Friday, September 23, 2005

Carpenters, Man Smart, Woman Smarter dan Kenangan Untuk Ibu

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



I LOVE YOU, POPCORN ! Anda kaum perempuan dan termasuk kelompok mayoritas yang kini selalu merasa terintimidasi oleh teknologi, simaklah gambaran aktivitas rutin Anda di pagi hari, di masa depan yang tak terlalu jauh ini. Untuk kaum pebisnis, simaklah kata-kata berhuruf miring di bawah ini. Lalu persiapkanlah diri Anda untuk siap-siap menyabet subjek bersangkutan menjadi lahan bisnis Anda di masa depan. Bisnis untuk melayani kaum perempuan, bisnis signifikan di masa depan !

"Saat ini pukul 06.00 dan elektroda pembangun saya dengan lembut menyadarkan saya. Lima belas menit sebelumnya, Intel smart home saya telah mengembuskan aroma vanila dengan aromaterapi jahe ke dalam kamar saya. Untuk menaikkan semangat saya pada hari yang diramalkan akan mendung dan berawan.

Lebih banyak jahe ditambahkan hari ini karena sensor bantal saya (dibuat oleh Sun Microsystems, yang menjual dengan positioning, “Awali Hari Anda Dengan Sedikit Sun” (matahari) mendeteksi rendahnya imunitas pada sistem darah saya, tanda awal akan terserang flu.

Di latar belakang, lemari baju otomatis saya memilihkan baju untuk saya, berdasarkan laporan cuaca dan semua saran yang diberikan oleh penganalisis mimpi pada bantal saya.

Saat saya memasuki kamar mandi, laporan pagi Sony yang telah dikostumisasi milik saya melaporkan secara lengkap berita setempat mau pun global (dipilihkan sesuai dengan bidang yang saya minati), e-mail suara, dan daftar pekerjaan saya hari ini.

Laporan pagi saya termasuk pesan produk yang ditata dengan cermat : informasi lembut dari Amazon.com yang memberi tahu saya kalau penyanyi jazz kesayangan saya, Chet Baker, telah meluncurkan CD terbarunya ; pesan dari United Airlines yang meminta saya memerikasa email hari ini karena kemungkinan penerbangan sore saya ke California ditunda akibat kabut ; dan peringatan dari TwinLab agar saya meminum vitamin penambah daya tahan tubuh dan formula herbal berdasarkan pindaian bantal saya semalam.

Sementara itu, di kamar sebelah putri saya bersiap untuk pergi ke sekolah. Perlengkapan Internet-nya menyajikan laporan pagi yang telah terkostumisasi, termasuk jadwalnya hari ini dan pengingat pekerjaan rumah, ciptaan Disney. Dia juga bisa melacak jalur bus sekolahnya hingga dia bisa tiba di pemberhentian bus pada saat yang tepat...

Usai sarapan pagi ia berjalan membawa Smart Backpack buatan Apple. Saat dia mengambilnya, sebuah suara kecil mengingatkannya, “hari ini tak ada pelajaran fisika, jadi tak usah membawa e-book beratmu itu, kecuali kau mau belajar di ruang belajar pukul 14.00. Dan, kau melupakan sabuk karatemu”

Fantastis ?

Itulah masa depan. Itulah paparan Faith Popcorn, konsultan pemasaran dan peramal tren pasar, bersama Lys Marigold dalam bukunya EVEolution : 8 Secrets of Marketing to Women (2000).

Saya sudah lama suka sama Faith Popcorn. Ketika di tahun 80-an kita banyak dihebohkan oleh ramalan masa depan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dengan buku sohornya, Megatrends, saya lebih suka mengamati dan mencoba mencerna isi buku Clicking, yaitu bukunya Faith Popcorn yang terbit terdahulu.

Paparan di atas adalah ilustrasi dari Kebenaran Ketiga dari EVEolusi, yang mereka kemukakan, dalam memasarkan produk atau jasa kepada wanita. Kebenaran itu berbunyi : “Jika Dia (Wanita) Harus Bertanya, Sudah Terlambat”. Katanya, untuk bisa berhasil memasarkan kepada wanita, Anda harus mengerti apa yang membuat wanita senang.

Tetapi Anda tahu apa yang membuat perempuan senang ? Apa sih yang diinginkan oleh wanita ?

Kalau Anda merasa pusing mencari jawabnya, Anda tidak sendirian. Bahkan seorang sekaliber Sigmund Freud (1856-1939), psikiater Austria dan penemu psikoanalisis, pernah curhat berat begini : The great question that has never been answered and which I have not yet been able to answer, despite my thirty years of research into the feminine soul, is "What does a woman want?'".

Pertanyaan terbesar yang tak pernah terjawab dan yang belum bisa saya jawab meski saya telah tiga puluh tahun melakukan penelitian ke dalam jiwa wanita adalah, “Apa yang diinginkan wanita ?”

Faith Popcorn menggertak lagi, yang bisa membuat kaum pria dan pebisnis jadi ciut nyali. Katanya : Jika Anda menunggu sampai wanita mengutarakan pikirannya, coba tebak ? Anda terancam dicampakkan. Apakah Anda seorang pacar, suami, bos, bawahan, atau merek !


KOMPUTER SI BIANG KEROK. Salah satu industri yang dituduh berat tidak mengetahui kemauan atau kebutuhan kaum perempuan adalah industri komputer. Julie Connelly di majalah bisnis bergengsi Fortune (14/11/1994) menulis kolom berjudul “Why I Fear and Loathe My Computer” yang provokatif.

Perhatikan ucapannya, betapa ia terus terang merasa takut dan benci kepada komputer. Julie pun mengaku dirinya sebagai pengidap teknofobia. Takut teknologi. Fenomena ini bersifat universal. Salah satu akibat sampingnya, kaum perempuan seringkali pula menjadi objek guyonan bila dikaitkan dengan teknologi informasi.

Sebagai pengkaji dan penggemar komedi jenis yang cerdas dan bermutu, saya rada beruntung bisa mengajak Anda mengunjungi situs blognya John Hendrawan yang shio-nya sama dengan saya ini. Insinyur kimia yang kini berburu jutaan riyal di Doha, ibukota negara kaya minyak Qatar, rupanya suka mengoleksi lelucon seputar perempuan dan komputer. Saya petikkan beberapa di bawah ini. Untuk kaum Hawa yang tersinggung, silakan protes kepada Hendra. Bukan kepada saya.

Wanita INTERNET,
Wanita yang sulit diakses...

Wanita SERVER,
Selalu sibuk saat Anda butuhkan...

Wanita WINDOW,
Semua orang tahu bahwa dia tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik, namun tak seorang pun yang bisa hidup tanpanya...

Wanita E-MAIL,
Tiap sepuluh hal yang dia katakan, maka yang delapan adalah bualan...


Saya tidak tahu apa reaksi Julie Connelly bila membaca lelucon tadi. Tetapi dirinya yang merasa terteror oleh teknologi, nyatanya tidaklah sendirian. Menurut riset Dell Computer, sebanyak 55 persen warga Amerika resisten atau terkena fobi bila berurusan dengan produk-produk teknologi.

Jangan menganggap fobi ini hal main-main. Sebab seorang Jack Welch, CEO dari General Electrics, juga tidak pernah memakai komputer pribadinya. John Akers, boss IBM, memang memiliki komputer di kantornya tetapi tak pernah menyentuhnya sama sekali. Gene Amdahl, pendiri Amdahl Corp. dan yang menelorkan komputer mainframe IBM System/360, juga tidak pernah menggunakan komputer. “Saya goblog memakai papan ketik. Saya tak pernah belajar”, akunya.

Anda tahu, seorang David Beckham juga buta komputer ? Ketika melongoki toko buku Newslink di Terminal 1 Bandara Changi Singapura, Januari 2005, saya pergoki buku menarik. Buku tentang bintang sepakbola Inggris yang glamor, suami dari Victoria “Spice Girls” Adams, dan kini bermain di Real Madrid itu. Sebelumnya saya pernah baca-baca biografi Beckham yang berjudul My World (2000). Salah satu isi buku yang saya curi baca di Changi itu berbunyi :

“Pertanyaan : Bagaimana Anda tahu kalau komputer Anda baru saja dipakai David Beckham ? Jawab : Banyak bekas Tipp-Ex di monitornya !”

Buku tersebut memang buku kumpulan lelucon tentang Beckham. Termasuk melucukan istrinya, yang penyanyi dengan kaki belalangnya yang menawan itu. Saya kadang muter CD-nya saat ia dan kelompok Spice Girls konser bersama Luciano Pavarotti dan kawan-kawan untuk anak-anak korban perang di Liberia. Konser di kota Modena, Italia, 1998, diramaikan pula oleh Celine Dion, The Corrs, Eros Ramazzoti, Florent Pagny, Jon Bon Jovi, Natalie Cole, Pino Daniele, Stevie Wonder, Trisha Yearwood sampai Vanessa Williams.

Lelucon tentang istrinya Beckham itu berbunyi : “Kapan Victoria Adams bernyanyi dengan suara fals ? Pada semua lagu-lagunya !”.


KARTINI JANGAN TERBUNUH DI SEKOLAH. Fobi terhadap komputer yang diidap Julie Connely dan jutaan warga AS jelas bukanlah lelucon. Tahun lalu, menjelang Hari Kartini 2004, saya telah menulis artikel untuk Harian Suara Merdeka (20/4/2004). Judulnya, “Kartini Jangan Terbunuh Di Sekolah”. Intinya, saya mempersoalkan betapa banyak perempuan tidak mampu mengakses dan menggunakan peranti teknologi informasi akibat dari bias jender yang terjadi.

Majalah Newsweek satu dekade lalu , edisi 16 Mei 1994, memajang laporan utama mengenai kesenjangan jender di dunia teknologi tinggi, yaitu komputer. Mengutip laporan LIPI-nya AS, National Science Foundation, jumlah lulusan sarjana ilmu komputer berbanding 3-1 untuk keunggulan pria, dan angka itu semakin melebar. Fenomena yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia.

Siti Nur Aryani (2004), mengutip kajian BPPT, memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer.

Masih sedikit perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI. Bahkan menurut pengalamannya, tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer.

Simpulnya, penyebab dari gambaran suram di atas, antara lain, akibat masih kuatnya cengkeraman kesenjangan jender di dunia industri dan akarnya mudah ditemui ketika Kartini-Kartini muda kita duduk di bangku sekolah.

Kevin Treu, Professor Ilmu Komputer dari Furman University, South Carolina, AS (Technology & Learning, 5/1997), menyebutkan bahwa ilmu komputer dikarakterisasikan dengan apa yang disebut sebagai efek pipa ledeng. Semula tidak ada perbedaan prestasi antara pelajar laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran komputer di tingkat sekolah dasar. Mereka sama-sama menunjukkan minat yang tinggi.

The Pluto Institute, lembaga penelitian media di AS, pada tahun 1996 mengukuhkan hal yang sama ketika mengeluarkan buku putih berjudul Perempuan dan Revolusi Digital. Mereka melakukan kajian terhadap 140.000 perempuan AS dari tingkat pra-sekolah, kelas 1 SD, 5 SD, 2 SLP, 3 SLA dan tingkat mahasiswa, mengenai persepsi mereka tentang teknologi informasi (TI).

Hasilnya menggembirakan.

Ketika diajukan pertanyaan, apakah perempuan mampu seperti halnya lelaki dalam berurusan dengan informasi digital, sebanyak 23 persen menjawab sama mampu, 2 persen kurang mampu dan 75 persen mengatakan lebih mampu. Sebanyak 80 persen menyatakan bahwa revolusi digital memberikan peluang bagi kaum perempuan yang semula belum terbuka untuk mereka dan 20 % menyatakan sebaliknya. Ketika didesak mengapa, 6 persen tidak menjawab dan 94 persen menyatakan karena teknologi tidak mengenal jender.

Contoh menarik : simaklah sosok Emy Maslina Zubaiti. Gadis remaja kelahiran 1 November 1991 ini duduk di bangku kelas II SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah, di desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Di rumahnya yang berdinding kayu rapuh, anak dari Ismanto (43) yang tukang servis mebel dan Latifah (37) yang penjual jamu gendong, tiap hari bisa bersibuk-ria merancang animasi bersuara di komputernya. Emy, komputer, keluarganya dan kehidupannya sehari-hari telah menjadi subjek esai foto yang menyentuh, karya wartawan foto Harian Kompas Eddy Hasby di Kompas Minggu (15/5/2005 : 12).

Bahkan di sekolahnya, yang tidak jauh dari rumahnya, Emy juga terbiasa mengakses Internet untuk memanfaatkan account emailnya, emy123@plasa.com, guna menyapa dan disapa oleh dunia.

Sekolah Emy adalah sekolah alternatif yang pantas dibanggakan. Karena mampu menjangkaukan akses anak didiknya yang berasal dari keluarga berpenghasilan minimal sehingga mampu memiliki perangkat teknologi informasi, komputer, sebagai sarana belajar dan berpikir mereka. Dengan cara mencicil, seribu rupiah tiap harinya. Persoalan klasik kemudian muncul, bagi Emy dan teman-teman perempuan sebayanya, apakah mereka akan juga beruntung di masa depan ?


KOMPUTER ITU BARANG PRIA ! Kita belum tahu. Sebab dalam realitas, seperti analisis Kevin Treu, pada setiap tingkat proses pendidikan peserta perempuan bila terkait dengan interaksinya dengan teknologi informasi, semakin banyak yang berguguran. Di tingkat SLTA semakin sedikit pelajar putri terjun dalam aktivitas memakai komputer, misalnya keikutsertaannya dalam lomba pemrograman.

Ketika berkuliah, semakin sedikit mahasiswi mengambil jurusan ilmu komputer dibanding teman prianya. Akibatnya, makin sedikit pula perempuan yang mengambil jalur pasca-sarjana di bidang ilmu komputer, demikian juga ketika terjun berkarier sesudahnya.

Kesenjangan jender itu, menurut Treu, terjadi akibat kuatnya prasangka subtil yang mendera kalangan siswa perempuan selama duduk di bangku pendidikan. Contohnya, kalau anak-anak lelaki dibiarkan oleh orang tuanya untuk bermain-main lumpur, tetapi anak perempuannya diharuskan bersih dan rapi, hanya boleh bermain dengan bonekanya. Anak perempuan juga sering ditakut-takuti mengenai angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka.

Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik ditunjukkan oleh kalangan guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak terciptanya harapan yang lebih rendah bagi kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai teknologi.

Sarah Douglas, professor ilmu komputer dari Universitas Oregon, dalam eksperimennya memajang komputer yang telah diisi aneka program menarik dalam sebuah bursa kerja. Tujuannya untuk mengenalkan profesi-profesi baru yang belum populer dikenali para mahasiswi. Hasilnya saat itu, tak ada satu pun mahasiswi yang singgah di kiosnya.

Ketika ditanya, para mahasiswi itu menjelaskan bahwa komputer itu “barang” dan “dunia” kaum pria, di mana ketika mereka ingin mencoba memasukinya, mereka akan diusir dan dilecehkan. Akibatnya, para perempuan muda terdidik itu menjadi frustrasi dan akhirnya minatnya pun menjadi mati.

Mencoba memperbaiki keadaan, Kevin Treu merancang ulang mata kuliah Pengantar Komputasi dan Ilmu Komputer yang diajarkannya. Tujuan kuliah tetap, tetapi isinya mengalami perubahan, kini dengan sentuhan yang lebih ramah terhadap perempuan. Ketika membahas sejarah komputasi, ia tekankan pentingnya kontribusi kaum perempuan dalam pengembangan ilmu komputer.

Misalnya, salah satu programer komputer yang pertama adalah seorang perempuan. Dia adalah Ada Lovelace yang bekerja bersama Charles Babbage pada tahun 1800 saat merancang komputer mekanis yang pertama.

Kalau selama ini kalangan laki-laki selalu menganggap komputer sebagai peralatan mandiri yang canggih, sementara itu kaum perempuan lebih cenderung mengharapkannya sebagai alat yang berguna secara praktis dan relevan bagi kepentingannya sehari-hari.

Merujuk hal itu, Treu kemudian merancang mata pelajaran praktik yang melibatkan bahasan manfaat komputer dalam kehidupan nyata. Perubahan ini berimbas pada perubahan suasana dan aktivitas kelas. Ia mendorong mereka untuk bekerjasama dalam sebuah tim, memaksimalkan pengalaman sosial masing-masing dalam memecahkan masalah dan meminimalkan pola kerja individualis yang penuh persaingan, pola kerja yang tidak disukai kaum perempuan.

Perubahan dalam materi kuliahya termasuk ditambahkannya pelajaran etika dan kajian mengenai semakin pentingnya peran komputer dalam aktivitas bekerja jarak jauh (telecommuting), bedah jarak jauh dan pendidikan.

Riset menunjukkan bahwa kalangan perempuan lebih tertarik bila dibukakan pemahamannya mengenai manfaat komputer sebagai sarana untuk menolong orang lain dan mempersatukan mereka. Lanskap dunia teknologi informasi pun kemudian berubah !


PEREMPUAN KINI PRIMADONA ! “It’s Not Just E-Male : Multimedia is hot, and these women are at the top of the game”, demikian salah satu judul artikel dari majalah Working Woman (June 1996) yang terbit spesial mengupas teknologi informasi. Simak pengantarnya yang berkobar-kobar sikap optimismenya :

Inilah industri tanpa kaum mapan. Industri yang tidak dikangkangi koneksi para kaum lelaki. Tidak ada langit-langit gelas yang harus dipecahkan. Multimedia, yang meliputi Internet, CD-ROM dan TV Interaktif, merupakan boom lahan kerja teknologi tinggi untuk kaum perempuan.

Pekerjaannya tidak berkutat seputar penulisan kode-kode program yang hanya dimengerti oleh komputer dan para pemrogram lainnya, melainkan menciptakan isi yang mampu merenggut atensi para pakar dan juga pemula, seperti situs Web yang menawan, CD-ROM yang mengundang aksi petualangan dan program TV interaktif yang menyerap perhatian.

Titik beratnya bertumpu kepada keterampilan yang melimpah ruah dimiliki kaum perempuan : penulisan, desain, juga pemasaran. Semua yang mencebur dalam bidang ini adalah para pionir. Mereka itu (untuk detilnya, manfaatkan mesin penelusur Google) antara lain :

Kim Polese. Connie Connors. Caitlin Curtin. Shelley Day. Michelle DiLorenzo. Esther Dyson. Lucie Fjeldstatd. Deborah Forte. Jessica Helfand. Stacy Horn. Roberta Katz. Susan Lammers. Liza Landsman. Ilene Lang. Jane Metcalfe. Sherry Miller. Sally Nardick. Nancy Rhine. Sharleen Smith. Victoria Wayne. Ann Winblad.

Di antara mereka, saya agak mengenal sama Esther Dyson. Salah satu pendiri Electronic Frontier Foundation dan putri maha fisikawan Freeman Dyson. Kolom sindikasinya pernah muncul di Kompas, menggantikan kolomnya Nicholas Negroponte. Sayang, baru beberapa kali muncul, tidak dilanjutkan. Saya juga suka sama Sherry Miller yang memiliki slogan unik : Wanita Tertua Di Web.

Untuk Anda yang berminat memoles isi blog atau webnya agar semakin menawan, simak nasehat Sherry Miller di bawah ini :

“Kebanyakan isi gagal karena tidak tampil sebagai sebuah cerita. Oleh karena itulah saya membaca novelnya Stephen King dan Tom Clancy – dan mempelajarinya secara osmosis, ketimbang memakai teknik analisis atau dekonstruksi, untuk menyerap daya dan dampak dari penceritaan. Saya juga membaca materi populer yang dimuat di koran, majalah dan juga buku-buku untuk menghayati apa saja yang mereka baca”

Kalau saya boleh menambahkan daftar perempuan mempesona di atas, antara lain dengan nama-nama : Patricia Beckmann. Stephanie Bergman. Bonnie Bracey. Janette Bradley. Mala Chandra. Jayne Cravens. Karan Eriksson. Ruann Ernst. Carly Fiorina. Roberta Furger. Mary “ThirdMedia” Furlong. Megan Gaiser. Doreen Galli. Monika Henzinger. Louise Kirkbride. Joan Korenman. Mie-Yun Lee. Mari Matsunaga. Katharine Mieszkowski. Carol Muller . Ann Navarro. Netochka Nezvanova. Evelyn Pine. Tracey Pettengill. Ardith Ibanez Rigby. Sharron Rush. Aliza “Cybergrrl” Sherman. Tiffany Shlain. Barbara Simons. Meg “Ebay” Whitman. Julie Wainwright. Tracy Wilen.

Daftar perempuan yang berkiprah di dunia teknologi informasi, jelas akan semakin panjang. Seorang ilmuwan perempuan Indonesia, Dr. Karlina Leksono-Supelli, pernah dalam wawancara di harian Republika (5/10/1997), dengan lantang bilang : “Bila wanita menguasai teknologi, pria bisa tersaingi”. Pernyataan ini jelas sesuai dengan isi nyanyiannya Carpenters, Man Smart, Woman Smarter :

Let us put man and woman together
And see which one is smarter
Some say man, but I say no
The women got the man like a puppet show

It ain't me, it's the people that say
The men are leadin' the women astray
But I say, that the women today
Are smarter than men in every way

Well, that's right, the women are smarter
That's right, the women are smarter


LALU APA MANFAAT PRIA ? Kalau di masa depan kaum perempuan semakin cakap dan bahkan melebihi kaum laki-laki, oh, betapa makin susahnya menjadi laki-laki. Apakah nasib lelaki nantinya hanya seperti pejantan laba-laba Janda Hitam, yang setelah memenuhi kuwajiban seks lalu habis dimakan oleh sang betinanya ?

Coba simak pula pendapat tokoh wartawan dan feminis Amerika Serikat, pendiri majalah Ms., Gloria Steinem (1934- ) yang mengatakan, “perempuan tanpa laki-laki ibarat ikan tanpa sepeda !”

Apa mangsud Anda, mbak Gloria ?

Ketakutan lelaki terhadap perempuan pernah mencuat saat peristiwa heboh yang terjadi di Grinnel College (Iowa, AS), tahun 70-an. Saat itu perwakilan majalah Playboy hendak memaparkan topik mengenai filosofi majalahnya. Sebagian yang hadir adalah para mahasiswi, mereka sengaja datang dengan telanjang bulat. Mereka bersiteguh agar perwakilan dari Playboy, yang seorang lelaki, untuk tampil bertelanjang juga. Pria tersebut kabur.

Margaret “Wanita Besi” Thatcher yang Perdana Menteri Inggris (1979 -1990) pernah bilang, “Dalam politik, bila untuk berbual-bual bicara, pilihlah pemimpin pria. Tetapi bila ingin tugas dituntaskan, pilihlah wanita”

“Bila dikaji menurut kriteria panjangnya usia, daya tahan terhadap penyakit dan stres, kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sebagainya, maka lelaki merupakan fihak yang lebih lemah di antara dua jenis seks” – kata Landrum B. Shuttles, M.D., Ph.D.

Nancy Reagan (1923– ), bintang film dan istri Presiden AS, Ronald Reagan, bilang : “Perempuan itu ibarat kantung teh celup – hanya dalam air panas Anda jadi tahu betapa kuat diri mereka”

Ibu saya almarhumah Sukarni, yang sampai mempunyai anak 11 orang, satu meninggal, gemar melucu di rumah juga di panggung dengan riasan sebagai Petruk dalam acara organisasi istri tentaranya, serta suka menulis surat yang panjang-panjang untuk saya, sering saya lupakan untuk tercatat sebagai perempuan yang mengagumkan.

Tetapi saya sebagai bujangan tua, kini saya merasa sulit untuk mengakhiri atau meneruskan tulisan ini. Apalagi mengambil kesimpulan. Mungkin ini merupakan sinyal jelas betapa memang tidak mudah untuk memahami kaum perempuan.

Bagi saya, dirinya bisa hadir fragile e innocente seperti anak merpati yang baru keluar dari cangkang telurnya, nampak rapuh ketika merintih “peluk aku”, tetapi di kesempatan lain mampu membuat hati lelaki ini hancur berkeping-keping karena saya tak dikaruniai mukjijat mind reader untuk mengetahui apa mau dirinya. Faith Popcorn memang benar, “Jika dia (wanita) harus bertanya, sudah terlambat”.

Dalam suasana limbung, mungkin seperti Freud yang bingung, aku menjadi tertarik menyimak komentar John Hendrawan tentang wanita setelah ia memposting tulisan “Dunia Komputer dan Wanita” di situs blognya sendiri. Angka-angka yang ada dalam pernyataan di bawah ini adalah tambahan dari saya :

“Ahhh aku yg duluan kasih koment..aku suka (1) wanita karier, (2) pinter, (3) sibuk dan (4) asik di ajak diskusi...!!”

Bolehkah saya berbisik kepadanya ?

“John, mungkinkah Anda kini lagi terbius oleh budaya Timur Tengah, tempat Anda bekerja kini? Di dunia yang semakin terspesialisasi, cita-cita Anda tersebut sungguh luar biasa. Benarkah Anda nyata-nyata ingin melakukan poligami ? Sekaligus dengan empat istri ?Bayangkan bila nama-nama mereka itu Arlene, Ophelia,Rita dan Katrina !”



Wonogiri, 19-23 September 2005

Thursday, September 15, 2005

Ketawang Puspawarna, Carpenters Dan Cinta Yang Menari Di Antara Kerlip Bintang

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



Somewhere out there
beneath the pale moonlight
someone's thinkin' of me
and loving me to night

Somewhere out there
someone's saying a prayer
that we'll find one another
in that big somewhere out there.

(“Somewhere” - The Sound of Music)



MUSIK SOLO SAPA LUAR ANGKASA. “Andai makhluk ruang angkasa memang ada, bayangkan apa reaksi mereka mendengar musik ciptaan manusia di Bumi. Mana yang lebih cocok dengan pendengaran makhluk luar angkasa, musik ciptaan Johann Sebastian Bach, Ludwig von Beethoven, Mozart, atau musik lain yang belum semasyhur karya-karya mereka ?

Tanda tanya ini memang belum terjawab sampai kini, meski tahun 1977 pesawat Voyage dalam misinya ke angkasa luar membawa serta 27 rekaman musik, di antaranya sejumlah komposisi ciptaan ketiga komposer klasik tadi. Para ahli pasti penasaran dan kita juga boleh penasaran. Soalnya satu dari musik yang dipilih untuk dibawa adalah musik asal Indonesia. Tepatnya asal Jawa, yaitu gending Ketawang Puspawarna, ciptaan Mangkunegara IV.

Dalam urut-urutan 27 musik yang dibawa ilmuwan NASA itu, Ketawang Puspawarna ada pada urutan kedua, dengan durasi empat menit 43 detik, sesudah Bradenburh Concerto No 2 in F karya Johann Sebastian Bach” (Kompas, 22/5/2005).

Gending Ketawang Puspawarna itu bisa saya saksikan ketika menjadi penutup pagelaran musik Megalitikum-Kuantum 29-30 Juni 2005 di Plenary Hall Jakarta Convention Center, saat disiarkan ulang di Stasiun TV7, 10 Juli 2005. Digarap dalam semangat kolaborasi menawan antara musik pop dan gamelan Jawa, diwakili masing-masing oleh pemusik Dwiki Dharmawan dan etnomusikolog asal Solo, Rahayu Supanggah.

Hasilnya terasa agung, mistis, indah, metalik dan luar biasa.

Dijalin antara lain oleh suara pesinden muda berbakat Peni dengan ornamen timpalan yodel dari Ubiet, vokalis Aceh untuk mewakili ekspresi gaya vokal luar Jawa, dipadu upaya visualisasinya dengan rangkaian interpretasi gerak tari oleh Didi Nini Thowok dalam bentuk sajian siluet yang berselang-seling panorama layar multimedia yang menyuguhkan eksotika isi angkasa raya. Jiwa yang tampil mewadag kental rasa Jawanya, tetapi sekaligus terasa alien eksotika yang dihadirkannya.

Penggagas konsep Megalitikum Kuantum, Rizaldi Siagian, mengatakan tentang sajian baru gending Ketawang Puspawarna itu : “Ini kesempatan buat kedua musisi untuk menginterpretasi, andai benar ada alien, bagaimana makhluk-makhluk itu mendengar gamelan”


KABUT ANDROMEDA ! Upaya umat manusia menggalang kontak dengan makhluk luar angkasa, termasuk dengan bunyi-bunyian gamelan, menunjukkan betapa luar angkasa dan makhluk-makhluknya, sudah lama menjadi obsesi, baik visi sampai impian, baik atau buruk, pada diri umat manusia. Luar angkasa tak pelak merupakan the final frontier, perbatasan akhir, yang sarat pesona, juga misteri, seperti diungkap dalam film seri fiksi-ilmiah Star Trek yang terkenal.

Daya tarik the final frontier tidak hanya dalam fiksi. Realita ilmiah kadang jauh lebih mengagumkan. Simak siaran radio BBC (13/9/2005) yang mewartakan bahwa satelit NASA baru-baru saja ini mencatat kilatan cahaya dari tepian luar angkasa. Kilatan itu merupakan ledakan bintang mati yang berjarak 12,5 milyar tahun cahaya dari bumi.

Sekadar info : satu tahun cahaya adalah satuan jarak yang digunakan dalam disiplin ilmu astronomi. Yaitu jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam ruang hampa selama satu tahun. Satu tahun cahaya (!) itu setara dengan 9.4650 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 meter atau 5.8785 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 mil. Jarak sejauh 12,5 milyar tahun cahaya tersebut mengindikasikan betapa bintang bersangkutan lahir jauh sebelum matahari beserta tata surya yang kita kenal ini terbentuk.

Misteri dan rasa ingin tahu manusia yang kental terhadap luar angkasa menimbulkan harapan sekaligus ancaman. Dalam ranah penciptaan di bidang sastra, luar angkasa merupakan papan permainan yang menggairahkan untuk karya-karya fiksi ilmiah. Di ranah menggetarkan ini tercatat raksasa pengarang seperti Jules Verne, H.G. Wells, Robert A. Heinlein, Isaac “Bapak Robot” Asimov, Poul Anderson, Edgar Rice Burroughs, A.E. van Vogt, Arthur C. Clarke, Fritz Leiber, Henry Kuttner, sampai Ursula K. Le Guin.

Dua puluh tahun yang lalu, dalam buku katalog yang menyertai Pameran Buku Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) 1985, 4 – 14 Mei 1985 di Balai Sidang Senayan Jakarta, saya telah menulis artikel berjudul, “Fiksi Ilmiah : Bekal Anak-Anak Menghadapi Zaman Serba Teknologi”. Antara lain saya tuliskan :

“Cerita-cerita sains-fiksi atau fiksi ilmiah dalam kerangka menghadirkan dunia-dunai tidak dikenal sebenarnya tidak jauh dari usaha memberi kemasan baru bagi proyeksi yang jauh-jauh hari telah dilakukan. Misalnya saja konsep teologi inferno dari Dante.

Eksplorasi ke dunia tidak dikenal tersebut juga merupakan ekstensifikasi tema-tema karya pengarang abad 18-an yang berusaha meyakinkan adanya realitas dalam karyanya dengan mematok seting ceritanya pada daerah yang eksotis saat itu : satu-dua pulau terpencil di lautan Pasifik.

Sedang hari ini ketika tidak ada lagi bagian dunia yang belum terjamah oleh manusia, proyeksi daerah tidak dikenal itu segera mendongak ke atas : Planet Cygnus. Perang Antargalaksi. Kabut Andromeda. Angkasa Raya !”


EFEK MOZART DAN KECERDASAN. Alunan gamelan dalam gending Ketawang Puspawarna mungkin kini sudah menjadi top hit atau menjadi nomor klasik di kalangan makhluk angkasa luar. Mungkin mereka menyukainya.

Dugaan spekulatif ini ditopang asumsi yang selama ini kuat terbangun bahwa makhluk- makhluk angkasa luar memiliki kecerdasan yang tinggi. Steven “I dream for a living” Spielberg dengan film ET-nya telah menghadirkan fantasi manusia tentang makhluk angkasa luar yang cerdas dalam cerita di layar putih yang mempesona.

Dengan merujuk asumsi tersebut maka merupakan pilihan yang jenius bila kehendak manusia bumi untuk mengontak mereka adalah melalui musik. Sebab musik merupakan determinan yang sangat erat terkait dengan kecerdasan, bukan ?

Simak saja pendapat seorang Joseph Chilton Pearce ketika mengantar bukunya Don Campbell yang terkenal, The Mozart Effect for Children (2000), yang antara lain menulis :

Sebagai pencinta musik seumur hidup, saya ingat pernah membaca bahwa sekitar akhir tahun 1940-an, para ilmuwan atom di Oak Ridge, Tennesse, berkumpul pada saat-saat senggang mereka di malam hari untuk memainkan kuartet alat musik gesek.

Saya terkesan sekali ketika membaca jawaban penerima hadiah Nobel, David Hubel, seorang ilmuwan saraf, sewaktu ditanyai tentang apakah ia punya minat lain di samping bidang keahlian yang ditekuninya, penelitian otak yang berhubungan dengan penglihatan. Jawabnya adalah, “Sesungguhnyalah rupanya saya telah menghabiskan sebagian besar masa hidup saya di depan piano”

Paparan Pearce itu kemudian mudah mengingatkan pada sosok Albert Einstein (1879–1955), fisikawan termasyhur yang lahir di kota yang kini jadi tempat tinggalnya Tina, “Sang Putri Duyung Jelita Dari Sungai Donau” (klik Love for All Season untuk menemui blog dan foto diri Tina yang menawan), yaitu Ulm, Jerman. Kisah cinta yang panjang antara Einstein dengan biolanya telah dikenal oleh banyak orang. Dunia tentu tidak bisa melupakan kenangan terhadap peristiwa yang terjadi di tahun 1921, saat Einstein hendak berangkat ke Stockholm guna mengambil hadiah Nobel yang dimenanginya. Ia naik kereta api kelas 3 dengan di ketiaknya terkempit biola kesayangannya.


CINTA UNTUK KAREN TERCINTA. Upaya umat manusia menggalang kontak dengan media musik untuk para penghuni luar angkasa juga menjadi salah satu balada dalam lagu kelompok Carpenters. Inilah kelompok musik soft rock legendaris era 70-an. Terbentuk tahun 1968, di New Haven, Connecticut, yang dimotori oleh Richard Carpenter (1946- ) sebagai pianis dan produser, dan adiknya, Karen Carpenter (1950-1983), sebagai penyanyi utama.

Seorang fan menuliskan : Karen Carpenter's voice can make anyone fall in love. “Suara Karen Carpenter mampu membuat semua orang jatuh cinta”.

Yang lain mengimbuhi tak kalah indah : “Dia dan suara uniknya tatkala membawakan cinta akan menyentuh semua hati di antara kita, dan bakal abadi selamanya. Mendengarkan lagu-lagunya membuat kita serasa kembali ke jaman ketika kelompok ini baru tampil...dan ketika kita masih pula berusia muda.”

Karen Carpenter meninggal dunia pada usia 32 tahun, pada tanggal 4 Februari 1983. Ia meninggal karena gagal jantung akibat komplikasi penyakit anoreksia nervosa yang lama ia perjuangkan untuk memperoleh kesembuhannya. Ketika denyut jantungnya berhenti, jutaan jantung penggemarnya di seluruh dunia terguncang karenanya.

Seorang penggemar tak ayal menulis rasa dukanya yang mendalam : “Karen memiliki vokal yang unik. Jadi sungguh menyedihkan ketika Tuhan memanggilnya pulang dalam usia mekar 32 tahun. Duka kami tersalur lewat lagu-lagunya...Semoga Tuhan memberkati arwahnya.”

Simaklah juga betapa cintanya kepada sosok Karen Carpenter sampai seorang penggemarnya yang lain menuliskan kesan seperti menulis surat wasiat yang mengharukan : “Suara Karen sungguh luar biasa dan demikian pula musiknya yang mampu mengisi hati saya dengan kebahagiaan ketika mendengarnya...Saya katakan kepada anak saya, seumpama terjadi sesuatu pada diri saya (yaitu kematian), tempat untuk mengenangku kembali adalah pada musik Karen Carpenter... Tidak ada kata-kata lain yang lebih pantas untuknya.”

Dalam lagu Calling Occupations of Interplanetary Craft telah digambarkan betapa makhluk luar angkasa yang justru berprakarsa mengontak umat manusia. Dalam acara permintaan lagu-lagu dari stasiun radio All Hits Radio, penyiarnya tiba-tiba dibuat bingung karena muncul penelpon bersuara metalik yang tidak dikenal, kemudian terdengar mengabarkan :

We are observing your earth
And we'd like to make
a contact with you. Baby.

Para makhluk luar angkasa itu sedang mengamati bumi. Mereka pun ingin mengontak umat manusia. Mereka melakukan kontak melalui gelombang radio. Media kontak yang dipilih makhluk luar angkasa, yaitu melalui gelombang radio, tentu tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ilmu radio astronomi, yang dipelopori oleh Karl.C. Jansky (1905-1940), ilmuwan pada Bell Laboratory, sejak tahun 1932. Jansky yang pertama menemukan gelombang radio yang berasal dari luar atmosfir bumi, yaitu dari galaksi Bima Sakti.

Disiplin ilmu radio astronomi ini, yang kemudian menjadi cabang terpenting astronomi, adalah mengkaji objek-objek luar angkasa melalui gelombang radio yang mereka pancarkan. Perkembangan ini menghadirkan perangkat teleskop radio yang menggantikan teleskop optik astronomi visual yang lama. Fasilitas teleskop radio terbesar di dunia dengan piring parabola berdiameter sampai 305 m adalah Observatorium Arecibo di Puertorico.


CINTA DI ANTARA KERLIP BINTANG. Lagu indahnya Carpenters, yang diawali bunyi mirip sirene lembut, antara lain mengabarkan pesan-pesan damai umat manusia untuk para makhluk luar angkasa. Seolah digambarkan mereka sedang menaiki kendaraan luar angkasanya dalam misi perjalanan menjelajah antarplanet di angkasa raya.

”And please come on peace, we beseech you”, demikian pinta Karen Carpenter. “Hanya dengan mendarat di bumi, mengajari kami, karena tanpamu maka bumi ini tak akan lestari, maka kumohon segera kedatanganmu.” Mereka pun, sekali lagi, menjawab :

We've been observing your earth
And one night we'll make a contact with you
We are your friends

Mengapa untuk bisa mengontak makhluk-makhluk luar angkasa sepertinya harus terjadi di malam hari ? Pengarang Amerika, Ursula K. Le Guin (1929– ), mengajukan tesis yang menarik. Katanya, selama ini kita hanya terbiasa berpikir bahwa hidup kita selalu berada di siang hari. Tetapi sebenarnya setengah dari dunia ini selalu gelap ; dan oleh karena itu fantasi, demikian juga puisi, berbicara dalam bahasa malam hari.

Eksotika malam hari telah diungkap oleh sosiolog dari Universitas Boston, Murray Melbin dalam bukunya Night as Frontier (1987). Berdasarkan sensus, terdapat 29 juta warga Amerika terbangun ketika lewat tengah malam. Diperkirakan 20 juta dari mereka beraktivitas untuk menghamburkan uang, dengan makan-makan di restoran, berbelanja atau bepergian.

Sedang sebanyak 7,1 juta melakukan pekerjaannya. Bahkan pada jam tiga dan empat dini hari, pada saat paling sepi menjelang fajar, terdapat 10,6 juta warga yang terjaga dan terhitung 4,1 adalah mereka yang bekerja.

Pesona malam menjadi lahan kreatif penyiar radio Neil Myer yang mengudara antara jam satu sampai empat pagi di acara Talknet pada jaringan radio NBC. Seperti dilaporkan Gurney Williams III di majalah Reader’s Digest (10/1988), acara Talknet itu mempunyai pendengar 7,5 juta tiap mingggunya yang terentang pada 270 kota. Telepon di studio pusatnya di New York, selalu kebanjiran telepon yang memacetkan.

Orang-orang tipe “kelelawar”, nocturnal ini, menurut Myer tidak memiliki stereotip tertentu. “Mereka memiliki beragam pekerjaan. Mereka menelepon ketika mau berangkat kerja atau baru datang dari kantor. Tak ada dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bahkan sepuluh persen penelpon adalah anak-anak, yang saya pikir mereka seharusnya sudah mendengkur di atas kasur”

Orang-orang yang bekerja dengan komputer, penyair dan pekerja kreatif lainnya sering pula digambarkan sebagai orang-orang malam. Nicholas Negroponte, nabi digital dari Media Labs MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan pengarang buku sohor favorit saya, Being Digital (1995), mengaku dirinya terkena mild imsoniac, orang yang agak sulit tidur di malam hari. Ia sering terbangun di dini hari, lalu menghidupkan komputer untuk membalas beberapa email atau menulis. Kemudian tertidur lagi.

Negroponte tentu tidak sendirian. Akhir-akhir ini aku juga tertarik meneliti jam saat seseorang mengirimkan email atau memposting sesuatu informasi untukku. Dengan bantuan World Time Chart (sebelumnya sih pakai PDA, tetapi karena PDA-ku hilang di Singapura, Januari 2005 lalu, maka terpaksa harus pakai tabel manual itu), aku surprise melihat, misalnya ada postingan pada jam mendekati jam dua dini hari dan setengah tiga dini hari.

Kira-kira apa penyebab yang mendorong ia melakukan aktivitas ini justru ketika kebanyakan orang tidur di keheningan dini hari ?

Murray Melbin menjawab : karena orang-orang “kelelawar” tersebut nyata-nyata lebih bersahabat dibanding orang-orang siang. Keramahtamahan dalam pergaulan dan kooperasi, kerja sama, ritmenya mencapai puncaknya di malam hari, tambahnya lagi.

Itulah rupanya satu sisi keajaiban malam yang melimpah sebagai berkah pada diriku. Terima kasih. Aku mengerti. Pesan itu sampai. Persahabatan, ramah tamah, kerja sama, bahkan puisi dan fantasi, seperti simpul Ursula K. Le Guin, rupanya memang bahasa malam hari. Malam identik keheningan. Konsentrasi. Kontemplasi. Momen terbaik untuk membebaskan pengembaraan khayalan tanpa batas. Juga persemaian subur untuk impian.

Maka Karen Carpenter ketika melanjutkan nyanyiannya, ia pun mengajak dirinya sebagai manusia dan makhluk luar angkasa untuk melakukan kontak dengan saling berkonsentrasi di malam hari :

With your mind you have ability to form
And transmit thought energy far beyond the norm
You close your eyes, you concentrate

Together that's the way
To send the message
We declare world contact day

Kekuatan pikiran yang terkonsentrasi mampu memancarkan energi yang luar biasa. Kita bisa melakukan konsentrasi itu dengan memejamkan mata. Pesan-pesan akan sampai. Kontak pun akan terjadi pula karenanya.

Dalam karya sastra, seorang pengarang wanita Italia, Susana Tamaro dalam novelnya yang indah, Va’Dove Ti Porte Il Cuore (Pergilah Kemana Hati Membawamu), juga sekilas menceritakan upaya kontak dua hati, yang digelayuti kerinduan menggunung, dengan masing-masing mengonsentrasikan pikiran guna melambungkan pesan-pesan antarkeduanya di antara kerlipan bintang.

Novel ini merupakan percakapan panjang melalui surat antara seorang nenek dengan cucu perempuannya, yang kini terpisah. Terpisah jarak karena beda benua dan seringkali pula beda jalan pikiran. Hanya hati mereka yang masih mampu mempertemukannya.

Apabila rindu antara mereka begitu mendesak, sang nenek telah meminta cucunya pada malam-malam tertentu untuk keluar rumah, membawa foto dirinya di pucuk malam. Melangkah tiga kali, membentuk tanda salib dan berbisik kepada langit : “Ini aku. Aku di sini”

Sampaikah pesan-pesan antarmereka ?

Nora Ephron, pengarang dan sutradara film kelahiran New York 19 Mei 1941 rupanya percaya akan kekuatan takdir dan bahasa getar-getar langit. Dalam garapan film komedi romantis Sleepless in Seattle (1993) yang tokohnya diperani Tom Hank dan Meg Ryan, ia kisahkan sejak awal betapa domisili antara mereka saling berjauhan ribuan kilometer jaraknya. Mereka pun tidak saling kenal satu dengan lainnya.

Tetapi cinta antarmereka dapat bertaut berkat program siaran radio yang mereka dengar. Kesamaan perasaan akan kerinduan, penghargaan, kasih sayang dan cekikan kesepian, hal-hal yang sungguh manusiawi, membuat diri mereka tergerak melangkah saling mendekat untuk meraih kesempurnaan dalam kebersamaan.

Film yang unik, karena kedua tokohnya hanya bertemu pada lima menit terakhir. Di puncak Empire State Building, New York. Inilah pertemuan yang sudah tertakdir dalam garis-garis getar kosmis hanya untuk mereka berdua.


WHEN MY LOVE FOR LIFE IS RUNNING DRY. Dini hari Rabu (14/9), ketika waktu menunjuk sekitar jam tiga dini hari, saat jeda pertandingan sepakbola Liga Champion antara Villareal melawan Manchester United (Wayne Rooney mendapatkan kartu merah), aku keluar rumah.

Lengkung langit di atas Wonogiri terasa agak muram. Tidak banyak bintang bertebaran. Kabut pagi mulai pekat mengambang. Sungguh ajaib, dari radio tetangga masih terdengar nyaring alunan lagu indah, If, lagu klasik dari grup musik Bread. Lagu itu berasal dari acara Wonderful Night-nya Radio Karavan FM Solo yang akan berakhir jam 4 dini hari.


And when my love for life is running dry,
you come and pour yourself on me.

If a man could be two places at one time,
I'd be with you.
Tomorrow and today, beside you all the way

If the world should stop revolving
Spinning slowly down to die,
I'd spend the end with you.
And when the world was through,

Then one by one the stars would all go out,
And you and I would simply fly away.


Aku mendongak ke langit.
Memejamkan mata. Menyapa bintang-bintang.
Sambil menyebutkan sebuah nama.

Kemudian membiarkan kelompok Bread meneruskan pesan hatiku kepadanya. Pesan itu pun segera melesat terbang di antara kerlip bintang yang menari. Dan di luar sana, somewhere out there, aku yakin ada hati yang mengerti.



Wonogiri,12-15 September 2005

Thursday, September 08, 2005

Nubuat Para Nabi di Blog, Carpenters dan Apakah Diriku Seorang Desperado Yang Sudah Terlambat ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



MINDSET KAUM BLOGGER. Hari ini, 25 Agustus 2005, aku menapaki hari pertama untuk memasuki umur 53 tahun. Pagi-pagi aku bergairah menulis untuk milis komunitas BlogFam yang antara lain aku ingin mengabarkan sisi-sisi positif budaya interaksi antarkaum blogger. Aku ingin mengutip isi artikel John Ellis di majalah Fast Company (April 2002).

Majalah .Fast Company ini pernah aku pergoki di toko buku QB, Jl. Sunda, dekat Sarinah, Jakarta Pusat. Kalau majalah dalam negeri seharga belasan ribu rupiah, majalah ini sampai 125 ribu. Sementara majalah Harvard Business Review, hingga 300 ribu. Terlalu maha berat untuk bisa terjangkau kantong wong Wonogiri ini.

Menurut John Ellis, berbeda dibanding mindset para pengelola media cetak atau situs web, para blogger rata-rata berasumsi bahwa pembaca blognya adalah as smart as they are, if not smarter, secakap dirinya atau bahkan melebihinya.

Kasus kecil yang pernah aku alami : aku pernah agak lancang dengan mengirimkan email untuk usil mendiskusikan suatu tulisan kepada wartawan yang bersangkutan. Ada yang dijawab dengan nada tinggi, tetapi kebanyakan tidak pernah dijawab sama sekali. Itulah beda kontrasnya trait, karakter, antara pengelola “media lama” dengan kaum blogger. John Ellis menulis lagi :

Bloggers spend most of their time engaged in constant communication with their readers. In so doing, they create a network of sources who are always on the lookout for interesting articles, columns, stories, and items.

Kaum blogger menghabiskan sebagian besar waktunya untuk terlibat dalam komunikasi secara teratur dengan para pembaca situs-situs blognya. Dengan demikian antarmereka terbentuk suatu jaringan sumber informasi yang senantiasa memantau artikel-artikel baru, tulisan kolom, cerita dan hal-hal lainnya yang menarik.

Jaringan sumber informasi, network of sources itu saya bahasakan sebagai jaringan pulau-pulau cendekia. David Weinberger, pakar Internet Amerika, punya istilah small pieces, loosely joined, yang kemudian menjadi judul bukunya. Menurutnya, berkat Internet kini pelbagai pulau itu bisa secara mudah terintegrasi satu dengan lainnya. Komunitas BlogFam kita ini, adalah representasi dari network of sources itu, bukan ?

Dalam blog saya, Esai Epistoholica No. 9/September 2004 berjudul Nubuat Nabi-Nabi Tertulis Di Tembok-Tembok Subway telah saya tuliskan :

“Pulau-pulau cendekia yang kecil-kecil itu akan berdampak dahsyat bila tergabung dalam sebuah jaringan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman (terlebih lagi, seperti kata ibu Asrie M. Iman, seorang epistoholik senior dari Jakarta, pengalaman yang hanya bisa didapatkan melalui perjalanan waktu), keahlian sampai kearifan, nantinya berharga sebagai rujukan atau pos informasi tempat kita untuk saling bertanya, meminta nasehat, berbagi informasi, saling menyemangati dalam menempuh kehidupan di dunia, yang dalam nyanyian Karen Carpenter disebut sebagai a restless world, dunia yang gelisah.

Dunia yang gelisah, dunia yang membutuhkan nubuat nabi-nabi. Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu Sound of Silence mencoba memberi petunjuk, dikutip sebagai judul tulisan ini : the words of the prophets are written on the subway walls. Siapa tahu, di era Internet ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru : tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam situs-situs blog masa kini.”


INDAHNYA DANUBE BIRU JOHANN STRAUSS. Setelah memposting, aku keluyuran menjelajahi blog warga BlogFam lainnya. Saya sengaja mengunjungi situs blognya Zeventina, di mana pemiliknya adalah sebagian dari fenomena keajaiban Internet yang aku pergoki akhir-akhir ini.

Sekadar cerita, pada artikelku di blog Esai Epistoholica No. 26/Agustus 2005 yang berjudul Menari Bersama Jerangkong : Blogger, Lurker, dan Miduk Dalam Kenangan Seorang Epistoholik, pada bagian akhir aku tuliskan kalimat : “Melalui situs blog ini, tarian jerangkong saya, tarian perayaaan bagi kebebasan jiwa itu, bisa saya kabarkan kepada dunia.”.

Dunia pun rupanya bermurah hati menanggapinya. Melalui kebaikan hati seseorang yang sebelumnya tidak pernah aku kenal sama sekali, dan bahkan secara geografis antara kita terpisah ribuan kilometer jaraknya. Tetapi berkat Internet, dirinya telah sudi menuliskan komentar yang encouraging untuk tulisan saya di atas. Dia yang baik hatinya itu adalah Tina. Saya harus membalas kebaikannya, dengan mengunjungi situs blognya.

Blognya Tina cerah-ceria. Menyejukkan hati dan mata. Tina meracik blog indahnya tersebut dari Ulm, kota industri di tepian sungai Danube (ingat nomor indahnya Johann Strauss, Blue Danube?) di negara bagian Baden-Württemberg, Jerman. Pasukan Napoleon tercatat pernah meluluh lantakkan bala tentara Austria di kota ini pada tahun 1805. Ulm adalah pula kota kelahiran fisikawan termashur, Albert Einstein. Hmmm, gara-gara Tina, aku jadi belajar tentang kota Jerman dan juga Ulm....

Blog Tina tampil elegan. Dihiasi foto pemiliknya yang cantik dan menawan. Pemotretnya pasti profesional. Artisnya juga dong :-). Kalau boleh berkomentar, aku menyayangkan hadirnya ornamen bintang dalam foto Tina tersebut. Menurutku kok justru merusak dan memecah fokus. Silakan berkunjung, Anda akan disambut puisinya Tina yang indah dan menebarkan optimisme :


If you can look at the sunset and smile,
then you still have hope.

If you can find beauty in the colors of a small flower,
then you still have hope.

If you can find pleasure in the movement of a butterfly,
then you still have hope.

If receiving an unexpected card or letter still brings a pleasant surprise,
then you still have hope.


(Ini favorit saya, karena tiba-tiba, tak disangka blog saya ketiban komentar menyenangkan dari seseorang yang tak aku kenal, dari Jerman sana....)

Lanjutan puisinya Tina masih puanjang,
indah-indah, makin bernas dan inspiratif!


PS : Apa Tina itu masih punya hubungan famili dengan penulis Amerika terkenal, Studs Terkel ? Nama ini pernah muncul selintas dalam sitkom Friends, tertera di sampul buku yang dipegang oleh dosen dinosaurus, Ross Geller. Studs Terkel terakhir menulis buku Hope Dies Last: Keeping the Faith in Difficult Times . Apakah Tina terinspirasi dari buku ini atau sebaliknya ? Ditunggu cerita-ceritanya.


WE’VE ONLY JUST BEGUN. Setelah menorehkan komentar (pemajangan asesori kotak komentar untuk blog, saya sudah tahu sumbernya, tetapi aku masih gaptek untuk mencobanya di blogku !), aku menelusuri para pengunjung blognya Tina. Tina rupanya memang figur yang populer di jagat blogosfir.

Aku men-klik salah satu nama, yaitu “Emil”, dan segera di bawa menuju blog Emil Mansur yang berpangkalan di kota Karlsruhe, masih juga di Jerman. Pria Jakarta dan lulusan ITB ini sedang kuliah (atau bekerja ?) di kota pada tepian sungai Rheine di Jerman bagian barat.

Sebagai pendukung tim sepakbola nasional Jerman sejak tahun 1974, sekaligus tim Bayern Muenchen, saya tahu kota Karlsruhe adalah tempat kelahiran salah satu pemain tim nasional Jerman yang saya sukai : Thomas Hassler. Pemain yang posturnya kecil ini, 168 cm, adalah eksekutor untuk bola-bola mati yang mematikan !

Isi blog Emil Mansur antara lain menceritakan peristiwa pernikahannya dengan Sandra, di Bandung. Saya pun, setelah memuji penampilan blognya (karena blog-blogku memang polos, tanpa asesori, ibaratnya masih hidup di jaman pak Flintstone !) tergerak pula untuk ikut mengucapkan selamat untuk pengantin baru itu. Saya selipkan rayuan agar mereka sudi menyimaki isi lagunya Carpenters, We’ve Only Just Begun. Lagu wajib yang teramat indah untuk para pengantin baru.

Lagu ini menurut Robert T. Kiyosaki dalam bukunya yang berjudul Rich Dad’s Guide To Investing : What The Rich Invest In, That The Poor and Middle Class Do Not ! (2000), telah ia daulat sebagai soundtrack semangat jaman bahwa dunia kita ini baru mulai. Kiyosaki merujuk sinyalemennya itu kepada isi iklan lembaga keuangan sohor Meryll Lynch yang terpasang sehalaman penuh pada koran-koran AS tanggal 11 Oktober 1998, yang memproklamasikan bahwa dunia baru berusia 10 tahun.

Mengapa baru 10 (kini : 17) tahun ? Sebab baru sekitar sepuluh tahun Tembok Berlin dirubuhkan. Pembongkaran Tembok Berlin adalah peristiwa yang digunakan oleh para sejarawan ekonomi untuk menandai akhir abad Industri dan awal Abad Informasi.

Robert T. Kiyosaki menulis : “Karen dan Richard Carpenter menyanyikan sebuah lagu besar We’ve Only Just Begun. Bagi mereka yang mengira mereka terlalu tua untuk mulai dari nol lagi, ingatlah selalu bahwa Kolonel Sanders mulai dari nol lagi pada usia 66 tahun. Keunggulan yang kita miliki dibandingkan Kolonel Sanders adalah kita semua sekarang hidup di Abad Informasi, di mana yang penting adalah seberapa muda kita secara mental, bukan seberapa tua kita secara fisik.”

Bagiku, ucapan Kiyosaki tersebut dan lagunya Carpenters ini memang indah dan sarat makna :


We've only just begun to live
White lace and promises
A kiss for luck and we're on our way

Before the rising sun we fly
So many roads to choose
We start out walking and learn to run

Sharing horizons that are near to us
Watching the signs along the way
Talking it over just the two of us
Working together day to day, together

And yes we're just begun to live


Di warnet SalsaNet, setelah merampungkan kuajiban untuk komunitas BlogFam, juga mengucapan terima kasih ke Tina, aku masih penasaran terhadap isi situs yang memuat foto-foto upacara pemakaman yang bertajuk
In Memoriam Bambang Haryanto itu.

Bayangkan : seseorang yang namanya sama dengan diriku telah meninggal dunia. Foto-foto prosesi dan upacara pemakamannya dipajang di media berskala global, Internet.

Apalagi setelah mengopi foto-fotonya dalam format lebih besar, aku semakin terperanjat : Bambang Haryanto itu orang Wuryantoro, Wonogiri. Melihat ciri-ciri lingkungan pemakamannya, aku yakin adalah makam yang sama tempat kakekku, Kasan Luwar, dan pakdeku, Juhar, juga disemayamkan.

Peristiwa aneh dan luar biasa ini telah aku tuliskan dalam Esai Epistoholica No. 27/Agustus 2005 – Blog, Internet dan Kematian : Menurut Yahoo Namaku Telah Meninggal Dunia Tetapi Seseorang Di Paris Juga Telah Mencatatnya.


LOVE IS SURRENDER. Malamnya, dalam acara Selekta Malam di Radio Solopos FM (103.00 Mhz), selepas jam 22 malam, aku mengirimkan SMS meminta lagu. Tentu saja, lagunya Carpenters. Penyiarnya saat itu adalah Yanto Martono. Radio ini studionya berada satu gedung dengan koran Solopos, di Solo. Antara Solo dan Wonogiri dipisahkan jarak sekitar 32 km.

Beberapa malam sebelumnya, aku mendapat telepon kejutan dari Yanto Martono ini. Gara-gara malam itu aku mengirim teka-teki mengenai judul lagunya Carpenters, yang aku ubah dalam bahasa Jawa.

Aku tulis : Tresno Iku Pasrah Bongkokan. Silakan tebak. Sudah pula aku beri isyarat, clue, yaitu kata Love is....

Saat Yanto menelepon, dirinya langsung bilang : “Menyerah...”. Kami lalu terlibat obrolan di saat jeda, sementara radionya masih mengudarakan lagu. Akhirnya aku bocorkan jawabannya : Love Is Surrender.

Mungkin terinspirasi oleh situs yang memajang foto-foto penguburan, aku meminta lagunya Carpenters yang agak “berisik”, Deadman’s Curve. Lagu ini termuat dalam album Now And Then. Aku juga mengajukan pilihan lain, lagu yang lebih manis dan mesra, salah satu dari album Made In America, yaitu Those Good Old Dreams :

It's a new day for those good old dreams
One by one it seems they're comin' true
Here's the morning that my heart had seen
Here's the morning that just had to come through

Same old stage but what a change of scene
No more dark horizons, only blue
It's a new day for those good old dreams
All my life I dreamed of lovin' you


Ternyata lagu yang diputar, menjelang acara Selekta Malam itu berakhir, adalah lagu Carpenters yang lain. Lagu ini belum pernah aku dengar sebelumnya. Judulnya, Desperado. Terjemahannya : penjahat yang nekad, bandit atau bajingan. Lagu ini aslinya dibawakan Eagles, 1973. Judul yang sama juga menjadi judul film yang dibintangi Antonio Banderas dan Salma Hayek.

Liriknya, oh, merujit-rujit nurani. Mencabik-cabik hatiku. Mengapa Yanto Martono bisa “pas” menemukan lagu satu ini ? Apakah ia sengaja memilihnya, untuk menyindirku dan hidupku ? Apakah ada sesuatu getar-getar kosmis di Atas Sana yang telah menuntunnya, karena lagu ini kemudian berubah menjadi sebuah “wahyu” pencerahan bagiku ?

Impian-impian lama yang indah mengenai keinginan untuk mencintai seseorang, dan sebaliknya, yang pernah terjadi tetapi tidak bisa lestari atau justru kandas sebelum mulai, kini menghadapkanku pada realitas yang lebih rough dan nyata. Antara lain ketika kini waktu tak lagi punya kompromi. Semua konsekuensi itu terjadi, karena diriku adalah seorang desperado selama ini ?


Desperado
Why don't you come to your senses
You been out ridin' fences
For so long now

Oh, you're a hard one
But I know that you've got your reasons
These things that are pleasin' you
Can hurt you somehow

Ya – dalam hal tertentu, saya adalah seseorang yang berkepala batu. Idealis. Perfeksionis. Soliter. Walau pun demikian saya juga memiliki alasannya. Tetapi juga dengan jujur mengakui tatkala seorang Marina Margaret Heiss ketika menulis profil seorang INTJ (Introverted, iNtuitive, Thinking, Judge), profil yang mendekati diriku dalam tes Humanmetrics, telah menyebutkan sisi kelemahan INTJ. Katanya, hubungan pribadi, terutama yang romantis, merupakan tumit Achilles, pengapesan, atau kelemahan pokok dari sosok INTJ ini.

Kata Heiss,walau INTJ mampu memberikan perhatian secara mendalam bagi orang lain (sedikit dan terpilih), bersedia berkurban waktu dan usaha dalam membina hubungan, tetapi pengetahuan dan rasa percaya diri yang mengantarnya mampu meraih sukses dalam bidang tertentu tiba-tiba justru merusak atau menyesatkan dalam situasi hubungan antarpribadi.

Hal ini sebagian terjadi akibat kaum INTJ itu tidak memahami ritus sosial. Misalnya, mereka cenderung memiliki kesabaran yang tipis dan kurang memahami pentingnya hal-hal “remeh temeh” seperti mengobrol atau pun merayu, di mana sebagian besar orang menganggapnya sebagai setengah dari keasyikan sesuatu hubungan.

Lebih membuat rumit lagi, sosok INTJ seringkali adalah seseorang yang penyendiri, through this world all alone, tanpa emosi, hingga mudah sekali untuk menjadi korban “salah baca” dan mudah pula disalahfahami.

Freedom, ah freedom
That's just some people talkin'
You're prisoners walkin'
Through this world all alone

Masalah paling pokoknya, tegas Heiss lebih lanjut, sosok INTJ menginginkan orang lain berperilaku masuk akal. Hal ini jelas menjerumuskannya untuk berlaku naif. Alih-alih dirinya berusaha melimpahi seseorang dengan kasih sayang dan empati dalam hubungan yang romantis, kaum INTJ justru mengharapkan hal-hal yang logis, serba langsung, dan terus terang.

Desperado
Why don't you come to your senses
Come down from your fences
Open the gate

Aku memang masih terkungkung di balik jeruji penjara. Penjara buatanku sendiri. Penjara yang aku anggap sebagai istana. Pintu gerbang hati saya untuk cinta, setelah Miduk pergi sampai Thya pergi, aku masih saja trauma untuk membukanya. Padahal itu terjadi sudah lama sekali. Bahkan mereka sendiri pun pasti sudah pula melupakannya.

Desperado
Oh you ain't gettin' no younger
Your pain and your hunger
They're drivin' you home

Ya. Benar - aku jelas tidak muda lagi. Hari ini aku menjalani hari pertama untuk melangkahkan kakiku menuju usia 53 tahunku. Di dunia masa kini yang begitu memuja kemudaan, bertambahnya umur seringkali bukan hal yang mudah untuk diterima dengan ikhlas dan legawa. Anda juga selalu pengin awet muda ?

Komedian Bob Hope pernah mengajukan rahasia cespleng agar seseorang selalu awet muda. Katanya, “Saya punya rahasia agar saya selalu awet muda. Saya berbohong tentang umur saya sebenarnya”.

Sementara itu tokoh ayah kaya dari Robert T. Kiyosaki, seperti yang ia ungkapkan dalam bukunya Rich Dad’s Guide To Investing (2002), telah memberi wawasan lain yang menarik mengenai bagaimana seseorang menyikapi usia.

“Secara fisik kamu pasti akan lebih tua, tapi itu tidak berarti secara mental kamu akan lebih tua. Jika kamu ingin awet muda lebih lama, pakai saja ide-idemu yang lebih muda. Orang-orang menua atau ketinggalan zaman karena mereka berpegang pada jawaban-jawaban benar yang sebenarnya adalah jawaban-jawaban lama”

Apakah ucapan Kiyosaki tersebut merupakan sebuah pain killer yang berguna ? Juga bagiku ? Yang pasti, akhirnya setiap orang memang bebas untuk memilih. Boleh memilih sikap pesimistis atau sikap optimistis dalam menjalani hidup ini. Carpenters masih menyanyi :

It may be rainin'
But there's a rainbow above you

Anda lebih memilih menggerutu karena jatuhnya hujan ?
Atau memilih takjub saat menikmati keindahan sebentuk lengkung pelangi ?

Bagiku, ucapan Kiyosaki dan baris akhir lirik lagu Desperado-nya Carpenters masih memberiku secercah sinar optimisme :

You better let somebody love you
You better let somebody love you
Before it's too late



Wonogiri, 25/8-5/9/2005.

Tuesday, September 06, 2005

Radio (dan Carpenters) Dalam Kehidupan Seorang Epistoholik

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



When I was young
I'd listen to the radio
Waitin' for my favorite songs
When they played I'd sing along
It made me smile.
(“Yesterday Once More”, Carpenters).


All we hear is radio ga ga
Radio goo goo, radio ga ga
All we hear is radio ga ga, radio bla bla
Radio what's new ?
Radio, someone still loves you!
(“Radio Ga Ga”, Queen).


RADIO KARAVAN FM, SOLO. Akhir-akhir ini saya mencoba mempromosikan Epistoholik Indonesia melalui radio. Tentu saja bukan seperti produk balsem atau bengkel jok mobil yang berpromo melalui iklan. Saya mempromosikan Epistoholik Indonesia melalui acara-acara musik di radio.

Hari Minggu (3/4) sore melalui acara Jazz On Sunday-nya Radio Karavan FM Solo (107.30 MHz), melalui SMS saya meminta lagu. Dengan menyebutkan nama diri dan Epistoholik Indonesia, yang lalu di ad-lib-kan penyiarnya, saya menikmati sensasi kecil.

Termasuk sensasi memutar kenangan saat nomor Angela-nya Bob James, yang saya minta itu, mengalun di udara. Sekadar Anda tahu, nomor instrumentalia indah ini adalah lagu tema sitkom Taxi yang dibintangi Judd Hirsch dan Danny de Vito, diputar di TVRI setiap Sabtu petang, tahun 1980-an.

Ada cerita kecil. Di tahun 80-an saya mencari-cari kaset Bob James ini di bilangan Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, oh, rupanya menarik perhatian pengunjung lain. Ngobrol punya ngobrol, seputar musisi Bob James dan karya-karyanya, sobat baruku itu bernama Dudi, anak Teknik UI. Tinggalnya di Asrama UI Daksinapati, dimana sering nampak Imam Prasodjo sampai Yusril Ihza Mahendra nongkrong di kantin Daksinapati-nya Tuti. Dudi, mungkin terkecoh atas selera musikku, sampai-sampai menawari saya untuk bergabung dalam orkestranya UI, Mahawaditra. Ajakan yang harus saya tolak !

Dalam kesempatan lain ketika radio yang sama menggelar acara rutin bertajuk Symphony Boulevard (Senin, 22.00 sd 24.00), saat malam merambat saya dimanjakan dengan disebutnya Epistoholik Indonesia oleh penyiarnya, Ratih Ramadinta, ketika mengawali hadirnya Rainy Days And Mondays-nya Carpenters. Intro harmonika lagu ini begitu indah tetapi pesan yang hadir sangatlah merujit-rujit hati :


Talkin' to myself and feelin' old
Sometimes I'd like to quit
Nothing ever seems to fit
Hangin' around
Nothing to do but frown
Rainy Days and Mondays always get me down

Wonogiri saat-saat ini memang lebih sering diterpa hujan. Membuat suasana hati cenderung menjadi gloomy, jidat terlipat, tetapi sekaligus juga merupakan momen menawan untuk pijakan melakukan sekadar bernostalgia, menganyam kembali masa-masa silam. Tentu saja termasuk tentang radio. Juga berintrospeksi mengenai hidup ini.


RRI SURAKARTA. Radio menjadi barang ajaib ketika saya duduk di kelas 2 SD. Tahun 1960-an. Saat itu om saya, yang seorang prajurit TNI-AD, baru saja pulang dari Kongo, Afrika. Ia bertugas dalam kontingen Garuda III, menjaga keamanan di negara yang terkenal dengan presiden Patrice Lumumba itu. Ketika pulang, ia membawa motor Vespa dan radio Philips. Diajari memutar-mutar tombol gelombang radio, yang kebanyakan hanya memunculkan suara desis, pengalaman itu sudah seperti sebuah sensasi yang luar biasa.

Radio transistor menjadi perabot di rumah saya baru terjadi pada tahun 1968. Mereknya Telesonic. Warnanya biru tosca. Sebelum kehadiran radio itu saya dan adik-adik saya terpaksa bermain ke tetangga, Bapak Maryomo, bila ingin mendengarkan siaran langsung pertandingan sepakbola perserikatan. Momen yang paling saya ingat adalah pertandingan Persib Bandung melawan Persija Jakarta. Sepulang dari nguping pertandingan tadi, saya mencoba merekonstruksi pertandingan tersebut dalam sebuah karangan. Untuk dibaca sendiri. Kata favorit saya saat itu adalah scrimmage, yaitu keadaan kacau di mulut gawang, sekaligus suasana yang menegangkan, terjadi gol atau sebaliknya !

Di usia SMP itu lagu-lagu favorit saya antara lain Don’t Forget to Remember dan Massachusetts (The Bee Gees) sampai Aline (Christophe). Acara Siaran ABRI RRI Surakarta, acara permintaan lagu-lagu dengan penyiar terkenal Kak Mulato, menjadi favorit. Saya pernah meminta lagu yang saya tujukan kepada ayah saya, seorang TNI-AD yang saat itu bertugas di Yogya (keluarganya tetap di Wonogiri). Esoknya, kelas saya, III B di SMP Negeri I Wonogiri, rada heboh guna membincangkan “pemunculan” saya di media radio tersebut.

Acara favorit lainnya, Tangga Lagu-Lagu Pop Indonesia RRI Surabaya. Setiap Sabtu sore, sebelum acara itu mengudara, saya siapkan tabel untuk memasukkan data : berapa minggu sesuatu lagu muncul dalam daftar, berada di urutan berapa, dan lagu-lagu apa yang baru masuk atau keluar dari daftar chart atau daftar tangga lagu-lagu itu. Nama penyanyi besar saat itu termasuk Anna Mathovani, Erni Johan, Tetty Kadi, sampai Titiek Sandhora. Saya pribadi menyukai penyanyi imut asal Solo, Inneke Kusumawati.


RADIO GERONIMO, YOGYA. Tahun 1970, saya bersekolah di Yogya. Saya sudah diterima di SMA Negeri V (saat itu jadi satu dengan SMA Bopkri I), tetapi akhirnya memutuskan untuk masuk ke STM Negeri II, Jetis. Pilihan yang berbuntut dengan konsekuensi yang tak mudah dalam hidup saya hari-hari mendatang. Tetapi itu cerita yang lain lagi. Tinggal saya saat itu di messnya ayah, di Jl. Ahmad Jajuli, Kotabaru (kini sudah jadi rumah tinggal), dan tidak ada radio.

Baru pada tahun 1971 ayah saya membeli radio Philips. Warnanya hitam dengan lapisan ornamen serat kayu coklat kemerahan. Saat itu saya tinggal di bilangan Jalan Dagen, sepelemparan batu dari Jalan Malioboro. Kehadiran radio kali ini seolah sinkron dengan makin terpaparnya diri saya terhadap perkembangan musik Indonesia dan dunia. Saya membaca majalah Aktuil, bacaan wajib generasi muda saat itu. Sering saya tidak harus membeli, karena kiriman humor-humor saya dimuat sehingga selain mendapatkan honor, saya juga memperoleh nomor bukti majalah bersangkutan.

Radio favorit saya saat itu adalah Radio Geronimo. Karena radio ini hanya memutar lagu-lagu Barat. Lewat radio inilah saya terpapar nama-nama agung seperti Deep Purple, Led Zeppelin, Grand Funk Railroad, Uriah Heep, Black Sabbath, Three Dog Night, sampai Blood Sweat & Tears. Juga Crosby, Still, Nash & Young. James Taylor. Caroline King. Carpenters. Don McLean. Conway Twitty. Glen Campbell. Sonny & Cher. Shocking Blue. Dawn. Eagles. Simon & Garfunkel. America. Kali ini tidak hanya musiknya, tetapi juga kisah personil dan tur-tur mereka. Wartawan idola saat itu adalah wartawan musik Denny Sabri.

Pernah dalam kertas ulangan, pada bagian bawah saya tambahkan tulisan judul lagunya Simon & Garfunkel yang baru saya gandrungi, The Only Living Boy In New York. Ketika kertas ulangan itu dikembalikan kepada masing-masing murid oleh guru STM saya, Pak Sumarto, ternyata ada tulisan tambahan dari beliau : “But, why do you live in Yogya ?”

Pada saat yang sama saya merasa sebagai sebuah generasi yang hilang terutama untuk kelompok The Beatles. Selain nomor Oh Darling dan Don’t Let Me Down, saya tidak tahu banyak tentang lagu-lagu sebelumnya dari John Lennon dkk asal Liverpool ini. Untuk Bee Gees atau pun The Rolling Stones, saya masih merasa beruntung. Karena mereka terus berkarya, sementara The Beatles bubar, sehingga saya masih menikmati ketika di akhir 70-an The Bee Gees hadir dalam kemasan disco dalam How Deep Is Your Love (dikenalkan oleh Krisdinah “Miduk” Purnamaningsih, yang punya senyum gemintang menyilaukan, mirip Baby Spice-nya Spice Girls, tahun 1978) atau Mick Jagger dkk dalam Angie atau Brown Sugar.

Usai The Beatles bubar, saya masih memperoleh sisa-sisa kejeniusan pentolan-pentolannya. Misalnya Paul McCartney dan Wings dalam Uncle Albert Admiral Halsey, George Harrison dalam Bangladesh, All Thing Must Pass dan tentu saja, My Sweet Lord. Ringo Starr dengan Back Off Bogaloo dan It Don’t Come Easy. Sementara John Lennon dengan karya-karya agungnya seperti Imagine, Jealous Guy sampai Mind Games.

Tahun 1972, saya sempat bermain-main di radio Waringin Kencana, Yogya. Kisahnya ada seorang tauke yang suka mengoprek radio, lalu bekerjasama dengan fihak Kodim 0735 Yogyakarta, mendirikan pemancar radio setengah resmi sebagai corong promosi Golkar. Dengan koneksi ayah saya, saya bisa gabung.

Segalanya masih serba amatiran. Dua-tiga kali saya juga tampil sebagai penyiar. Bonus dari aktivitas itu adalah : saya memperoleh bungkus piringan hitam dari album The Bee Gees, yang antara lain berisi lagu Massachusetts. Dibawa-bawa ke sekolah, untuk nampang di antara kawan-kawan. Terutama untuk unjuk gigi kepada teman sekelas saya, Bambang Tamtomo Adiguno, asal Magelang, yang perbendaharaan lagu The Bee Gees (ia mampu menyanyikannya mirip suara khas Robin Gibbs) dan pengetahuannya tentang film sering membuat saya iri hati.

Tetapi kita berdua, ditambah Muhammad Umar Hidayat, asal Demangan, seolah membuat kubu sebagai penikmat lagu-lagu barat “berkualitas tinggi”. Kita pun sering menertawakan kelompok lain yang saat itu baru getol menyenandungkan lagu-lagunya Koes Plus, Panbers atau lagu Baratnya penyanyi seperti Victor Wood sampai Eddie Peregrina.


MLOYOSUMAN BROADCASTING CORPORATION, SOLO. Tahun 1972, saya meninggalkan Yogya. Saya pindah ke Solo, meneruskan kuliah di Fakultas Keguruan Teknik, IKIP Surakarta (kemudian menjadi UNS Sebelas Maret).

Saya tinggal di Tamtaman, Baluwarti, di lingkaran dalam tembok Keraton Surakarta. Saya tinggal di lingkungan rumahnya Eyang Laksmintorukmi, salah satu garwo ampil dari Paku Buwono XI. Kalau mendapat kiriman obat-obatan yang petunjuknya berbahasa Inggris, saya menjadi “apoteker” untuk menerjemahkan aturan pemakaian obat bersangkutan kepada Eyang Laksminto. Ia adalah penasehat spiritual sekaligus guru menarinya Guruh Soekarnoputra.

Kembali beberapa tahun, saat itu, saya terputus dari radio. Baru pada tahun 1978-an, seorang tetangga, Unggul, yang berkuliah di UGM Yogyakarta, mengutak-atik perangkat elektronik hingga tercipta pemancar radio mini. Bisa ditangkap oleh radio penerima dalam radius sekitar ratusan meter, suaranya pun termasuk jelek. Jadilah kami mengudara, Mloyosuman Broadcasting Corporation (MBC) !

Lagu yang sering diputar saat itu adalah nomornya Alice Cooper, School’s Out” atau No More Mr. Nice Guy. Juga Blockbuster-nya Sweets. Saya juga menyiar. Gemar menyontek gaya penyiar radio Geronimo, Yogya. Yaitu banyak memakai istilah sok Inggris, temponya dibuat cepat dan enerjik. Sebutan untuk penyiar pun menyontek radio Geronimo, di mana penyiar menyebut diri dengan Senator. Di Mloyosuman, Baluwarti, Solo ini, saya menyiar dengan nama Senator Harry Nillson !

Kebetulan di dekat kos saya, tinggal beberapa bule asal Australia. Mereka dapat disebut pelopor “bule masuk kampung” ya ? Mereka mengontrak rumah, yang jauhnya hanya 5 meter dari tempat saya. Salah satu penghuninya adalah cewek asal Melbourne, Victoria Monk. Matanya biru. Saya merasa enak berinteraksi dengannya. Kaos saya pernah dilukis logo Penguin dengan tinta akrilik olehnya.

Suatu saat saya pernah ia siksa, ketika harus mengantarnya jalan-jalan memutari Yogyakarta. Kaki saya sangat kecapekan. Tetapi Tory juga baik hati. Ia mau menemaniku nonton wayang di Sriwedari saat ada pesta mahasiswa, juga senang hati mengantarku hingga kereta api berangkat dari stasiun Solo Balapan ketika aku kepingin keluyuran sendiri ke Bali. Sebelumnya ia mengajariku main harmonika untuk menyenandungkan lagu “500 Miles”, hitnya Paul, Peter and Mary :

If you missed the train I’m on
You will know that I’m gone
You can hear the whistle blow
A hundred miles


Beberapa teman Tory itu pernah aku ajak ngobrol di depan mik radio super-amatiran Mloyosuman Broadcasting Corporation itu. Beda bangsa, tetapi musik mendekatkan kita. Lagu dan musik adalah bahasa universal. Tak aneh bila mendiang Paus Johanes Paulus II ketika kembali pulang ke Polandia tahun 1979, lalu disuguhi nyanyian gereja bergaya folk-rock, ia pun berkomentar : “Saya punya kegemaran yang amat sangat terhadap lagu dan musik. Inilah dosa yang saya bawa dari kebangsaan Polandia saya”

Begitulah, dengan lagu dan musik, di depan mik itu pula saya seperti memperoleh keberanian ekstra untuk menyapa cewek-cewek Baluwarti yang selama ini bila ketemu di jalanan hanya bertukar senyum. Sokurlah, sebagian mereka sepertinya (GR berat !) suka.

Sayang, saat itu Kenil, salah seorang putri tokoh terhormat dan berdarah biru Kraton Surakarta, Pak Panji Mloyosuman, masih imut. Beberapa tahun kemudian baru ketahuan pesona Kenil yang sebenarnya !

Tahun-tahun itu, 1977-1980, saya lalu tinggal di Galeri Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Tempat ini ya workshop seni lukis anak-anak, pusat aktivitas kesenian, asrama gratisan, tempat bertanding scrabble, juga untuk cuci mata. Baik ketika menonton turis-turis yang berkunjung ke Kraton Solo, sampai menyambut rutin lambaian tangan dan senyum penuh makna dari Kenil yang menggetarkan sukma.

Kuliah saya saat itu boleh dibilang berantakan, karena lebih tergiur untuk berseniman-ria. Menggeluti seni lukis, kine klub, menyair, jadi wartawan musik, juga belajar sinematografi. Baru tahun 1979 bisa lulus. Saat itu pernah seorang teman main berkesenian, yang reporter RRI Surakarta, Mansur (adik sastrawan Budiman S. Hartoyo), menyodorkan tape recorder. Lalu ia bertanya seputar kesanku tentang kehidupan kesenian dan kebudayaan di Solo. Saya pikir ini hanya guyonan. Beberapa hari kemudian, salah seorang staf kampus saya mengomentari wawancara radio-ku tersebut.


PRAMBORS RASISONIA, JAKARTA.Kalau Anda membaca bukunya John Howkins, The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (Penguin, 2001), mungkin Anda akan terkejut membaca salah satu formula untuk memperoleh sukses di dunia ekonomi kreatif dewasa ini.

Be nomadic, katanya. Jadilah pengembara. Jadilah insan yang suka keluyuran, berpindah-pindah tempat hidup. Kaum nomad itu, katanya, menghargai baik padang pasir atau pun oasis, seperti halnya daya kreatif membutuhkan baik kesunyian atau pun kegaduhan, berpikir sendirian dan bekerja bersama-sama.

Tahun 1980, saya jadi kaum nomad lagi. Kali ini pindah ke Jakarta. Kuliah di UI. Teman sekos saya, desainer tekstil untuk PT Centex, memiliki radio Philips hitam. Lewat sarana inilah saya menguping, kebanyakan, Radio Prambors. Anak muda harus berani, kreatif dan jujur, begitu slogannya. Di radio ini pula saya untuk pertama kalinya mendengar suara lembutnya Tika Bisono, yang saat itu mahasiswa Fak. Psikologi UI, selain juga mengidolai Louise Hutahuruk yang mahasiswi FISIP UI. Kalau tak salah, mereka menyanyikan lagu-lagu album Dasa Tembang Tercantik, hasil kontes penulisan lagu oleh Prambors.

Penyiar Prambors yang terkenal adalah Sys NS. Juga Marwan Al-Katiri. Lagu yang mencolok saat itu seperti 99 Red Baloons sampai Get Out My Dream, Get Into My Car. Artis-artis yang lewat meliputi The Police. Leon Haynes Band. Paul Young. Reo Speedwagon. Scorpion. Kools & Gang.

Seorang mahasiswi Desain Universitas Trisakti, Cresenthya Hartati (lahirnya sama dengan mendiang Paus Johanes Paulus II, 18 Mei) menghadiahiku teks lagu lembutnya Gerard Joling, Everlasting Love, yang masih sering menggaung di radio-radio Solo saat ini. Yang paling menarik bila ia menyenandungkan Time for Us, yang juga lagu tema film Romeo & Juliet garapan sutradara Franco Zeffireli (1968). Sekarang, kau ada dimana Hartati ?


BBC DAN VOA. Tahun 1997 saya dipaksa oleh krismon untuk pulang kampung. Ke Wonogiri. Tahun 2001-2002 sempat balik ke Jakarta lagi. Lalu kembali lagi, hingga kini.

Tahun 2000 ketika sebagai Menteri Propaganda Pasoepati, kelompok suporter sepakbola Solo, saya memanfaatkan radio untuk membangun suasana. Perjalanan tur-tur Pasoepati keluar kota, yang pertama untuk kelompok suporter sepakbola di Indonesia, adalah dengan menetapkan tagline tertentu. Ia merupakan tema dan roh tur tersebut. Untuk menguatkan pesan itu, lagu berperan di dalamnya. Ya seperti dalam film, tur Pasoepati seolah juga ada original soundtrack-nya.

Misalnya, tur ke Yogya membawa I Want to Hold Your Hand-nya The Beatles. Pada Hari-H, radio-radio Solo mengudarakan pesan-pesan tur dan alunan lagu tersebut. Ketika tur ke menemui kelompok suporter Slemania, Sleman, muka baru dalam arena dunia suporter sepakbola nasional, Pasoepati membawa top hitnya The New Seekers tahun 1970-an, I’d Like To Teach The World To Sing. Saya Akan Mengajari Dunia Untuk Menyanyi.

Aktivitas lain terkait dengan radio, saya sebagai pencetus gagasan bagi Presiden Pasoepati saat itu, Mayor Haristanto, agar diundang wawancara radio. Yang terselenggara saat itu adalah Siaran PRSSNI, yang direlai semua stasiun radio swasta di Solo. Juga wawancara saat jeda siaran langsung pertandingan sepakbola oleh RRI Surakarta. Saya sendiri mencoba mendirikan biro iklan untuk liputan siaran langsung radio ini, Radio Arena, tetapi gagal di tengah jalan !

Interaksi dengan insan radio, yang agak baru, adalah datangnya surat dari kreator CPP Biggest Hits, program mengenai bintang-bintang dan perjalanan kariernya untuk disiarkan di pelbagai radio anggota jaringannya. Seperti sindikasi artikel. Hal itu terjadi di tahun 2004 lalu.

Mereka yang bermarkas di Radio Polaris Magelang itu tertarik kepada isi surat pembaca saya bertopik Internet sebagai gempa bumi berkekuatan 10,5 Skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan sosial umat manusia Mereka berpendapat bahwa saya mampu menciptakan program radio yang katanya, mampu memberi value tinggi tertentu. Surat itu saya balas, meminta petunjuk dan kejelasan lebih lanjut. Tetapi, oh, tak ada balasan apa pun dari mereka.

Saya terkadang ikut mengirimkan opini atau esai ke Radio BBC Siaran Indonesia, London. Atau ke VOA (Voice of America), Washington DC, AS. Saya memperoleh kaos dari BBC, setelah opini saya diudarakan. Sementara ke VOA, pernah kirim email ke salah satu penyiarnya, Nadia Madjid, putri cendekiawan muslim Nurcholish Madjid. Isinya, usulan agar Cak Nur kalau mendeklarasikan sesuatu gagasan, ajaklah anak muda. Saya mengilustrasikan, di tengah acara itu akan hadir berderet anak-anak muda dengan laptop masing-masing, lalu mem-virus-kan ide Cak Nur itu agar mendunia !

Kenapa aku mau repot-repot mengerjakan hal semacam ini, yang tidak ada duitnya itu ? Karena aku merasa dikaruniai dengan gagasan yang melimpah-ruah, juga mampu menulis, sementara cara pengirimannya pun murah, apalagi yang harus ditunggu ? Dengan mengerjakan hal yang aku sukai itu aku ingin menjadi bagian dari dunia ini dan terhubung dengan orang-orang di luar diriku. Andrew Weil, M.D., seorang guru di bidang penyembuhan, lulusan Sekolah Kedokteran Harvard, pernah bilang : human connectedness is a powerful healer.


RAKOSA FEMALE RADIO YOGYA. Insan radio yang saya temui awal tahun 2005 ini adalah Wiwin Perdana, pembawa acara olahraga untuk TV7. Saat rombongan dari Solo mampir ke TV7 untuk mengisi acara One Stop Football (8/1/2005), di situlah kami mendengar dirinya pada awalnya sebagai insan radio. Fenomena yang lajim, karena banyak insan radio yang berpindah jalur ke layar kaca.

Termasuk pula kiranya Erika Michiko, reporter rumah produksi (PH) Shandika Widya Sinema. Saat ia dan krunya melakukan syuting, 4/3/2005, untuk bahan tayang profilku sebagai epistoholik untuk program trivia Busseett-nya TV7, terjadi obrolan. Tebakanku bahwa dirinya orang radio, ternyata benar, walau entah kenapa ia menjawabnya dengan nada agak meninggi. Bahkan kini pun Erika mengaku masih aktif pula, ndobel menyiar di sebuah female radio di Yogyakarta. Rakosa Female Radio, Yogyakarta ? Aku belum pasti.

Untuk mengetahui seberapa andal dia sebagai penyiar, Anda dapat mendengar suaranya saat mengantar fasilitas voice mail Communicatornya. Suaranya merdu. Tit ! Microphonic. Tit ! Tetapi saya tidak tahu apakah kariernya kini sebagai reporter acara televisi yang terus di belakang kamera, dan mobile menjelajah antarkota untuk menguber hal-hal trivia, yang menurutku (kalau kelamaan) kurang menantang untuk merentang-rentang kreativitas dan intelijensianya itu, akan terus ia tekuni. Kabar terakhir, sepertinya ia mendapat job baru di Jakarta. Moga-moga kelak Erika bisa tampil di depan kamera. Ia punya modal, postur dan juga voice, yang diperlukan !

Dan bila pengin mengetahui selera musiknya, sebelum HP-nya ia angkat maka si penelepon akan disapa ramah dulu dengan lagu All By Myself-nya Celine Dion, menyenandungkan : All by myself/ Don't wanna be/All by myself/Anymore/All by myself/Don't wanna live/All by myself/Anymore.


Yang pasti sosoknya mudah mengingatkan lirik lagu ciptaan komposer terkenal Amerika, Irving Berlin (1888–1989) bahwa : A pretty girl is like a melody / That haunts you night and day (1919).



RADIO METAFORA TAMARO. Mengapa orang-orang menyukai radio ? Nabi media, Marshall McLuhan dalam buku klasiknya Understanding Media : The Extensions of Man (1965), menyebutkan bahwa radio ibarat genderang suku, menyatukan orang dalam rantai intimitas, kedekatan, orang per orang, suatu pengalaman yang mempribadi. Bukan suatu pemandangan yang aneh, kiranya banyak anak muda belajar pun suka ditemani radio.

Lewat radio seseorang bisa kembali ke masa silam dan mengembangkan senyum bahagia, seperti lirik lagu Carpenters tahun 70-an di awal tulisan ini. Bahkan generasi 90-an pun, The Corrs, masih menyebutkan pentingnya radio. Ketika lagi bete, kekasih tak berada di sampingnya dan sosoknya hanya “berenang-renang dalam kepala”, maka Andrea Corrs pun menemukan solusinya : So listen to the radio (listen to the radio) / And all the songs we used to know, oh, oh.

Maka tak salah seru Freddy Mercury dari Queen : “Radio, seseorang masih mencintaimu !”

Radio, dalam warna yang lain, juga menjadi metafora yang menarik di tangan seorang novelis Italia, Susanna Tamaro. Dalam novelnya Va’Dove Ti Porte Il Cuore (Pergilah Kemana Hati Membawamu) yang menggambarkan komunikasi rumit, tetapi juga indah, antara seorang nenek dan cucu perempuannya, diungkap :

“Aku berfikir manusia semakin mirip radio yang hanya mampu menyelaraskan diri dengan satu gelombang, mirip radio kecil yang sering diberikan sebagai bonus bagi pembeli deterjen mesin cuci. Meski pun seluruh frekuensi terpampang di sana, radio itu takkan bisa menangkap lebih dari satu atau dua stasiun ; sisanya hanya bergemuruh tak menentu.

Yah, aku mendapatkan kesan bahwa penggunaan akal yang berlebihan menghasilkan efek yang sama : kita hanya dapat mengambil sebagian kecil dari seluruh kenyataan yang mengelilingi kita. Perasaan bingung seringkali menguasai bagian kecil ini, sebab bagian ini sarat dengan kata, dan kata-kata seringkali membuat kita berputar-putar di tempat, bukannya membawa kita ke tempat yang lebih tinggi.

Pemahaman membutuhkan keheningan....Kata-kata memenjarakan pikiran ; kalau pun ada irama yang cocok dengannya, itu pasti irama pikiran yang kacau. Namun hati bernafas, hanya hati satu-satunya organ yang berdenyut, dan denyutan ini menyelaraskannya dengan denyutan-denyutan yang lebih besar”


Wonogiri, 5-7 April 2005



P.S. Tulisan ini pernah dimuat di situs blogku Esai Epistoholica, edisi No. 19/April 2005