Wednesday, May 10, 2006

We’ve Only Just Begun, Netnizing dan Pesan Cinta Yang Melintasi Benua

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


Before the rising sun we fly
So many roads to choose
We start out walking and learn to run

Sharing horizons that are near to us
Watching the signs along the way
Talking it over just the two of us
Working together day to day, together

And yes we're just begun to live
White lace and promises
A kiss for luck and we're on our way

(Carpenters, “We’ve Only Just Begun”)



Lelaki Dungu Umur 53 Tahun. Ucapan teolog Protestan Jerman yang terkenal, Martin Luther (1483–1546), pernah membuat saya senyum-senyum. Tokoh yang pernah menjadi guru besar di Universitas di Wittenberg University (1511) itu telah bilang :

Wer nicht liebt Wein, Weib und Gesang, Der bleibt ein Narr sein Leben lang. Mereka yang tidak mencintai perempuan, anggur dan lagu, akan tetap menjadi orang dungu pada seluruh sepanjang hidupnya.

Saya pribadi, jelas tidak pernah meminum anggur. Kalau boleh dibilang pernah, itu sudah lama sekali. Saya mencuri minum anggur milik ibu saya, yaitu anggur untuk kaum ibu yang baru saja melahirkan anak. Saya juga sudah terlalu lama menikmati liburan panjang dalam hal urusan mencintai perempuan. Saya hanya menyukai lagu-lagu saja. Termasuk, tentu saja, lagunya Carpenters.

Dalam posisi seperti ini, bagi lelaki berumur 53 tahun dan bujangan ini, bolehlah saya disebut berstatus setengah dungu atau bahkan dua pertiga dungu. Seratus persen dungu, juga OK.

Kini tidak lagi. Saya masih tetap menyukai lagu-lagu indah. Terakhir, saya terpesona akan pesan ketegaran dari lagu lamanya Dido, “White Flag” yang menawan :

I will go down with this ship
And I won't put my hands up and surrender
There will be no white flag above my door
I'm in love and always will be

Saya kini pun bisa kembali menyukai perempuan yang indah. Mencintainya. I'm in love and always will be. Walau demikian, saya tetap tidak terbiasa meminum anggur. Hari-hari belakangan ini muncul perbincangan asyik mengenai minuman lain yang tidak kalah berkelas disamping anggur. Tetapi bukan kopi. Selamat tinggal, Howard Schulz dan imperium Starbucknya. Aku kini lebih orientalis,dengan memilih teh.

Camellia sinensis, begitu nama latin untuk teh. Perbincangan tentang teh dan teh itu saya lakukan dengan dia yang tercinta, dengan teteh, begitu nama yang saya kenal saat kenalan pertama. Tak sangka ia begitu mendamba teh. Sehingga kalau seorang novelis dan dramawan Inggris Henry Fielding (1707-1754) berkata bahwa love and scandal are the best sweeteners of tea, maka cinta yang kita rajut memang terasa menjadi klop adanya. Teh kiranya bakal menjadi menu utama pemanis bagi cinta kita berdua.


Sementara itu penyair, kritikus dan penyusun kamus terkenal dari Ingggris, Samuel Johnson (1709-1784), menambahkan pula komentar elok tentang teh. Katanya, “with tea amuses the evening, with tea solaces the midnight, and with tea welcomes the morning.” Dengan teh menghibur di senja hari, dengan teh melipur duka nestapa di puncak malam, dengan teh mengucap salam untuk menjemput pagi.

Sementara penyair perempuan Amerika, Alice Walker (1944), dalam kumpulan buku puisinya yang terkenal, The Color Purple (1982), menyinggung teh dan orang Inggris. Katanya, “Tea to the English is really a picnic indoors.” Teh bagi orang Inggris merupakan aktivitas berwisata dalam ruangan. Saya setuju, mbak Alice. Saya pun tergoda untuk berfantasi telah mengerjakannya pula. Untuk pemuja teh yang tercinta. Pasti, dengan setting Inggris juga.

Bayangkan,suatu pagi musim semi di Bromley, pinggiran kota London yang di sana-sini masih menyisakan hutan, aku menunggui seorang perempuan memesona yang masih dipeluk mimpi-mimpinya. Aku memiliki nama panggilan sayang, Niniz, kepadanya.

Aku pernah mendapatkan cerita dari dirinya, bahwa ia pernah dalam mimpinya telah menikah dengan seorang pria misterius, berbaju kotak-kotak. Mimpi unik itu kemudian aku jadikan sebagai bahan ledekan, canda.

Saya katakan, “pria dalam mimpimu itu pasti orang Skotlandia. Bukankah mereka memiliki tradisi unik, memakai kilt, rok pria, yang bermotif kotak-kotak ? Nah, malam itu, dalam mimpimu, rok itu ia jadikan sebagai baju. Sementara bagian bawahnya ia tak memakai apa-apa. Pantas bila pria misterius itu segera menjauh, ketika kau berusaha mendekatinya.”

Niniz pula yang mengajarkan makna dari ritus minum teh orang Inggris kepada saya. “Orang Inggris,” katanya, “kalau sedang terjadi adu argumentasi dan macet, maka salah satu dari mereka akan meminta ijin untuk membuat teh. Itulah momen gencatan senjata.”

Dirinya, pagi itu, dalam fantasiku, masih saja belum terbangun. Dengan sabar, aku menyiapkan beberapa cangkir teh hangat. And with tea welcomes the morning.

Umpama Niniz yang lebih dulu terbangun, dirinya telah punya ikrar terhadapku : "When I opened my eyes I whispered “I Love You” as if you are next to me. Done this recently and I’ll do this when we marry. Goodbye to sorrow and loneliness, you are my hero."

Harap Anda catat : sang hero itu, rencana jangka panjangnya punya pekerjaan tetap tiap pagi -- ya menjadi tukang teh baginya. Menyeduh lalu membawa ke ranjang tempat tidurnya. Untuk memberikan salam selamat pagi bagi bangunnya sang bidadari.

Untuk mulusnya ritus spesial ini, saya telah belajar dari seorang aktris Lynn Fontanne yang pernah memberikan nasehat bagaimana menyajikan minuman teh yang sungguh-sungguh nikmat.

Tambahan info : aktris Hollywood yang istri bintang film Alfred Lunt selama 55 tahun ini, memang rada unik. Pernah ia berterus terang seperti dimuat di surat kabar The New York Times (24/4/1978), bahwa dirinya suka berdusta. “Saya berdusta kepada semua orang. Saya pandai berdusta, secara alamiah sebagai seorang aktris layaknya” tegasnya. Yang ia dustakan itu adalah umurnya. Bahkan kepada sang suami, Lynn Fontanne sampai tega dan tidak pernah mengaku umur dia yang sebenarnya.

Untuk "kebohongan" khas wanita yang satu ini, Lynn Fontanne, jelas tidak sendirian. Kita hormati saja hak istimewa, privilege. kaum perempuan yang satu ini. Bicara umur dan wanita, memang masalah yang peka. Seorang Ellen Kreidman, Ph.D., guru saya dalam hal keterampilan merayu wanita (“so pasti, saya adalah murid paling bodoh ”), menyatakan isu itu sebagai hot button. Ultra sensitif. Tetapi untuk seorang Niniz, aku telah mendapatkan akolade darinya sebagai Qualified !

Walau pun demikian, sebagai lelaki, ijinkanlah saya berbagi rahasia kecil kepada kaum pria lainnya. Kalau seseorang perempuan telah sudi mengaku umur dia yang sebenarnya, atau telah memberi Anda beberapa buah foto dirinya, itulah pertanda dirinya telah mengibarkan bendera putih. Sweet, sweet surrender. Dirinya telah menyerah. Kini saya memiliki belasan fotonya Niniz, dari pelbagai rekaman peristiwa. Akhir bulan ini ia mau ke Turki, aku sudah memesan foto-foto (“ia punya hobi fotografi”) jepretannya dari negara Kemal Attaturk ini pula.

Kembali ke teh. Inilah resep menyajikan teh nikmat menurut metode aktris Lynn Fontanne : hangatkan tekonya dulu, tuang teh dua sendok penuh ke dalam teko, jangan berupa teh celup, yang berisi air yang mendidih. Aduk. “Ketika Anda sajikan kepada saya, gantian saya yang akan mengaduknya lagi,” tuturnya.


Hati, sayap dan naga terbang. Teh yang ingin saya sajikan untuk menyapa selamat pagi bagi Niniz memang bukan sembarang teh. Kita kenal tiga varietas besar tanaman teh, yaitu yang berasal dari Cina, Assam (India) dan Kamboja. Teh yang ingin kukenalkan untuk Niniz adalah teh spesial dari Cina.

Niniz, sayang, teh ini berasal dari propinsi Fujian di Cina. Untuk sampai ke sana pemetik teh harus menaiki rakit-rakit bambu menelusuri ngarai Jiuqu Xi (Ngarai Berkelok Sembilan). Menembusi kabut. Sesudah itu harus mendaki bukit demi bukit, menaiki karang-karang pegunungan Wuyi yang legendaris untuk mencari Yancha atau teh karang yang langka. Yang kadang-kadang disebut sebagai Teh Yang Dipetik Oleh Monyet.

Kalau Anda sangsi atas kisah ini, bacalah bukunya Ron Rubin dan Stuart Avery Gold, Dragon Spirit : How to Self-Market Your Dreams. (2003). Sebagai orang yang memiliki kredo hidup dreams is my business, buku ini adalah termasuk yang inspiratif untuk saya baca.

Kata mereka berdua, ketika orang Jepang di dalam ritual resminya memerlukan waktu untuk penghayatan penuh yang ditampilkan dalam upacara mempersiapkan dan menyajikan teh pada tamu-tamu mereka, orang Cina secara sederhana menghabiskan waktu justru untuk teh. Mengetahui bahwa teh pada bagian terdalam dari setiap manusia terdapat rasa spiritual teh.

Dengan memegang semangkuk teh dan menghirup ketenangan alaminya, Anda dapat merasakan keheningan alam. Segera teh itu merasuki Anda dan Anda merasuki teh tersebut. “Dengan menyerahkan diri pada apa yang telah memasukimu, kau meraih suatu keadaan bahagia yang tidak terucapkan, menjadi satu dengan segala sesuatu, mendapatkan suatu penerangan yang memungkinkan untuk merasakan makna dasar kehidupan, yang tidak lain adalah napas paling dasar dari bumi ini sendiri.”

“Niniz, tahukah kau bahwa teh menciptakan Pikiran Teh ? “

“Pikiran Teh adalah puncak dari semua misteri. Tidak ada tangan yang dapat melukiskannya. Tidak ada suara yang dapat menjelaskannya. Ia adalah keheningan di dalam aktivitas dan aktivitas dalam keheningan – sumber untuk semua kemungkinan, tempat pertanyaan-pertanyaan bagus dan ide-ide cerdas sedang menunggu untuk dilahirkan.”

“Niniz, kau adalah pekerja kreatif, bahkan pendiri dan chairwoman sebuah lembaga karitas, charity kelas dunia. Hematku, kau sangat membutuhkan asupan teh Yancha ini. Dan lahirkanlah ide-ide cerdas untuk program lembaga karitasmu itu di masa depan nanti. Coba lihat kertas ini. Ada tulisan Cina. Ini artinya, camkan dalam hatimu, sayang : seekor naga yang tidak memberikan sayap pada hatinya tidak akan pernah terbang.”

Niniz, kau selalu memberi sayap pada hatimu. Hatimu pula yang membawa kau berani menempuh perjalanan, yang mungkin dapat disebut sebagai one way ticket : musim gugur 1998 di bulan Oktober, telah kau tuliskan, “kusaksikan spektakularnya Eropa. Antara London-Bosnia, merayap lewat Dover lanjut ke Belgium lalu Humberg, Austria, Croatia hingga kota Mostar, Bosnia. Suasana autumn inilah yang menggoreskan kenangan lama akan sebuah permulaan di mana kami menyaksikan sisa sisa perang baik reruntuhan serta yatim dan janda sekaligus trauma. yang tragis.”

Penamu meneruskan catatanmu : “Lalu di autumn lainnya aku berada di ujung timur Indonesia, di gugusan pulau seribu sana. Hatilah yang telah menerbangkanku kesana, dibarengi rasa penasaran dan determinasi dan rasa nekad yang membuatku sampai kesana. Tiba di sana saat konflik mereda, saat semua biduk telah kehabisan bekal, tenaga, spirit, saat hampir beranjak semua, kecuali 7 biduk-biduk raksasa tak akan hengkang karena misi dan agendanya baru saja memulai. Aku sungguh terhenyak – menyaksikan sebuah kerusakan total.”


Pertemuan Hati Dipandu Kerlipan Bintang. Aku kenal Niniz dipandu oleh momen dan media yang mudah membuat kita tidak mudah mempercayainya. Bagiku, suatu keajaiban. Kami bertemu melalui blog. Melalui Internet. Satu di Wonogiri. Satunya lagi di London. Hitung berapa ribu kilometer jaraknya.

Untuk menggambarkan nuansa kontak antara kami, simak SMS-nya Niniz yang sungguh graphic, mampu menghadirkan lanskap penuh makna pada benak pembaca antara lain yang berbunyi, "I read your lovely mail on the train to London City. You make me alive again. Agreed that we just begun. Thanks for loving me. You are so wonderful. I LOVE YOU."

Atau yang berbau promosi pariwisata, "Yank, aku lagi di Westminter, Big Ben. Wish you were here. Wonderful weather like our love."

Merujuk fenomena semacam ini, dan kalau selama ini kita mengenal istilah networking, membina koneksi atau jaringan, gara-gara Niniz saya kini ingin mengenalkan istilah baru. Semoga penyusun kamus Oxford bisa mengesahkannya. Istilah baru itu adalah netnizing, yang berarti menggalang kontak melalui Internet yang dipandu oleh cinta.

Kami berdua, setelah saling mencocokan isi buku harian, merasa yakin telah dipandu oleh getar-getar kosmik, pesan yang terpancar pada kerlipan bintang, yang mungkin sudah tergurat di sana ribuan tahun lalu, untuk mampu bersatu. Nora Ephron telah memvisualisasikan secara indah, dengan bintang Tom Hank dan Meg Ryan, dalam Sleepless in Seattle yang saya sukai pula. "The twinkle stars have told me your wish. I love you and I do," tulis Niniz padaku.

Simak saja pertanyaan dan gugatan Niniz kemudian ketika asmara mengamuk di hati kami : "My heart is singing with joy. Where were you all these times ? Mas kemana saja selama ini ? Kenapa baru sekarang kita jumpa ? I miss you."

Dirinya memang telah sekitar 20 tahun lebih tinggal di London sana. Tetapi hatinya, derai air matanya dan senyumnya menyertai anak-anak yatim, para janda, kaum dhuafa di Aceh, daerah konflik di Poso, Ambon, dan bahkan Bosnia.

Ia mengerahkan segala macam daya dan dana, di Inggris sana, lalu terjun untuk menyantuni mereka-mereka yang papa. Langsung di tengah-tengah mereka. Ia kini ibarat menjadi album berisi rekaman tragika dan selaksa kepedihan sebagian anak bangsa kita yang terlalu mudah untuk dilupakan.

Dirinya tidak melupakan mereka yang papa. Ia terus saja bekerja. Ia tak mau dikenal secara umum. Ia agak alergi terhadap publisitas media. Ia maunya hanya bekerja dan bekerja, katanya, agar kelak mampu mengantarnya ke emperan jannah.

Saya tidak tahu isyarat langit apa yang telah terjadi, karena kini saya bisa mengenalnya. Mengetahui impiannya. Mengetahui kegelisahannya. Adalah suatu perjudian besar ketika saya menyatakan diri bahwa saya menyukai dirinya. The stakes are high. The risks are enormous. Taruhannya besar. Resikonya besar.

Tetapi anehnya, ternyata ibaratnya ia mau saya ajak berjalan berdua ke bibir jurang. Lalu, bersama, let’s jump ! Keberanian memang memiliki power dan magisnya tersendiri, demikian kata Johann Wolfgang von Goethe (1749–1832), sehingga membuat kami tidak terantuk cadas atau bebatuan hitam di dasar jurang.

Kami berdua kini justru mampu terbang.

Bahkan baru jadian yang belum lama, sudah muncul kecenderungan yang mudah mengingatkan kata novelis Inggris, Jane Austen (1775–1817) : A lady’s imagination is very rapid; it jumps from admiration to love, from love to matrimony in a moment. Kami mengibarkan “We’ve Only Just Begun”-nya Carpenters sebagai lagu kebangsaan. "Agreed we just begun," tulisnya dalam SMS.


Begitulah akibatnya, hari-hari ini komunikasi kami selalu diwarnai istilah ILU atau IMU. Mungkin lema yang tidak termuat dalam kamus-kamus standar. Ritus penggunaan istilah itu sebenarnya juga sudah belasan tahun terbengkalai di padang dried loneliness, di hati saya.

Tetapi, oh, kini kami sering dan wajib memakainya. Di SMS, email, juga obrolan real time di pucuk malam dengan pesan bolak-balik yang melintasi benua. Memang benarlah, love will find a way. Tanggal 6 Mei 2006 lalu, ketika saya memberanikan diri untuk melamarnya, dari Wonogiri tempat tinggal saya kini, ia di London sana telah pula memberikan jawaban : I will. Ia pun kemudian bernyanyi dalam puisi :


Hujan

Cintamu ibarat derainya hujan yang menyiram bumi kerontang
mengguyur reranting mawar yang hampir mati kekeringan
Namun di kedalaman sang bumi masih tersisa akar yang terbenam
Lalu hujanmu merambah, menghujam ke dasar tanah paling dalam
menjadikan sang akar dan reranting yang kerontang menggeliat
Curah hujanmu adalah curah cinta, curah kasih sayang
Kini, pucuk dan kuntum senyum menyambut kehidupan.

Kalau mawarku kemarin buram, gruesome
kini ia bugar dan tegar
siap menata hidup
bersamamu.



Niniz
yang mencintaimu
Ash Row, 9 Mei 2006


Hari-hari baru bagi kami berdua memang baru saja dimulai. Tetapi mungkin kita telah pernah berjumpa ribuan tahun lalu.

“Aku membayangkan dirimu sebagai seorang gadis remaja yang cantik. Berbaju putih-putih. Di tengah padang hijau maha luas. Ia asyik bermain. Menganyam angan. Berbisik-bisik, berbicara kepada angin. Kapas-kapas putih yang terbang. Gelembung-gelembung sabun dengan warna-warna pelangi. Memandang dunia ini dengan kedamaian. Tranquality. Kesentosaan. Tanpa rasa kuatir, tabula rasa, lalu kau mengajakku untuk ikut bermain pula.

Kita berdua mengejar kupu-kupu. Sampai di batas hutan. Dalam rerimbunan yang sunyi, selain tetes air di kelopak daun talas yang kemilau bak air raksa, yang ada kemudian adalah debaran hati dan jantung kita. Kita saling menyukai. Kita saling mencintai.

Mungkin kita-kita ini sudah ditautkan oleh masa ribuan tahun silam. Masa sebanyak itu lalu digambarkan dalam barisan ribuan kupu-kupu raja, monarch, yang mungkin terusik kehadiran kita, lalu berhamburan.

Kita melepaskan pelukan dan kembali mengejar mereka, menangkapnya satu persatu, lalu mengagumi keindahan ukir dan pahatan warna di sayap-sayapnya. Itulah keindahan cinta kita berdua, sayangku. Kita membincangkannya sampai sore. Sampai tak terasa, merah senja di barat telah semburat tiba.

Ayo kita pulang, kekasihku. Mungkin kita kecapekan. Lalu melanjutkan journey kita tadi dalam mimpi-mimpi kita. Juga esok hari, yang masih panjang. Sampai jumpa, Ninizku.”



Wonogiri, 11 Mei 2006.



cty