yang menggetarkan sukma.

Kuliah saya saat itu boleh dibilang berantakan, karena lebih tergiur untuk berseniman-ria. Menggeluti seni lukis, kine klub, menyair, jadi wartawan musik, juga belajar sinematografi. Baru tahun 1979 bisa lulus. Saat itu pernah seorang teman main berkesenian, yang reporter RRI Surakarta, Mansur (adik sastrawan Budiman S. Hartoyo), menyodorkan tape recorder. Lalu ia bertanya seputar kesanku tentang kehidupan kesenian dan kebudayaan di Solo. Saya pikir ini hanya guyonan. Beberapa hari kemudian, salah seorang staf kampus saya mengomentari wawancara radio-ku tersebut.


PRAMBORS RASISONIA, JAKARTA.Kalau Anda membaca bukunya John Howkins, The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (Penguin, 2001), mungkin Anda akan terkejut membaca salah satu formula untuk memperoleh sukses di dunia ekonomi kreatif dewasa ini.

Be nomadic, katanya. Jadilah pengembara. Jadilah insan yang suka keluyuran, berpindah-pindah tempat hidup. Kaum nomad itu, katanya, menghargai baik padang pasir atau pun oasis, seperti halnya daya kreatif membutuhkan baik kesunyian atau pun kegaduhan, berpikir sendirian dan bekerja bersama-sama.

Tahun 1980, saya jadi kaum nomad lagi. Kali ini pindah ke Jakarta. Kuliah di UI. Teman sekos saya, desainer tekstil untuk PT Centex, memiliki radio Philips hitam. Lewat sarana inilah saya menguping, kebanyakan, Radio Prambors. Anak muda harus berani, kreatif dan jujur, begitu slogannya. Di radio ini pula saya untuk pertama kalinya mendengar suara lembutnya Tika Bisono, yang saat itu mahasiswa Fak. Psikologi UI, selain juga mengidolai Louise Hutahuruk yang mahasiswi FISIP UI. Kalau tak salah, mereka menyanyikan lagu-lagu album Dasa Tembang Tercantik, hasil kontes penulisan lagu oleh Prambors.

Penyiar Prambors yang terkenal adalah Sys NS. Juga Marwan Al-Katiri. Lagu yang mencolok saat itu seperti 99 Red Baloons sampai Get Out My Dream, Get Into My Car. Artis-artis yang lewat meliputi The Police. Leon Haynes Band. Paul Young. Reo Speedwagon. Scorpion. Kools & Gang.

Seorang mahasiswi Desain Universitas Trisakti, Cresenthya Hartati (lahirnya sama dengan mendiang Paus Johanes Paulus II, 18 Mei) menghadiahiku teks lagu lembutnya Gerard Joling, Everlasting Love, yang masih sering menggaung di radio-radio Solo saat ini. Yang paling menarik bila ia menyenandungkan Time for Us, yang juga lagu tema film Romeo & Juliet garapan sutradara Franco Zeffireli (1968). Sekarang, kau ada dimana Hartati ?


BBC DAN VOA. Tahun 1997 saya dipaksa oleh krismon untuk pulang kampung. Ke Wonogiri. Tahun 2001-2002 sempat balik ke Jakarta lagi. Lalu kembali lagi, hingga kini.

Tahun 2000 ketika sebagai Menteri Propaganda Pasoepati, kelompok suporter sepakbola Solo, saya memanfaatkan radio untuk membangun suasana. Perjalanan tur-tur Pasoepati keluar kota, yang pertama untuk kelompok suporter sepakbola di Indonesia, adalah dengan menetapkan tagline tertentu. Ia merupakan tema dan roh tur tersebut. Untuk menguatkan pesan itu, lagu berperan di dalamnya. Ya seperti dalam film, tur Pasoepati seolah juga ada original soundtrack-nya.

Misalnya, tur ke Yogya membawa I Want to Hold Your Hand-nya The Beatles. Pada Hari-H, radio-radio Solo mengudarakan pesan-pesan tur dan alunan lagu tersebut. Ketika tur ke menemui kelompok suporter Slemania, Sleman, muka baru dalam arena dunia suporter sepakbola nasional, Pasoepati membawa top hitnya The New Seekers tahun 1970-an, I’d Like To Teach The World To Sing. Saya Akan Mengajari Dunia Untuk Menyanyi.

Aktivitas lain terkait dengan radio, saya sebagai pencetus gagasan bagi Presiden Pasoepati saat itu, Mayor Haristanto, agar diundang wawancara radio. Yang terselenggara saat itu adalah Siaran PRSSNI, yang direlai semua stasiun radio swasta di Solo. Juga wawancara saat jeda siaran langsung pertandingan sepakbola oleh RRI Surakarta. Saya sendiri mencoba mendirikan biro iklan untuk liputan siaran langsung radio ini, Radio Arena, tetapi gagal di tengah jalan !

Interaksi dengan insan radio, yang agak baru, adalah datangnya surat dari kreator CPP Biggest Hits, program mengenai bintang-bintang dan perjalanan kariernya untuk disiarkan di pelbagai radio anggota jaringannya. Seperti sindikasi artikel. Hal itu terjadi di tahun 2004 lalu.

Mereka yang bermarkas di Radio Polaris Magelang itu tertarik kepada isi surat pembaca saya bertopik Internet sebagai gempa bumi berkekuatan 10,5 Skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan sosial umat manusia Mereka berpendapat bahwa saya mampu menciptakan program radio yang katanya, mampu memberi value tinggi tertentu. Surat itu saya balas, meminta petunjuk dan kejelasan lebih lanjut. Tetapi, oh, tak ada balasan apa pun dari mereka.

Saya terkadang ikut mengirimkan opini atau esai ke Radio BBC Siaran Indonesia, London. Atau ke VOA (Voice of America), Washington DC, AS. Saya memperoleh kaos dari BBC, setelah opini saya diudarakan. Sementara ke VOA, pernah kirim email ke salah satu penyiarnya, Nadia Madjid, putri cendekiawan muslim Nurcholish Madjid. Isinya, usulan agar Cak Nur kalau mendeklarasikan sesuatu gagasan, ajaklah anak muda. Saya mengilustrasikan, di tengah acara itu akan hadir berderet anak-anak muda dengan laptop masing-masing, lalu mem-virus-kan ide Cak Nur itu agar mendunia !

Kenapa aku mau repot-repot mengerjakan hal semacam ini, yang tidak ada duitnya itu ? Karena aku merasa dikaruniai dengan gagasan yang melimpah-ruah, juga mampu menulis, sementara cara pengirimannya pun murah, apalagi yang harus ditunggu ? Dengan mengerjakan hal yang aku sukai itu aku ingin menjadi bagian dari dunia ini dan terhubung dengan orang-orang di luar diriku. Andrew Weil, M.D., seorang guru di bidang penyembuhan, lulusan Sekolah Kedokteran Harvard, pernah bilang : human connectedness is a powerful healer.


RAKOSA FEMALE RADIO YOGYA. Insan radio yang saya temui awal tahun 2005 ini adalah Wiwin Perdana, pembawa acara olahraga untuk TV7. Saat rombongan dari Solo mampir ke TV7 untuk mengisi acara One Stop Football (8/1/2005), di situlah kami mendengar dirinya pada awalnya sebagai insan radio. Fenomena yang lajim, karena banyak insan radio yang berpindah jalur ke layar kaca.

Termasuk pula kiranya Erika Michiko, reporter rumah produksi (PH) Shandika Widya Sinema. Saat ia dan krunya melakukan syuting, 4/3/2005, untuk bahan tayang profilku sebagai epistoholik untuk program trivia Busseett-nya TV7, terjadi obrolan. Tebakanku bahwa dirinya orang radio, ternyata benar, walau entah kenapa ia menjawabnya dengan nada agak meninggi. Bahkan kini pun Erika mengaku masih aktif pula, ndobel menyiar di sebuah female radio di Yogyakarta. Rakosa Female Radio, Yogyakarta ? Aku belum pasti.

Untuk mengetahui seberapa andal dia sebagai penyiar, Anda dapat mendengar suaranya saat mengantar fasilitas voice mail Communicatornya. Suaranya merdu. Tit ! Microphonic. Tit ! Tetapi saya tidak tahu apakah kariernya kini sebagai reporter acara televisi yang terus di belakang kamera, dan mobile menjelajah antarkota untuk menguber hal-hal trivia, yang menurutku (kalau kelamaan) kurang menantang untuk merentang-rentang kreativitas dan intelijensianya itu, akan terus ia tekuni. Kabar terakhir, sepertinya ia mendapat job baru di Jakarta. Moga-moga kelak Erika bisa tampil di depan kamera. Ia punya modal, postur dan juga voice, yang diperlukan !

Dan bila pengin mengetahui selera musiknya, sebelum HP-nya ia angkat maka si penelepon akan disapa ramah dulu dengan lagu All By Myself-nya Celine Dion, menyenandungkan : All by myself/ Don't wanna be/All by myself/Anymore/All by myself/Don't wanna live/All by myself/Anymore.


Yang pasti sosoknya mudah mengingatkan lirik lagu ciptaan komposer terkenal Amerika, Irving Berlin (1888–1989) bahwa : A pretty girl is like a melody / That haunts you night and day (1919).



RADIO METAFORA TAMARO. Mengapa orang-orang menyukai radio ? Nabi media, Marshall McLuhan dalam buku klasiknya Understanding Media : The Extensions of Man (1965), menyebutkan bahwa radio ibarat genderang suku, menyatukan orang dalam rantai intimitas, kedekatan, orang per orang, suatu pengalaman yang mempribadi. Bukan suatu pemandangan yang aneh, kiranya banyak anak muda belajar pun suka ditemani radio.

Lewat radio seseorang bisa kembali ke masa silam dan mengembangkan senyum bahagia, seperti lirik lagu Carpenters tahun 70-an di awal tulisan ini. Bahkan generasi 90-an pun, The Corrs, masih menyebutkan pentingnya radio. Ketika lagi bete, kekasih tak berada di sampingnya dan sosoknya hanya “berenang-renang dalam kepala”, maka Andrea Corrs pun menemukan solusinya : So listen to the radio (listen to the radio) / And all the songs we used to know, oh, oh.

Maka tak salah seru Freddy Mercury dari Queen : “Radio, seseorang masih mencintaimu !”

Radio, dalam warna yang lain, juga menjadi metafora yang menarik di tangan seorang novelis Italia, Susanna Tamaro. Dalam novelnya Va’Dove Ti Porte Il Cuore (Pergilah Kemana Hati Membawamu) yang menggambarkan komunikasi rumit, tetapi juga indah, antara seorang nenek dan cucu perempuannya, diungkap :

“Aku berfikir manusia semakin mirip radio yang hanya mampu menyelaraskan diri dengan satu gelombang, mirip radio kecil yang sering diberikan sebagai bonus bagi pembeli deterjen mesin cuci. Meski pun seluruh frekuensi terpampang di sana, radio itu takkan bisa menangkap lebih dari satu atau dua stasiun ; sisanya hanya bergemuruh tak menentu.

Yah, aku mendapatkan kesan bahwa penggunaan akal yang berlebihan menghasilkan efek yang sama : kita hanya dapat mengambil sebagian kecil dari seluruh kenyataan yang mengelilingi kita. Perasaan bingung seringkali menguasai bagian kecil ini, sebab bagian ini sarat dengan kata, dan kata-kata seringkali membuat kita berputar-putar di tempat, bukannya membawa kita ke tempat yang lebih tinggi.

Pemahaman membutuhkan keheningan....Kata-kata memenjarakan pikiran ; kalau pun ada irama yang cocok dengannya, itu pasti irama pikiran yang kacau. Namun hati bernafas, hanya hati satu-satunya organ yang berdenyut, dan denyutan ini menyelaraskannya dengan denyutan-denyutan yang lebih besar”


Wonogiri, 5-7 April 2005



P.S. Tulisan ini pernah dimuat di situs blogku Esai Epistoholica, edisi No. 19/April 2005

No comments:

Post a Comment