Tuesday, August 15, 2006

Network Economy, Kelinci London, Aku dan Cinta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Cher,
The Times,30 Mei 1998



Kelinci London vs Kelinci Solo. Dalam fabel Barat, kelinci adalah lambang kecepatan. Menurut kajian profesor psikologi Robert Levine dari California State Universty di Fresno (1985), sang kelinci digambarkan harus lari pontang-panting mengikuti irama hidup di kota London, New York mau pun Tokyo. Sedang di Solo, kelinci itu justru tertidur dan mendengkur !

Itulah intro artikel berjudul “Solocon Valley” yang aku tulis dan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 5 Agustus 2006. Aku kisahkan bahwa irama hidup di Solo sungguh berbeda dibanding kota-kota lain. Aku memang lahir di kota Solo ini. Dan tanggal 24 Agustus 2006 nanti, aku akan tepat berumur 53 tahun.

Tetapi artikel Robert Levine yang termuat di majalah Psychology Today (3/1985) itu tidak aku temukan di Solo. Melainkan di Jakarta, saat browsing majalah di Perpustakaan LIA, Jl. Pramuka, Jakarta Timur.

Levine melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup di kota besar dan kota menengah di pelbagai belahan dunia. Diantaranya Jepang (Tokyo dan Sendai), Inggris (London dan Bristol), Taiwan (Taipei dan Tainan), Indonesia (Jakarta dan Solo), Italia (Roma dan Florence) dan Amerika Serikat (New York dan Rochester). Risetnya mengkaji tiga indikasi dasar : akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki dan kecepatan pegawai kantorpos melayani pembelian perangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Indonesia menempati peringkat paling buncit dari keenam negara itu. Kecepatan seseorang sendirian berjalan kaki menempuh jarak 100 kaki, menempatkan orang Indonesia berstatus paling lambat. Levine memberikan ilustrasi ketika ia mengukur efisiensi petugas pos Solo melayani pembelian perangko.

Saat ia antri, pegawai pos yang menjual perangko itu malah asyik mengajaknya ngobrol, membicarakan kerabatnya yang tinggal di Amerika. Lima orang yang antri di belakang Levine nampak sabar. Tidak mengeluh dan bahkan ikut memberi perhatian atas obrolan mereka.

Selamat datang di Solo, kota di mana waktu tersedia melimpah di sana. Merujuk fenomena yang disebut waktu sosial atau denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu, masyarakat Solo khususnya dan masayarakat Jawa pada umumnya, memiliki pandangan unik. Secara matematis manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Masyarakat Barat memaknai waktu sebagai komoditi yang pasti habis. Waktu adalah uang. Tetapi masyarakat Jawa menganggap waktu sebagai proses siklus, sesuatu yang dapat terulang kembali.

Pemaknaan waktu khas Jawa itu oleh pakar pemasaran Kafi Kurnia diungkap dengan ilustrasi menarik tentang fenomena umum di Solo. Ia sebutkan pemandangan unik : tukang becak yang menunggu konsumen sambil tertidur di becaknya. Juga budaya ngobrol di lapak-lapak wedangan yang juga terasa kental di Solo.

Kafi Kurnia menantang : mengapa tidak menjual kota Solo sebagai kota yang ideal untuk membunuh waktu, untuk santai-santai atau pun berbincang-bincang ?

Tantangan menarik. Terlebih dalam konteks era network economy, ekonomi jaringan dalam dunia digital dewasa ini, kita dapat menyimak pandangan Kevin Kelly yang mampu memberikan perspektif baru yang brilyan. Dalam karya tulis tonggak yang inspiratif, “New Rules for the New Economy : Twelve Dependable Principles for Thriving in a Turbulent World” (Wired, September 1997), ia katakan : Peter Drucker mencatat bahwa dalam abad industri setiap pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara lebih baik disebut sebagai produktivitas.

Tetapi kini dalam ekonomi jaringan di mana kebanyakan mesin-mesin mengerjakan pekerjaan manufaktur yang tak cocok untuk manusia, tugas setiap pekerja bukanlah “bagaimana mengerjakan pekerjaan secara benar” melainkan “pekerjaan apa yang benar untuk dikerjakan ?” Di era mendatang, mengerjakan segala sesuatu secara benar jauh lebih produktif dibanding mengerjakan hal yang sama secara lebih baik.

Tetapi bagaimana seseorang dapat secara mudah mengukur sense penting dalam eksplorasi dan penemuan ? Semua ini tidak terlihat dalam parameter atau patok duga produktivitas. Sejatinya, menurutnya, menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan. Suatu situs web yang dioperasikan oleh anak muda seumuran 20 tahun dapat terwujud karena ia mampu menghabiskan waktu 50 jam untuk menjadi ahli merancang situs web.

Sementara itu pekerja usia 40-an tahun tidak dapat mengambil cuti liburan tanpa berpikir bagaimana dia menentukan apakah berlibur itu bisa disebut sebagai produktif atau tidak, sementara si anak muda tadi tinggal mengikuti naluri dan menciptakan beragam hal baru dalam desain webnya, tanpa menghitung apa yang ia lakukan itu efisien atau tidak. Dari otak-atik yang tidak efisien itulah akan hadir masa depan..

Dalam era ekonomi jaringan, produktivitas bukan masalah krusial. Karena kemampuan kita dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi kebanyakan dikekang, dibatasi, terutama oleh kurangnya imajinasi dalam menemukan peluang dibanding usaha mengoptimalkan suatu solusi. Seperti simpul Peter Drucker yang dikutip oleh George Gilder, rumusnya kini berbunyi : jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang.

Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Tetapi bila Anda mencari peluang, maka Anda dapat mempercayai jaringan, network, Anda.

Apalagi sisi menarik mengenai ekonomi jaringan yang jelas bermain seirama dengan kelebihan manusia yang hakiki. Pengulangan atau repetisi, sekuel, mengopi dan otomasi, di era digital kini semua cenderung bebas biaya. Gratis. Sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya ! (Catatan : alinea penting ini justru diedit, hilang, dalam artikel saya di Kompas Jawa Tengah itu !-BH).

Berefleksi ke belakang, Solo pernah melahirkan tokoh-tokoh inovator seperti Ronggowarsito, Yosodipuro, Martopangrawit, sampai Sardono W. Kusumo, Rendra dan Arswendo Atmowiloto. Atau bahkan juga tokoh sekaliber Ahmad Baiquni dan Amien Rais. Termasuk juga kini, Mayor Haristanto dengan Republik Aeng-Aeng-nya.

Merujuk modal besar Solo seperti disebut Kafi Kurnia dan terlebih peluangnya bersinergi dengan budaya ekonomi jaringan yang mengedepankan inovasi, seluruh stakeholder kota Solo memiliki tantangan bagaimana mengubah kotanya menjadi magnit bagi kalangan inovator, dari mana pun di dunia, untuk datang di Solo. Sebagaimana kemajuan kota atau negara banyak dilakukan para pendatang, kehadiran mereka dapat menjadi katalisator dan stimulator bagi kalangan inovator asli Solo sendiri.

Akhirnya, sebagai warga kelahiran Solo dan merujuk gagasan pembangunan Techno Park di Mojosongo, saya ingin beriur gagasan dengan memimpikan Solo sebagai Solocon Valley, plesetan dari Silicon Valley, kluster area di negara bagian California AS yang dihuni perusahaan-perusahan teknologi informasi ternama di Amerika Serikat.

Pekerjanya di sana yang merupakan otak-otak brilyan itu ibarat campuran seniman dan ilmuwan. Atmosfir suasana kerja yang tidak formal karena kekakuan birokrasi akan membunuh inovasi, mereka pun berinteraksi dan mematangkan ide-idenya di kafe-kafe, dengan obrolan hingga larut malam, yang suasananya tak jauh berbeda dari suasana lapak-lapak wedangan di Solo.


Gothendipity dan Gempa Bumi. Artikelku di atas mengenai network economy itu, penginku suatu saat, bisa dibaca oleh Niniz, perempuan memesona, yang aku temui tanggal 18 Juli 2006 di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Lima hari sebelumnya ia tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan 12 jam lebih dari kota tempat tinggalnya, London.

Aku tinggal di Wonogiri. Niniz selama ini sudah lebih dari 20 tahun berdomisili di London. Kita ketemu melalui Internet. Tetapi dipertemukan secara nyata oleh gempa bumi.

Dirinya sebagai pekerja sosial dan pendiri sebuah lembaga donor, charity foundation yang berkedudukan di London, telah menjelajah sampai di daerah-daerah konflik, seperti Ambon, Poso, Ternate, sampai Aceh. Ia menaruh kepedulian terhadap nasib mereka yang sering terlupakan di daerah bencana dan konflik, yaitu anak-anak.

Slogan lembaganya begitu menyentuh : Give the children hope. Please give them opportunity to go back to school and hold their pencil again. Secara bercanda, aku katakan padanya bahwa kelak kata “their pencil” itu bisa digantikan dengan, “their laptop again.” Niniz punya angan-angan lebih tinggi. “Kalau kelak lingkupnya menjadi internasional, aku dibantu ya mas ?,” rajuknya.

Dalam foto-foto yang ia kirimkan, ia nampak sumringah dan cantik ketika berada di tengah anak-anak yatim yang menjadi anak asuhnya. Dalam dirinya nampak kental terpateri pesan luhur dari lirik lagu indahnya Carpenters, Bless The Beast And Children :

Bless the beasts and the children
For in this world they have no voice
They have no choice

Bless the beasts and the children
For the world can never be
The world they see

Light their way
When the darkness surrounds them
Give them love
Let it shine all around them

Bless the beasts and the children
Give them shelter from a storm
Keep them safe
Keep them warm


Saya pun, karena menyukai dirinya dan misi hidupnya, secara sembrono pernah menulis dalam salah satu email untuknya dengan isi berandai-andai : bila saja Wonogiri atau Jawa terjadi bencana alam atau konflik, saya berharap ia bisa datang dari London untuk menyantuni, sehingga aku bisa bertemu dengan dirinya.

Kata pepatah, hati-hati dengan harapan Anda. Karena sebagian besar harapan itu akan terpenuhi. Saya lalu teringat kata gothendipity yang dikenalkan oleh Tony Buzan (1942 - ), pakar mind mapping dan penemu istilah mental literacy yang mengajarkan bagaimana otak kita mampu belajar secara cepat dan alamiah sehingga kita mampu mempelajari apa pun yang menjadi minat-minat kita.

Kata gothendipity merupakan hasil amalgamasi, peleburan cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity, yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :

“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini,” demikian kata Tony Buzan.

Tanggal 27 Mei 2006, gempa besar itu melanda Yogyakarta, Klaten, dan Pantai Selatan Pulau Jawa. Satu jam sebelum terjadi gempa, jam 5 pagi, aku memperoleh SMS dari Niniz, ia pengin menelpon, ingin pamit karena sore harinya ia berangkat berwisata ke Turki. Obrolan pun terjadi. Ia menasehatiku untuk pergi ke dokter gigi, juga menanyakan apa aku siap untuk menikahinya di Aceh, sejurus sebelum gempa terjadi.

Aku lari keluar rumah, tanpa bilang-bilang untuk memutus pembicaraan telepon. Ketika gempa mereda, sokurlah, Niniz di London belum menutup teleponnya. Aku menceritakan apa yang terjadi.

Siang hari, tanggal 18 Juli 2006, di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, aku bertemu untuk pertama kali dengan Niniz. Setelah menyerahkan barang bawaan wajibnya ketika ia mengembara, yaitu laptop, handycam, kamera digital dan kamera semi otomatis, kepadaku, ia kembali masuk. Ia muncul lagi, mendorong trolley berisi tumpukan kardus. Isinya berupa beragam mainan edukatif untuk anak-anak, biskuit, sampai kembang gula. Itulah bawaannya, yang akan ia sumbangkan untuk anak-anak korban gempa.

Ia pun lalu menambahkan, “dan koper satu itu, semuanya untuk mas”. Isinya antara lain, buku peta kota London (“bikin pusing orang Wonogiri”) dan buku sepakbola pesananku, Ingerland : Travels With A Football Nation (2006), karya Mark Perryman. Juga oleh-oleh kejutan : CD “I Believe I Can’t Fly”-nya stand up comedian Ahmed Ahmed, keturunan Mesir asal California AS. Ia seorang komedian muslim. CD-nya itu juga berisi pentas dirinya bersama komedian Yahudi, bekas rabbi, Bob Alper, bertajuk “One Muslim, One Jew, One Stage : Two Very Funny Guys.”

Saat itu aku hanya mampu menyambut Niniz dengan sekuntum mawar. Mawar Wonogiri. Juga bisikan : “I love you.” Ia pun sering membalas dengan ungkapan canda, “same, same, mas.”


Menghamburkan Waktu dan Penemuan. John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001), antara lain telah mengatakan : “Treat the virtual as real and vice versa. Cyberspace is merely another dimension to everyday life. Do not judge reality whether it is based on technology but by more important and eternal matters such as humanity and truth.”

Aku pernah tulis dalam email : “Ninizku, alinea terakhir ini telah berbicara seratus persen pula tentang kita, bukan ? Kita ketemunya di Internet. Bukankah perasaan saling mencintai antara kita, yang tumbuh stronger and stronger day by day itu adalah eternal matters such as humanity and truth juga ? You bet. Tak salah lagi. Hidup blog. Hidup Internet !”

“Sejatinya,” kembali menurut Kevin Kelly yang aku kutip dalam tulisanku di Kompas Jawa Tengah diatas, “menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan.”

Bercermin pada apa yang aku lakukan selama ini, bagiku, menghabis-habiskan waktu untuk merancang dan mengisi situs–situs blogku selama ini, ternyata merupakan jalan menuju penemuan. Bahkan terbesar untuk hidupku : menemukan seorang Niniz, untuk masa depanku

Tentu saja semua itu tidak terjadi dalam kesempatan dan waktu yang ideal. Niniz pun pernah menulis gugatan gemes dalam SMS (30 April 2006) : Where were u all these times ? Mas kemana saja selama ini ? Kenapa baru sekarang kita jumpa ? I miss U.”

Pertanyaan Niniz yang manis. Juga menggemaskan. Kenapa aku baru menjumpainya ketika umurku mencapai 53 tahun, tepat pada tanggal 24 Agustus 2006 nanti ? Tidak masalah. Salah seorang penyanyi yang aku idolakan sejak tahun 1972 dengan lagunya Gypsies, Tramps & Thieves, yaitu Cher, mungkin telah membantuku untuk memberikan jawaban :

If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Kalau rerumputan mampu tumbuh menyeruak di permukaan semen, maka cinta pun mampu menyapa dirimu, setiap saat, dalam hidupmu.


Wonogiri, 13-16 Agustus 2006


cty

Sunday, July 02, 2006

Send Me An Angel, Mawar Bromley dan Mimpi Jerman Juara Dunia 2006

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


Wise man said just find your place
In the eye of the storm
Seek the rose along the way
Just beware of the thorns

(Scorpions, “Send Me An Angel”)




Jembatan Budaya Antarbangsa. “Sepakbola merupakan salah satu aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia,” demikian pendapat Nelson Mandela. Di tengah mabuk dan demam Piala Dunia 2006 saat ini, pendapat pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan yang sering berpakaian batik itu tentu tak bisa dipungkiri kebenarannya.

Juga bagi diri saya pribadi.

Saya yang tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia, seperti mudah terkait dengan isi pikiran seorang Klaus Meine, seseorang yang tinggal di Jerman sana. Ia berkata mula-mula bahwa musik rock ‘n’ roll dan sepakbola berjalan bergandengan tangan.

“Sepakbola dan musik mampu mengubah dunia sebagaimana yang terjadi di Jerman saat ini. Seluruh negeri terbius dalam suasana pesta dan perayaan untuk penggemar sepakbola di seluruh dunia. Perasaan yang sungguh-sungguh fantastis. Hanya sepakbola dan musik yang mampu menjembatani beragam negara dan beragam budaya karena keduanya merupakan bahasa yang bersifat universal,” tutur Klaus Meine.

Klaus Meine adalah vokalis kelompok musik legendaris Jerman, Scorpions. Ketika menelusuri situs resmi Piala Dunia 2006, saya seperti terlempar kembali ke tahun 1974 ketika membaca cerita tentang dirinya dan Piala Dunia. Saat ditodong pertanyaan sejak kapan ia pertama kali menonton helat Piala Dunia, Klaus Meine menjawabnya : Tahun 1974. Ia dan kelompoknya yang menelurkan monster hit lagu “Wind of Change” (1991) kemudian mengenang pertandingan final Piala Dunia 1974 saat Jerman bertemu Belanda yang ia saksikan melalui televisi.

“Piala Dunia 1974 sangat penting maknanya bagi generasi saya dan telah mengabadikan sosok-sosok pesepakbola besar di jamannya. Tentu saja Franz Beckenbauer, tetapi juga pemain besar lainnya seperti Gerd Müller, Paul Breitner, Sepp Maier dan lainnya. Citra kejayaan tim Jerman tak terlupakan seperti halnya ketika Beckenbauer berjalan di stadion Roma saat Jerman meraih Piala Dunia ketiga kalinya di tahun 1990. Kenangan itu akan terpateri abadi pada sepanjang hidup Anda.”

Piala Dunia 1974 saya saksikan pertandingan finalnya melalui televisi hitam putih di Tamtaman, Baluwarti, Solo. Saat itu saya berkuliah di Jurusan Mesin, Fakultas Keguruan Teknik, IKIP Surakarta. Saya ikut menumpang di rumah Eyang Laksmintorukmi, guru tarinya Guruh Soekarnoputra. Salah seorang kerabatnya, Joko Waluyono, adalah teman sekelas saya di SD Wonogiri III ketika ia mengikuti Eyang Laksmintorukmi yang suaminya, Brotopranoto, menjadi Bupati Wonogiri saat itu.

Piala Dunia 1974 oleh seorang Eduardo Galeano dalam bukunya Football In Sun And Shadow (2003) disebutkan betapa lawan Jerman di final, yaitu tim Belanda, oleh seorang wartawan Brazil disebutkan sebagai disorganized organization, organisasi yang tidak terorganisasikan, karena tidak ada pembagian tugas yang terinci baku di antara pemainnya. Mereka menyerang secara bersama dan juga melakukan hal yang sama ketika bertahan.

Tim Belanda juga punya julukan sebagai Machine, selain memperoleh sebutan sebagai Clockwork Orange, metafora yang diambil dari judul film terkenalnya Stanley Kubrick untuk menggambarkan kreasi dahsyat permainan total football yang digubah sosok-sosok jenius Johan Cruyff, Neeskens, Rensenbrink, Kroll dan pemain lainnya. Dengan dirijen pelatih Rinus Mitchels.

Saat itu, saya yang berumur 21 tahun, belum tahu istilah-istilah keren di atas. Intuisi saya yang membawa untuk memilih Jerman. Pertandingan mendebarkan tersebut berakhir dengan kemenangan 2-1 untuk Jerman. Sejak saat itu saya selalu memfavoritkan tim Jerman.

Saya mengalami kekecewaan di Piala Dunia 1986 Meksiko. Kali ini saya menontonnya di rumah mBah Suroto, Jl. Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur. Saat itu saya sudah menyelesaikan kuliah saya di Universitas Indonesia dan menjadi penulis lepas tentang teknologi informasi di pelbagai surat kabar di Jakarta.

Jerman saat itu bisa menyamakan kedudukan 2-2 melawan Argentina. Tetapi umpan jauh lewat kaki kiri si boncel jenius Maradona ke arah Jorge “Number Seven” Burruchaga, membuat benteng Jerman bocor. Gol terjadi, 2-3 dan Argentina meraih juara Piala Dunia untuk kedua kalinya.

Saya berhurra, di tahun 1990. Gantian Jerman dengan gol penalti pemain belakang Andreas Brehme, yang saat itu bermain bersama Lotthar Mathaeus dan Jurgen Klisnmann di Inter Milan, meremukkan hati pendukung Argentina. Jerman meraih gelar ketiganya sebagai Juara Dunia.


The Dreadful Night. Bayangan masa lalu perseteruan sengit antara Jerman-Argentina itu muncul lagi, pada babak perempat final Piala Dunia 2006 Jerman, 1 Juli 2006 yang lalu. Saya menontonnya di Wonogiri. Saya menyebutnya sebagai the dreadful night, malam yang mengerikan.

Sebelum pertandingan digambarkan tim Jerman sedang berlatih memanah. Foto kapten Michael Ballack nampak fokus sedang membidik sasaran. Latihan visualisasi untuk mampu fokus pada sasaran, yang mungkin sengaja disiapkan oleh Klinsmann untuk pemainnya guna menghadapi penentuan hidup-mati melalui adu tendangan penalti.

Ketika kick-off di Olympiastadion Berlin tepat jam 22.00 WIB, saya segera dilanda ketegangan. Walau pun di stadion itu terpampang spanduk bertuliskan “GER 50 - ARG 0 Das Wunder '06'” atau “Keajaiban 2006 : Jerman 50 – Argentina 0,” saya harus terus berusaha mengontrol rasa tak nyaman itu. Upaya saya, antara lain, dengan mengirimkan SMS kepada Niniz, kekasih saya yang tinggal di London :

“Yankku, aku lagi nervous, jagoku tim Jerman masih 0-0 vs Argentina. Aku pengiin banget memelukmu yank utk meredakan rasa tegang. Oh, soothe me darling. I love you.

Ia pun membalas : “Dont be too frustating. Its only game. Close your eyes and let me kiss them to soothe your tension. I think I know you wish me to be there.

Begitulah, kalau memiliki kekasih yang tidak begitu faham akan sepakbola. Kalau aku disuruh merem, memejamkan mata, mana mungkin saya bisa menonton sepakbola ? Aku pun membalas lagi : “ Thx darling. If I closed my eyes & think of u, very nice & comforting my tension, but I missed the game. Score now, 1-1. I want u desperately & hug you tighter..ILU.

Skor akhir 90 menit adalah : 1-1. Tandukan dahsyat bek Argentina, Roberto Ayala, menerima umpan silang Juan Roman “Si Muka Dingin” Riquelme dibalas dengan tandukan hasil set piece yang tak kalah brilyan. Kombinasi antara umpan terukur Ballack, disambut tandukan Borowksi (dalam adegan ulangan pada layar televisi nampak Klinsnmann melakukan gerakan simulasi yang merupakan fotokopi aksi tandukan umpan mautnya Borowski itu) yang akhirnya diselesaikan secara mematikan oleh tandukan Miroslav Klose.

Dalam tim Jerman ini saya memiliki favorit, Per Mertesacker (17), defender muda kelahiran 29 September 1984, jangkung (196 cm) dan tangguh asal Hannover 96. Sokurlah, akhirnya Jerman menang.dalam adu penalti. Oliver Neuville, Michael Ballack, Lukas Podolski dan Tim Borowski, secara dingin dan telak membobol gawang Argentina.

Jerman 4, Argentina 2.

Penalti Roberto Ayala dan Esteban Cambiasso berhasil dihadang oleh kiper Jens Lehman. Keduanya kemudian pantas menyenandungkan lagu dari Madonna atau Julia Covington yang dipetik dari opera “Evita”-nya Andrew Louis Webber yang terkenal : “Jangan Tangisi Aku Argentina.”

Untuk seorang pendukung fanatik Argentina, Nengah Rikon Gunadharma, yang managing director majalah sepakbola Freekick, telah saya kirimi SMS : “ Argentina terlalu cepat menarik the menacing Riquelme. Kiper utama cedera, Messi gagal masuk. Jerman beruntung punya Lehman. Next time better, bos Rikon.”

Ia pun membalas : “Iya, saya sedih di tengah sorai sorai pendukung Jerman di depan haufbahnhof Frankfurt. Selamat mas Bambang, Jerman bisa juara.” Rupanya Nengah Rikon menonton dari layar lebar di pelataran stasiun kereta api Frankfurt.

Seperti ucapannya, sebagai fans tentu saja saya memimpikan Jerman menekuk Italia di semifinal (walau dalam pertandingan persahabatan sebelumnya di Florence, Jerman dibantai Andrea Pirlo dkk 4-1), melaju ke final, lalu meraih juara keempat kalinya dengan menghabisi jago-jago tua Perancis atau pun tim kelas dua dan kejutan, Louis Figo dan tim Portugalnya.

Hari penentuan itu akan datang.

Di tengah eforia kemenangan Jerman atas Hernan Crespo dkk itu saya memperoleh SMS dari Niniz (London) : “Aku di train mau pulang. I found the book and bought for you. Masih ada football ? Aku tiba di rumah ½ jam lagi.”

Terima kasih, sweetheart.

Buku yang ia beli itu adalah karya Mark Perryman, Ingerland : Travels with a Football Nation. Menurut penulisnya, sejak Piala Eropa 1996 lanskap dunia sepakbola Inggris mengalami perubahan yang signifikan. Terutama yang menyangkut dunia suporternya, akibat semakin kuatnya dukungan penggemar dari kaum perempuan, ras berkulit hitam dan juga dari keluarga. Perubahan itu berdampak pada pendekatan keamanan, liputan media dan juga perilaku suporter di negara-negara lainnya.

Ketika mengirim email Ke Niniz seputar buku itu telah aku katakan impianku : selain ingin menulis biografi tentang kiprah dirinya sebagai pendiri lembaga charitiy kelas dunia untuk anak-anak yatim dan para dhuafa di daerah-daerah konflik di Indonesia, aku pun ingin menulis budaya sepakbola Inggris dari kacamata suporter sepakbola asal Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia ini.

Keajaiban cinta pun terjadi. Niniz walau tidak suka sepakbola, tetapi dirinya telah berbaik hati membelikanku buku tentang sepakbola. Perilaku bak malaikat. Malaikat satu ini, yang menyintai anak-anak yatimnya di Lhoong Aceh itu, juga menyukai tanaman bunga mawar.

Begitulah, kalau Klaus Meine telah mampu membawaku untuk kembali mengenang peristiwa Piala Dunia 1974 untuk kemudian selalu menjagokan Jerman, ia pun juga memiliki lagu indah, “Send Me An Angel,” yang penuh makna bagi hidupku kini dan masa depan.

Kata mutiara Klaus Meine, bahwa orang bijak telah bersabda agar kita mampu menemukan jalan otentik kita masing-masing, walau pun harus melewatinya dalam badai. Temukan selalu mawar dalam perjalananmu, walau harus hati-hati pula terhadap onak di rerantingnya.

Hari ini rasanya aku telah melewati sebuah badai bersangkutan. Badai ketegangan. Kemudian juga ikut menikmati kemenangan. Dalam perjalanan meraih itu semua aku telah ditemani dengan sepenuh atensi, juga cinta, oleh sang pemilik hati dan cinta yang aku sebut sebagai Si Pemuja Mawar. Mawar dari Bromley, London.

Aku tahu duri dan onaknya yang tajam. Tetapi di kelopak mawar itu pula aku telah memutuskan untuk melabuhkan impianku tentang masa depan.

Bersamanya.


Wonogiri, 3 Juli 2006


cty

Friday, June 09, 2006

Plaisir d’Amour, Museum Topkapi dan Ninizku Yang Lagi Berjalan Sendiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Melina Mercouri adalah aktris Yunani. Ia mengasingkan diri ketika Yunani dicengkeram oleh pemerintahan junta militer, dan kembali ke negerinya setelah pemerintahan sipil berdaulat di Yunani. Ia bahkan menjabat sebagai menteri kebudayaan , 1981-1989.

Aku mengenalnya sebagai penyanyi dengan lagu lembut dan indah. Kalau tak salah judulnya, Plaisir d’Amour. The Pleasure of Love. Ketika Niniz, perempuan London yang membuatku jatuh cinta akhir-akhir ini bercerita baru saja mengunjungi Turki, nama Melina Mercouri itu tiba-tiba muncul di ingatanku kembali.

Tambahan info : hari saat Ninizku akan berangkat berwisata ke Turki, saat ia berpamitan di hari Sabtu Pagi, 27 Mei 2006, di tengah obrolan telepon itulah terjadi gempa bumi besar di Wonogiri. Gempa yang sama yang meluluhlantakkan Bantul, Yogyakarta, Klaten, dan kota-kota sekitarnya. Adakah sesuatu firasat di balik gempa ini, terkait antara diriku dengan Ninizku ? Aku tidak tahu.

Lalu, ada apa dengan Turki dan kaitannya dengan Melina Mercouri ? Aku pernah menonton film di televisi, aku lupa tahun berapa, judulnya Topkapi. Memang menyangkut nama gedung bersejarah, yaitu museum indah, dengan nama yang sama di Istanbul, Turki. Bagi orang Turki, nama lengkapnya adalah Topkapi Sarayi. Cannongate Palace. Istana Topkapi. Dibangun mulai tahun 1459 atas perintah Sultan Mehmed II dan selesai tahun 1465.

Bruce Geller, yaitu kreator film seri Mission : Impossible (1966) yang kini dilayarlebarkan oleh Tom Cruise, menyebutkan bahwa film Topkapi yang ia jadikan sebagai ilham. Film itu memang sebuah crime thriller, menceritakan kisah upaya maling canggih yang berusaha mencuri keris bertatahkan berlian dari museum Topkapi itu.

Salah satu bintang dari Topkapi ini, adalah aktris Melina Mercouri tadi. Bintang lainnya adalah aktor Inggris, pemenang Oscar, Peter Ustinov. Nama komplitnya, Sir Peter Alexander Ustinov. Lahirnya, 16 April 1921. Meninggal, 28 Maret 2004.

Sampai di tulisan ini, saya mengharapkan Ninizku akan tersenyum membacanya. Lihatlah, Niz, tanggal kelahiran Peter Ustinov itu adalah sama dengan tanggal kelahiranmu. Hari ulang tahunnya Niniz. Sama pula dengan hari lahirnya petenis Spanyol, Conchita Martinez (1972), petenis asal Belarusia, Natasha Zvereva (1971), pebasket legendaris Los Angeles Lakers, Kareem Abdul-Jabbar (1947), penyanyi Bobby Vinton (1935) yang memiliki lagu top Roses are Red (“bunga kecintaan dari Niniz”) dan Blue on Blue, Robert Stigwood (1934), produser film Saturday Night Fever (ada lagu indah yang kiranya pantas untuk aku persembahkan untuk Niniz, How Deep Is Your Love) dan film sekuelnya, Grease, yang sama-sama dibintangi oleh John Travolta.

Tanggal 16 April apa selalu terkait dengan mawar ? Aku tidak tahu. Tetapi penyanyi Vince Hill yang lahir tahun 1932 pada tanggal yang sama memiliki lagu hits berjudul Roses of Picardy dan La Vie en Rose (Life and Rose).

Sementara Roy Hamilton, penyanyi kelahiran tahun 1929, terkenal karena membawakan lagu karya duet Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II, yang kini menjadi lagu kebanggaan tim sepakbola Liverpool, You'll Never Walk Alone.

Ninizku tercinta tinggalnya di London, bukan di Liverpool. Mungkin saja, karena faktor itulah, Niniz belum menyimaki atau mengakrabi pesan-pesan dalam lirik indah dari lagu You’ll Never Walk Alone itu.

When you walk through a storm
hold your head up high
And don’t be afraid of the dark
At the end of the storm is a golden sky
And the sweet silver song of lark

Lirik yang inspiratif bila kita sedang diterjang persoalan berat dalam kehidupan. Karena kita tidak sedang berjalan sendirian. Tetapi, baiklah, kiranya kini Ninizku ini ingin sedang menyendiri. Ingin berjalan sendiri. Sokurlah apabila bisa ia lakukan setiap pagi. Saya bisikkan kata Raymond Inman : If you are seeking creative ideas, go out walking. Angel whisper to a man when he goes for a walk. Temukan gagasan kreatif itu, baby, guna mencerna dan mengurai persoalan-persoalan yang membelitmu kini. Kau mampu. Kau bisa.

Aku kini menanti Ninizku untuk bisa menyanyi, tersenyum, dan tertawa lagi. Paling tidak, semoga Ninizku ini mau mengakui makna ucapan aktor besar Inggris yang sama tanggal kelahirannya dengan dirinya, Peter Ustinov, yang bilang : “Laughter…the most civilized music in the world.”

Musik tentang cinta, mawar, doa di Masjid Biru sampai rencana indah pernikahan kita, untuk sementara tidak terdengar dari Ninizku ini. Aku merasa seperti kehilangan dunia. Semoga, seperti halnya cerita hilangnya keris bertatahkan berlian dari Museum Topkapi yang akhirnya bisa ditemukan kembali, dengan memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahanku padanya, aku ingin agar Ninizku ini juga bisa kembali.

I miss you. I love you.


Wonogiri, 10 Juni 2006


cty

Wednesday, May 10, 2006

We’ve Only Just Begun, Netnizing dan Pesan Cinta Yang Melintasi Benua

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


Before the rising sun we fly
So many roads to choose
We start out walking and learn to run

Sharing horizons that are near to us
Watching the signs along the way
Talking it over just the two of us
Working together day to day, together

And yes we're just begun to live
White lace and promises
A kiss for luck and we're on our way

(Carpenters, “We’ve Only Just Begun”)



Lelaki Dungu Umur 53 Tahun. Ucapan teolog Protestan Jerman yang terkenal, Martin Luther (1483–1546), pernah membuat saya senyum-senyum. Tokoh yang pernah menjadi guru besar di Universitas di Wittenberg University (1511) itu telah bilang :

Wer nicht liebt Wein, Weib und Gesang, Der bleibt ein Narr sein Leben lang. Mereka yang tidak mencintai perempuan, anggur dan lagu, akan tetap menjadi orang dungu pada seluruh sepanjang hidupnya.

Saya pribadi, jelas tidak pernah meminum anggur. Kalau boleh dibilang pernah, itu sudah lama sekali. Saya mencuri minum anggur milik ibu saya, yaitu anggur untuk kaum ibu yang baru saja melahirkan anak. Saya juga sudah terlalu lama menikmati liburan panjang dalam hal urusan mencintai perempuan. Saya hanya menyukai lagu-lagu saja. Termasuk, tentu saja, lagunya Carpenters.

Dalam posisi seperti ini, bagi lelaki berumur 53 tahun dan bujangan ini, bolehlah saya disebut berstatus setengah dungu atau bahkan dua pertiga dungu. Seratus persen dungu, juga OK.

Kini tidak lagi. Saya masih tetap menyukai lagu-lagu indah. Terakhir, saya terpesona akan pesan ketegaran dari lagu lamanya Dido, “White Flag” yang menawan :

I will go down with this ship
And I won't put my hands up and surrender
There will be no white flag above my door
I'm in love and always will be

Saya kini pun bisa kembali menyukai perempuan yang indah. Mencintainya. I'm in love and always will be. Walau demikian, saya tetap tidak terbiasa meminum anggur. Hari-hari belakangan ini muncul perbincangan asyik mengenai minuman lain yang tidak kalah berkelas disamping anggur. Tetapi bukan kopi. Selamat tinggal, Howard Schulz dan imperium Starbucknya. Aku kini lebih orientalis,dengan memilih teh.

Camellia sinensis, begitu nama latin untuk teh. Perbincangan tentang teh dan teh itu saya lakukan dengan dia yang tercinta, dengan teteh, begitu nama yang saya kenal saat kenalan pertama. Tak sangka ia begitu mendamba teh. Sehingga kalau seorang novelis dan dramawan Inggris Henry Fielding (1707-1754) berkata bahwa love and scandal are the best sweeteners of tea, maka cinta yang kita rajut memang terasa menjadi klop adanya. Teh kiranya bakal menjadi menu utama pemanis bagi cinta kita berdua.


Sementara itu penyair, kritikus dan penyusun kamus terkenal dari Ingggris, Samuel Johnson (1709-1784), menambahkan pula komentar elok tentang teh. Katanya, “with tea amuses the evening, with tea solaces the midnight, and with tea welcomes the morning.” Dengan teh menghibur di senja hari, dengan teh melipur duka nestapa di puncak malam, dengan teh mengucap salam untuk menjemput pagi.

Sementara penyair perempuan Amerika, Alice Walker (1944), dalam kumpulan buku puisinya yang terkenal, The Color Purple (1982), menyinggung teh dan orang Inggris. Katanya, “Tea to the English is really a picnic indoors.” Teh bagi orang Inggris merupakan aktivitas berwisata dalam ruangan. Saya setuju, mbak Alice. Saya pun tergoda untuk berfantasi telah mengerjakannya pula. Untuk pemuja teh yang tercinta. Pasti, dengan setting Inggris juga.

Bayangkan,suatu pagi musim semi di Bromley, pinggiran kota London yang di sana-sini masih menyisakan hutan, aku menunggui seorang perempuan memesona yang masih dipeluk mimpi-mimpinya. Aku memiliki nama panggilan sayang, Niniz, kepadanya.

Aku pernah mendapatkan cerita dari dirinya, bahwa ia pernah dalam mimpinya telah menikah dengan seorang pria misterius, berbaju kotak-kotak. Mimpi unik itu kemudian aku jadikan sebagai bahan ledekan, canda.

Saya katakan, “pria dalam mimpimu itu pasti orang Skotlandia. Bukankah mereka memiliki tradisi unik, memakai kilt, rok pria, yang bermotif kotak-kotak ? Nah, malam itu, dalam mimpimu, rok itu ia jadikan sebagai baju. Sementara bagian bawahnya ia tak memakai apa-apa. Pantas bila pria misterius itu segera menjauh, ketika kau berusaha mendekatinya.”

Niniz pula yang mengajarkan makna dari ritus minum teh orang Inggris kepada saya. “Orang Inggris,” katanya, “kalau sedang terjadi adu argumentasi dan macet, maka salah satu dari mereka akan meminta ijin untuk membuat teh. Itulah momen gencatan senjata.”

Dirinya, pagi itu, dalam fantasiku, masih saja belum terbangun. Dengan sabar, aku menyiapkan beberapa cangkir teh hangat. And with tea welcomes the morning.

Umpama Niniz yang lebih dulu terbangun, dirinya telah punya ikrar terhadapku : "When I opened my eyes I whispered “I Love You” as if you are next to me. Done this recently and I’ll do this when we marry. Goodbye to sorrow and loneliness, you are my hero."

Harap Anda catat : sang hero itu, rencana jangka panjangnya punya pekerjaan tetap tiap pagi -- ya menjadi tukang teh baginya. Menyeduh lalu membawa ke ranjang tempat tidurnya. Untuk memberikan salam selamat pagi bagi bangunnya sang bidadari.

Untuk mulusnya ritus spesial ini, saya telah belajar dari seorang aktris Lynn Fontanne yang pernah memberikan nasehat bagaimana menyajikan minuman teh yang sungguh-sungguh nikmat.

Tambahan info : aktris Hollywood yang istri bintang film Alfred Lunt selama 55 tahun ini, memang rada unik. Pernah ia berterus terang seperti dimuat di surat kabar The New York Times (24/4/1978), bahwa dirinya suka berdusta. “Saya berdusta kepada semua orang. Saya pandai berdusta, secara alamiah sebagai seorang aktris layaknya” tegasnya. Yang ia dustakan itu adalah umurnya. Bahkan kepada sang suami, Lynn Fontanne sampai tega dan tidak pernah mengaku umur dia yang sebenarnya.

Untuk "kebohongan" khas wanita yang satu ini, Lynn Fontanne, jelas tidak sendirian. Kita hormati saja hak istimewa, privilege. kaum perempuan yang satu ini. Bicara umur dan wanita, memang masalah yang peka. Seorang Ellen Kreidman, Ph.D., guru saya dalam hal keterampilan merayu wanita (“so pasti, saya adalah murid paling bodoh ”), menyatakan isu itu sebagai hot button. Ultra sensitif. Tetapi untuk seorang Niniz, aku telah mendapatkan akolade darinya sebagai Qualified !

Walau pun demikian, sebagai lelaki, ijinkanlah saya berbagi rahasia kecil kepada kaum pria lainnya. Kalau seseorang perempuan telah sudi mengaku umur dia yang sebenarnya, atau telah memberi Anda beberapa buah foto dirinya, itulah pertanda dirinya telah mengibarkan bendera putih. Sweet, sweet surrender. Dirinya telah menyerah. Kini saya memiliki belasan fotonya Niniz, dari pelbagai rekaman peristiwa. Akhir bulan ini ia mau ke Turki, aku sudah memesan foto-foto (“ia punya hobi fotografi”) jepretannya dari negara Kemal Attaturk ini pula.

Kembali ke teh. Inilah resep menyajikan teh nikmat menurut metode aktris Lynn Fontanne : hangatkan tekonya dulu, tuang teh dua sendok penuh ke dalam teko, jangan berupa teh celup, yang berisi air yang mendidih. Aduk. “Ketika Anda sajikan kepada saya, gantian saya yang akan mengaduknya lagi,” tuturnya.


Hati, sayap dan naga terbang. Teh yang ingin saya sajikan untuk menyapa selamat pagi bagi Niniz memang bukan sembarang teh. Kita kenal tiga varietas besar tanaman teh, yaitu yang berasal dari Cina, Assam (India) dan Kamboja. Teh yang ingin kukenalkan untuk Niniz adalah teh spesial dari Cina.

Niniz, sayang, teh ini berasal dari propinsi Fujian di Cina. Untuk sampai ke sana pemetik teh harus menaiki rakit-rakit bambu menelusuri ngarai Jiuqu Xi (Ngarai Berkelok Sembilan). Menembusi kabut. Sesudah itu harus mendaki bukit demi bukit, menaiki karang-karang pegunungan Wuyi yang legendaris untuk mencari Yancha atau teh karang yang langka. Yang kadang-kadang disebut sebagai Teh Yang Dipetik Oleh Monyet.

Kalau Anda sangsi atas kisah ini, bacalah bukunya Ron Rubin dan Stuart Avery Gold, Dragon Spirit : How to Self-Market Your Dreams. (2003). Sebagai orang yang memiliki kredo hidup dreams is my business, buku ini adalah termasuk yang inspiratif untuk saya baca.

Kata mereka berdua, ketika orang Jepang di dalam ritual resminya memerlukan waktu untuk penghayatan penuh yang ditampilkan dalam upacara mempersiapkan dan menyajikan teh pada tamu-tamu mereka, orang Cina secara sederhana menghabiskan waktu justru untuk teh. Mengetahui bahwa teh pada bagian terdalam dari setiap manusia terdapat rasa spiritual teh.

Dengan memegang semangkuk teh dan menghirup ketenangan alaminya, Anda dapat merasakan keheningan alam. Segera teh itu merasuki Anda dan Anda merasuki teh tersebut. “Dengan menyerahkan diri pada apa yang telah memasukimu, kau meraih suatu keadaan bahagia yang tidak terucapkan, menjadi satu dengan segala sesuatu, mendapatkan suatu penerangan yang memungkinkan untuk merasakan makna dasar kehidupan, yang tidak lain adalah napas paling dasar dari bumi ini sendiri.”

“Niniz, tahukah kau bahwa teh menciptakan Pikiran Teh ? “

“Pikiran Teh adalah puncak dari semua misteri. Tidak ada tangan yang dapat melukiskannya. Tidak ada suara yang dapat menjelaskannya. Ia adalah keheningan di dalam aktivitas dan aktivitas dalam keheningan – sumber untuk semua kemungkinan, tempat pertanyaan-pertanyaan bagus dan ide-ide cerdas sedang menunggu untuk dilahirkan.”

“Niniz, kau adalah pekerja kreatif, bahkan pendiri dan chairwoman sebuah lembaga karitas, charity kelas dunia. Hematku, kau sangat membutuhkan asupan teh Yancha ini. Dan lahirkanlah ide-ide cerdas untuk program lembaga karitasmu itu di masa depan nanti. Coba lihat kertas ini. Ada tulisan Cina. Ini artinya, camkan dalam hatimu, sayang : seekor naga yang tidak memberikan sayap pada hatinya tidak akan pernah terbang.”

Niniz, kau selalu memberi sayap pada hatimu. Hatimu pula yang membawa kau berani menempuh perjalanan, yang mungkin dapat disebut sebagai one way ticket : musim gugur 1998 di bulan Oktober, telah kau tuliskan, “kusaksikan spektakularnya Eropa. Antara London-Bosnia, merayap lewat Dover lanjut ke Belgium lalu Humberg, Austria, Croatia hingga kota Mostar, Bosnia. Suasana autumn inilah yang menggoreskan kenangan lama akan sebuah permulaan di mana kami menyaksikan sisa sisa perang baik reruntuhan serta yatim dan janda sekaligus trauma. yang tragis.”

Penamu meneruskan catatanmu : “Lalu di autumn lainnya aku berada di ujung timur Indonesia, di gugusan pulau seribu sana. Hatilah yang telah menerbangkanku kesana, dibarengi rasa penasaran dan determinasi dan rasa nekad yang membuatku sampai kesana. Tiba di sana saat konflik mereda, saat semua biduk telah kehabisan bekal, tenaga, spirit, saat hampir beranjak semua, kecuali 7 biduk-biduk raksasa tak akan hengkang karena misi dan agendanya baru saja memulai. Aku sungguh terhenyak – menyaksikan sebuah kerusakan total.”


Pertemuan Hati Dipandu Kerlipan Bintang. Aku kenal Niniz dipandu oleh momen dan media yang mudah membuat kita tidak mudah mempercayainya. Bagiku, suatu keajaiban. Kami bertemu melalui blog. Melalui Internet. Satu di Wonogiri. Satunya lagi di London. Hitung berapa ribu kilometer jaraknya.

Untuk menggambarkan nuansa kontak antara kami, simak SMS-nya Niniz yang sungguh graphic, mampu menghadirkan lanskap penuh makna pada benak pembaca antara lain yang berbunyi, "I read your lovely mail on the train to London City. You make me alive again. Agreed that we just begun. Thanks for loving me. You are so wonderful. I LOVE YOU."

Atau yang berbau promosi pariwisata, "Yank, aku lagi di Westminter, Big Ben. Wish you were here. Wonderful weather like our love."

Merujuk fenomena semacam ini, dan kalau selama ini kita mengenal istilah networking, membina koneksi atau jaringan, gara-gara Niniz saya kini ingin mengenalkan istilah baru. Semoga penyusun kamus Oxford bisa mengesahkannya. Istilah baru itu adalah netnizing, yang berarti menggalang kontak melalui Internet yang dipandu oleh cinta.

Kami berdua, setelah saling mencocokan isi buku harian, merasa yakin telah dipandu oleh getar-getar kosmik, pesan yang terpancar pada kerlipan bintang, yang mungkin sudah tergurat di sana ribuan tahun lalu, untuk mampu bersatu. Nora Ephron telah memvisualisasikan secara indah, dengan bintang Tom Hank dan Meg Ryan, dalam Sleepless in Seattle yang saya sukai pula. "The twinkle stars have told me your wish. I love you and I do," tulis Niniz padaku.

Simak saja pertanyaan dan gugatan Niniz kemudian ketika asmara mengamuk di hati kami : "My heart is singing with joy. Where were you all these times ? Mas kemana saja selama ini ? Kenapa baru sekarang kita jumpa ? I miss you."

Dirinya memang telah sekitar 20 tahun lebih tinggal di London sana. Tetapi hatinya, derai air matanya dan senyumnya menyertai anak-anak yatim, para janda, kaum dhuafa di Aceh, daerah konflik di Poso, Ambon, dan bahkan Bosnia.

Ia mengerahkan segala macam daya dan dana, di Inggris sana, lalu terjun untuk menyantuni mereka-mereka yang papa. Langsung di tengah-tengah mereka. Ia kini ibarat menjadi album berisi rekaman tragika dan selaksa kepedihan sebagian anak bangsa kita yang terlalu mudah untuk dilupakan.

Dirinya tidak melupakan mereka yang papa. Ia terus saja bekerja. Ia tak mau dikenal secara umum. Ia agak alergi terhadap publisitas media. Ia maunya hanya bekerja dan bekerja, katanya, agar kelak mampu mengantarnya ke emperan jannah.

Saya tidak tahu isyarat langit apa yang telah terjadi, karena kini saya bisa mengenalnya. Mengetahui impiannya. Mengetahui kegelisahannya. Adalah suatu perjudian besar ketika saya menyatakan diri bahwa saya menyukai dirinya. The stakes are high. The risks are enormous. Taruhannya besar. Resikonya besar.

Tetapi anehnya, ternyata ibaratnya ia mau saya ajak berjalan berdua ke bibir jurang. Lalu, bersama, let’s jump ! Keberanian memang memiliki power dan magisnya tersendiri, demikian kata Johann Wolfgang von Goethe (1749–1832), sehingga membuat kami tidak terantuk cadas atau bebatuan hitam di dasar jurang.

Kami berdua kini justru mampu terbang.

Bahkan baru jadian yang belum lama, sudah muncul kecenderungan yang mudah mengingatkan kata novelis Inggris, Jane Austen (1775–1817) : A lady’s imagination is very rapid; it jumps from admiration to love, from love to matrimony in a moment. Kami mengibarkan “We’ve Only Just Begun”-nya Carpenters sebagai lagu kebangsaan. "Agreed we just begun," tulisnya dalam SMS.


Begitulah akibatnya, hari-hari ini komunikasi kami selalu diwarnai istilah ILU atau IMU. Mungkin lema yang tidak termuat dalam kamus-kamus standar. Ritus penggunaan istilah itu sebenarnya juga sudah belasan tahun terbengkalai di padang dried loneliness, di hati saya.

Tetapi, oh, kini kami sering dan wajib memakainya. Di SMS, email, juga obrolan real time di pucuk malam dengan pesan bolak-balik yang melintasi benua. Memang benarlah, love will find a way. Tanggal 6 Mei 2006 lalu, ketika saya memberanikan diri untuk melamarnya, dari Wonogiri tempat tinggal saya kini, ia di London sana telah pula memberikan jawaban : I will. Ia pun kemudian bernyanyi dalam puisi :


Hujan

Cintamu ibarat derainya hujan yang menyiram bumi kerontang
mengguyur reranting mawar yang hampir mati kekeringan
Namun di kedalaman sang bumi masih tersisa akar yang terbenam
Lalu hujanmu merambah, menghujam ke dasar tanah paling dalam
menjadikan sang akar dan reranting yang kerontang menggeliat
Curah hujanmu adalah curah cinta, curah kasih sayang
Kini, pucuk dan kuntum senyum menyambut kehidupan.

Kalau mawarku kemarin buram, gruesome
kini ia bugar dan tegar
siap menata hidup
bersamamu.



Niniz
yang mencintaimu
Ash Row, 9 Mei 2006


Hari-hari baru bagi kami berdua memang baru saja dimulai. Tetapi mungkin kita telah pernah berjumpa ribuan tahun lalu.

“Aku membayangkan dirimu sebagai seorang gadis remaja yang cantik. Berbaju putih-putih. Di tengah padang hijau maha luas. Ia asyik bermain. Menganyam angan. Berbisik-bisik, berbicara kepada angin. Kapas-kapas putih yang terbang. Gelembung-gelembung sabun dengan warna-warna pelangi. Memandang dunia ini dengan kedamaian. Tranquality. Kesentosaan. Tanpa rasa kuatir, tabula rasa, lalu kau mengajakku untuk ikut bermain pula.

Kita berdua mengejar kupu-kupu. Sampai di batas hutan. Dalam rerimbunan yang sunyi, selain tetes air di kelopak daun talas yang kemilau bak air raksa, yang ada kemudian adalah debaran hati dan jantung kita. Kita saling menyukai. Kita saling mencintai.

Mungkin kita-kita ini sudah ditautkan oleh masa ribuan tahun silam. Masa sebanyak itu lalu digambarkan dalam barisan ribuan kupu-kupu raja, monarch, yang mungkin terusik kehadiran kita, lalu berhamburan.

Kita melepaskan pelukan dan kembali mengejar mereka, menangkapnya satu persatu, lalu mengagumi keindahan ukir dan pahatan warna di sayap-sayapnya. Itulah keindahan cinta kita berdua, sayangku. Kita membincangkannya sampai sore. Sampai tak terasa, merah senja di barat telah semburat tiba.

Ayo kita pulang, kekasihku. Mungkin kita kecapekan. Lalu melanjutkan journey kita tadi dalam mimpi-mimpi kita. Juga esok hari, yang masih panjang. Sampai jumpa, Ninizku.”



Wonogiri, 11 Mei 2006.



cty

Sunday, March 26, 2006

Menulis, Musik, Inspirasi dan Senandung Cresenthya

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Bandung adalah kota inspirasi. Paling tidak bagi saya, karena dari kota ini pula saya memperoleh api gairah awal dan pupuk untuk menyuburkan embrio cinta aktivitas menulis.

Anda jangan salah sangka dulu. Saya tidak pernah tinggal di kotanya tim sepakbola Maung Bandung ini. Juga tidak pernah jatuh cinta sekali pun sama mojang Priangan. Inspirasi Bandung itu saya rasakan ketika saya tinggal di Yogyakarta. Tahun 1970-an.

Setelah lulus dari SMP Negeri 1 di Wonogiri, saya tinggal di Yogyakarta. Bersama ayah saya. Bersekolah di STM Negeri 2, Jurusan Mesin Yogyakarta. Sementara di Bandung saat itu telah lama diterbitkan majalah musik, Aktuil, majalah garda depan di jamannya. Majalah itu pula yang memicu saya untuk menulis, dengan mengirimkan lelucon-lelucon pendek untuk majalah yang mangkal di bilangan Lengkong Kecil ini.

Apabila dimuat, saya memperoleh nomor bukti berupa satu eksemplar majalah. Juga tentu saja, wesel honorarium menulis lelucon itu. Boleh dipastikan, saat itu saya adalah satu-satunya siswa STM Negeri 2 yang bisa menulis untuk majalah.

Terlebih lagi karena saya menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, apalagi karena gurunya cantik Ibu Mujimah, dan juga menyukai pelajaran Bahasa Inggris yang diampu Pak Sukartolo yang rada nyentrik, oleh teman-teman yang lebih mengakrabi mesin bubut dan palu besi, saya mereka juluki sebagai siswa “STM Sastra.” Sebutan ini, ajaibnya, ternyata beberapa tahun kemudian membuahkan kenyataan. Karena saya bisa berkuliah di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Dalam majalah Aktuil itu, yang menarik, antara lain halaman yang memuat lirik lagu-lagu Barat. Saat itu saya menyukai lagu “For All We Know” dari Carpenters. Juga “Gipsy, Tramps and Thieves” dari duo Sonny and Cher. Saya menyukai Cher karena sensual, juga cantik sekali dengan potongan rambutnya yang poni. Seperti halnya Mariska “Venus” Veres dari Shocking Blue, Belanda, atau Henny Purwonegoro dari Indonesia.

Saya juga menyukai kelompok Uriah Heep dengan lagu “July Morning”, “Time To Live,” “Bird of Prey,” sampai “Salisbury.” Lagunya “Lady In Black” ("oh lady lend your hand, I cried / oh let me rest here at your side.") beberapa saat lalu masih saya gunakan sebagai ilustrasi untuk menyatakan kekaguman saya untuk seorang wanita mempesona yang bernama Erika.

Saat itu saya mempunyai teman sekelas asal Magelang, Bambang Tamtomo Adiguno. Ia menyukai kelompok The Bee Gees. Ia mampu bernyanyi seperti Robin Gibb. Teman lain yang juga bisa nyambung dalam ngobrol seputar musik adalah Muhammad Umar Hidayat yang tinggal di Demangan. Tinggal saya di Dagen, sisi barat Malioboro, dan sering bersepeda di waktu malam untuk main ke Demangan. Kami asyik mengobrolkan musik dan film hingga larut malam.

Wartawan majalah Aktuil yang paling terkenal saat itu adalah Denny Sabri (almarhum). Belakangan ia sebagai penemu bakat, termasuk yang mengorbitkan Nike Ardilla. Saat itu Denny Sabri tinggal di Jerman. Tulisannya yang paling mengesankan ketika ia melaporkan pertunjukan supergroup Deep Purple. Kelompoknya Ian Gillan dkk ini bahkan mampu dapat ia boyong untuk berpentas di Jakarta.

Dalam bayangan seorang murid STM saat itu, menjadi wartawan musik merupakan impian yang glamour dan mengundang kekaguman. Kekaguman itu beberapa tahun kemudian bahkan menjadi kenyataan. Di Solo, tahun 1970-an akhir, saya melakoni sebagai wartawan freelance yang menulis reportase pertunjukan musik dan kegiatan kesenian di Kota Bengawan.


Tegarlah Di Tengah Badai. Majalah Aktuil tersebut senyatanya telah memberi saya inspirasi bagi kehidupan saya di tahun-tahun mendatang. Untuk menyukai humor, aktivitas menulis, dan juga musik.

Untuk yang terakhir ini saya hanya sebagai apresiator saja. Saya sama sekali tidak punya bakat bermusik. Saking parahnya, ketika di SMP untuk mampu melagukan suatu notasi pun, maka di bawah jejeran angka-angka itu harus saya tuliskan dalam bentuk kata yang sesuai bunyinya.

Kegemaran terhadap lagu-lagu indah itulah pula yang mendorong setiap kali mengunjungi toko buku membuat saya tergoda menyempatkan diri untuk melongoki buku-buku yang menghimpun lirik-lirik lagu. Walau seingat saya, saya belum pernah sekali pun membelinya. Dengan rada sembunyi-sembunyi, saya mencatat beberapa lirik lagu yang saya sukai. Itu terjadi di toko-toko buku konvensional, di mana penjaganya mirip sipir penjara, berpandangan mata seperti elang yang waspada.

Tetapi di toko buku QB World of Books, Jalan Sunda, belakang Sarinah, Jakarta Pusat, Anda tak usah sembunyi-sembunyi. Ini toko buku bergaya kafe. Di sana terdapat sofa empuk, musik indah mengalun di latar belakang, dan atmosfir bebas bagi Anda untuk membaca-baca buku apa saja. Sepanjang hari pun, penjaga toko tidak akan menegur Anda.

Kalau ingin lebih nyaman, bawalah buku-buku yang ingin Anda baca ke kafe. Ditemani secangkir capuccino dan makanan kecil, dan silakan mengembarakan khayalan, mungkin seperti Anda sedang berduaan di Paris dengan panorama kafe jalanan sebagaimana digambarkan dalam lirik lagunya Oscar Hammerstein II (1895–1960), ”The Last Time I Saw Paris” (1940) : Her heart was warm and gay / I heard the laughter of her heart in ev'ry street café.

Di QB, September 2002 yang lalu, melalui buku The Lyric Book, aku sengaja ingin mencatat lirik lagunya Oscar Hammerstein II yang lebih terkenal, “You’ll Never Walk Alone” (1945). Kalau Anda penggemar sepakbola, saya yakin Anda akan segera tahu klub Inggris terkenal mana yang memakai lagu ini sebagai himne kebanggaan mereka. Liverpool FC !

When you walk through a storm
hold your head up high
And don’t be afraid of the dark
At the end of the storm is a golden sky
And the sweet silver song of lark

Lirik yang inspiratif bila kita sedang diterjang persoalan berat dalam kehidupan. Saya juga mencatat lirik “Bless The Beasts And Children” (Carpenters, 1971), “We’ve Only Just Begun” (Carpenters, 1970), “A Dream Is A Wish Your Heart Makes” (dari film Cinderella-nya Disney, 1948), “Misty” (Johnny Mathis, 1955), sampai “You’ve Got a Friend” (James Taylor, Carole King, 1973).

Juga “A Time For Us” (Andy Williams, 1968), yang menjadi lagu tema film Romeo & Juliet, adaptasi naskah dramanya Shakespeare, yang digarap oleh sutradara Franco Zeffireli (1968).


A Time For Us. Apa manfaat musik bagi aktivitas menulisku ? Tidak ada sesuatu hal yang boleh disebut sebagai spesial. Sebuah artikel tentang tips menulis kreatif antara lain menyebutkan aktivitas mendengarkan musik dapat menjadi sarana menuai inspirasi atau gagasan. Hal yang sama juga dapat dieptik dari buku. Saat nonton televisi. Atau film. Semua itu aku setujui. Ide menulis dapat dipetik dari sumber mana saja. Aktivitas paling favorit untuk diriku, untuk tujuan yang sama, adalah dengan melakukan olahraga jalan kaki pagi.

Bulan November 2005 yang lalu, cakrawala pemahaman saya mengenai manfaat musik, kiranya bertambah kaya. Sumbernya adalah teman yang ketemunya di jagat maya, Lasma Siregar, yang mengaku sebagai petani pemetik strawberry di hutan Vermont. Ini bukan nama negara bagian di ujung timur laut Amerika Serikat, tetapi Vermont yang konon berjarak 20 stasiun kereta api dari kota Melbourne, Australia.

Di antara setengah lusin buku yang ia kirimkan, Lasma Siregar menyelipkan sebuah buku mungil manis, bersampul ungu, dihiasi foto artistik seorang wanita tanpa busana. Tetapi sosoknya tidak menyemburkan pesona erotika yang banal. Dirinya tampil dalam pose salah satu posisi olah yoga, seolah mengambangkan tranquality, suasana keheningan. Judulnya, 5-Minute Therapies : Natural Remedies for Body, Mind & Spirit (1999). Ditulis oleh Denise Rowley. Manfaat musik dibahas dalam bab “Mind-Body Harmony”.

“Musik adalah darah kehidupan tradisi kita”, tulis Denise Rowley. Musik mampu mengangkat semangat jiwa kita, memesona, menyemaikan kesedihan dan memekarkan penghiburan. Musik terkait dengan emosi-emosi kita, memberikan ilham, meneguhkan kemanusiaan kita dan juga tempat kita di dunia ini. Musik membangkitkan kenangan dan harapan, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh kita pula.

Inilah nasehat Denise Rowley : nikmati dan hayati musik dalam pelbagai interaksi. Bernyanyilah seirama melodi yang mengalun. Gerakkan tubuh Anda seharmoni iramanya. Rubuhkan sikap malu-malu atau menahan diri pada diri Anda.

Integrasikan musik dalam kehidupan Anda sehari-hari. Apakah Anda sedang berada di mobil, ketika meresapi sejuknya semprotan air di bawah shower, ketika makan malam, saat-saat melamun, atau ketika mengisi formulir pembayaran pajak.

Atau seperti tutur William Shakespeare dalam Twelfth Night (1601), ”If music be the food of love, play on,” maka bayangkanlah betapa indah dan bergeloranya pengalaman yang terjadi apabila musik juga dirancang serasi untuk dihadirkan saat Anda sedang bercinta.


A time for us, someday there’ll be
when chains are torn by courage born
of a love that’s free

A time when dreams, so long denied
Can flourish, as we unveil the love
we now must hide

A time for us someday there’ll be
A new world, a world of shining hope
for you and me.


Saat itu, seorang Cresenthya menarikku untuk sama-sama menyenandungkan “A Time For Us” itu. Dirinya yang begitu muda, memendam gejolak ice and desire, membuatnya berani melakukan pengembaraan fantasi yang terjauh. Terbang untuk menjadi warga Verona, sekaligus membayangkan kami masing-masing sebagai reinkarnasi anggota keluarga Montague dan Capulet yang saling berperang dan bercinta.

Bagi saya, orkestrasi totalitas dirinya saat itu ibarat musik pula, sehingga menjadi momen eternal yang sering berkelebat untuk menjadi ide tulisan ini. Sebagai ilustrasi telah diawali dengan inspirasi melambung tentang kota Bandung, kemudian dirampungkan dengan iringan jeritan khasnya Dolores O’Riordan dari The Cranberries. Dalam lagunya : “Linger.”


Wonogiri, 8-27/3/2006

Monday, January 23, 2006

”Now she's walking through the clouds” : Mengenang Anez, Asma, Anjing dan Asmara

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



Now she's walking through the clouds
With a circus mind
That's running wild
Butterflies and zebras
And moonbeams and fairytales
All she ever thinks about is riding with the wind

(Jimi Hendrix, “Little Wing”)



ANJING YANG MEROKOK. Komedian Steve Allen mengidap sakit asma. Tetapi dirinya merasa tidak punya masalah dengan penyakit gangguan kronis pernafasan itu.

Ia bilang : “Asma bukanlah gangguan bagi saya, kecuali bila saya berdekatan dengan rokok dan anjing. Satu hal yang sangat dan paling mengganggu saya adalah bila anjing-anjing itu merokok pula”

Bagi Riaty, Cresenthya Hartati atau pun Widhiana Laneza, pastilah saya pantas mereka daulat sebagai “anjing yang merokok pula.” Alias sebagai oknum pengganggu yang berpotensi membahayakan kesehatan mereka.

Karena memang mereka memiliki kesamaan yang saya tidak tahu mengapa terjadi begitu saja. Ketiganya sama-sama mempunyai sakit asma. Dan saat itu, saya adalah seorang perokok berat pula.


Perokok dan pengidap penyakit asma, jelas tidak matching. Inilah kemudian ilustrasi dari interaksi yang terjadi : bersama Ria yang saat itu berkuliah di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, kami pernah melakukan date “aneh” kala mengunjungi pameran buku Ikapi di kompleks Jakarta Fair di sekitar Monas.

Problem pribadi pun segera muncul. Karena memiliki gangguan asma, Ria pasti sangat menderita apabila berdampingan dengan diriku yang juga tidak tahan untuk tidak merokok. Kompromi yang terjadi antara kita adalah : dalam mengelilingi stan-stan, mencari buku-buku kesukaan, kami kemudian memilih saling jalan sendiri-sendiri.

Jalan bareng macam apa pula ini ?


HI-TECH, HI-TOUCH. Acara date dengan skenario aneh itu, secara tak terduga, sebenarnya juga menyelesaikan masalah tambahan lainnya di antara kami. Aku dan Ria, selain untuk buku-buku humor, sebenarnya kami tidak memiliki selera terhadap subjek buku yang sama.

Ria yang beragama Islam, tetapi saat SMP dan SMA ia belajar di sekolah Katholik, menyukai (saat itu) buku-buku agama. Sementara saat itu, tahun 1986, aku menyukai buku-buku komputer.

Begitulah, setelah keliling-keliling pelbagai stan buku secara solo itu berakhir, kami lalu ketemuan lagi. Kami kemudian saling unjuk masing-masing buku yang dibeli, yang segera menampakkan betapa kontras selera kita. Ria dengan buku-buku agama dan saya dengan buku-buku komputer.

Kekontrasan itu memicu saya untuk mengeluarkan canda. Saya merujuk ucapan terkenal futuris John Naisbitt dan Patricia Aburdene dengan buku topnya, Megatrends. yang saat itu lagi berkibar-kibar di dunia.

Dalam buku itu mereka sebutkan bahwa di masa depan akan hadir fenomena hi-tech, hi-touch. Artinya, ketika seseorang semakin terlibat dalam pemanfaatan teknologi-teknologi tinggi maka dirinya akan tergerak pula untuk menjadi semakin relijius.

Canda serius saya : “betapa ramalan Naisbitt dan Aburdene itu bukankah bicara tentang kita, Ria ?” Canda itu saya sampaikan ke Ria dalam bentuk surat. Memang begitulah salah satu ujud ritual antara kami selama ini.

Walau sudah ketemuan, atau telpon-telponan, tetapi untuk hal-hal yang masih perlu diobrolkan, kita senang hati saling menambahkannya dalam bentuk surat-surat yang panjang. Karena Ria suka bilang, “surat-surat Mas Hari sering saya baca tidak hanya satu kali”.

Yang Ria mungkin tidak tahu bahwa dalam menulis surat itu saya harus melek separo malam. Juga menghabiskan rokok berbatang-batang pula.


ORTU TERLALU PROTEKTIF ? Ria sebenarnya belum banyak bercerita mengenai sakit asmanya. Ia juga tidak rewel tentang kebiasaan jelekku, merokok itu. Yang bisa saya kerjakan : saya tidak akan merokok ketika ketemuan sama dia.

Ria adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang pemimpin redaksi sebuah newsletter ekonomi yang terkenal. Kalau di rumah, saat dipanggil oleh ibunya dengan “Ria sayang”, terdengar Ria segera membalasnya : “Ya, mama, sayang”.

Bagi saya, yang berasal dari kultur kota kecil Wonogiri, sahut-sahutan dengan menonjolkan kata “sayang” seperti itu menurut saya rada berlebihan. Silakan mencap saya sebagai kampungan. Mungkin saya sedang mengalami benturan budaya, budaya urban vs. budaya desa.

Tetapi ekspresi kasih sayang yang bagiku rada-rada too much itu, mungkinkah merupakan wujud sikap orang tua yang terlalu protektif, terlalu melindungi anak-anaknya ? Dan ini hanya kabar burung, bukan info medis yang sahih, konon justru sikap orang tua yang terlalu melindungi tersebut merupakan pemicu utama timbulnya penyakit asma pada anak-anak mereka. Itukah pula yang terjadi pada diri Ria ?

Saya tidak tahu.

Dalam suatu kesempatan lain, Ria saya jemput di kampus dan kami bersepakat keluyuran ke Pasar Seni Ancol. Ia nampak menikmati jalan-jalan seperti itu. Ia bilang, sejak SMP ia belum pernah mengalami “kebebasan” seperti ini. Juga menambahkan, kalau saja ketahuan orang tuanya, pasti dirinya akan habis-habisan dimarahi.

Benarkah limpahan kasih sayang yang berlebihan justru menjadi penyebab timbulnya penyakit asma ? Diagnosa yang mungkin, sekali lagi, kampungan. Barangkali yang benar justru yang sebaliknya.

Karena anaknya menderita sakit asma, maka kondisi rawan tersebut memicu orang tua untuk memperlakukan anak-anaknya secara ekstra dalam memberikan perhatian, perlindungan dan kasih sayang. Pendekatan yang dapat kita maklumi.


MENGAKU SAKIT ASMA. Diagnosa yang sama mungkin berlaku atau tidak berlaku untuk seorang Cresenthya Hartati. Ia anak terkecil dari enam bersaudara.

Gadis artistik lulusan SMA Tarakanita 2 Pluit Jakarta ini, yang kadang rada-rada reckless, punya tulisan tangan yang indah serta dikaruniai kaki menawan ini, ketika berkuliah di Desain Produksi Universitas Trisakti mengaku memiliki kedekatan dengan mamanya.

Tetapi karena mamanya keburu meninggal dunia saat Hartati masih duduk di sekolah dasar, ia kurasa seperti merasakan sebuah “lubang besar”, kekurangan kasih sayang dalam masa-masa ia menginjak dewasa.

“Mas Hari, aku punya sakit asma”, akunya terus terang. Itulah sebagian ritual “buka-bukaan” yang masih saya ingat. Ketika kita bersepakat untuk jadian maka kita saling membuka diri tentang diri kita apa adanya.

Hartati melakukannya secara agak sistematis. Dengan membuka catatan-catatan riwayat pribadi yang ia tulis sendiri. Ia pun menambahkan, “untuk semua sedihku, hanya pernah aku ceritakan kepada kamu.”


Aku kini menjadi rada bingung. Dalam kasus Ria, limpahan kasih sayang yang berlebih diduga menjadi penyebab ia menderita asma. Sebaliknya pada kasus Hartati, yang mengalami defisit kasih sayang dari orang tuanya, toh dirinya terus terang mengaku mengidap sakit asma juga. Bagaimana pula ini ?

Baiklah, biarlah kebingungan itu biar aku simpan sendiri saja.

Di sisi lain dari pengakuan Hartati itu, bagi saya, malah terasa sebagai suatu ofensif. Serangan untuk pribadi. Apalagi kemudian, berbeda dengan Ria yang tidak rewel dengan kebiasaan merokok saya, Hartati justru berkali-kali menjadikan topik ini sebagai obrolan.

Misalnya dengan mengirimkan majalah atau guntingan artikel yang membahas mengenai bahaya merokok. “Aku pengin Mas Hari sehat-sehat, juga bisa berumur panjang”, katanya lembut.

Itulah ujud perhatian dia.
Ujud cinta dia.

Tetapi sebagai lelaki, seperti halnya suatu pemerintahan, saya merasa tidak ada yang salah dalam kebiasaan merokok saya. Dengan merokok saya merasa lebih kreatif. Itulah sikap keras kepala. Merasa benar sendiri. Tidak menghargai pendapat pasangan tercinta.

Mungkin situasi yang terjadi antara dia dan saya tersebut mencocoki sebuah tesis bahwa wanita selalu ingin melihat pasangannya berubah, sementara lelaki tidak ingin pasangan perempuannya berubah, tetapi pada akhirnya keduanya hanya akan menjadi kecewa.

Desperado
Why don't you come to your senses
Come down from your fences
Open the gate


Memang sangat sulit merubah keyakinan seseorang. Juga untuk kebiasaan merokok. Seperti lirik lagu “Desperado” dari Eagles (1973), yang juga dinyanyikan oleh kelompok musik favorit saya, Carpenters, perubahan itu hanya bisa dimulai dari “dalam” diri orang bersangkutan

Bajingan tengik,
dengarkan kata hatimu
keluarlah dari pagar yang mengurungmu
dan bukalah pintu gerbangmu


Bujukan Hartati itu akhirnya memang menjadi kenyataan. Saya mau membuka pintu gerbang perubahan dari dalam. Hal itu terjadi ketika suatu malam saya dipaksa berbaring sendirian di rumah sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur.

Saat itu saya merasa ada rasa perih-perih di dada saya. Mungkin istilah kedokterannya terkena angina pectoris. Istilah yang terdengar indah, tetapi menggambarkan kondisi defisit pasokan oksigen ke jantung yang bila berlanjut dapat mengancam jiwa.

Saat itu slang pemasok oksigen terpatok dalam lubang hidung saya. Saya tergeletak sendirian sambil cemas menyaksikan grafik berwarna kehijauan dengan latar belatang hitam itu menari, menggambarkan irama denyut jantung pada monitor peralatan eletrocardiograf. Itulah irama kehidupan atau kematian yang saat itu telah menantiku.

Pengalaman mendebarkan itu, lalu peringatan dokter agar saya berhenti merokok, mendorong saya rela berjuang untuk berhenti merokok. Dan berhasil. Tetapi semua itu justru terjadi ketika saya dengan Hartati sudah bubaran.


Kembali ke masalah asma. Bagi saya, ada satu hal penting yang belum pernah Hartati ceritakan kepada saya. Kalau dirinya mengidap sakit asma, mengapa ia memelihara anjing-anjing di rumahnya ? Lebih berbahaya mana antara asap rokok dibandingkan dengan partikel dari bulu-bulu anjingnya ?

Apakah Hartati mencampur adukkan antara alergi dengan asma ? Ia sebenarnya hanya alergi terhadap asap rokok, tetapi tidak dengan bulu-bulu anjingnya, lalu membesar-besarkannya sebagai berpenyakit asma ?

Buku Corinne T. Netzer’s Big Book of Miracle Cures (1999) menjelaskan bahwa alergi dan asma bukan penyakit yang sama. Walau pun demikian, terdapat kaitan erat, tidak hanya gejala dan pengobatannya, tetapi faktanya penderita asma seringkali menderita akibat alergi.

Asma, faktanya, merupakan salah satu ujud alergi (baik alergi terhadap makanan mau pun alergi terhadap zat-zat yang terdapat udara) yang muncul. Walau pun demikian, penting untuk diingat, tidak semua penderita asma itu memiliki alergi.

Perbedaan besar antara asma dan sebagian besar alergi terletak pada tingkat keparahannya. Sementara beberapa alergi (misalnya tersengat lebah) mungkin perlu dirujuk ke unit gawat darurat, tetapi sebagian besar alergi merupakan gangguan kesehatan yang hanya membuat tidak nyaman dan menjengkelkan. Sementara itu, asma merupakan gangguan kesehatan yang kronis dan dapat mengancam jiwa penderitanya.


Gejala umum alergi meliputi : hidung mengeluarkan ingus (cairan bening, kuning pekat atau kehijauan yang mengindikasikan gangguan flu atau infeksi sinus), sesek, bersin-bersin, hidung dan mata gatal, mata berair dan bergetah, kulit secara temporer berbisul, bengkak atau ruam.

Berbeda dari alergi, serangan asma tidak melibatkan organ hidung atau mata, walau pun batuk-batuk di pagi hari merupakan gejala yang umum.. Asma merupakan penyakit saluran udara dari paru-paru yang terkena radang dan iritasi. Ketika serangan terjadi, otot-otot pembuluh tenggorokan berkontraksi, menyempit, menimbulkan gejala utama asma, meliputi : mengi, nafas mencuit-cuit, megap-megap, kesulitan menarik dan menghembuskan nafas, sampai irama bernafas yang cepat dan pendek-pendek.


Pengakuan Hartati mengenai penyakit asmanya, bagi saya, kemudian merupakan teka-teki yang belum terpecahkan. Yang pasti, saya belum pernah satu kali pun mendapati dirinya saat terkena serangan alergi atau pun asma.

Pernah ia agak kolokan, katanya tiba-tiba merasakan melihat objek yang ia pandang menjadi dua. Mirip pandangan seseorang yang mabuk alkohol. Tetapi keluhan aneh Hartati itu tidak perlu berlanjut lama-lama.

Seseorang di dekatnya meminta ia memejamkan mata dan segera Hartati mampu melupakan gangguan penglihatan yang dobel semacam itu. Apalagi ia lalu tenggelam, atau terbang melayang saat merasakan bibirnya dilumat oleh pria yang mencintainya.


ANEZ, ANJING KESAYANGAN DAN ASMA. Pada penghujung Desember 2005, asma tiba-tiba kembali menjadi perhatian yang sangat mengagetkan saya. Pemicunya adalah ketika saya memperoleh kiriman e-mail dari Verdi Amaranto, 22 Desember 2005 yang lalu.

Mas Anto ini adalah kakak tertua dari Widhiana Laneza, atau Anez, wanita indah semampai, yang membuat saya jatuh cinta kepadanya di tahun 1981 sampai tahun 1987.

Anez berkuliah di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Anez memiliki beberapa ekor anjing kesayangan, baik yang ia beri nama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis), Pancho atau Cakil, Bobi sampai Minggo.

Sejak kecil Anez rupanya sudah suka terhadap anjing. Lihatlah, dalam foto di bawah ini yang dijepret di tahun 1969, di Hanoi, Vietnam Utara saat itu.

Image hosted by Photobucket.com

Widhiana Laneza (1969)


Pesona sosok Anez dan relasi uniknya dengan satwa-satwa kesayangannya itu telah memercikkan ilham bagi saya untuk menulis buku kumpulan lelucon satwa, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Image hosted by Photobucket.com

Buku Untuk Anez


Anez, anak ketiga dari empat bersaudara. Adiknya Liana Rasanti, meninggal dunia saat baru berumur setahun, 1965.

Anez memiliki sakit asma.

Dirinya menderita seperti halnya tokoh-tokoh dunia dari Peter Agung (Kaisar Rusia), Ludwig von Beethoven, Charles Dickens (pengarang), Marcel Proust (Novelis Perancis), Theodore Roosevelt (Presiden AS ke 26), John F. Kennedy (Presiden AS ke 42), Elizabeth Taylor (aktris), Martin Scorsese (sutradara film), sampai Dennis Rodman, pemain bola basket AS kontroversial yang nyaris sekujur badannya penuh “seni batik” tato itu.

Pertimbangan terkait sakit asmanya itu pula yang membuat Anez memilih bekerja di Bali, dibanding kota Jakarta yang tingkat polusinya begitu tinggi, yang pasti tidaklah ramah bagi penyakit asmanya itu.

Anez, kelahiran Brussels 28 April 1963, meninggal dunia di Jakarta dalam momen yang menggetarkan hati. Yaitu 3 hari setelah pernikahannya. Pada tanggal 20 Desember 2005 yang lalu.

Apakah Anez meninggal dunia akibat dari sakit asmanya juga ? Mas Anto belum secara eksplisit bercerita tentang hal itu. Aku pun, dengan ikut sedih, hanya bisa menduga-duga.


ANCAMAN ASMA DAN KITA. Awal bulan Desember 2005, menjelang liburan panjang Natal dan Tahun Baru, American Academy of Allergy, Asthma and Immunology (AAAAI) telah mengeluarkan peringatan, bahwa bagi para penderita asma dan alergi lainnya, musim liburan menyimpan ancaman potensial bagi mereka.

“Apakah Anda bersibuk-ria menyiapkan pohon Natal, menengok binatang peliharaan sanak-saudara, atau berpesta menyambut liburan, ancaman pemicu timbulnya alergi mengintai di setiap sudut.”

“Akibat ketatnya skedul dan perjalanan yang terus-menerus sepanjang musim liburan, banyak orang mudah terlupa untuk merawat kesehatannya secara tertib bila menyangkut ancaman alergi dan asma”, kata Wanda Phipatanakul, MD, MS, FAAAAI, wakil ketua Komite Indoor Allergen dari AAAAI.

“Senantiasa mengingat pemakaian obat dan menghindari pemicu yang potensial merupakan hal penting agar gejala penyakit asmanya dapat terkendalikan”


Ancaman serangan asma memang bukan hal yang dapat kita sepelekan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, menurut ISL Consulting Co., terdapat sekitar 31,3 juta penderita asma. Angka ini naik dari 26 juta di tahun 1997. Terdapat angka 12 juta serangan sakit asma dalam 12 bulan terakhir.

Sebanyak 9,2 juta penderita asma berumur di bawah 18 tahun. Sebanyak 4,2 juta anak muda menderita asma dalam 12 bulan terakhir. Kematian akibat asma tercatat 4.487 orang, turun dari angka 5.000 di tahun 1997 dan 4.657 di tahun 1999.

Asma merupakan penyakit kronis paling utama yang menyerang anak-anak. Untuk mereka yang berumur 5 sd 17 tahun, asma merupakan penyakit nomor satu yang mengakibatkan mereka mangkir sekolah akibat kekronisan penyakitnya.

Sebanyak 10 juta hari sekolah hilang akibat penyakit asma. Anak-anak penderita asma tergeletak di ranjang sekitar 7,3 juta hari tiap tahunnya.


KAMPANYE ASMA GLOBAL. Untuk mengkampanyekan kesadaran masyarakat luas mengenai asma dan langkah penanggulangannya, telah dicanangkan gerakan Inisiatif Global Penanggulangan Asma (Global Initiative For Asthma /GINA) yang antara lain mencanangkan Hari Asma Sedunia, yang jatuh hari Selasa pertama bulan Mei. Hari Asma Sedunia tahun 2006 jatuh hari Selasa, 2 Mei 2006.

Salah satu gagasan untuk mengkampanyekan kesadaran terhadap asma tersebut, antara lain dengan meluncurkan situs web di Internet yang berisikan edukasi dan petunjuk penanggulangan asma. Juga mengampanyekan lingkungan yang bersih dari asap rokok dan debu pencetus alergi lainnya.

Sebagai orang yang bersyukur bisa berhenti dari kebiasaan buruk merokok dan membanggakannya sebagai salah satu prestasi hebat dalam hidup saya, sejak tahun 1989, maka program-program GINA tersebut menantang saya untuk ikut berperan serta di dalamnya.


UNTUK MENGENANGMU, ANEZ. Mengilas balik hidup saya, ternyata wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta, diakui atau tidak diakui, termasuk yang dalam fase hidupnya pernah mengidap penyakit asma. Untuk mengenang kebaikan-kebaikan mereka, situs blog tentang asma ini saya luncurkan.

Amor tussisque non celantur.
Love and a cough cannot be hid.

Asmara dan batuk tidak dapat disembunyikan Pepatah latin itu pun saya modifikasi : asmara dan asma tidak dapat disembunyikan. Bahkan, lebih lanjut, bagi saya kemudian, asmara yang terantuk pun juga tidak perlu disembunyikan.

Kekasih boleh hilang atau pergi, tetapi cinta tetap bisa abadi. Meninggalnya seorang Mumtaz-i-Mahal telah mampu menggerakkan suaminya, Syah Jehan, membangun Taj Mahal di Agra. Kiranya tak kurang eloknya apabila saya tergerak membuat satu-dua blog untuk mengenang wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta.

Terutama untuk mengenang almarhumah wanita indah, penuh pesona, Widhiana Laneza, “yang kini telah berjalan menembus awan,” now she's walking through the clouds, blog tersebut saya beri judul untuk mengabadikan Anez, nama panggilannya yang indah :

Anez :
Asthmatics New Environment Zone

Blog ini dicita-citakan sebagai sarana untuk mempromosikan zona atau lingkungan baru yang ramah terhadap para penderita asma. Juga diniatkan menjadi salah satu mata rantai yang menghubungkan para penderita asma, keluarganya dan fihak-fihak yang menaruh simpati dan empati, dalam semangat saling asah-asih dan asuh untuk berbagi cerita, solusi, dan terutama saling meneguhkan satu dengan lainnya.

Semoga bermanfaat.

Wonogiri, 16 Januari 2006


PS : Saya bukan seorang dokter. Blog ini berisikan informasi-informasi yang bersifat non-medis. Untuk menanggulangi penyakit asma Anda, pastikan Anda tetap berkonsultasi dengan dokter yang berkompeten. Terima kasih.

Sunday, January 15, 2006

Carpenters, Umur Madonna dan Mengapa Waktu Cepat Sekali Berlalu : Refleksi Tahun Baru Seorang Blogger dan Epistoholik

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com


I know I’ve wasted too much time
I know I ask perfection of a quite imperfect world
And fool enough to think
that’s what I’ll find

(Carpenters, “I Need To Be In Love”)


PUTRI SOLO SI MACAN LAPAR. Kalau Anda mendengar ucapan Puteri Solo, sosok siapa yang segera tergambar di benak Anda ? Gusti Nurul ? Tien Soeharto ? Mooryati Sudibjo ? Poppy Dharsono ? Krisdinah Purnamaningsih ? (“Pasti !”, kata saya). Indri Hapsari ? Dyah Permatasari ? Iga Mawarni ? Tya AFI 2 ?

Terserah Anda.

Dalam kenangan bersama masyarakat Solo terlanjur dikenal luas lagu keroncong berjudul Putri Solo, yang merupakan ikon yang tidak tergerus jaman untuk menggambarkan sosok putri Solo. Salah satu baris liriknya berbunyi bahwa gaya berjalan putri Solo koyo macan luwe. Ibarat jalan seekor harimau yang sedang lapar. Pelan-pelan dan gemulai.

Gambaran ini sepertinya mencocoki hasil sebuah riset internasional yang mengungkap gaya hidup alon-alon, pelan-pelan, masyarakat Solo. Penelitinya adalah Robert Levine, profesor psikologi dari California State of University di Fresno dan kawan-kawan. Hasilnya ia tulis bersama Ellen Wolff, penulis bebas asal Los Angeles.

Lokasi riset mereka antara lain di Kantor Pos Solo, tempat saya dulu di tahun 1970-an untuk mencairkan wesel pembayaran honor menulis. Terkisah, ketika periset itu antri membeli perangko, pegawai posnya malah tertarik mengobrolkan mengenai sanak-saudaranya yang tinggal di Amerika Serikat.

Misalnya bertanya, apakah mereka mau bertemu dengan omnya yang tinggal di Cincinnati ? Manakah yang lebih baik, California atau Amerika Serikat ?

Lima pengantri di belakang periset bule itu nampak tidak protes atau mengeluh. Mereka justru ikut menguping pembicaraan yang terjadi. Pegawai kantorpos Solo itu tentu tidak tahu bila bule tersebut membawa stopwatch untuk mengukur seberapa lama waktu yang dibutuhkan pegawai pos untuk melayani pembelian sebuah perangko.

Mereka sebelumnya berkunjung ke kantorpos ini hari Jumat sore. Tentu saja, kantor sudah tutup. Aula kantor sudah disulap menjadi lapangan volley.

Artikel Levine dan Wolff yang dimuat di majalah Psychology Today, Maret 1985, dilengkapi ilustrasi foto pertandingan volley di aula kantorpos Solo tersebut. Tetapi yang mampu mengundang senyum getir, di pojok foto itu nampak sesosok kartun binatang kelinci, berpakaian model manusia.


Dalam fabel barat, kelinci adalah lambang ketergesaan. Di situ, di kota Solo itu, nampak sang kelinci lagi tertidur dengan pulasnya. Mendengkur. Sementara di halaman lain digambarkan dirinya terpontang-panting di jalanan Tokyo dan New York, walau nampak santai, enggar-enggar, ketika berjalan menyusuri jalanan kota Florence di Italia.


BINGUNG DI BRASIL. Gambaran beragam ulah kelinci tadi merupakan simbol pemaknaan atas waktu bagi tiap-tiap bangsa. Kajian yang terkait waktu itu memunculkan pertanyaan menarik.

Mengapa Brasil di Olimpiade Los Angeles 1984 hanya mampu meraih satu medali emas dari atletnya Isidro del Prado, sementara Amerika Serikat berpesta dengan memborong 30 medali emas dari ajang yang sama, yaitu kolam renang ? Padahal keduanya adalah sama-sama negara besar di benua Amerika. Untuk mencari jawab atas pertanyaan ini, diskusi memang dapat melebar ke banyak segi.

Robert Levine mengajukan tesis menggelitik menyangkut apa yang disebut sebagai waktu sosial, denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu. Secara matematis memang manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Levine yang orang Amerika, merasakan benturan budaya akibat beda pemaknaan waktu ketika mengajar di sebuah universitas di Brasil.


Hari pertama Levine di Brasil dijadwalkan mengajar jam 10. Ia datang jam 9.05, lalu berkeliling untuk mengenal kampus itu. Ia fikir dirinya baru berkeliling sekitar setengah jam, tetapi langsung panik ketika melihat jam di salah satu gedung kampus sudah menunjuk waktu 10.20.
Bergegas masuk ruang, ternyata tak ada satu pun mahasiswa. Ia tanya jam pada mahasiswa yang lewat, dijawab 9.55. Lainnya menjawab, tepat 9.43. Sebuah jam di gedung itu menunjuk waktu 3.15. Ia berpendapat, jam-jam penunjuk waktu yang ada tidak akurat, tetapi tidak ada orang yang hirau.

Ketika jam kuliah dimulai, banyak mahasiswanya yang telat masuk ruang. Beberapa baru masuk jam 10.30 dan mendekati jam 11. Semuanya nampak merasa tidak bersalah, tersenyum dan mengucap halo, dan mahasiswa lainnya pun tampak tak terganggu. Dalam risetnya, mahasiswa Brasil menyebut seseorang datang terlambat bila ia muncul rata-rata 33 menit melewati janji. Sementara mahasiswa AS menyebut 19 menit.

Setelah beberapa lama tinggal di Brasil, ia baru terbuka matanya bahwa budaya yang mempengaruhi pemaknaan waktu sosial itu. Terungkap pendapat di kalangan mahasiswa Brasil bahwa seseorang yang secara konsisten terlambat itu lebih sukses dibanding mereka yang konsisten datang lebih awal. Mereka menyetujui pendapat umum bahwa seseorang yang berstatus tinggi harus datang terlambat. Ketidaktepatan waktu merupakan simbol sukses. Melihat fenomena Brasil ini kita sebagai bangsa Indonesia seperti memperoleh cermin !


INDONESIA DI POSISI BUNCIT ! Lebih menarik, kita dapat melihat lebih detil profil tertinggalnya bangsa Indonesia ketika Levine bersama kolega sekampusnya, Kathy Bartlett, melakukan riset untuk memperkaya pemahaman tentang konsep waktu sosial pelbagai bangsa.
Mereka melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup di kota besar dan kota menengah di pelbagai belahan dunia.

Di antaranya Amerika Serikat (New York dan Rochester), Inggris (London dan Bristol), Jepang (Tokyo dan Sendai), Taiwan (Taipei dan Tainan), Italia (Roma dan Florence) dan Indonesia (Jakarta dan Solo).

Riset yang mereka lakukan mengkaji tiga indikasi dasar : akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki dan kecepatan pegawai kantorpos melayani pembelian perangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Alat penunjuk waktu di setiap 15 kantor bank yang dicek dengan waktu kantor telepon setempat, hanya berselisih kurang atau lebih setengah menit. Di Indonesia, yang menempati peringkat paling buncit dari keenam negara itu, selisih beda waktunya lebih dari tiga menit. Urutannya : Jepang, Amerika Serikat, Taiwan, Inggris, Itali, dan Indonesia.

Kecepatan seseorang sendirian berjalan kaki menempuh jarak 100 kaki, kembali yang tercepat diraih oleh orang Jepang. Rata-rata waktu tempuhnya hanya 20.7 detik. Orang Inggris menempuhnya 21,6 detik, Amerika 22,5 detik, dan orang Indonesia berstatus paling alon-alon, lamban, dengan waktu tempuh 27,2 detik. Urutannya : Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Taiwan dan Indonesia.


Hasil riset Robert Levine ketika mengukur efisiensi petugas pos melayani pembelian perangko, yang ilustrasinya seperti dikisahkan di depan, ternyata prestasi pegawai pos Indonesia berada di peringkat 5. Sebab yang paling buncit diduduki pegawai pos Italia. Waktu layanan di Jepang 25 detik dan Italia memakan waktu 47 detik. Urutannya : Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Taiwan, Indonesia, dan terakhir Italia.


KORUPSI BESAR-BESARAN DI INDONESIA. Gambaran profil waktu sosial bangsa Indonesia dalam riset Levine di atas, sedikit banyak, memberikan gambaran mengenai posisi bangsa dan negara ini dalam berpacu dengan bangsa lain di kancah internasional.

Bahasan ini pernah saya tulis di harian Kompas edisi Jawa Tengah (16/9/2004) dengan mengajukan ilustrasi betapa di bidang olahraga misalnya, seperti Brasil, atlet perenang atau lari Indonesia bahkan belum pernah tercatat punya prestasi puncak di kancah seakbar Olimpiade.

Sementara di bidang kehidupan sosial, guru besar emeritus IPB, Sjamsoe’oed Sadjad (Kompas, 17/7/2004), menandai bahwa budaya korupsi waktu kronis melanda para pegawai negeri sipil kita.

Ia pun berhitung : bila 3,5 juta PNS melakukan korupsi waktu hanya satu jam setiap hari, maka 3,5 juta jam sehari rakyat kehilangan kesempatan untuk dilayani. Hitungannya, untuk pegawai negeri bergaji Rp. 8.400.000/tahun, maka akibat korupsi waktu satu jam itu negara dirugikan sebesar Rp. 16 miliar tiap hari.

Belum lagi korupsi satu jam di sore hari. Juga belum lagi kalau gajinya lebih besar dari Rp.700.000/bulan. Bayangkan bila gajinya Rp. 150 juta seperti gaji Dirut Pertamina. Hitung saja, bila datang ke kantor jam 10.00. Seperti di Brasil, di Indonesia juga berlaku tradisi bahwa semakin tinggi pangkatnya maka pejabat Indonesia boleh dan berhak selalu datang terlambat. Belum para dosen di perguruan tinggi yang datang ke kampus hanya kalau memberi kuliah.

Anehnya, kata Prof. Sadjad, rakyat tidak merasa dirugikan. Rakyat tidak sadar uangnya “digerogoti”. Apa karena negeri ini gemah ripah loh jinawi, subur dan makmur, sehingga kehilangan Rp. 16 miliar per hari masih bisa tertawa-tawa ?


GADIS CANTIK DAN KOMPOR PANAS. Pertanyaan di atas tentu saja tidak membuat saya tertawa-tawa. Mikir-mikir mengenai diri sendiri, terlebih setiap kali mendekati akhir tahun, perasaan yang muncul dan mengusik adalah rasa sedih. Menyesali betapa cepatnya waktu terbang. Hilang. Lenyap. Dan pasti tidak pula kembali lagi.

Mengapa waktu begitu cepat berlalu ? Tahun 2006 ini saya akan memasuki umur 53 tahun. Berstatus bujangan. Tidak punya pekerjaan tetap. Kalau PNS, dua tahun lagi akan pensiun. Mengidap blogpistoholik, hipokondriak dan kesepian. Memendam banyak harapan dan bercocok tanam beragam impian.


Why time flies, so soon ?
Why time flies, so soon ?


Mengapa waktu begitu cepat berlalu ? Itulah juga pertanyaan Madonna dalam lagu berirama dansa, “Hung Up” dari album terbarunya, Confessions on a Dance Floor (2005).


Josh Tyrangiel menulis resensinya di majalah Time yang dikutip situs PopWatch, berkata : “Dalam musik dansa, kata yang hadir tampil diulang-ulang, dibengkok-bengkokan, disembunyikan atau ditonjolkan. Bagaimana suaranya muncul dalam momen tertentu jauh lebih penting dibanding makna yang diusungnya, dan Madonna paling piawai dalam kiprah yang satu ini”

Dasar Madonna, kontroversi selalu membuntutinya.

Lagu yang digarap bersama dua mantan pentolan ABBA (Benny Andersson dan Björn Ulvaeus), juga Stuart Price itu, mendapat komentar :

“Madonna merupakan penampil yang baik, tetapi bukan penyanyi yang baik. Suaranya terlalu lembek, ia tak mampu mencapai nada-nada tinggi dan juga tak mampu bernyanyi pada nada rendah. Pernah dengar peserta kontes American Idol menyanyikan lagunya Madonna ? Tak pernah, karena menyanyikan lagunya Madonna sulit sebagai bukti dirinya memiliki keterampilan menyanyi. Karena memang tidak memerlukan suara bagus untuk menyanyikan lagu-lagu Madonna”

Komentar lain lebih ketus : “Kasihan Madonna, masa kejayaan dia sudah lewat dan segala upayanya untuk tampil agar kelihatan awet muda pasti tidak dan tidak akan pernah berhasil”.


Pendukung Madonna sewot jadinya. Ganti unjuk bicara. “Madonna adalah sang ratu, dan semua pembenci yang memasalahkan umurnya hanya justru menunjukkan dirinya yang sebenarnya lebih menyedihkan. Tak peduli umur mereka, Madonna tampil lebih baik dibanding umur para pembencinya itu, pada umur berapa pun !”

“Saya tidak faham mengapa orang menggunjingkan umur Madonna. Ia baru 47, bukan 80 tahun. Mengapa orang memiliki kerangka berpikir bahwa bila Anda sudah melewati usia 40... maka Anda harus segera MATI ?

Lihat saja faktanya. Madonna di umur 47 tahun nampak lebih kece dibanding gadis Amerika usia 19 tahun pada umumnya (yang dijejali makanan McDonalds)... Madonna nampak luar biasa dan kiranya sanggup menjalani latihan marathon bertahun-tahun dalam menari dan fitness yang ketat.

Komentar mengenai umur adalah komentar yang bodoh....Cher hampir berusia 60 tahun, masih bugar dan aktif. Sementara Tina Turner melakukan hal yang sama ketika hampir menginjak umur 70 tahun !”


Why time flies, so soon ?
Why time flies, so soon ?


Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu, Madonna. Kepada St. Agustine pun ketika ditanyakan kepadanya apa definisi waktu, ia menjawab : “Bila tidak ada orang yang bertanya kepadaku, aku tahu ; tetapi bila diminta untuk menjelaskan kepada yang menanyakannya, saya tidak tahu”

Fisikawan Isaac Newton sampai Stephen Hawking juga telah mengupas masalah waktu. Tetapi waktu bagi mereka diukur dengan ayunan pendulum, atom-atom yang bervibrasi, dan bukan pengalaman waktu secara psikologis yang tidak terpatok dengan ukuran detik jam atau kalender. Muncul nama Albert Einstein (1879–1955), maha fisikawan kelahiran Ulm, Jerman.


Agak lucu bagi saya, ternyata penemu Teori Relativitas itu punya fans berat di kota kecil saya, Wonogiri. Penemuan itu pula yang kembali mengusik saya untuk menulis esai ini. Gara-garanya saya menemui sebuah mobil sedan hitam, nomor polisi Wonogiri, di mana pada kap depannya tergambar foto Einstein dengan rambut awut-awutan yang seksi itu.


Di dekatnya tertulis kalimat : ”When you sit with a pretty girl for an hour it seems like a minute, but when you are on a hot stove, a minute seems like an hour. That’s relativity.”
Ketika Anda duduk berduaan dengan gadis cantik, waktu sejam akan terasa semenit, tetapi bila Anda duduk di atas kompor panas maka semenit akan terasa sejam lamanya. Itulah relativitas.

Einstein rupanya sadar adanya perbedaan antara waktu fisik dengan waktu psikologis di balik ucapannya yang terkenal itu. Berandai-andai saja : apa yang akan terjadi dan rasakan bila kita berdua bersama gadis cantik, tetapi bersama-sama duduk di atas kompor yang membara ?


TERGANTUNG PERSPEKTIF ! Mungkin Einstein bakal menemukan teori yang lain lagi. Tetapi, jujur saja, saya bukan orang yang pandai mengatur waktu. Bahkan cenderung menghambur-hamburkannya. Ketika berkuliah di Solo, saya mendapat julukan sebagai mahasiswa komper. Terbelakang, laggard, pencorot, karena lulusnya paling belakangan.


Saya tidak terbiasa punya atau memakai jam tangan. Sekitar tahun 1997 pernah oleh teman sekos di Jakarta, Yoyok Subagyo, aku diberi jam tangan yang ada logo Citibank, kantornya bekerja. Saya juga tidak menyukai planner, tetapi menyukai diary yang polos saja. Sebagai pencinta buku, saya pun tidak begitu suka membaca-baca buku bertopik manajemen waktu. Pernah memiliki fotokopinya, tetapi tetap saja saya malas membacanya.


Tetapi di Perpustakaan LIA Jakarta, 14 Mei 1992, saya menemukan artikel menarik tentang waktu dari majalah McCall’s (10/1991). Judulnya, “Why time flies and how to slow down”, ditulis oleh Bruce Schechter, penulis sains bergelar Ph.D Fisika yang tinggal di New York. Setiap pergantian tahun saya pengin banget menceritakan tulisan tersebut, juga artikel Robert Levine dan Ellen Wolff di atas.


Tulis Bruce Schechter, waktu psikologis itu dapat melesat terbang atau merangkak lamban, ternyata tergantung bagaimana kita mengisinya. Semenit menunggu lift terasa lebih lama dari sepuluh menit saat coffee break. Tetapi kalangan psikolog mencacat bahwa satuan waktu yang lebih besar, bulan atau tahun, terasa melesat lebih cepat ketika umur seseorang bertambah.

James Walker, psikolog di Winnipeg, Manitoba, yang mempelajari masalah akselerasi waktu dan dikutip Schechter berkata : “Saat ini umur saya pertengahan 40-an, dan waktu seminggu kini bagi saya tak ada apa-apanya dibanding di tahun 70-an”. Lebih menarik ucapan Robert Southey, penyair dari Inggris : “Dua puluh tahun pertama adalah masa separo terpanjang dalam hidup Anda...waktu itu terasa panjang untuk berlalu ; juga begitu awet ketika dikenang ; dan waktu tersebut mengambil ruang lebih banyak dalam kenangan kita dibanding tahun-tahun sesudahnya”


Ilmuwan menyebut hal ini sebagai fenomena “akselerasi waktu subyektif yang terkait dengan penuaan.” Salah satu teori pendukungnya berupa matematika sederhana : satu tahun bagi anak berumur 5 tahun adalah 20 persen dari hidupnya, dan bagi mereka berussia 50 tahun hanya 2 persen saja. Jadi, setahun itu lebih lama bagi anak-anak dibanding bagi orang dewasa.

Tentu, ada faktor lain yang merubah persepsi kita tentang waktu. Charles E. Joubert, psikolog Universitas North Alabama, yang juga mengkaji akselerasi waktu mencatat bahwa semakin waktu itu terstruktur, berisi skedul dan janji, semakin cepat pula waktu itu melintas.


Sebagai contoh : seharian di kantor itu tak ada apa-apanya dibanding seharian bersantai di pantai wisata. Oleh karena sebagian besar kita lebih sedikit menghabiskan waktu di pantai, tetapi lebih banyak di kantor seiring meningkatnya umur, maka peningkatan waktu yang terstruktur itu pantas dituding sebagai biang kerok mengapa waktu terasa semakin cepat terbang seiring bertambahnya umur kita.


Akselerasi atau bergegasnya waktu, mungkin juga diakibatkan oleh fenomena fisiologis. Di tahun 1932, istri Hudson Hoagland, seorang ahli ilmu faal, terserang flu. Ketika suhu tubuhnya mencapai 104 derajat Fahrenheit, Hoagland segera bergegas menuju apotik untuk membeli obat. Perjalanannya hanya selama 20 menit, tetapi istrinya justru marah-marah, mengatakan lebih lama. Kalau suami lain pasti masalah ini mampu memicu saling tarik urat, Hoagland justru menaruh perhatian secara serius terhadap keluhan istrinya.

Hoagland pernah membaca bukunya psikolog Perancis, Henri Pieron, bahwa kecepatan proses psikologis seseorang itu dipengaruhi oleh suhu, demikian pula persepsinya tentang waktu. Karena semakin meningginya suhu akan pula meningkatkan reaksi kimia lebih cepat, hingga Pieron menyimpulkan bahwa waktu pun akan terasa lewat lebih cepat dibanding yang senyatanya.


Hoagland lalu melakukan tes untuk teori di atas, dengan meminta istrinya menghitung angka sampai 60 dengan keras-keras. Ia memperkirakan satu hitungan memakan waktu satu detik. Ia mengukurnya dengan stopwatch. Yang terjadi, istrinya menghitung paling cepat ketika demamnya meninggi, yang menjelaskan mengapa istrinya tersebut merasakan waktu senyatanya berjalan begitu lamban.

Apakah fenomena serupa juga berlaku bagi kita yang sehat ? Pada tahun 1950-an ahli biologi Semour Key menemukan bahwa otak menerima pasokan darah yang kurang dan mengonsumsi oksigen yang lebih sedikit ketika kita semakin menua. Ia pun menduga, fenomena ini akan memperlambat tingkat metabolisme otak. Apabila tingkat metabolisme berlangsung cepat membuat waktu nyata terasa lamban, sebagaimana hasil temuan Hoagland, maka tingkat metabolisme yang rendah membuat waktu terasa cepat berlalu.


MEMPERLAMBAT DETAK JARUM JAM. Orang-orang yang terdesak akselerasi waktu yang membingungkan itu mencoba mencari pelbagai solusi. Bahkan dengan cara yang tidak lajim. Dunbar, pilot pengebom dalam novel Catch-22 dari Joseph Heller, benar-benar mengharapkan waktu berjalan pelahan.

Walau ia berusia muda, ia memandang dirinya tua, karena ia dapat saja terbunuh dalam misi penerbangan yang akan datang. Untuk memperlambat waktu hidupnya yang melesat cepat, ia melakukan aktivitas yang membuat dirinya bosan : “Dunbar suka melakukan olahraga tembak sasaran terbang karena membenci menit-menit yang berlalu dan kemudian waktu pun berjalan dengan lamban pula”


Solusi Dunbar itu tentu tak lajim bagi kita orang-orang biasa. Metode yang kurang radikal pun bisa dicoba. Geoffrey Godbey, profesor kajian waktu luang dari Pennsylvania State University dan pengarang buku The Future of Leisure Services, menegaskan bahwa “hal itu bukan masalah yang dapat dipecahkan, karena kita bersifat fana. Tetapi bisa diminimalisasikan, dalam artian bahwa Anda dapat mengalahkan waktu dengan tidak menyadarinya”


Kondisi di mana kesadaran kita terhadap waktu begitu minimal seringkali disebut sebagai flow, mengalir, yang merupakan fokus baru dalam kajian psikologi. Godbey mendefinisikan flow sebagai “situasi di mana seseorang memfokuskan diri konsentrasinya dan secara total memberikan dirinya untuk terbenam dalam aktivitas, seringkali aktivitas yang terorganisasikan dan memberikan umpan balik, di mana keterampilan yang dibutuhkan dan tantangan yang terlibat sangat sepadan satu dengan lainnya”

Bukan sebuah kejutan apabila aktivitas tersebut adalah segala hal yang dilakukan banyak orang dengan sepenuh cinta, apakah itu aktivitas mendaki gunung, membaca novel misteri, menari, melukis atau membacakan cerita untuk anak-anak. Psikolog Universitas Chicago Mihaly Csikszentmihalyi mengkaji masalah flow tersebut dan menuangkannya dalam buku larisnya, Flow : The Psychology of Optimal Experience.

“Salah satu deskripsi umum mengenai pengalaman yang optimal” katanya, “ialah ketika waktu tidak lagi melesat seperti yang lajimnya”. Senyatanya memang demikian, walau sebagian besar waktu tersebut justru terasa melesat lebih cepat. Tetapi hal inti yang paling penting adalah bila seseorang mengalami pengalaman flow, mengalir, dirinya sedang merayakan pengalaman “terbebas dari tirani waktu”


WAKTU MENGGUMPAL IBARAT TASBIH. Ekspektasi dan keakraban juga membuat waktu terasa lebih cepat melesat. Hampir semua orang merasakan pengalaman ketika berkendara menuju tempat yang terasa asing. Dikepung dengan pemandangan yang belum dikenal, dengan tanpa bayangan kapan akan sampai di tujuan, perjalanan terasa begitu lama.


Tetapi ketika kembali, walau jarak kilometernya tetaplah sama, nampak waktu tempuh terasa lebih pendek rasanya. Hal-hal baru dalam perjalanan kemudian seakan-akan menjadi rutin. Apalagi kemudian rata-rata orang cenderung menjadi nyaman dengan rutinitas, ibarat bertabiat model babi hutan atau celeng yang ketika pergi atau pulang selalu melewati rute yang sama, bertahun-tahun, waktu pun akhirnya terasa seperti cepat berlalu.

Sehingga apabila kita setiap kali berinisiatif mengambil rute perjalanan yang berbeda, hal tersebut membuat kita seperti mampu memperlambat waktu.


Pengalaman pribadi : sebagai penduduk kota kecil Wonogiri, setiap kali melakukan olah raga jalan kaki pagi, saya mencoba menempuh rute yang beragam. Kadang jalan kaki ke arah timur kota, melewati jembatan, yang mengarah ke Ponorogo. Atau ke utara, menuju arah ke kota Solo dan kembalinya menyusuri hutan di tepian gunung. Atau ke selatan, menyusuri jalan yang dipayungi rimbunan bambu, di pinggir sungai Bengawan Solo. Rute ke selatan ini menuju Perancis. Maksud saya, Pracimantoro. Rute ke arah barat, tidak pernah. Tidak ada jalannya. Rute berat, karena mendaki gunung.


Variasi serupa juga saya lakukan, misalnya, ketika mendengarkan musik di pagi hari. Kadang ketemu Mozart sampai Linkin’ Park. Andrea Bocelli sampai Eros Ramazzoti. The Corrs, Spice Girls, atau Jon Bon Jovi. Demikian juga ketika membaca-baca buku.


Untuk buku, saya punya kebiasaan baca yang “jelek” : sekali memutuskan membaca, ada 5-6 buku baru yang tersedia. Membacanya pun berlompatan.

Suatu saat saya menikmati The Agenda : What Every Business Must Do To Dominate the Decade (2001) dari Michael Hammer, simultan dengan 5-Minute Therapies : Natural Remedies for Body, Mind & Spirit (1999) dari Denise Rowley, Be your own Brand (2002) karya David McNally dan Karl D. Speak, Born To Be Rich (2003) dari Promod Batra (“buku kloning yang jauh dari sempurna dari buku-bukunya Robert T. Kiyosaki”), Dragon Spirit : Bagaimana Memasarkan Sendiri Mimpi Anda (2003) dari Ron Rubin dan Stuart Avery Gold, sampai The Little Pot of Gold : 100 Keys To Success and Wealth (2003) dari Peter Spann.


“Jurang-jurang” yang menganga antara isi buku satu dengan buku lainnya biarlah dijembatani sendiri secara ajaib oleh otak atau imajinasi ketika saya tidur dan bermimpi.


Sekadar cerita : kisah tentang tokoh mitos Yunani, Prometheus, yang mencuri api dari dewa dari buku mengenai teknologi nuklir dan adegan adu balap melawan banteng gila di Pamplona dari novel The Sands of Time-nya Sidney Sheldon, ketika saya aplikasikan dalam esai mengenai revolusi suporter sepakbola, telah memenangkan The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan oleh Honda di Indonesia. Saya akan mempelajari buku-buku itu lagi ketika perlu untuk menuliskannya.


Tanpa variasi-variasi semacam itu maka sungguh menjengkelkan, membosankan, ketika malam tiba, ketika tuntutan harus menulis buku harian menodong saya, tetapi hanya menemukan betapa hal-hal yang ditulis hampir tidak berbeda antara hari satu dengan hari lainnya.

Tatkala hari-hari yang berlalu saling identik, ibarat bulir-bulir tasbih yang bergerombol dalam satu rangkaian, berkelompok bersama, maka waktu sebulan pun hanya nampak seperti satu hari belaka. Tidak aneh bila waktu kemudian nampak seperti cepat sekali berlari.


Untuk menangkis penggerombolan hari, maka buatlah setiap hari hidup kita seunik sidik jari. Sebagaimana dikatakan oleh Joubert bahwa struktur cenderung membuat waktu cepat berlalu. Oleh karena itu, carilah cara cerdik untuk menginterupsi struktur hari-hari Anda, untuk menghentikan laju terbangnya, ibarat kita melakukan rehat kopi di tengah jam-jam kerja kita.


Bruce Schechter memberi contoh seseorang wanita yang punya pekerjaan sibuk, tetapi saat makan siang ia memutuskan untuk menjelajah kota tempat ia berkarier itu. Ia mengunjungi kebun binatang, yang merupakan kunjungannya yang pertama. Piknik kecil-kecilan tersebut, sekadar lepas dari tuntutan kerja kantornya, telah memberikan waktu rehat yang pantas untuk dikenang, yang bila tidak maka hari-hari-hari kerjanya hanya merupakan segumpal blok yang identik satu sama lainnya.


JANGAN TAKUT JADI PEMULA. Mempelajari sesuatu hal yang baru merupakan cara ampuh lain untuk memperlambat gerak terbangnya waktu. Salah satu alasan mengapa hari-hari ketika kita masih muda terasa penuh dan panjang, karena hari-hari tersebut dipenuhi dengan masa kegairahan untuk belajar dan menemukan.

Learning and discovery.


Bagi kebanyakan kita, masa-masa belajar itu memang terkadang selesai begitu kita meninggalkan bangku sekolah atau kuliah. Tetapi bagi seorang Ronald Graham, matematikawan terkenal dari AT&T Bell Laboratories, punya kiat jitu untuk mengerem waktu : “Jangan takut menjadi pemula”.

Graham pun selalu gigih berburu keterampilan baru untuk ia kuasai.
Dalam masa waktu 40 tahun terakhir Ronald Graham mampu menguasai bahasa Cina, main piano, juggling, akrobat, menulis lusinan makalah ilmiah, dan berwisata sampai ke pojok-pojok dunia.


Mengilas balik hidup saya : ketika saya terlambat menyelesaikan kuliah di Solo atau di Jakarta dibanding teman-teman yang lain, rasanya kini saya merasa tidaklah rugi-rugi amat. Karena saya pada saat yang sama, sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan Teknik Jurusan Mesin, dikaruniai peluang untuk “bertualang” guna menjelajahi pengalaman dan menyerap ilmu-ilmu baru yang beragam yang tidak ada di bangku kuliah.


Menulis puisi, cerita pendek, esai dan drama, main teater, berorganisasi dalam kesenian, menjadi guru melukis anak-anak, belajar pers kampus, menjadi komunikator, pembawa acara, promotor seni, menikmati lukisan, menjadi wartawan budaya, belajar film, praktek bahasa Inggris dari bule-bule menawan seperti Tory, Helen sampai Marlene, dan tentu saja menulis surat-surat pembaca. Petualangan serupa, rasanya sampai kini juga masih belum membuat saya jera melakukannya.


Bruce Schechter memperluas cakarawala kita ketika ia mengatakan bahwa mengerem laju jarum jam tidak hanya berlaku untuk masa kini, tetapi juga ketika meninjau masa lalu. Menulis buku harian atau menulis otobiografi merupakan cara bagus untuk menyortir kekaburan masa-masa lalu, sehingga masa lalu tidak lagi hanya berupa satu gumpal campur aduk segala hal tanpa makna. Masa-masa lalu tersebut dapat diurai untuk membentuk pola tertentu yang membahagiakan, membanggakan, baik susunan yang terdiri dari kejadian atau pun prestasi-prestasi tertentu.


“Mendekati usia 65 tahun”, begitu tutur Bruce Schechter, “ayah saya memulai menulis kenangan hidupnya”. Ia semula beranggapan tulisan itu hanya pendek saja, tetapi ternyata tiap kenangan itu beranak pinak dengan kenangan lainnya. Karya tulisnya kemudian membengkak memenuhi sebuah buku. Anak-anaknya kemudian membelikannya sebuah komputer, kini tulisan kenangan tersebut mencapai 400 halaman yang menghadirkan pola kehidupan yang telah ia lalui, betapa indah dan ajaib kehidupan yang telah ia jalani.


Sebagai lelaki yang pemalu, introver, saya mulai intensif menulis buku harian ketika berkuliah di Jakarta. Tahun 1980. Kota yang masih asing, orang-orang yang asing dan interaksi pergaulan urban yang juga terasa asing, mendorongt saya membuat oasis sendiri agar bisa merasa nyaman dan bertahan. Oasis itu adalah buku harian.

Sampai kini.


Walau apa-apa yang saya tulis itu kadang tidak sekemilau isi lirik lagu The Corrs dalam “Dreams” sebagai ”the crystal visions”, tetapi ketika melakukan refleksi, sokurlah hari-hari lewat saya bukanlah semata himpunan peristiwa atau curahan hati tanpa makna. Kebiasaan itu pula kemudian memperoleh outlet dan momentum luar biasa, lagi menakjubkan, di era digital.

Ketika di tahun 2003 saya mulai mengenal blog, membuat tradisi menulis buku harian dalam bentuk sajian digital, personal sekaligus mondial, sepertinya semakin kaya warna. Sebagai orang yang meminati banyak hal sekaligus, kini saya secara rutin menulis blog-blog bertopik komedi, lagu-lagu Carpenters, komunitas epistoholik Indonesia, juga suporter dan sepakbola.


Menulis di blog, bagi saya, ibarat melakukan donor darah. Kalau hanya menyumbang terlalu sedikit, tidaklah bermanfaat. Kalau kebanyakan, tentu mengancam jiwa si pendonornya sendiri. Memang akhirnya tidak semua darah kita didonorkan, tetapi dengan cara ini maka dalam diri kita didorong terjadinya keseimbangan baru dalam mengakuisisi dan menyalurkan informasi.

Setelah menulis, kita secara intuitif didorong untuk melakukan akuisisi informasi-informasi baru. Artinya, dituntut untuk terus belajar dan belajar. Termasuk belajar mengakuisisi kepercayaan dari pembaca blog-blog saya.


Jay Rosen, salah seorang blogger dan pakar media baru favorit saya, dalam esai berjudul “Blogging, Journalism & Credibility” yang dibacakan di Universitas Harvard, Cambridge, 21-22 Januari 2005, telah mengutip pendapat John Hiler dalam Microcontent News (2002) : “Bagi blogger, semuanya mengenai kepercayaan, di mana blog-blog tersebut berangkat dari titik nol dalam membangun reputasinya dari bawah ke atas. Blog bertanggung jawab dan Anda membangun reputasi sebagai sumber informasi yang terpercaya. Bila tidak, Anda tidak memiliki reputasi yang harus Anda cemaskan”


Lanjut Rosen, para blogger itu memiliki keuntungan dalam memperjuangkan reputasi guna meraih kepercayaan pengguna atau pembacanya. Para blogger lebih dekat dalam melakukan transaksi di mana kepercayaan terbangun dan berada di sekitar situs-situs web yang ada. Terdapat perbedaan besar antara membangun aset, katakanlah “merek” St. Pete Times (di Indonesia, misalnya koran Kompas) dan membangun aset secara mandiri sejak sketsa awal.

Selain ibarat melakukan donor darah, menulis di blog yang antara lain guna memperoleh kepercayaan pembaca tadi, dapat juga saya ibaratkan, seperti juga ketika menerjunkan diri berangan-angan menjadi seorang stand up comedian, sebagai aksi “bersekutu dengan setan” guna memperoleh kekayaan.


Ada sebagian dari jiwa kita yang harus rela dikorbankan.
Keterbukaan. Transparansi.


Semakin transparan diri Anda sebagai manusia, tidak jaim, dan semakin rawan atau vulnerable diri Anda untuk dipertontonkan, maka justru dari hal-hal yang manusiawi itulah akan mendorong terjadinya dialog antarhati.

Kita akhirnya memang hanya manusia, dengan segala kekurangan, kedunguan, ketidaksempurnaan. Panggung dunia blog kaya sekali dengan pertunjukan bergaya “masokis” semacam itu.


Hari-hari ini, saya mulai tergerak untuk merintis dan meluncurkan blog-blog seputar penyakit asthma, hobi memelihara anjing, peristiwa terkait tanggal 28 April dan tanggal 20 Desember. Blog-blog mutakhir ini terkait dengan salah satu wanita terindah saya, Anez, kelahiran Brussels 28 April yang baru saja mencapai huruf Z dari hidupnya dalam momen yang menggetarkan, sarat misteri Illahi, di Jakarta, 20 Desember 2005 yang lalu. Semua blog itu ditulis sebagai kenangan dan kesenangan.


Labour of love.
Berkah pun pasti menanti.


Adalah seorang Lee Silber dalam bukunya Self-Promotion For The Creative Person (2001) mengutip resep sukses Chuck Green, pengarang dan seniman grafis, yang mengatakan : focus on what you love and the money will follow. Fokuskan pada semua aktivitas yang Anda cintai, maka uang pun pasti akan menyusul kemudian.

Saya sedikit banyak membuktikan kebenaran atas ucapan itu. Keyakinan akan manfaat blog dalam menunjang visi & misi saya mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia, misalnya, telah memenangkan saya dalam Mandom Resolution Award 2004. Kemudian tercatat pula dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).


Gara-gara getol menulis esai seputar sepakbola dan suporter sepakbola sejak tahun 2003 (saya juga tercatat di MURI sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli), seorang kenalan baru, kolumnis sepakbola yang berdomisili di London mengajak saya untuk mengisi majalah baru, Freekick, yang hendak ia terbitkan bersama kawan-kawannya mulai tahun 2006 ini.


Gara-gara blog pula, seringkali hari-hari saya terasa menenggelamkan saya dalam flow sesuai tesisnya Mihaly Csikszentmihalyi tadi. Aktivitas yang memboroskan waktu. Kalau dalam hitung-hitungan pemanfaatan waktu yang konvensional, pastilah semua aktivitas saya berblog-ria itu hanya nampak sia-sia belaka.

Saya tahu, saya memang terlalu banyak menghamburkan waktu
Saya tahu, saya mendamba kesempurnaan di dunia yang tidak sempurna ini
Dan begitu dungu pula untuk berpikir
hal itu pula yang akan saya dapatkan


OK, saya memang dungu. Isi lirik lagu “I Need To Be In Love”-nya Carpenters tersebut memang benar untuk sisi cinta atau asmara dalam hidup saya. Saya sampai kini belum memperolehnya. Wanita-wanita terindah saya datang, kemudian pergi. Bahkan pergi begitu jauh sekali.


Tetapi pada sisi lain, menghambur-hamburkan waktu juga tidak jelek-jelek amat. Terutama dalam konteks era baru, Network Economy. Kevin Kelly, sokurlah, memberikan perspektif brilyan itu.


Dalam karya tulis tonggak yang inspiratif, “New Rules for the New Economy : Twelve Dependable Principles for Thriving in a Turbulent World” di majalah Wired (September 1997), mengatakan :


Peter Drucker telah mencatat bahwa dalam abad industri setiap pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara lebih baik disebut sebagai produktivitas. Tetapi kini dalam Network Economy di mana kebanyakan mesin-mesin mengerjakan pekerjaan manufaktur yang tak cocok untuk manusia, maka tugas setiap pekerja bukanlah “bagaimana mengerjakan pekerjaan itu secara benar” melainkan “pekerjaan apa yang benar untuk dikerjakan ?"


Di era mendatang, mengerjakan segala sesuatu secara benar jauh lebih “produktif” dibanding mengerjakan hal yang sama secara lebih baik. Tetapi bagaimana seseorang dapat secara mudah mengukur sense penting dalam eksplorasi dan penemuan ? Semua ini tidak terlihat dalam parameter atau patok duga produktivitas.

Sejatinya, menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan. Sesuatu situs web yang dioperasikan oleh anak muda seumuran 20 tahun dapat terwujud karena ia mampu menghabiskan waktu 50 jam untuk menjadi ahli merancang situs web.

Sementara itu pekerja usia 40-an tahun tidak dapat mengambil cuti liburan tanpa berpikir bagaimana dia menentukan apakah berlibur itu bisa disebut sebagai produktif atau tidak, sementara si anak muda tadi tinggal mengikuti naluri dan menciptakan beragam hal baru dalam desain webnya, tanpa menghitung apa yang ia lakukan itu efisien atau tidak. Dari otak-atik yang tidak efisien itulah akan hadir masa depan.


Dalam era Network Economy, produktivitas bukan masalah krusial. Karena kemampuan kita dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi kebanyakan dibatasi terutama oleh kurangnya imajinasi dalam menemukan peluang dibanding usaha mengoptimalkan suatu solusi. Seperti simpul Peter Drucker yang dikutip oleh George Gilder, rumusnya kini berbunyi : “Jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang.”


Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Tetapi bila Anda mencari peluang, maka Anda dapat mempercayai jaringan, network, Anda. Apalagi sisi menarik mengenai Network Economy sejatinya bermain seirama dengan kelebihan hakiki manusia. Repetisi, sekuel, mengopi dan otomasi kini semua cenderung bebas biaya, gratis, sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya.


Kerangka berpikir kita pertama kali memang terikat oleh hukum-hukum lama pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Tetapi dengan peka mendengarkan detak jaringan kita dapat melepaskan ikatan-katan lama tersebut. Sekali lagi, formula paten dalam era Network Economy adalah :

Janganlah menyelesaikan masalah.
Carilah peluang !


Anda setuju ?
Selamat Tahun Baru 2006.


Wonogiri 19/12/2005 – 12/1/2006