Tuesday, April 03, 2007

Hurting Each Other

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


All my love I give gladly to you
All your love you give gladly to me
Tell me why then
Why should it be that

We just go on hurting each other
We just go on hurting each other



(Carpenters, “Hurting Each Other”)



Macetnya komunikasi. Perselisihan itu dikompori oleh masalah sepele. Masalah tempe. Melibatkan toko buku maya Amazon.co.uk. Menyeret-nyeret nama Carl Wayne Hensley yang mengajarkan pentingnya sensitivitas dalam berkomunikasi. Juga Deborah Tannen yang terkenal dengan tesisnya mengenai perbedaan pola komunikasi antara pria dan wanita. Sampai John Gray yang menggariskan bahwa pria itu dari Mars dan wanita berasal dari Venus.

Pelaku perselisihan komunikasi itu : satu perempuan di London dan satunya lagi pria di Wonogiri. Untuk solusinya mungkin keduanya perlu berkonsultasi sama Ann Landers, Abigail Van Buren, Laura Schlessinger, atau mBak Leila C. Budiman.

Maaf, bila alinea di atas membingungkan Anda. Karena otak saya telah ketularan penyakit hyperlink-itis dalam menulis, akibat dari efek samping temuan Tim Berners-Lee, Bapak World Wide Web. Berkat inovasinya itu pula yang mampu mempertemukan secara ajaib diri saya di Wonogiri dengan Niz di London, setahun lalu, kemudian di bulan lalu terjadilah krisis komunikasi antara kita. Gara-garanya, yaitu tadi, masalah tempe.

Padahal saya suka tempe. Suka membelinya sendiri di pasar Wonogiri. Juga menggorengnya sendiri. Karena memang hanya itu saja yang bisa saya kerjakan untuk memasak tempe. Padahal saya sangat merindukan sayur irisan tempe yang dimasak dengan santan, bercampur banyak sekali cabe rawit, khas sayur Wuryantoro (asal ayah saya, selatan Wonogiri), yang mampu membuat kelenger karena pedas dan nikmat nyuss-nya yang mencapai langit itu.

Tentang tempe ini, Niz punya impian jauh lebih besar. Ia ratu dapur yang andal. Tangannya ajaib. Ia memunculkan gagasan sendiri, antara lain untuk mendanai lembaga charity yang ia pimpin, ia ingin mendirikan usaha mempromosikan manfaat tempe bagi kesehatan bagi para bule-bule, kemudian memproduksi, dan menjualnya di negerinya Ratu Elizabeth II itu pula. Bahkan ia merencanakan ingin mengunjungi sentra industri tempe rakyat, baik di Jakarta mau pun di Yogyakarta.

Great idea, honey.

Untuk ikut mendukung gagasan itu, dengan memakai pendekatan pola komunikasi khas lelaki, lalu saya meriset buku-buku bertopik tempe yang tersedia di toko buku maya hasil inovasi dan pemikiran jenial Tim Bezos, boss Amazon, di Inggris. Lalu saya kirimkan kepadanya. Ketika obrolan rutin via emailnya datang, tetapi Niz sama sekali tidak menanggapi usulan saya terkait buku-buku yang saya usulkan, yang menurut hemat saya akan mendukung terealisasikannya impian mengenai industri tempe itu.

Akibatnya, saya merasa tidak memperoleh apresiasi yang memadai darinya. Apa yang aku kerjakan itu, dengan memberinya solusi, salah ? Apa hal seperti itu, dukungan berupa informasi semacam itu, justru tidak ia inginkan ? Mengapa masalah seperti ini bisa jadi rumit ?


Komunikasi Memang Rumit ! Saya membongkar-bongkar arsip kliping saya, dari majalah Vital Speeches of The Day (1/12/1992). Sumber publikasi ini menghimpun, memilih dan menerbitkan pidato dan makalah seminar pilihan yang berlangsung di negeri Paman Sam. Publikasi yang sama belum ada di Indonesia. Apa karena banyak pidato di sini tidak bermutu dan tidak bergizi bila diresapi secara kontemplatif ?

Judulnya “What You Share Is What You Get : Tips for Effective Communication.” Oleh Carl Wayne Hensley, Professor of Speech Communication, Bethel College, disampaikan di depan forum Edina Kiwanis Golden K. Club, Edina, Minnesota, 1 September 1992.

Awal ceramahnya, Carl Hensley mengajukan contoh kasus menarik. Ia menceritakan seorang wanita yang mengadu ke pengacaranya bahwa ia ingin mengajukan cerai terhadap suaminya. Berhubung pembicaraan antara keduanya bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia terancam kehilangan nuansa dan makna, antara lain akibat keterbatasan diri saya sendiri dalam penerjemahan, maka saya sajikan dalam bahasa aslinya :

Woman : I want to divorce my husband.
Lawyer : Do you have any grounds ?
Woman : About 10 acres.
Lawyer : Do you have a grudge ?
Woman : No, just a carport.
Lawyer : Does your husband beat you up ?
Woman : No, I get up up about an hour before he does every morning.
Lawyer : Why do you want a divorce ?
Woman : We just can’t seem to communicate.

Mungkin saya keliru, tetapi dialog di atas nampak lucu, sekaligus menyedihkan, karena tidak nyambung antara keduanya. Carl Hensley bilang, problem wanita itu tidaklah unik. Banyak suami-istri, orangtua dan anak, para manajer dan bawahan, para profesional dan klien mereka, tidak mampu saling berkomunikasi.

Mengapa hal itu terjadi ? Mengapa pribadi-pribadi cerdas, yang mampu bertutur dengan jelas, tetapi tetap saja mengalami masalah dalam berkomunikasi ? Menurutnya, barangkali persoalannya, bahwa mereka memiliki gagasan yang keliru mengenai apa itu komunikasi. Boleh jadi mereka melandasi komunikasinya berdasar asumsi yang tidak komprehensif.

Apabila Anda bertanya, “Apa komunikasi ?” maka banyak orang akan menjawab, seperti “Berbicara kepada seseorang. Mengungkapkan apa yang saya pikirkan.” Kemudian, “Bagaimana bila orang lain itu tidak memahaminya ?” dan mereka pun menjawab, “Itu salah mereka sendiri. Itu masalah yang harus mereka pecahkan sendiri pula.”


Sensitif Terhadap Orang Lain. Profesor Hensley bilang, komunikasi bukan sekedar berbicara untuk menyampaikan pesan dan mendengarkan guna menerima pesan. Komunikasi terjadi apabila kedua belah fihak memiliki pemahaman yang sama. Komunikasi terjadi apabila dua fihak saling berbagi makna yang sama. Bahkan ia mendefinisikan komunikasi sebagai “makna yang difahami secara bersama” sehingga komunikasi yang efektif mensyaratkan hadirnya makna yang mampu difahami secara bersama.

Ia kemudian memberikan tiga tips yang menarik. “Apabila Anda mempraktekkannya, Anda memiliki peluang bagus untuk melakukan pemahaman makna secara bersama dan memperbaiki komunikasi Anda,” kata Profesor Henley.

Pertama, bersikaplah sensitif atau peka terhadap orang lain yang Anda ajak berkomunikasi. Apakah Anda mengetahui seseorang yang berkesan bagi diri Anda sebagai seorang komunikator yang baik ? Mengapa orang bersangkutan berkesan bagi Anda ? Jawabnya, boleh jadi orang tersebut selalu menunjukkan sensitivitasnya kepada lawan bicara dan situasi. Ia pun secara teratur mengatakan hal yang tepat pada waktu yang tepat, juga hampir selalu menghindari mengeluarkan pernyataan yang tidak perlu.

Apa rahasianya? Barangkali karena ia menyadari bahwa makna itu terdapat dalam diri seseorang dan bukan terdapat dalam pesan atau pun kata-kata. Sebagai ilustrasi menarik, Hensley bercerita saat ia berkunjung tahunan ke rumah ibunya. Ketika sedang rebahan di ranjang sambil membaca, sang ibu menghampiri sambil membawa vas bunga yang tidak nampak menarik. Ibunya berkata : “Maukah kau memiliki vas ini “ Serta merta dirinya menolak. Ketika ibunya hendak beringsut pergi, ia pun berubah pikiran dan menanyakan dari mana vas itu diperoleh sang ibu.

Ternyata vas itu memiliki sejarah bagi sang ibu di masa lalu. Ia kini berumur 81 tahun. Vas itu merupakan hasil dari dirinya ketika berjualan katalog beragam barang saat ia muda, sebagai salah satu dari enam anak yang harus membantu ibunya bekerja keras menghidupi keluarga, yang ditinggal pergi ayahnya saat itu. Vas itu sangat berharga di mata sang ibu dan kini ia ingin memberikannya untuk anaknya.

Spontan saja Hensley segera menyambut tawaran ibunya tersebut. Ia ceritakan, bahwa vas itu kini menghias rumahnya sebagai simbol makna berharga yang terbagikan antara ia dan ibunya. Apabila saja Anda dan saya, katanya, tidak sensitif kepada orang lain dan terhadap makna yang terdapat dalam dirinya, maka akan muncul masalah komunikasi.

Contoh lain. Di radio saya pernah mendengar obrolan mengenai pentingnya kejujuran dan keterbukaan seorang pria terhadap pasangannya. Ada yang berpendapat, pria yang bersikap jujur dan terbuka ibarat menyerahkan kedua tangannya untuk dibelenggu dan sesudah itu pasangannya boleh memukuli dirinya kapan saja. Sementara itu ada pula pepatah yang mengatakan, ketika seseorang pria tidak lagi ada yang ia sembunyikan dari dirinya terhadap pasangannya, itulah tanda bahwa pria itu benar-benar mencintainya.

Jadi bayangkanlah ketika pria yang sudah dengan sukarela menunjukkan hal-hal yang rawan atau vulnerable dari dirinya, tetapi pasangannya justru menggunakan hal-hal rawan itu sebagai titik bidiknya ketika terjadi konflik antara keduanya.

Kaum perempuan, dengarkan hal berikut ini. John Gray dalam bukunya Mars and Venus Together Forever (2003), punya pendapat untuk Anda perhatikan. Menurutnya, pria jauh lebih mudah untuk menghindar dan mengelak dalam percaturan bisnis karena dia tidak berinteraksi dengan kasih sayang yang begitu terbuka terhadap orang-orang lain. Sedangkan dalam hubungan asmara, pria jauh lebih terbuka dan mudah terluka. Jadi kalau dia terpukul, dia akan jauh merasa lebih pedih.

Oleh karena itu, begitu nasehat Hensley, bersikaplah peka, hayati dan masukilah kerangka berpikir lawan bicara Anda. Kemudian berusahalah memahami makna pesan yang diterima dan direspon oleh lawan bicara Anda, dan berusahalah menemukan interaksi murni yang terjadi.


Serius Terhadap Persepsi Lawan Bicara. Tips yang kedua : bersikaplah serius terhadap lawan komunikasi Anda. Yaitu menerima segala persepsi lawan bicara Anda secara valid dan menghargainya. Karena terlalu sering kita melakukan diskon terhadap makna pesan yang disampaikan oleh orang lain karena menilai hal itu tidak penting atau kurang penting dibanding pendapat kita sendiri.

Perang “diskon perasaan” semacam sering dan biasa terjadi. Baik antara suami-istri yang saling meremehkan satu sama lain, orang tua yang meremehkan pendapat anak-anaknya sampai manajer yang meremehkan pendapat para karyawan.

Ia memberi ilustrasi : “Ingatlah, cinta monyet itu nyata dan penting bagi remaja bersangkutan yang sedang mabuk cinta.” Tegasnya, setiap perspektif atau sudut pandang seseorang itu penting dan sangat nyata bagi diri pribadi bersangkutan. Camkanlah, bahwa ia mampu berkomunikasi dengan kita hanya apabila dia dapat menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Seorang teman mengeluh. Ia pernah dengan bangga bercerita bahwa artikelnya dimuat di surat kabar nasional. Untuk bisa masuk ke kolom itu, tentu selain isinya harus aktual dan relevan, ia pun harus mau menunggu nyaris satu tahun. Ketika dimuat, ia dengan antusias menceritakan hal itu kepada kekasihnya.

Entah kenapa, sang kekasih justru sama sekali tidak menanggapi unjuk prestasi pasangannya tersebut. Entah kenapa pula kekasihnya itu tidak memiliki empati. Apakah ia merasa pernah diperlakukan hal yang sama di waktu lalu ? Akibatnya, batu-batu kecil yang akumulasinya kelak berpotensi mengganjal komunikasi mereka di masa datang, mulai bertumpuk !

Demikianlah, komunikasi yang efektif mensyaratkan adanya makna yang saling difahami secara bersama, di mana untuk meraih hal tersebut kita harus sensitif terhadap orang lain serta kemudian mampu memperlakukan secara serius segala hal yang mereka kemukakan tentang diri mereka kepada diri kita.


Pemilihan Kata Yang Cermat. Tips yang ketiga : komunikasi yang efektif mensyaratkan bangunan komunikasi yang cermat. Intinya, pemilihan kata-kata haruslah hati-hati. Sekali lagi, haruslah cermat. Bukan itu saja, tetapi berikan informasi sebanyak mungkin yang mampu diproses oleh mitra komunikasi kita.

Juga jangan sekali-kali Anda lupakan, tegas Profesor Hensley, mengenai pentingnya mencermati komunikasi yang bersifat non-verbal. Karena 65 persen komunikasi kita berwujud non-verbal, maka kita harus waspada, cermat dan juga tepat dalam memanfaatkan tempo, ruang, gerak dan juga kontak mata.

Pendek kata, membangun komunikasi yang cermat adalah dengan menyesuaikannya sehingga klop atau mencocoki dengan pusat makna mitra komunikasi kita. Hanya dengan hal itulah kita mampu meraih komunikasi yang berhasil.


Perbedaan Pria vs Perempuan. Komunikasi nampaknya makin diperumit dengan adanya perbedaan pola antara pria dengan wanita. Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don’t Understand : Women and Men In Conversation (1990), mampu membukakan cakrawala yang menarik bagi kita semua.

Bukunya tersebut dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari buku sebelumnya, That’s Not What I Meant ! : How Conversational Style Makes or Breaks Your Relations with Others (1986). Dalam pengantar buku ini Tannen bercerita bahwa mahasiswa yang mengikuti kuliahnya di Universitas Georgetown sempat melapor, “kuliahnya telah menyelamatkan perkawinannya.”

Beberapa tahun kemudian, mahasiswa dan wanita yang sama, kini sudah bergelar profesor, kembali mengiriminya surat. Ia berkisah, ketika berbicara dengan suaminya sering berbuntut menjadi pertengkaran. Isi suratnya terasa putus asa, “Dr. Tannen, silakan cepat-cepat menulis buku baru, karena problem komunikasi yang paling besar tersebut kini menghantui kaum pria dan wanita dewasa ini.”

Buku You Just Don’t Understand ini saya fotokopi dari perpustakaan American Cultural Center yang dulu bertempat di Wisma Metropolitan 2, 15 Maret 1993. Saya membacanya dengan perasaan sedih, karena baru sadar bahwa pola komunikasi khas lelaki saya selama ini, tanpa saya sadari, telah menyakiti perempuan (“Har”) yang saya cintai saat itu, yang kemudian memutuskan pergi.

Inti konflik komunikasi itu bersumber dari pemahaman bahwa lelaki merasa hidup dalam dunia yang hirarkis, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Dalam hal ini maka percakapan merupakan negosiasi agar dirinya memperoleh atau mempertahankan statusnya untuk terus berada di atas, sekaligus melindungi dirinya dari upaya orang lain yang ingin menjatuhkan atau hendak menyingkirkannya. Dunia lelaki adalah dunia penuh persaingan.

Sementara itu dalam dunia perempuan mereka memandang diri mereka sebagai warga suatu jaringan. Di dunia semacam ini percakapan antarperempuan merupakan negosiasi untuk memperoleh kedekatan di mana seseorang mencoba mencari dan memberikan peneguhan, konfirmasi, dukungan dan tercapainya konsensus. Dunia perempuan adalah komunitas, berisikan perjuangan untuk memperoleh kedekatan dan menghindarkan diri dari isolasi. Memang ada juga hirarki, tetapi hirarki yang lebih condong kepada persahabatan dan bukan untuk saling sikut demi memperebutkan kekuasaan atau pun prestasi.

Ellen DeGeneres, komedian perempuan yang memandu upacara Oscar (25/2/2007) yang mencita-citakan hadirnya presiden perempuan di AS mengatakan, bahwa perempuan “belajar untuk sukses tanpa merasa terancam, mengajak tanpa menuntut serta memimpin tanpa merasa tertinggal di belakang. Kami adalah politisi alami.”

John Gray dalam bukunya Mars and Venus Together Forever (2003) seperti menyimpulkan bahwa dalam berkomunikasi, “istri (kaum perempuan) butuh simpati yang sangat diharapkan, bukan pemecahan masaalah.”


Tugas Baru Perempuan. Nasehat Deborah Tannen sampai John Gray di atas bolehlah disebut sebagai cermin bagi diri saya. Sebagai lelaki, yang secara alamiah merasa berguna apabila mampu memecahkan masalah, justru pendekatan semacam telah menjadi masalah besar tersendiri. Ternyata bila istri Anda mengeluh sakit kepala dan Anda datang membawa obat sakit kepala dan segelas air, atau mengajaknya ke dokter, maka yang terjadi adalah “dor !” : Anda telah melakukan bunuh diri dalam berkomunikasi.

Merujuk fakta betapa tidak mudahnya berkomunikasi antara lelaki dan perempuan, John Gray kemudian memberikan apa yang ia sebut sebagai “tugas baru kaum perempuan,” yaitu memberitahukan kepada pria apa yang ia perlukan sebelum dirinya angkat bicara.

Nasehat yang fair. Maka terkait heboh masalah tempe antara saya dan Niz, mudah-mudahan kelak ia mau memberikan peringatan seperti nasehat John Gray di atas sebelum ia mencetuskan sesuatu. Karena seingat saya, konflik komunikasi semacam ini juga terjadi sebelum “the tempe affair” ini terjadi.

Masalah bunga mawar, misalnya. Ia suka menanamnya. Juga pernah berkomentar, bahwa dirinya ingin ada pria yang mau memberinya sekuntum saja. Tahun lalu, ketika menjemputnya di bandara Adisucipto, saat ia ingin mengunjungi dan menyantuni para korban gemba bumi 27 Mei 2006, saya telah menyambutnya dengan sekuntum mawar. Sesudah itu ia tidak pernah memberikan komentar tentang mawar. Konflik komunikasi itu pernah merambat dari topik mengenai pijat Swedia hingga gagasan seputar charity shop dan desain situs web lembaganya.

Tempe, mawar sampai situs web mungkin memang tidaklah begitu penting sebagai bahan pertengkaran atau pun sebagai bahan pembicaraan. Demikian pula ada jutaan hal remeh-temeh lainnya yang setiap hari menjadi bahan pembicaraan kita sebagai manusia. Apabila kita kembali ke nasehat Hensley di atas, yang terpenting adalah memahami makna di balik hal-hal remeh-temeh tersebut, dengan berusaha berempati serta menganggap apa pun yang dikomunikasikan oleh fihak lainnya sebagai hal yang penting.

Hal remeh-temeh tersebut juga penting dalam lembaga perkawinan. “Chains do not hold a marriage together. It is threads, hundreds of tiny threads which sew people together through the years. That is what makes a marriage last — more than passion or even sex !”, demikian tutur Simone Signoret (1921–1985), aktris Perancis, di harian Daily Mail, 4 Juli 1978.

Menjalin helai demi helai utas benang itu memang bukan hal yang otomatis mudah untuk kami, Niz dan saya, dalam merajutnya hari demi hari. Boleh jadi karena kami terpisah jarak ribuan kilometer. Bahkan kini, walau pun mengaku saling menyayangi, tetapi toh kita juga sampai pada tahap yang sebenarnya tidak kita ingini : terjadinya miskomunikasi yang berbuntut perang sms atau chatting dengan isi pesan yang saling menyakiti satu sama lainnya.

Can't we stop hurting each other
Gotta stop hurting each other

Making each other cry
Breaking each other's heart
Tearing each other apart


Aku berharap, dengan berkali-kali meminta maaf, aksi saling menyakiti itu semoga segera dapat kami akhiri. Mumpung Niz kini berada di Aceh, yang memulai pembangunan proyek impiannya, membangun sarana pendidikan untuk menyantuni dan mendidik anak-anak yatim piatu korban konflik dan tsunami. Semoga ia memperoleh cinta yang melimpah dari anak-anak asuhnya, memperoleh keberhasilan dan kebahagiaan, juga berkah yang melimpah dari Allah.

Saya mendoakannya dari jauh.
Juga merindukannya.


Wonogiri, 4/4 – 6/6/2007


cty

Tuesday, January 16, 2007

Masa Pensiun dan We’ve Only Just Begun

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Resep Sehat Voice of America. Penguasaan dua bahasa, bilingual, berpotensi memperlambat seseorang dari ancaman kepikunan. Informasi kesehatan menarik itu saya dengar dari radio Voice of Amerika (VoA) Siaran Indonesia, 15/1/2007. Penggunaan dua bahasa secara aktif diwartakan memacu otak penggunanya menjadi lebih “cemerlang” dan “tahan lama” dibanding otak mereka para pengguna satu bahasa saja.

Kabar ini, sekali lagi, nampaknya semakin mengukuhkan pendapat use it or lose it, gunakan atau kehilangan, baik yang menyangkut otak mau pun otot Anda. Kiranya kita dapat bercermin dari pendapat Alfred Eisenstaedt (1898–1995), fotografer dan jurnalis kenamaan Amerika kelahiran Jerman. Seperti telah dikutip edisi elektronik majalah Life 24 Agustus 1995 (“tepat saya berumur 42 tahun”) ia telah berujar, ”although I am 92, my brain is 30 years old.” Walau saya berusia 92 tahun, tetapi otak saya berusia 30 tahun.

Umur saya kini menjelang 54 tahun. Juga sudah terasa mulai dihinggapi “penyakit” mudah lupa. Pernah saya ke warnet, sesudah berjalan kaki sekitar 2 km, harus kecewa karena disket yang berisi tulisan untuk di-upload ke blog-blog saya dan materi untuk membalas email, lupa tidak saya bawa.

Sehari-hari saya yang terlibat dalam pemakaian tiga bahasa, Jawa, Indonesia dan Inggris, tetapi ketika bercermin diri saya sungguh tidak tahu pasti sejauh mana tesis informasi dari VoA di atas berlaku untuk diri saya. Dari ketiga bahasa itu, pastilah bahasa Inggris yang paling minimal saya kuasai. Maklum.

Tahun 1986 pernah ikut tes TOEFL di Kedutaan Besar Amerika Serikat, nilai saya hanya 58. Padahal untuk bisa lulus harus minimal, kalau tak salah ingat, 76. Di antara yang mampu mencapai angka lulus itu adalah Rene L. Pattiradjawane, lulusan Sastra Cina FSUI, dan kini redaktur senior di Harian Kompas.

Proses penguasaan saya untuk bahasa negerinya Putri Diana itu berlangsung asal-asalan. Sejak kecil hingga kini. Tetap saja asal-asalan. Termasuk setahun terakhir ini ketika saya membaca-baca email atau mendengar obrolan via telepon dengan Niz, my sweet heart yang tinggal di London.


Like father, like son. Belajar bahasa adalah masalah kebiasaan, kata Niz, suatu waktu. Konon ia sendiri saat tiba di Inggris lebih dari 20 tahun lalu, belajar berbahasa Inggrisnya dari anak-anak atau kaum manula saat bekerja sebagai carer, pengasuh mereka.

Bahasa Inggris menarik saya ketika saya masih duduk di klas lima SD Negeri 3 Wonogiri, 1965. Saya tidak tahu untuk tujuan apa, tetapi saat itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, yang seorang TNI Angkatan Darat, di rumah sering mengucapkan kata dan kalimat dalam bahasa Inggris. Saat itu ia bertugas di Kodim 0734 Yogyakarta. Saya punya ayah hanya setiap hari Sabtu dan Minggu. Beliau rupanya mengambil kursus bahasa Inggris di Yogyakarta dan ketika ia belajar di rumah, saya ikut mendampingi dan mendengarkan, sehingga terimbas secara alamiah.

Tahun lalu, Mas Bambang Setiawan (BS), warga Wonogiri yang lama tinggal di Jakarta, kakak dari Sri Wahyuni (teman seangkatanku di SMP Negeri 1 Wonogiri), bercerita lewat email tentang ayah saya. Mas BS bisa saling mengenal dengan diri saya gara-gara saya memiliki blog di Internet. Ketika di masa kanak-kanak, kami justru tidak saling mengenal.

Yang saya tahu kemudian, adiknya Sri Wahyuni adalah putri dari Wakil Kapolres Wonogiri saat itu. Rumah dinasnya di tepi jalan raya, depan warung menco. Kemudian saya tahu ternyata ibunya Mas BS itu, Ibu Sudarmo, telah pula mengenal ibu saya. “Bu Kastanto itu priyayi-nya tinggi besar,” kenang Ibu Sudarmo. Sebagai istri polisi rupanya beliau akrab pula dengan kalangan istri tentara di Wonogiri.

Mas BS sekarang merupakan salah satu dedengkot :-) paguyuban warga Wonogiri yang tinggal di Jakarta. Kantornya di Graha Irama Building, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta. Di antara warga paguyuban wong Wonogiri itu, begitu ceritanya, antara lain mBak Ari Selopadi. Kalau tidak salah ingat, mBak Ari yang cantik dan tinggi semampai itu, yang pernah menjadi Putri Jawa Tengah, adalah juga alumnus sekolah dasarku, SD Negeri 3 Wonogiri. Termasuk semua adiknya, Minda, Iwan sampai Jajit.

Warga paguyuban lainnya adalah Mas Handrio, putra Pak Pangat, yang jarak rumahnya sekitar 150 m dari rumahku. Menurut Mas Handrio, seperti ditirukan oleh Mas BS, bahwa ia mengenal ayahku sebagai “lancar berbahasa Inggris.” Maka di emailnya pada saat-saat awal kenal, Mas BS membom diriku dengan perkataan : like father, like son.”

Selain belajar bahasa Inggris, beberapa waktu sebelumnya ayahku bercerita bahwa dirinya juga mempelajari bahasa Rusia. Kalau tak salah ingat, beliau bercerita akan ikut tes agar bisa lolos diikutkan menempuh tugas belajar di negeri asal Nikita Khrushchev, Mikhail Baryshnikov sampai Mikhail Sergeevich Gorbachev itu.

Dari buku-buku peninggalannya yang masijh utuh, antara lain dalam Buku Bahasa Rusia : Kursus Permulaan (Moskou, 1959), ia tulis dibeli seharga Rp. 50,00 tanggal 4 Desember 1961. Tercatat ayah mulai belajar 5 Desember 1961, Jam 17.30. Saat itu saya berumur 8 tahun. Dasar anak-anak, dari buku tersebut saya terpancing untuk ikut belajar bahasa Rusia pula.

Ketika SMP, saat dilanda cinta monyet, saya pernah menulis surat cinta berbahasa Indonesia tetapi dengan huruf abjad Rusia. Nasib surat itu mencocoki isi lirik lagu lama, Night of White Satin-nya Moody Blues : “letters I've written, never meaning to send. Surat-surat yang aku tulis tidak pernah dimaksudkan untuk dikirimkan. Kalau pun saya kirimkan, siapa yang mampu menjamin sang jantung hati akan memahami isinya ?

Tahun 1980 ketika berkuliah di FSUI saya berteman dengan Arlima “Ipit” Mulyono, adik pelawak Warkop Prambors, Nanu Mulyono. Ipit pernah berkuliah di Sastra Rusia. Ketika saya mencoba mengobrol dengan satu dua patah kata Rusia, Ipit mengira saya pernah ikut kursus Bahasa Rusia, Jl. Diponegoro, Jakarta.


Memvonis Raja Gerobak. Belajar bahasa Inggris secara tidak langsung lumayan menggebu di tahun 1977-1979. Saat itu saya menghuni sanggar seni rupa yang kami sebut sebagai Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Kehidupan semi bohemian di sanggar itu membuat saya berinteraksi dengan pelbagai aktivis kesenian Solo lainnya.

Photobucket - Video and Image Hosting

Di Luar Arena Scrabble. Aktivitas kesenian di Sanggar Mandungan beragam. Antara lain pementasan musik dan pembacaan puisi. Dalam foto tergambar aktivitas latihan untuk pementasan Malam Puisi 1977. Ki-ka : Murtidjono, Marsudi (membelakangi kamera), Tatah, Harsoyo dan Efix Mulyadi.


Aktivis tersebut antara lain HB Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara, ketiganya adalah pengajar di Jurusan Seni Rupa UNS Sebelas Maret. Ada pula Murtidjono atau Eyang Murti, sebutan gaulnya, yang saat itu baru lulus dari Fakultas Filsafat UGM. Dia lagi kesengsem sama Koes Murtiyah alias Gusti Mung dari Kraton Solo, yang saat itu masih duduk di SMAN 4 Solo.

Kalau aku sih lebih menyukai adiknya, Koes Indriyah. Juga diam-diam menyukai Kenil, putri Pak Panji Mloyosuman, pelajar SMA Ursulin, yang bermurah hati menebarkan senyum penuh pesona dan lambaian tangan ketika setiap kali melintas di depan Mandungan.

Pengunjung setia sanggar lainnya adalah Didik “Fernando” Marsudi almarhum. Ia pegawai Pemkot Solo, aktivis teater dan kemudian dikenal sebagai seniman ketoprak Solo, Harsoyo Rajiyowiryono, mahasiswa Sastra Jawa UNS Sebelas Maret dan kini bekerja di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo dan juga Broto, pemuda dompu asal Laweyan, sohib-nya Eyang Murti, yang saat itu sepertinya tak selesai-selesai kuliahnya di FE UGM.

Nama-nama di atas adalah musuh-musuh utama saya dalam bermain scrabble. Papan permainan ini saya beli tanggal 6 Juni 1979. Pada boksnya tertulis : Manufactured by J.W. Spear & Sons, Ltd., Enfield, Middlesex, England. Sebelumnya saya membeli yang buatan dalam negeri, tetapi kurang memuaskan. Ibarat pembagian liga dalam kancah sepakbola, maka di Gallery Mandungan sering berlangsung permainan scrabble dalam dua arena : para pemain divisi utama menggunakan papan buatan Inggris dan divisi kedua menggunakan papan scrabble buatan dalam negeri. :-)

Selain sebagai pemain, saya sendiri didaulat sebagai pencatat kata mau pun skor. Juga penghakim karena saya yang memiliki kamus dan sekaligus sebagai motor pengejek bagi pemain lain yang kosa katanya terbatas. Mereka yang sering berulang memunculkan kata “VAN” mendapat vonis ramai-ramai dengan sebutan Raja Gerobak.

Arena permainan kadang tidak hanya di Mandungan, tetapi berpindah ke Baturan, rumah Pak Topo yang berada di kompleks perumahan dosen UNS. Atau berekspansi ke Laweyan, rumahnya Broto, atau rumah Marsudi, di Kauman.

Permainan scrabble ini begitu mencandu, membuat hidup kami seolah terbalik. Siang hari dijadikan untuk tidur dan malam hari digunakan untuk melek, bertarung meramu huruf menjadi kata yang bermakna, sekaligus menggabungkan unsur penguasaan terhadap kosa kata dengan kalkulasi demi meraih nilai tertinggi dipadu strategi membunuh peluang lawan. Sebagai pencandu scrabble dan pelintas batas malam, kami pun mengeluarkan kata-kata mutiara : “Cara terampuh untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur.”


Imbauan Menawan Dari Michigan. Sekarang ini kabar tentang teman-teman bermain scrabble di atas, kadangkala saya ketahui dari surat kabar. Sejak tahun 1980 saya meninggalkan Solo untuk berkuliah di Jakarta dan tahun-tahun sesudahnya membuat saya seperti terbuang sekaligus terputus dari seluk-beluk atmosfir sampai kiprah dunia kesenian. Seperti saya katakan via email kepada Tinuk R. Yampolsky di New Haven, Connecticut, AS, karena teman-teman sesama aktivis kesenian Solo nampak belum akrab dengan Internet, antara lain telah membuat kami yang secara geografis dekat justru sulit saling bertemu di dunia maya.

Tahun 1987 saya pernah menulis surat pembaca di Majalah Tempo (7/2/1987). Isinya menawarkan Buletin InfoSeksi, yaitu jasa informasi mutakhir kepada klien berupa puluhan daftar isi majalah-majalah ilmiah luar negeri. Saya saat itu sedang merintis bisnis sebagai broker informasi. Secara mengejutkan, alamat saya di majalah itu telah mengakibatkan saya mendapatkan surat dari Pak Topo. Dari Michigan, Colorado, Amerika Serikat. Beliau menceritakan berita gembira, bahwa dirinya telah meraih dua gelar master dan kini meraih gelar Ph.D.

Ia pun mengompori diri saya untuk tergerak pula menempuh pendidikan lanjutan di manca negara. Nasehat hebat. Tetapi karena kebacut putus asa dengan nilai TOEFL saya yang rendah itu, sehingga membuat peluang saya untuk memperoleh beasiswa Fulbright ke AS praktis tertutup karena melewati batas umur, saya mencoba menghibur diri dengan membalas : mungkin diri saya masih ada peluang untuk belajar ke Inggris. Ternyata, sampai sekarang pun impian belajar ke Inggris itu masih pula hanya sebatas sebagai impian belaka.


Pensiunan : Untapped Resources. Informasi lanjutan tentang Pak Topo saya ikuti dari surat kabar, antara lain ketika beliau diangkat sebagai guru besar di UNS Sebelas Maret. Saya lupa tahunnya. Adik saya yang terkecil, Basnendar Heriprilosadoso, masih sempat menjadi mahasiswa dari Prof. HB Sutopo tersebut.

Berita mutakhir, koran Solopos minggu lalu (13/1/2007) mewartakan bahwa Pak Topo telah memasuki masa pensiun sejak November 2006. "”Sudah tua begini, enaknya istirahat saja,” ujar pria setengah baya yang pernah menekuni dunia seni lukis itu seperti dikutip oleh Solopos.

Sementara itu koran Suara Merdeka, minggu lalu pula, mewartakan Murtidjono akan pensiun sebagai PNS bulan Juni 2007, dan berarti pula pensiun dari jabatannya yang lebih dari dua puluhan tahun. sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo itu.

Saya merasa lucu, juga rada aneh, membaca kabar-kabar di atas untuk memergoki fakta betapa sesama teman sepermainan scrabble di akhir tahun 70-an kini telah memasuki masa pensiunnya. Mungkin bila pekerjaan boleh diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka pak Topo dan Eyang Murti boleh disebut mereka tidak akan bermain lagi. Tetapi bila karier yang diibaratkan sebagai permainan scrabble, masa pensiun bukanlah batas akhir untuk melanjutkan karier mereka. Karena pekerjaan memang miliknya perusahaan, sedang karier adalah milik setiap pribadi.

Di koran tersebut diberitakan, Pak Topo masih memiliki kesibukan sebagai konsultan di Yayasan Indonesia Sejahtera. Juga tetap mengajar di kampus. Eyang Murti konon akan membantu istrinya dalam mengelola perusahaan keluarga, Sadinoe Songkopamilih. Nama ini aku dengar dari ayah sebagai perusahaan terpandang di Solo yang menyediakan peralatan tanda pangkat, seragam sampai sepatu militer.

Pak Topo dan Eyang Murti, masih sehat dan produktif. Demikian pula banyak kaum pensiunan yang lain. Nabi media digital Nicholas Negroponte dari MIT, menyebut kaum pensiunan itu sebagai untapped resources, harta karun yang terbengkalai dan belum dibudi dayakan secara maksimal. Saya telah menyuarakan keprihatinan itu dalam surat pembaca, sekitar dua tahun yang lalu :


Masa Pensiun, Masa Loyo ?
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Rabu, 17 November 2004


Setiap kali penerimaan pelajar atau mahasiswa baru, mirip sebuah ritual, mereka harus menjalani masa orientasi. Bagaimana mereka yang akan pensiun ? Apakah mereka juga memperoleh bimbingan dan orientasi dari para seniornya ? Pertanyaan itu muncul ketika Kompas (10/9/2004) mewartakan tahun 2004-2009 terdapat 590.000 pegawai negeri sipil, terbanyak guru, yang pensiun.

Jumlah yang sangat besar. Hemat saya, sangat disayangkan bila ratusan ribu kaum terdidik yang selama ini terbiasa melakukan olah intelektual, bila tanpa bimbingan dan orientasi, akan membuat sumber daya intelektual mereka jadi muspro, sia-sia, di masa pensiunnya.

Dr. Mary Furlong, pakar Internet AS yang menaruh perhatian kepada kaum lansia, menemukan istilah bahasa Perancis, troisieme age, usia ketiga, untuk sebutan periode kehidupan saat seseorang bebas melakukan apa yang ia inginkan.

Periode Usia Pertama, seseorang berkembang sebagai pribadi. Periode Usia Kedua, mengejar karier dan membentuk keluarga. Di Usia Ketiga, usia pensiun, dirinya menjadi miliknya sendiri. Berbeda dari anggapan bahwa masa pensiun adalah saat dirinya tidak lagi dibutuhkan, lalu menjadi apatis dan loyo, sebenarnya masa pensiun merupakan waktu terbaik untuk mengembangkan kreativitas, terus belajar dan terus bereksplorasi.

Bapak Soeroyo (80 tahun), asal Solo, mungkin dapat dijadikan salah satu contoh. Bangga sebagai epistoholik, sejak pensiun dari PNS tahun 1981 beliau mengisi hari-hari kreatifnya di usia sepuh dan sehat itu dengan terus mengamuk (dalam tanda kutip), menulis surat-surat pembaca.

Resepnya, banyak membaca, memperhatikan siaran radio, juga televisi. Bila ada hal-hal yang tidak laras dengan pikiran beliau, segera ia angkat pena. Tulisannya yang arif dan semangatnya yang tinggi menjadi ilham para yunior dalam komunitas Epistoholik Indonesia

Beliau juga rajin menggalang silaturahmi dalam wadah PWRI. Banyak humor. Bahkan punya slogan yang pantas dicamkan oleh sesama pensiunan dan mereka yang akan pensiun. Slogannya TOPP : Tua, Optimis, Prima dan Produktif. Beda dengan TOPP di jaman Orde Baru yang berarti Tua, Ompong, Peot dan Pikun.

Fenomena di AS tentang kaum lansia yang tetap aktif dan terus belajar ditunjukkan dengan data bahwa pengguna Internet yang terbanyak justru berasal dari kelompok demografis usia 50-an ke atas. Alias kaum usia ketiga, para pensiunan !

BAMBANG HARYANTO
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


Bagaimana diri saya sendiri ? Bila menurut peraturan pegawai negeri sipil, saya akan pula pensiun satu-dua tahun mendatang. Tetapi saya bukan seorang pegawai negeri. Sehingga apabila pekerjaan dan karier diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka saya masih tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan orang lain untuk memainkannya.

Bahkan secara konkrit, saya pun masih memainkannya. Walau memang tidak bisa ramai-ramai lagi. Juga tidak pula harus setiap malam. Juga bukan lagi menggunakan papan scrabble buatan J.W. Spear & Sons, tetapi memanfaatkan peranti lunak permainan scrabble buatan Infogrames di komputer.

Dalam hidup kita memang saling memandang. Tetapi, there is only one success – to be able to spend your life in your own way. Hanya ada satu keberhasilan, yaitu menuntaskan waktu hidup Anda untuk menyusuri kehidupan yang telah Anda pilih sendiri. Ucapan penulis Amerika Christopher Morley (1890–1957) di atas kiranya pantas menjadi panduan kita semua. Terutama untuk diri saya pribadi yang selama ini memang tidak pernah menerjuni pekerjaan dan karier sebagai pegawai.

Ketika teman-teman sepermainan scrabble berangkat memasuki pensiun, seperti tergurat dalam lirik lagunya Carpenters yang saya sukai, We've Only Just Begun, mungkin hidup saya dalam beberapa hal justru baru akan dimulai. Lagu indah dan ucapan Morley di atas mampu membuat senyum kecil ketika di Wonogiri ini saya membaca email Niz yang mutakhir. Isinya setengah merajuk, sekaligus mengajukan pertanyaan : kapan mas mendampingi hidup saya di London ?


Wonogiri, 16 Januari 2007


cty