Thursday, September 15, 2005

Ketawang Puspawarna, Carpenters Dan Cinta Yang Menari Di Antara Kerlip Bintang

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



Somewhere out there
beneath the pale moonlight
someone's thinkin' of me
and loving me to night

Somewhere out there
someone's saying a prayer
that we'll find one another
in that big somewhere out there.

(“Somewhere” - The Sound of Music)



MUSIK SOLO SAPA LUAR ANGKASA. “Andai makhluk ruang angkasa memang ada, bayangkan apa reaksi mereka mendengar musik ciptaan manusia di Bumi. Mana yang lebih cocok dengan pendengaran makhluk luar angkasa, musik ciptaan Johann Sebastian Bach, Ludwig von Beethoven, Mozart, atau musik lain yang belum semasyhur karya-karya mereka ?

Tanda tanya ini memang belum terjawab sampai kini, meski tahun 1977 pesawat Voyage dalam misinya ke angkasa luar membawa serta 27 rekaman musik, di antaranya sejumlah komposisi ciptaan ketiga komposer klasik tadi. Para ahli pasti penasaran dan kita juga boleh penasaran. Soalnya satu dari musik yang dipilih untuk dibawa adalah musik asal Indonesia. Tepatnya asal Jawa, yaitu gending Ketawang Puspawarna, ciptaan Mangkunegara IV.

Dalam urut-urutan 27 musik yang dibawa ilmuwan NASA itu, Ketawang Puspawarna ada pada urutan kedua, dengan durasi empat menit 43 detik, sesudah Bradenburh Concerto No 2 in F karya Johann Sebastian Bach” (Kompas, 22/5/2005).

Gending Ketawang Puspawarna itu bisa saya saksikan ketika menjadi penutup pagelaran musik Megalitikum-Kuantum 29-30 Juni 2005 di Plenary Hall Jakarta Convention Center, saat disiarkan ulang di Stasiun TV7, 10 Juli 2005. Digarap dalam semangat kolaborasi menawan antara musik pop dan gamelan Jawa, diwakili masing-masing oleh pemusik Dwiki Dharmawan dan etnomusikolog asal Solo, Rahayu Supanggah.

Hasilnya terasa agung, mistis, indah, metalik dan luar biasa.

Dijalin antara lain oleh suara pesinden muda berbakat Peni dengan ornamen timpalan yodel dari Ubiet, vokalis Aceh untuk mewakili ekspresi gaya vokal luar Jawa, dipadu upaya visualisasinya dengan rangkaian interpretasi gerak tari oleh Didi Nini Thowok dalam bentuk sajian siluet yang berselang-seling panorama layar multimedia yang menyuguhkan eksotika isi angkasa raya. Jiwa yang tampil mewadag kental rasa Jawanya, tetapi sekaligus terasa alien eksotika yang dihadirkannya.

Penggagas konsep Megalitikum Kuantum, Rizaldi Siagian, mengatakan tentang sajian baru gending Ketawang Puspawarna itu : “Ini kesempatan buat kedua musisi untuk menginterpretasi, andai benar ada alien, bagaimana makhluk-makhluk itu mendengar gamelan”


KABUT ANDROMEDA ! Upaya umat manusia menggalang kontak dengan makhluk luar angkasa, termasuk dengan bunyi-bunyian gamelan, menunjukkan betapa luar angkasa dan makhluk-makhluknya, sudah lama menjadi obsesi, baik visi sampai impian, baik atau buruk, pada diri umat manusia. Luar angkasa tak pelak merupakan the final frontier, perbatasan akhir, yang sarat pesona, juga misteri, seperti diungkap dalam film seri fiksi-ilmiah Star Trek yang terkenal.

Daya tarik the final frontier tidak hanya dalam fiksi. Realita ilmiah kadang jauh lebih mengagumkan. Simak siaran radio BBC (13/9/2005) yang mewartakan bahwa satelit NASA baru-baru saja ini mencatat kilatan cahaya dari tepian luar angkasa. Kilatan itu merupakan ledakan bintang mati yang berjarak 12,5 milyar tahun cahaya dari bumi.

Sekadar info : satu tahun cahaya adalah satuan jarak yang digunakan dalam disiplin ilmu astronomi. Yaitu jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam ruang hampa selama satu tahun. Satu tahun cahaya (!) itu setara dengan 9.4650 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 meter atau 5.8785 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 mil. Jarak sejauh 12,5 milyar tahun cahaya tersebut mengindikasikan betapa bintang bersangkutan lahir jauh sebelum matahari beserta tata surya yang kita kenal ini terbentuk.

Misteri dan rasa ingin tahu manusia yang kental terhadap luar angkasa menimbulkan harapan sekaligus ancaman. Dalam ranah penciptaan di bidang sastra, luar angkasa merupakan papan permainan yang menggairahkan untuk karya-karya fiksi ilmiah. Di ranah menggetarkan ini tercatat raksasa pengarang seperti Jules Verne, H.G. Wells, Robert A. Heinlein, Isaac “Bapak Robot” Asimov, Poul Anderson, Edgar Rice Burroughs, A.E. van Vogt, Arthur C. Clarke, Fritz Leiber, Henry Kuttner, sampai Ursula K. Le Guin.

Dua puluh tahun yang lalu, dalam buku katalog yang menyertai Pameran Buku Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) 1985, 4 – 14 Mei 1985 di Balai Sidang Senayan Jakarta, saya telah menulis artikel berjudul, “Fiksi Ilmiah : Bekal Anak-Anak Menghadapi Zaman Serba Teknologi”. Antara lain saya tuliskan :

“Cerita-cerita sains-fiksi atau fiksi ilmiah dalam kerangka menghadirkan dunia-dunai tidak dikenal sebenarnya tidak jauh dari usaha memberi kemasan baru bagi proyeksi yang jauh-jauh hari telah dilakukan. Misalnya saja konsep teologi inferno dari Dante.

Eksplorasi ke dunia tidak dikenal tersebut juga merupakan ekstensifikasi tema-tema karya pengarang abad 18-an yang berusaha meyakinkan adanya realitas dalam karyanya dengan mematok seting ceritanya pada daerah yang eksotis saat itu : satu-dua pulau terpencil di lautan Pasifik.

Sedang hari ini ketika tidak ada lagi bagian dunia yang belum terjamah oleh manusia, proyeksi daerah tidak dikenal itu segera mendongak ke atas : Planet Cygnus. Perang Antargalaksi. Kabut Andromeda. Angkasa Raya !”


EFEK MOZART DAN KECERDASAN. Alunan gamelan dalam gending Ketawang Puspawarna mungkin kini sudah menjadi top hit atau menjadi nomor klasik di kalangan makhluk angkasa luar. Mungkin mereka menyukainya.

Dugaan spekulatif ini ditopang asumsi yang selama ini kuat terbangun bahwa makhluk- makhluk angkasa luar memiliki kecerdasan yang tinggi. Steven “I dream for a living” Spielberg dengan film ET-nya telah menghadirkan fantasi manusia tentang makhluk angkasa luar yang cerdas dalam cerita di layar putih yang mempesona.

Dengan merujuk asumsi tersebut maka merupakan pilihan yang jenius bila kehendak manusia bumi untuk mengontak mereka adalah melalui musik. Sebab musik merupakan determinan yang sangat erat terkait dengan kecerdasan, bukan ?

Simak saja pendapat seorang Joseph Chilton Pearce ketika mengantar bukunya Don Campbell yang terkenal, The Mozart Effect for Children (2000), yang antara lain menulis :

Sebagai pencinta musik seumur hidup, saya ingat pernah membaca bahwa sekitar akhir tahun 1940-an, para ilmuwan atom di Oak Ridge, Tennesse, berkumpul pada saat-saat senggang mereka di malam hari untuk memainkan kuartet alat musik gesek.

Saya terkesan sekali ketika membaca jawaban penerima hadiah Nobel, David Hubel, seorang ilmuwan saraf, sewaktu ditanyai tentang apakah ia punya minat lain di samping bidang keahlian yang ditekuninya, penelitian otak yang berhubungan dengan penglihatan. Jawabnya adalah, “Sesungguhnyalah rupanya saya telah menghabiskan sebagian besar masa hidup saya di depan piano”

Paparan Pearce itu kemudian mudah mengingatkan pada sosok Albert Einstein (1879–1955), fisikawan termasyhur yang lahir di kota yang kini jadi tempat tinggalnya Tina, “Sang Putri Duyung Jelita Dari Sungai Donau” (klik Love for All Season untuk menemui blog dan foto diri Tina yang menawan), yaitu Ulm, Jerman. Kisah cinta yang panjang antara Einstein dengan biolanya telah dikenal oleh banyak orang. Dunia tentu tidak bisa melupakan kenangan terhadap peristiwa yang terjadi di tahun 1921, saat Einstein hendak berangkat ke Stockholm guna mengambil hadiah Nobel yang dimenanginya. Ia naik kereta api kelas 3 dengan di ketiaknya terkempit biola kesayangannya.


CINTA UNTUK KAREN TERCINTA. Upaya umat manusia menggalang kontak dengan media musik untuk para penghuni luar angkasa juga menjadi salah satu balada dalam lagu kelompok Carpenters. Inilah kelompok musik soft rock legendaris era 70-an. Terbentuk tahun 1968, di New Haven, Connecticut, yang dimotori oleh Richard Carpenter (1946- ) sebagai pianis dan produser, dan adiknya, Karen Carpenter (1950-1983), sebagai penyanyi utama.

Seorang fan menuliskan : Karen Carpenter's voice can make anyone fall in love. “Suara Karen Carpenter mampu membuat semua orang jatuh cinta”.

Yang lain mengimbuhi tak kalah indah : “Dia dan suara uniknya tatkala membawakan cinta akan menyentuh semua hati di antara kita, dan bakal abadi selamanya. Mendengarkan lagu-lagunya membuat kita serasa kembali ke jaman ketika kelompok ini baru tampil...dan ketika kita masih pula berusia muda.”

Karen Carpenter meninggal dunia pada usia 32 tahun, pada tanggal 4 Februari 1983. Ia meninggal karena gagal jantung akibat komplikasi penyakit anoreksia nervosa yang lama ia perjuangkan untuk memperoleh kesembuhannya. Ketika denyut jantungnya berhenti, jutaan jantung penggemarnya di seluruh dunia terguncang karenanya.

Seorang penggemar tak ayal menulis rasa dukanya yang mendalam : “Karen memiliki vokal yang unik. Jadi sungguh menyedihkan ketika Tuhan memanggilnya pulang dalam usia mekar 32 tahun. Duka kami tersalur lewat lagu-lagunya...Semoga Tuhan memberkati arwahnya.”

Simaklah juga betapa cintanya kepada sosok Karen Carpenter sampai seorang penggemarnya yang lain menuliskan kesan seperti menulis surat wasiat yang mengharukan : “Suara Karen sungguh luar biasa dan demikian pula musiknya yang mampu mengisi hati saya dengan kebahagiaan ketika mendengarnya...Saya katakan kepada anak saya, seumpama terjadi sesuatu pada diri saya (yaitu kematian), tempat untuk mengenangku kembali adalah pada musik Karen Carpenter... Tidak ada kata-kata lain yang lebih pantas untuknya.”

Dalam lagu Calling Occupations of Interplanetary Craft telah digambarkan betapa makhluk luar angkasa yang justru berprakarsa mengontak umat manusia. Dalam acara permintaan lagu-lagu dari stasiun radio All Hits Radio, penyiarnya tiba-tiba dibuat bingung karena muncul penelpon bersuara metalik yang tidak dikenal, kemudian terdengar mengabarkan :

We are observing your earth
And we'd like to make
a contact with you. Baby.

Para makhluk luar angkasa itu sedang mengamati bumi. Mereka pun ingin mengontak umat manusia. Mereka melakukan kontak melalui gelombang radio. Media kontak yang dipilih makhluk luar angkasa, yaitu melalui gelombang radio, tentu tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ilmu radio astronomi, yang dipelopori oleh Karl.C. Jansky (1905-1940), ilmuwan pada Bell Laboratory, sejak tahun 1932. Jansky yang pertama menemukan gelombang radio yang berasal dari luar atmosfir bumi, yaitu dari galaksi Bima Sakti.

Disiplin ilmu radio astronomi ini, yang kemudian menjadi cabang terpenting astronomi, adalah mengkaji objek-objek luar angkasa melalui gelombang radio yang mereka pancarkan. Perkembangan ini menghadirkan perangkat teleskop radio yang menggantikan teleskop optik astronomi visual yang lama. Fasilitas teleskop radio terbesar di dunia dengan piring parabola berdiameter sampai 305 m adalah Observatorium Arecibo di Puertorico.


CINTA DI ANTARA KERLIP BINTANG. Lagu indahnya Carpenters, yang diawali bunyi mirip sirene lembut, antara lain mengabarkan pesan-pesan damai umat manusia untuk para makhluk luar angkasa. Seolah digambarkan mereka sedang menaiki kendaraan luar angkasanya dalam misi perjalanan menjelajah antarplanet di angkasa raya.

”And please come on peace, we beseech you”, demikian pinta Karen Carpenter. “Hanya dengan mendarat di bumi, mengajari kami, karena tanpamu maka bumi ini tak akan lestari, maka kumohon segera kedatanganmu.” Mereka pun, sekali lagi, menjawab :

We've been observing your earth
And one night we'll make a contact with you
We are your friends

Mengapa untuk bisa mengontak makhluk-makhluk luar angkasa sepertinya harus terjadi di malam hari ? Pengarang Amerika, Ursula K. Le Guin (1929– ), mengajukan tesis yang menarik. Katanya, selama ini kita hanya terbiasa berpikir bahwa hidup kita selalu berada di siang hari. Tetapi sebenarnya setengah dari dunia ini selalu gelap ; dan oleh karena itu fantasi, demikian juga puisi, berbicara dalam bahasa malam hari.

Eksotika malam hari telah diungkap oleh sosiolog dari Universitas Boston, Murray Melbin dalam bukunya Night as Frontier (1987). Berdasarkan sensus, terdapat 29 juta warga Amerika terbangun ketika lewat tengah malam. Diperkirakan 20 juta dari mereka beraktivitas untuk menghamburkan uang, dengan makan-makan di restoran, berbelanja atau bepergian.

Sedang sebanyak 7,1 juta melakukan pekerjaannya. Bahkan pada jam tiga dan empat dini hari, pada saat paling sepi menjelang fajar, terdapat 10,6 juta warga yang terjaga dan terhitung 4,1 adalah mereka yang bekerja.

Pesona malam menjadi lahan kreatif penyiar radio Neil Myer yang mengudara antara jam satu sampai empat pagi di acara Talknet pada jaringan radio NBC. Seperti dilaporkan Gurney Williams III di majalah Reader’s Digest (10/1988), acara Talknet itu mempunyai pendengar 7,5 juta tiap mingggunya yang terentang pada 270 kota. Telepon di studio pusatnya di New York, selalu kebanjiran telepon yang memacetkan.

Orang-orang tipe “kelelawar”, nocturnal ini, menurut Myer tidak memiliki stereotip tertentu. “Mereka memiliki beragam pekerjaan. Mereka menelepon ketika mau berangkat kerja atau baru datang dari kantor. Tak ada dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bahkan sepuluh persen penelpon adalah anak-anak, yang saya pikir mereka seharusnya sudah mendengkur di atas kasur”

Orang-orang yang bekerja dengan komputer, penyair dan pekerja kreatif lainnya sering pula digambarkan sebagai orang-orang malam. Nicholas Negroponte, nabi digital dari Media Labs MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan pengarang buku sohor favorit saya, Being Digital (1995), mengaku dirinya terkena mild imsoniac, orang yang agak sulit tidur di malam hari. Ia sering terbangun di dini hari, lalu menghidupkan komputer untuk membalas beberapa email atau menulis. Kemudian tertidur lagi.

Negroponte tentu tidak sendirian. Akhir-akhir ini aku juga tertarik meneliti jam saat seseorang mengirimkan email atau memposting sesuatu informasi untukku. Dengan bantuan World Time Chart (sebelumnya sih pakai PDA, tetapi karena PDA-ku hilang di Singapura, Januari 2005 lalu, maka terpaksa harus pakai tabel manual itu), aku surprise melihat, misalnya ada postingan pada jam mendekati jam dua dini hari dan setengah tiga dini hari.

Kira-kira apa penyebab yang mendorong ia melakukan aktivitas ini justru ketika kebanyakan orang tidur di keheningan dini hari ?

Murray Melbin menjawab : karena orang-orang “kelelawar” tersebut nyata-nyata lebih bersahabat dibanding orang-orang siang. Keramahtamahan dalam pergaulan dan kooperasi, kerja sama, ritmenya mencapai puncaknya di malam hari, tambahnya lagi.

Itulah rupanya satu sisi keajaiban malam yang melimpah sebagai berkah pada diriku. Terima kasih. Aku mengerti. Pesan itu sampai. Persahabatan, ramah tamah, kerja sama, bahkan puisi dan fantasi, seperti simpul Ursula K. Le Guin, rupanya memang bahasa malam hari. Malam identik keheningan. Konsentrasi. Kontemplasi. Momen terbaik untuk membebaskan pengembaraan khayalan tanpa batas. Juga persemaian subur untuk impian.

Maka Karen Carpenter ketika melanjutkan nyanyiannya, ia pun mengajak dirinya sebagai manusia dan makhluk luar angkasa untuk melakukan kontak dengan saling berkonsentrasi di malam hari :

With your mind you have ability to form
And transmit thought energy far beyond the norm
You close your eyes, you concentrate

Together that's the way
To send the message
We declare world contact day

Kekuatan pikiran yang terkonsentrasi mampu memancarkan energi yang luar biasa. Kita bisa melakukan konsentrasi itu dengan memejamkan mata. Pesan-pesan akan sampai. Kontak pun akan terjadi pula karenanya.

Dalam karya sastra, seorang pengarang wanita Italia, Susana Tamaro dalam novelnya yang indah, Va’Dove Ti Porte Il Cuore (Pergilah Kemana Hati Membawamu), juga sekilas menceritakan upaya kontak dua hati, yang digelayuti kerinduan menggunung, dengan masing-masing mengonsentrasikan pikiran guna melambungkan pesan-pesan antarkeduanya di antara kerlipan bintang.

Novel ini merupakan percakapan panjang melalui surat antara seorang nenek dengan cucu perempuannya, yang kini terpisah. Terpisah jarak karena beda benua dan seringkali pula beda jalan pikiran. Hanya hati mereka yang masih mampu mempertemukannya.

Apabila rindu antara mereka begitu mendesak, sang nenek telah meminta cucunya pada malam-malam tertentu untuk keluar rumah, membawa foto dirinya di pucuk malam. Melangkah tiga kali, membentuk tanda salib dan berbisik kepada langit : “Ini aku. Aku di sini”

Sampaikah pesan-pesan antarmereka ?

Nora Ephron, pengarang dan sutradara film kelahiran New York 19 Mei 1941 rupanya percaya akan kekuatan takdir dan bahasa getar-getar langit. Dalam garapan film komedi romantis Sleepless in Seattle (1993) yang tokohnya diperani Tom Hank dan Meg Ryan, ia kisahkan sejak awal betapa domisili antara mereka saling berjauhan ribuan kilometer jaraknya. Mereka pun tidak saling kenal satu dengan lainnya.

Tetapi cinta antarmereka dapat bertaut berkat program siaran radio yang mereka dengar. Kesamaan perasaan akan kerinduan, penghargaan, kasih sayang dan cekikan kesepian, hal-hal yang sungguh manusiawi, membuat diri mereka tergerak melangkah saling mendekat untuk meraih kesempurnaan dalam kebersamaan.

Film yang unik, karena kedua tokohnya hanya bertemu pada lima menit terakhir. Di puncak Empire State Building, New York. Inilah pertemuan yang sudah tertakdir dalam garis-garis getar kosmis hanya untuk mereka berdua.


WHEN MY LOVE FOR LIFE IS RUNNING DRY. Dini hari Rabu (14/9), ketika waktu menunjuk sekitar jam tiga dini hari, saat jeda pertandingan sepakbola Liga Champion antara Villareal melawan Manchester United (Wayne Rooney mendapatkan kartu merah), aku keluar rumah.

Lengkung langit di atas Wonogiri terasa agak muram. Tidak banyak bintang bertebaran. Kabut pagi mulai pekat mengambang. Sungguh ajaib, dari radio tetangga masih terdengar nyaring alunan lagu indah, If, lagu klasik dari grup musik Bread. Lagu itu berasal dari acara Wonderful Night-nya Radio Karavan FM Solo yang akan berakhir jam 4 dini hari.


And when my love for life is running dry,
you come and pour yourself on me.

If a man could be two places at one time,
I'd be with you.
Tomorrow and today, beside you all the way

If the world should stop revolving
Spinning slowly down to die,
I'd spend the end with you.
And when the world was through,

Then one by one the stars would all go out,
And you and I would simply fly away.


Aku mendongak ke langit.
Memejamkan mata. Menyapa bintang-bintang.
Sambil menyebutkan sebuah nama.

Kemudian membiarkan kelompok Bread meneruskan pesan hatiku kepadanya. Pesan itu pun segera melesat terbang di antara kerlip bintang yang menari. Dan di luar sana, somewhere out there, aku yakin ada hati yang mengerti.



Wonogiri,12-15 September 2005

No comments:

Post a Comment