Friday, April 03, 2009

Facebook, Beautiful Girl, Pulomas 1997

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Gadis Pulomas minggu pagi. Awas : berhenti merokok mampu menimbulkan penyakit baru. Penyakit getol membual. Membual karena telah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman kecanduan nikotin, yang bagi saya pribadi sudah berlangsung selama hampir 17 tahun.

Saya mampu berhenti merokok tahun 1989. Pada tahun yang sama, saya mulai melakukan olah raga jalan kaki pagi. Sampai kini. Beberapa orang melakukan jalan kaki pagi sebagai waktu untuk berdoa, bermeditasi atau berpikir. Secara sendirian melakukan jalan kaki akan membantu Anda memperoleh perspektif dan keseimbangan.

Jalan kaki bermanfaat untuk mengurangi stres, menjernihkan pikiran, menggali sisi kreatif Anda, menemukan gagasan-gagasan baru dan memecahkan masalah. Demikian kesimpulan situs AARP (American Association of Retired Persons), organisasi kaum pensiunan Amerika Serikat.

Saat itu, saya tinggal di Jalan Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur. Komplek yang dulu bernama Gedung Pola itu, di seberang Apotik Rini, kini sudah menjadi ruko.

Arena favorit jalan kaki pagi saya di hari Minggu adalah lapangan Pulomas. Di bangku tribun lapangan pacuan kuda Pulomas itu pula saya mampu merampungkan buku Being Digital (1995)-nya nabi media dari Media Lab MIT, Nicholas Negroponte. Buku teknologi informasi yang mampu membuat saya menangis karena optimisme yang ia semaikan di dada ini mengenai masa depan dunia digital yang gemilang.

Di sekitar area lapangan pacuan kuda itu terdapat dua lapangan yang diisi dua kelompok senam yang berbeda. Ada senam kesegaran jasmani yang dipandu dengan lagu-lagu pop/disko, yang bergairah, sementara kelompok lain melakukan senam pernafasan dengan iringan musik bernuansa Mandarin yang lebih lamban.

Saya tidak ikut keduanya. Saya memilih memutari lapangan, 3-5 kali, berlawanan arah jarum jam. Dengan cara demikian saya bisa “mengabsen” sosok-sosok asing tetapi terasa akrab di area tersebut, familiar strangers, karena kita senantiasa bertemu di minggu pagi.

Ada sekelompok bapak-bapak yang berbahasa Batak. Ada pasangan setengah baya, 2sementara anak gadisnya dibiarkan berjalan sendirian. Ada keluarga muda, berdua berkeliling dengan mendorong kereta bayi. Kelompok pria bersepeda nampak duduk-duduk di pinggir jalan yang memisahkan kedua lapangan. Mereka mengobrol sambil istirahat dan cuci mata. Ada mobil bak terbuka, di dekat mereka, yang jualan susu kedele. Di sisi utara terdapat warung dengan kursi dan meja yang selalu penuh pembeli.

Beautiful girl. Salah satu di antara familiar strangers yang rasanya ingin selalu saya temui di tiap minggu pagi, antara 1996-1997 itu, adalah si grasshopper. Ah, ini hanya nama kode, nama rekaan, untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan. Ia selalu datang sendirian. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam. Tentu saja bukan pada kelompok senam pernafasan, yang didominasi kaum sepuh, para manula.

Ia ideal untuk sosok pemain bola volley. Atau model. Tingginya sekitar 168-170 cm. Menjulang dan menonjol. Selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, ada feeling, walau tanpa tahu nama masing-masing.

Beautiful girl, mungkin demikian seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama : mengenai gadis cantik menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti “gita di waktu malam.” Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997.

Mungkin ia kecewa. Gestur yang ia munculkan, yang menandakan keinginannya untuk bisa saling mengenal di saat itu, tidak saya tanggapi secara agresif. Minggu-minggu berikutnya ia tak muncul lagi. Craig Newmark melabeli momen seperti ini sebagai missed connections dan menjadi salah satu layanan dalam situsnya yang terkenal.

Sejak Januari 1998 saya pun meninggalkan Jakarta, sampai kini. Sehingga sang belalang menawan itu tinggal berenang-renang dalam samudera kenangan. “Swimming forever in my head / tangled in my dreams / swimming forever,” meminjam lirik dari “Radio”-nya The Corrs.


Omongan tolol. Keriuhan setiap minggu pagi di lapangan Pulomas itu boleh jadi mirip yang Anda alami dan rasakan bila Anda terjun sebagai warga situs jaringan sosial seperti Facebook. Sebagian dari mereka yang memang Anda kenal sebagai pribadi, baik mantan kekasih sampai teman kuliah dua puluh tahun lalu, tetapi sebagian besar boleh jadi merupakan orang-orang asing yang akrab atau hanya berlaku sok akrab bagi Anda.

“I want to hate Facebook, but it's getting so hard,” tulis Paul J Rose dari Merchandise Mania di blognya, Januari 2009 yang lalu. Ia bertanya : dapatkah Anda membayangkan dalam suatu pesta di mana semua orang mengenalkan dirinya sebagaimana mereka mengenalkan diri di Facebook ? “Hai, saya Paul dan saya akan mengenalkan diri dengan seseorang yang asing sekarang : maukah Anda menjadi teman saya ?” Menurutnya, cara semacam itu bukan networking. It’s drivel. Begitu cetusnya.

Terima kasih, Paul. Menarik juga penilaian Anda. Yang saya tahu, setelah omongan tolol itu memperoleh klik konfirmasi sehingga perkawanan baru terjadi, semua warga keriuhan dalam Facebook itu ingin memperebutkan atensi Anda. Bukankah Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of The Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996) telah menyimpulkan, the hard currency of cyberspace is attention ?

Bila kita memperoleh atensi, kita merasa baik. Semakin banyak atensi yang kita peroleh, semakin kita merasa berharga di depan teman-teman Facebook lainnya. Hal itu mencandu (baca : 10 Tanda Kecanduan Facebook), juga diam-diam bisa menjengkangkan kita terjun bebas menghuni lonely planet, istilah dari Elizabeth M. Johnson, karena hubungan yang terjadi bukanlah hubungan yang autentik. Mudah-mudahan saya bisa menuliskan topik ini secara rinci di lain kali.

Mana untuk saya ? Facebook juga membuat kita menjadi insan-insan pengintip dan penguping. Walau sejatinya, menurut saya, apa yang kita kuping atau yang kita intip dari foto-foto sampai video mereka tersebut sebagian besar seringkali hanya bermakna bagi mereka yang memajangnya.

Dengan demikian, bila setiap kali kita membuka akun Facebook dengan berbekal WIIFM, What’s In It For Me, mungkin kebanyakan kita akan kecewa. Mungkin rentetan kekecewaan semacam itulah yang membuat seseorang teman memposting di wall-nya bahwa ia ada niatan ingin mundur dari jaringan Facebook. Tak ada nilai tambah yang ia peroleh, begitu alasannya. Alasan yang sah. Juga patut dihargai. Walau mungkin ia kurang bersabar. Atau memang terlalu menuntut dalam memperoleh kue-kue pergaulan dunia maya, yaitu atensi tadi.

Dalam kerumunan familiar strangers semacam Facebook memang telah dibuka peluang bagi kita untuk berhimpun dalam kelompok, group, yang memiliki minat tertentu. Layanan yang bagus. Sayang, pengalaman pahit saya, yang terasa menjengkelkan, adalah ketika mendapatkan rentetan message dari pemilik kelompok itu yang isinya tidak sesuai dengan visi-misi sampai jati diri kelompok bersangkutan.

Saya, tentu saja melayangkan protes. Bila protes ini tidak digubris, maka meninggalkan kelompok bersangkutan merupakan pilihan yang mungkin segera saya lakukan. Seperti halnya suasana kerumunan di lapangan Pulomas di minggu pagi, semua orang memang boleh datang dan juga boleh pula pergi.

Facebook adalah media jaringan sosial yang baru bagi saya. Saya bergabung berkat diajak Rdanz Kusuma dari Malang. Tanggal 19 Juli 2008. Teman pertama yang mengkonfirm drivel saya adalah : Petty Tunjung Sari.

Masih banyak hal yang harus saya pelajari dari Facebook. Untuk itu saya telah membuat folder tersendiri dalam file, di mana info yang terbaru antara lain Facebook can ruin your life sampai berita bahwa Birmingham City University di Inggris telah menawarkan gelar master di bidang media sosial. Di sini, para mahasiswa bakal diajar intensif dengan materi kuliah mengenai situs jejaring seperti Facebook, Twitter dan Bebo.

Facebook, dahsyat.

Tetapi kali ini saya tidak ingin muluk-muluk berharap mengenai kedigdayaan Facebook tersebut. Mengutip lirik lagunya Jose Mari Chan, ”Beautiful girl, wherever you are /I knew when I saw you, you had opened the door /I knew that I'd love again after a long, long while/I'd love again,” siapa tahu pesan ini mampu melambung ke kosmis, menyeruak di antara jutaan pengguna Facebook di dunia, sehingga sampai kepada yang berhak menerimanya.

Mungkin ini sebuah kekonyolan. OK. Tetapi itulah satu sisi kehidupan, di mana Carpenters dalam “Those Good Old Dreams” telah bersenandung indah tentangnya :


As a child I was known for make-believing
All alone I created fantasies
As I grew people called it self-deceiving
But my heart helped me hold the memories


Wonogiri, 3-4/4/2009

Tuesday, April 03, 2007

Hurting Each Other

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


All my love I give gladly to you
All your love you give gladly to me
Tell me why then
Why should it be that

We just go on hurting each other
We just go on hurting each other



(Carpenters, “Hurting Each Other”)



Macetnya komunikasi. Perselisihan itu dikompori oleh masalah sepele. Masalah tempe. Melibatkan toko buku maya Amazon.co.uk. Menyeret-nyeret nama Carl Wayne Hensley yang mengajarkan pentingnya sensitivitas dalam berkomunikasi. Juga Deborah Tannen yang terkenal dengan tesisnya mengenai perbedaan pola komunikasi antara pria dan wanita. Sampai John Gray yang menggariskan bahwa pria itu dari Mars dan wanita berasal dari Venus.

Pelaku perselisihan komunikasi itu : satu perempuan di London dan satunya lagi pria di Wonogiri. Untuk solusinya mungkin keduanya perlu berkonsultasi sama Ann Landers, Abigail Van Buren, Laura Schlessinger, atau mBak Leila C. Budiman.

Maaf, bila alinea di atas membingungkan Anda. Karena otak saya telah ketularan penyakit hyperlink-itis dalam menulis, akibat dari efek samping temuan Tim Berners-Lee, Bapak World Wide Web. Berkat inovasinya itu pula yang mampu mempertemukan secara ajaib diri saya di Wonogiri dengan Niz di London, setahun lalu, kemudian di bulan lalu terjadilah krisis komunikasi antara kita. Gara-garanya, yaitu tadi, masalah tempe.

Padahal saya suka tempe. Suka membelinya sendiri di pasar Wonogiri. Juga menggorengnya sendiri. Karena memang hanya itu saja yang bisa saya kerjakan untuk memasak tempe. Padahal saya sangat merindukan sayur irisan tempe yang dimasak dengan santan, bercampur banyak sekali cabe rawit, khas sayur Wuryantoro (asal ayah saya, selatan Wonogiri), yang mampu membuat kelenger karena pedas dan nikmat nyuss-nya yang mencapai langit itu.

Tentang tempe ini, Niz punya impian jauh lebih besar. Ia ratu dapur yang andal. Tangannya ajaib. Ia memunculkan gagasan sendiri, antara lain untuk mendanai lembaga charity yang ia pimpin, ia ingin mendirikan usaha mempromosikan manfaat tempe bagi kesehatan bagi para bule-bule, kemudian memproduksi, dan menjualnya di negerinya Ratu Elizabeth II itu pula. Bahkan ia merencanakan ingin mengunjungi sentra industri tempe rakyat, baik di Jakarta mau pun di Yogyakarta.

Great idea, honey.

Untuk ikut mendukung gagasan itu, dengan memakai pendekatan pola komunikasi khas lelaki, lalu saya meriset buku-buku bertopik tempe yang tersedia di toko buku maya hasil inovasi dan pemikiran jenial Tim Bezos, boss Amazon, di Inggris. Lalu saya kirimkan kepadanya. Ketika obrolan rutin via emailnya datang, tetapi Niz sama sekali tidak menanggapi usulan saya terkait buku-buku yang saya usulkan, yang menurut hemat saya akan mendukung terealisasikannya impian mengenai industri tempe itu.

Akibatnya, saya merasa tidak memperoleh apresiasi yang memadai darinya. Apa yang aku kerjakan itu, dengan memberinya solusi, salah ? Apa hal seperti itu, dukungan berupa informasi semacam itu, justru tidak ia inginkan ? Mengapa masalah seperti ini bisa jadi rumit ?


Komunikasi Memang Rumit ! Saya membongkar-bongkar arsip kliping saya, dari majalah Vital Speeches of The Day (1/12/1992). Sumber publikasi ini menghimpun, memilih dan menerbitkan pidato dan makalah seminar pilihan yang berlangsung di negeri Paman Sam. Publikasi yang sama belum ada di Indonesia. Apa karena banyak pidato di sini tidak bermutu dan tidak bergizi bila diresapi secara kontemplatif ?

Judulnya “What You Share Is What You Get : Tips for Effective Communication.” Oleh Carl Wayne Hensley, Professor of Speech Communication, Bethel College, disampaikan di depan forum Edina Kiwanis Golden K. Club, Edina, Minnesota, 1 September 1992.

Awal ceramahnya, Carl Hensley mengajukan contoh kasus menarik. Ia menceritakan seorang wanita yang mengadu ke pengacaranya bahwa ia ingin mengajukan cerai terhadap suaminya. Berhubung pembicaraan antara keduanya bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia terancam kehilangan nuansa dan makna, antara lain akibat keterbatasan diri saya sendiri dalam penerjemahan, maka saya sajikan dalam bahasa aslinya :

Woman : I want to divorce my husband.
Lawyer : Do you have any grounds ?
Woman : About 10 acres.
Lawyer : Do you have a grudge ?
Woman : No, just a carport.
Lawyer : Does your husband beat you up ?
Woman : No, I get up up about an hour before he does every morning.
Lawyer : Why do you want a divorce ?
Woman : We just can’t seem to communicate.

Mungkin saya keliru, tetapi dialog di atas nampak lucu, sekaligus menyedihkan, karena tidak nyambung antara keduanya. Carl Hensley bilang, problem wanita itu tidaklah unik. Banyak suami-istri, orangtua dan anak, para manajer dan bawahan, para profesional dan klien mereka, tidak mampu saling berkomunikasi.

Mengapa hal itu terjadi ? Mengapa pribadi-pribadi cerdas, yang mampu bertutur dengan jelas, tetapi tetap saja mengalami masalah dalam berkomunikasi ? Menurutnya, barangkali persoalannya, bahwa mereka memiliki gagasan yang keliru mengenai apa itu komunikasi. Boleh jadi mereka melandasi komunikasinya berdasar asumsi yang tidak komprehensif.

Apabila Anda bertanya, “Apa komunikasi ?” maka banyak orang akan menjawab, seperti “Berbicara kepada seseorang. Mengungkapkan apa yang saya pikirkan.” Kemudian, “Bagaimana bila orang lain itu tidak memahaminya ?” dan mereka pun menjawab, “Itu salah mereka sendiri. Itu masalah yang harus mereka pecahkan sendiri pula.”


Sensitif Terhadap Orang Lain. Profesor Hensley bilang, komunikasi bukan sekedar berbicara untuk menyampaikan pesan dan mendengarkan guna menerima pesan. Komunikasi terjadi apabila kedua belah fihak memiliki pemahaman yang sama. Komunikasi terjadi apabila dua fihak saling berbagi makna yang sama. Bahkan ia mendefinisikan komunikasi sebagai “makna yang difahami secara bersama” sehingga komunikasi yang efektif mensyaratkan hadirnya makna yang mampu difahami secara bersama.

Ia kemudian memberikan tiga tips yang menarik. “Apabila Anda mempraktekkannya, Anda memiliki peluang bagus untuk melakukan pemahaman makna secara bersama dan memperbaiki komunikasi Anda,” kata Profesor Henley.

Pertama, bersikaplah sensitif atau peka terhadap orang lain yang Anda ajak berkomunikasi. Apakah Anda mengetahui seseorang yang berkesan bagi diri Anda sebagai seorang komunikator yang baik ? Mengapa orang bersangkutan berkesan bagi Anda ? Jawabnya, boleh jadi orang tersebut selalu menunjukkan sensitivitasnya kepada lawan bicara dan situasi. Ia pun secara teratur mengatakan hal yang tepat pada waktu yang tepat, juga hampir selalu menghindari mengeluarkan pernyataan yang tidak perlu.

Apa rahasianya? Barangkali karena ia menyadari bahwa makna itu terdapat dalam diri seseorang dan bukan terdapat dalam pesan atau pun kata-kata. Sebagai ilustrasi menarik, Hensley bercerita saat ia berkunjung tahunan ke rumah ibunya. Ketika sedang rebahan di ranjang sambil membaca, sang ibu menghampiri sambil membawa vas bunga yang tidak nampak menarik. Ibunya berkata : “Maukah kau memiliki vas ini “ Serta merta dirinya menolak. Ketika ibunya hendak beringsut pergi, ia pun berubah pikiran dan menanyakan dari mana vas itu diperoleh sang ibu.

Ternyata vas itu memiliki sejarah bagi sang ibu di masa lalu. Ia kini berumur 81 tahun. Vas itu merupakan hasil dari dirinya ketika berjualan katalog beragam barang saat ia muda, sebagai salah satu dari enam anak yang harus membantu ibunya bekerja keras menghidupi keluarga, yang ditinggal pergi ayahnya saat itu. Vas itu sangat berharga di mata sang ibu dan kini ia ingin memberikannya untuk anaknya.

Spontan saja Hensley segera menyambut tawaran ibunya tersebut. Ia ceritakan, bahwa vas itu kini menghias rumahnya sebagai simbol makna berharga yang terbagikan antara ia dan ibunya. Apabila saja Anda dan saya, katanya, tidak sensitif kepada orang lain dan terhadap makna yang terdapat dalam dirinya, maka akan muncul masalah komunikasi.

Contoh lain. Di radio saya pernah mendengar obrolan mengenai pentingnya kejujuran dan keterbukaan seorang pria terhadap pasangannya. Ada yang berpendapat, pria yang bersikap jujur dan terbuka ibarat menyerahkan kedua tangannya untuk dibelenggu dan sesudah itu pasangannya boleh memukuli dirinya kapan saja. Sementara itu ada pula pepatah yang mengatakan, ketika seseorang pria tidak lagi ada yang ia sembunyikan dari dirinya terhadap pasangannya, itulah tanda bahwa pria itu benar-benar mencintainya.

Jadi bayangkanlah ketika pria yang sudah dengan sukarela menunjukkan hal-hal yang rawan atau vulnerable dari dirinya, tetapi pasangannya justru menggunakan hal-hal rawan itu sebagai titik bidiknya ketika terjadi konflik antara keduanya.

Kaum perempuan, dengarkan hal berikut ini. John Gray dalam bukunya Mars and Venus Together Forever (2003), punya pendapat untuk Anda perhatikan. Menurutnya, pria jauh lebih mudah untuk menghindar dan mengelak dalam percaturan bisnis karena dia tidak berinteraksi dengan kasih sayang yang begitu terbuka terhadap orang-orang lain. Sedangkan dalam hubungan asmara, pria jauh lebih terbuka dan mudah terluka. Jadi kalau dia terpukul, dia akan jauh merasa lebih pedih.

Oleh karena itu, begitu nasehat Hensley, bersikaplah peka, hayati dan masukilah kerangka berpikir lawan bicara Anda. Kemudian berusahalah memahami makna pesan yang diterima dan direspon oleh lawan bicara Anda, dan berusahalah menemukan interaksi murni yang terjadi.


Serius Terhadap Persepsi Lawan Bicara. Tips yang kedua : bersikaplah serius terhadap lawan komunikasi Anda. Yaitu menerima segala persepsi lawan bicara Anda secara valid dan menghargainya. Karena terlalu sering kita melakukan diskon terhadap makna pesan yang disampaikan oleh orang lain karena menilai hal itu tidak penting atau kurang penting dibanding pendapat kita sendiri.

Perang “diskon perasaan” semacam sering dan biasa terjadi. Baik antara suami-istri yang saling meremehkan satu sama lain, orang tua yang meremehkan pendapat anak-anaknya sampai manajer yang meremehkan pendapat para karyawan.

Ia memberi ilustrasi : “Ingatlah, cinta monyet itu nyata dan penting bagi remaja bersangkutan yang sedang mabuk cinta.” Tegasnya, setiap perspektif atau sudut pandang seseorang itu penting dan sangat nyata bagi diri pribadi bersangkutan. Camkanlah, bahwa ia mampu berkomunikasi dengan kita hanya apabila dia dapat menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Seorang teman mengeluh. Ia pernah dengan bangga bercerita bahwa artikelnya dimuat di surat kabar nasional. Untuk bisa masuk ke kolom itu, tentu selain isinya harus aktual dan relevan, ia pun harus mau menunggu nyaris satu tahun. Ketika dimuat, ia dengan antusias menceritakan hal itu kepada kekasihnya.

Entah kenapa, sang kekasih justru sama sekali tidak menanggapi unjuk prestasi pasangannya tersebut. Entah kenapa pula kekasihnya itu tidak memiliki empati. Apakah ia merasa pernah diperlakukan hal yang sama di waktu lalu ? Akibatnya, batu-batu kecil yang akumulasinya kelak berpotensi mengganjal komunikasi mereka di masa datang, mulai bertumpuk !

Demikianlah, komunikasi yang efektif mensyaratkan adanya makna yang saling difahami secara bersama, di mana untuk meraih hal tersebut kita harus sensitif terhadap orang lain serta kemudian mampu memperlakukan secara serius segala hal yang mereka kemukakan tentang diri mereka kepada diri kita.


Pemilihan Kata Yang Cermat. Tips yang ketiga : komunikasi yang efektif mensyaratkan bangunan komunikasi yang cermat. Intinya, pemilihan kata-kata haruslah hati-hati. Sekali lagi, haruslah cermat. Bukan itu saja, tetapi berikan informasi sebanyak mungkin yang mampu diproses oleh mitra komunikasi kita.

Juga jangan sekali-kali Anda lupakan, tegas Profesor Hensley, mengenai pentingnya mencermati komunikasi yang bersifat non-verbal. Karena 65 persen komunikasi kita berwujud non-verbal, maka kita harus waspada, cermat dan juga tepat dalam memanfaatkan tempo, ruang, gerak dan juga kontak mata.

Pendek kata, membangun komunikasi yang cermat adalah dengan menyesuaikannya sehingga klop atau mencocoki dengan pusat makna mitra komunikasi kita. Hanya dengan hal itulah kita mampu meraih komunikasi yang berhasil.


Perbedaan Pria vs Perempuan. Komunikasi nampaknya makin diperumit dengan adanya perbedaan pola antara pria dengan wanita. Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don’t Understand : Women and Men In Conversation (1990), mampu membukakan cakrawala yang menarik bagi kita semua.

Bukunya tersebut dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari buku sebelumnya, That’s Not What I Meant ! : How Conversational Style Makes or Breaks Your Relations with Others (1986). Dalam pengantar buku ini Tannen bercerita bahwa mahasiswa yang mengikuti kuliahnya di Universitas Georgetown sempat melapor, “kuliahnya telah menyelamatkan perkawinannya.”

Beberapa tahun kemudian, mahasiswa dan wanita yang sama, kini sudah bergelar profesor, kembali mengiriminya surat. Ia berkisah, ketika berbicara dengan suaminya sering berbuntut menjadi pertengkaran. Isi suratnya terasa putus asa, “Dr. Tannen, silakan cepat-cepat menulis buku baru, karena problem komunikasi yang paling besar tersebut kini menghantui kaum pria dan wanita dewasa ini.”

Buku You Just Don’t Understand ini saya fotokopi dari perpustakaan American Cultural Center yang dulu bertempat di Wisma Metropolitan 2, 15 Maret 1993. Saya membacanya dengan perasaan sedih, karena baru sadar bahwa pola komunikasi khas lelaki saya selama ini, tanpa saya sadari, telah menyakiti perempuan (“Har”) yang saya cintai saat itu, yang kemudian memutuskan pergi.

Inti konflik komunikasi itu bersumber dari pemahaman bahwa lelaki merasa hidup dalam dunia yang hirarkis, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Dalam hal ini maka percakapan merupakan negosiasi agar dirinya memperoleh atau mempertahankan statusnya untuk terus berada di atas, sekaligus melindungi dirinya dari upaya orang lain yang ingin menjatuhkan atau hendak menyingkirkannya. Dunia lelaki adalah dunia penuh persaingan.

Sementara itu dalam dunia perempuan mereka memandang diri mereka sebagai warga suatu jaringan. Di dunia semacam ini percakapan antarperempuan merupakan negosiasi untuk memperoleh kedekatan di mana seseorang mencoba mencari dan memberikan peneguhan, konfirmasi, dukungan dan tercapainya konsensus. Dunia perempuan adalah komunitas, berisikan perjuangan untuk memperoleh kedekatan dan menghindarkan diri dari isolasi. Memang ada juga hirarki, tetapi hirarki yang lebih condong kepada persahabatan dan bukan untuk saling sikut demi memperebutkan kekuasaan atau pun prestasi.

Ellen DeGeneres, komedian perempuan yang memandu upacara Oscar (25/2/2007) yang mencita-citakan hadirnya presiden perempuan di AS mengatakan, bahwa perempuan “belajar untuk sukses tanpa merasa terancam, mengajak tanpa menuntut serta memimpin tanpa merasa tertinggal di belakang. Kami adalah politisi alami.”

John Gray dalam bukunya Mars and Venus Together Forever (2003) seperti menyimpulkan bahwa dalam berkomunikasi, “istri (kaum perempuan) butuh simpati yang sangat diharapkan, bukan pemecahan masaalah.”


Tugas Baru Perempuan. Nasehat Deborah Tannen sampai John Gray di atas bolehlah disebut sebagai cermin bagi diri saya. Sebagai lelaki, yang secara alamiah merasa berguna apabila mampu memecahkan masalah, justru pendekatan semacam telah menjadi masalah besar tersendiri. Ternyata bila istri Anda mengeluh sakit kepala dan Anda datang membawa obat sakit kepala dan segelas air, atau mengajaknya ke dokter, maka yang terjadi adalah “dor !” : Anda telah melakukan bunuh diri dalam berkomunikasi.

Merujuk fakta betapa tidak mudahnya berkomunikasi antara lelaki dan perempuan, John Gray kemudian memberikan apa yang ia sebut sebagai “tugas baru kaum perempuan,” yaitu memberitahukan kepada pria apa yang ia perlukan sebelum dirinya angkat bicara.

Nasehat yang fair. Maka terkait heboh masalah tempe antara saya dan Niz, mudah-mudahan kelak ia mau memberikan peringatan seperti nasehat John Gray di atas sebelum ia mencetuskan sesuatu. Karena seingat saya, konflik komunikasi semacam ini juga terjadi sebelum “the tempe affair” ini terjadi.

Masalah bunga mawar, misalnya. Ia suka menanamnya. Juga pernah berkomentar, bahwa dirinya ingin ada pria yang mau memberinya sekuntum saja. Tahun lalu, ketika menjemputnya di bandara Adisucipto, saat ia ingin mengunjungi dan menyantuni para korban gemba bumi 27 Mei 2006, saya telah menyambutnya dengan sekuntum mawar. Sesudah itu ia tidak pernah memberikan komentar tentang mawar. Konflik komunikasi itu pernah merambat dari topik mengenai pijat Swedia hingga gagasan seputar charity shop dan desain situs web lembaganya.

Tempe, mawar sampai situs web mungkin memang tidaklah begitu penting sebagai bahan pertengkaran atau pun sebagai bahan pembicaraan. Demikian pula ada jutaan hal remeh-temeh lainnya yang setiap hari menjadi bahan pembicaraan kita sebagai manusia. Apabila kita kembali ke nasehat Hensley di atas, yang terpenting adalah memahami makna di balik hal-hal remeh-temeh tersebut, dengan berusaha berempati serta menganggap apa pun yang dikomunikasikan oleh fihak lainnya sebagai hal yang penting.

Hal remeh-temeh tersebut juga penting dalam lembaga perkawinan. “Chains do not hold a marriage together. It is threads, hundreds of tiny threads which sew people together through the years. That is what makes a marriage last — more than passion or even sex !”, demikian tutur Simone Signoret (1921–1985), aktris Perancis, di harian Daily Mail, 4 Juli 1978.

Menjalin helai demi helai utas benang itu memang bukan hal yang otomatis mudah untuk kami, Niz dan saya, dalam merajutnya hari demi hari. Boleh jadi karena kami terpisah jarak ribuan kilometer. Bahkan kini, walau pun mengaku saling menyayangi, tetapi toh kita juga sampai pada tahap yang sebenarnya tidak kita ingini : terjadinya miskomunikasi yang berbuntut perang sms atau chatting dengan isi pesan yang saling menyakiti satu sama lainnya.

Can't we stop hurting each other
Gotta stop hurting each other

Making each other cry
Breaking each other's heart
Tearing each other apart


Aku berharap, dengan berkali-kali meminta maaf, aksi saling menyakiti itu semoga segera dapat kami akhiri. Mumpung Niz kini berada di Aceh, yang memulai pembangunan proyek impiannya, membangun sarana pendidikan untuk menyantuni dan mendidik anak-anak yatim piatu korban konflik dan tsunami. Semoga ia memperoleh cinta yang melimpah dari anak-anak asuhnya, memperoleh keberhasilan dan kebahagiaan, juga berkah yang melimpah dari Allah.

Saya mendoakannya dari jauh.
Juga merindukannya.


Wonogiri, 4/4 – 6/6/2007


cty

Tuesday, January 16, 2007

Masa Pensiun dan We’ve Only Just Begun

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Resep Sehat Voice of America. Penguasaan dua bahasa, bilingual, berpotensi memperlambat seseorang dari ancaman kepikunan. Informasi kesehatan menarik itu saya dengar dari radio Voice of Amerika (VoA) Siaran Indonesia, 15/1/2007. Penggunaan dua bahasa secara aktif diwartakan memacu otak penggunanya menjadi lebih “cemerlang” dan “tahan lama” dibanding otak mereka para pengguna satu bahasa saja.

Kabar ini, sekali lagi, nampaknya semakin mengukuhkan pendapat use it or lose it, gunakan atau kehilangan, baik yang menyangkut otak mau pun otot Anda. Kiranya kita dapat bercermin dari pendapat Alfred Eisenstaedt (1898–1995), fotografer dan jurnalis kenamaan Amerika kelahiran Jerman. Seperti telah dikutip edisi elektronik majalah Life 24 Agustus 1995 (“tepat saya berumur 42 tahun”) ia telah berujar, ”although I am 92, my brain is 30 years old.” Walau saya berusia 92 tahun, tetapi otak saya berusia 30 tahun.

Umur saya kini menjelang 54 tahun. Juga sudah terasa mulai dihinggapi “penyakit” mudah lupa. Pernah saya ke warnet, sesudah berjalan kaki sekitar 2 km, harus kecewa karena disket yang berisi tulisan untuk di-upload ke blog-blog saya dan materi untuk membalas email, lupa tidak saya bawa.

Sehari-hari saya yang terlibat dalam pemakaian tiga bahasa, Jawa, Indonesia dan Inggris, tetapi ketika bercermin diri saya sungguh tidak tahu pasti sejauh mana tesis informasi dari VoA di atas berlaku untuk diri saya. Dari ketiga bahasa itu, pastilah bahasa Inggris yang paling minimal saya kuasai. Maklum.

Tahun 1986 pernah ikut tes TOEFL di Kedutaan Besar Amerika Serikat, nilai saya hanya 58. Padahal untuk bisa lulus harus minimal, kalau tak salah ingat, 76. Di antara yang mampu mencapai angka lulus itu adalah Rene L. Pattiradjawane, lulusan Sastra Cina FSUI, dan kini redaktur senior di Harian Kompas.

Proses penguasaan saya untuk bahasa negerinya Putri Diana itu berlangsung asal-asalan. Sejak kecil hingga kini. Tetap saja asal-asalan. Termasuk setahun terakhir ini ketika saya membaca-baca email atau mendengar obrolan via telepon dengan Niz, my sweet heart yang tinggal di London.


Like father, like son. Belajar bahasa adalah masalah kebiasaan, kata Niz, suatu waktu. Konon ia sendiri saat tiba di Inggris lebih dari 20 tahun lalu, belajar berbahasa Inggrisnya dari anak-anak atau kaum manula saat bekerja sebagai carer, pengasuh mereka.

Bahasa Inggris menarik saya ketika saya masih duduk di klas lima SD Negeri 3 Wonogiri, 1965. Saya tidak tahu untuk tujuan apa, tetapi saat itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, yang seorang TNI Angkatan Darat, di rumah sering mengucapkan kata dan kalimat dalam bahasa Inggris. Saat itu ia bertugas di Kodim 0734 Yogyakarta. Saya punya ayah hanya setiap hari Sabtu dan Minggu. Beliau rupanya mengambil kursus bahasa Inggris di Yogyakarta dan ketika ia belajar di rumah, saya ikut mendampingi dan mendengarkan, sehingga terimbas secara alamiah.

Tahun lalu, Mas Bambang Setiawan (BS), warga Wonogiri yang lama tinggal di Jakarta, kakak dari Sri Wahyuni (teman seangkatanku di SMP Negeri 1 Wonogiri), bercerita lewat email tentang ayah saya. Mas BS bisa saling mengenal dengan diri saya gara-gara saya memiliki blog di Internet. Ketika di masa kanak-kanak, kami justru tidak saling mengenal.

Yang saya tahu kemudian, adiknya Sri Wahyuni adalah putri dari Wakil Kapolres Wonogiri saat itu. Rumah dinasnya di tepi jalan raya, depan warung menco. Kemudian saya tahu ternyata ibunya Mas BS itu, Ibu Sudarmo, telah pula mengenal ibu saya. “Bu Kastanto itu priyayi-nya tinggi besar,” kenang Ibu Sudarmo. Sebagai istri polisi rupanya beliau akrab pula dengan kalangan istri tentara di Wonogiri.

Mas BS sekarang merupakan salah satu dedengkot :-) paguyuban warga Wonogiri yang tinggal di Jakarta. Kantornya di Graha Irama Building, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta. Di antara warga paguyuban wong Wonogiri itu, begitu ceritanya, antara lain mBak Ari Selopadi. Kalau tidak salah ingat, mBak Ari yang cantik dan tinggi semampai itu, yang pernah menjadi Putri Jawa Tengah, adalah juga alumnus sekolah dasarku, SD Negeri 3 Wonogiri. Termasuk semua adiknya, Minda, Iwan sampai Jajit.

Warga paguyuban lainnya adalah Mas Handrio, putra Pak Pangat, yang jarak rumahnya sekitar 150 m dari rumahku. Menurut Mas Handrio, seperti ditirukan oleh Mas BS, bahwa ia mengenal ayahku sebagai “lancar berbahasa Inggris.” Maka di emailnya pada saat-saat awal kenal, Mas BS membom diriku dengan perkataan : like father, like son.”

Selain belajar bahasa Inggris, beberapa waktu sebelumnya ayahku bercerita bahwa dirinya juga mempelajari bahasa Rusia. Kalau tak salah ingat, beliau bercerita akan ikut tes agar bisa lolos diikutkan menempuh tugas belajar di negeri asal Nikita Khrushchev, Mikhail Baryshnikov sampai Mikhail Sergeevich Gorbachev itu.

Dari buku-buku peninggalannya yang masijh utuh, antara lain dalam Buku Bahasa Rusia : Kursus Permulaan (Moskou, 1959), ia tulis dibeli seharga Rp. 50,00 tanggal 4 Desember 1961. Tercatat ayah mulai belajar 5 Desember 1961, Jam 17.30. Saat itu saya berumur 8 tahun. Dasar anak-anak, dari buku tersebut saya terpancing untuk ikut belajar bahasa Rusia pula.

Ketika SMP, saat dilanda cinta monyet, saya pernah menulis surat cinta berbahasa Indonesia tetapi dengan huruf abjad Rusia. Nasib surat itu mencocoki isi lirik lagu lama, Night of White Satin-nya Moody Blues : “letters I've written, never meaning to send. Surat-surat yang aku tulis tidak pernah dimaksudkan untuk dikirimkan. Kalau pun saya kirimkan, siapa yang mampu menjamin sang jantung hati akan memahami isinya ?

Tahun 1980 ketika berkuliah di FSUI saya berteman dengan Arlima “Ipit” Mulyono, adik pelawak Warkop Prambors, Nanu Mulyono. Ipit pernah berkuliah di Sastra Rusia. Ketika saya mencoba mengobrol dengan satu dua patah kata Rusia, Ipit mengira saya pernah ikut kursus Bahasa Rusia, Jl. Diponegoro, Jakarta.


Memvonis Raja Gerobak. Belajar bahasa Inggris secara tidak langsung lumayan menggebu di tahun 1977-1979. Saat itu saya menghuni sanggar seni rupa yang kami sebut sebagai Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Kehidupan semi bohemian di sanggar itu membuat saya berinteraksi dengan pelbagai aktivis kesenian Solo lainnya.

Photobucket - Video and Image Hosting

Di Luar Arena Scrabble. Aktivitas kesenian di Sanggar Mandungan beragam. Antara lain pementasan musik dan pembacaan puisi. Dalam foto tergambar aktivitas latihan untuk pementasan Malam Puisi 1977. Ki-ka : Murtidjono, Marsudi (membelakangi kamera), Tatah, Harsoyo dan Efix Mulyadi.


Aktivis tersebut antara lain HB Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara, ketiganya adalah pengajar di Jurusan Seni Rupa UNS Sebelas Maret. Ada pula Murtidjono atau Eyang Murti, sebutan gaulnya, yang saat itu baru lulus dari Fakultas Filsafat UGM. Dia lagi kesengsem sama Koes Murtiyah alias Gusti Mung dari Kraton Solo, yang saat itu masih duduk di SMAN 4 Solo.

Kalau aku sih lebih menyukai adiknya, Koes Indriyah. Juga diam-diam menyukai Kenil, putri Pak Panji Mloyosuman, pelajar SMA Ursulin, yang bermurah hati menebarkan senyum penuh pesona dan lambaian tangan ketika setiap kali melintas di depan Mandungan.

Pengunjung setia sanggar lainnya adalah Didik “Fernando” Marsudi almarhum. Ia pegawai Pemkot Solo, aktivis teater dan kemudian dikenal sebagai seniman ketoprak Solo, Harsoyo Rajiyowiryono, mahasiswa Sastra Jawa UNS Sebelas Maret dan kini bekerja di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo dan juga Broto, pemuda dompu asal Laweyan, sohib-nya Eyang Murti, yang saat itu sepertinya tak selesai-selesai kuliahnya di FE UGM.

Nama-nama di atas adalah musuh-musuh utama saya dalam bermain scrabble. Papan permainan ini saya beli tanggal 6 Juni 1979. Pada boksnya tertulis : Manufactured by J.W. Spear & Sons, Ltd., Enfield, Middlesex, England. Sebelumnya saya membeli yang buatan dalam negeri, tetapi kurang memuaskan. Ibarat pembagian liga dalam kancah sepakbola, maka di Gallery Mandungan sering berlangsung permainan scrabble dalam dua arena : para pemain divisi utama menggunakan papan buatan Inggris dan divisi kedua menggunakan papan scrabble buatan dalam negeri. :-)

Selain sebagai pemain, saya sendiri didaulat sebagai pencatat kata mau pun skor. Juga penghakim karena saya yang memiliki kamus dan sekaligus sebagai motor pengejek bagi pemain lain yang kosa katanya terbatas. Mereka yang sering berulang memunculkan kata “VAN” mendapat vonis ramai-ramai dengan sebutan Raja Gerobak.

Arena permainan kadang tidak hanya di Mandungan, tetapi berpindah ke Baturan, rumah Pak Topo yang berada di kompleks perumahan dosen UNS. Atau berekspansi ke Laweyan, rumahnya Broto, atau rumah Marsudi, di Kauman.

Permainan scrabble ini begitu mencandu, membuat hidup kami seolah terbalik. Siang hari dijadikan untuk tidur dan malam hari digunakan untuk melek, bertarung meramu huruf menjadi kata yang bermakna, sekaligus menggabungkan unsur penguasaan terhadap kosa kata dengan kalkulasi demi meraih nilai tertinggi dipadu strategi membunuh peluang lawan. Sebagai pencandu scrabble dan pelintas batas malam, kami pun mengeluarkan kata-kata mutiara : “Cara terampuh untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur.”


Imbauan Menawan Dari Michigan. Sekarang ini kabar tentang teman-teman bermain scrabble di atas, kadangkala saya ketahui dari surat kabar. Sejak tahun 1980 saya meninggalkan Solo untuk berkuliah di Jakarta dan tahun-tahun sesudahnya membuat saya seperti terbuang sekaligus terputus dari seluk-beluk atmosfir sampai kiprah dunia kesenian. Seperti saya katakan via email kepada Tinuk R. Yampolsky di New Haven, Connecticut, AS, karena teman-teman sesama aktivis kesenian Solo nampak belum akrab dengan Internet, antara lain telah membuat kami yang secara geografis dekat justru sulit saling bertemu di dunia maya.

Tahun 1987 saya pernah menulis surat pembaca di Majalah Tempo (7/2/1987). Isinya menawarkan Buletin InfoSeksi, yaitu jasa informasi mutakhir kepada klien berupa puluhan daftar isi majalah-majalah ilmiah luar negeri. Saya saat itu sedang merintis bisnis sebagai broker informasi. Secara mengejutkan, alamat saya di majalah itu telah mengakibatkan saya mendapatkan surat dari Pak Topo. Dari Michigan, Colorado, Amerika Serikat. Beliau menceritakan berita gembira, bahwa dirinya telah meraih dua gelar master dan kini meraih gelar Ph.D.

Ia pun mengompori diri saya untuk tergerak pula menempuh pendidikan lanjutan di manca negara. Nasehat hebat. Tetapi karena kebacut putus asa dengan nilai TOEFL saya yang rendah itu, sehingga membuat peluang saya untuk memperoleh beasiswa Fulbright ke AS praktis tertutup karena melewati batas umur, saya mencoba menghibur diri dengan membalas : mungkin diri saya masih ada peluang untuk belajar ke Inggris. Ternyata, sampai sekarang pun impian belajar ke Inggris itu masih pula hanya sebatas sebagai impian belaka.


Pensiunan : Untapped Resources. Informasi lanjutan tentang Pak Topo saya ikuti dari surat kabar, antara lain ketika beliau diangkat sebagai guru besar di UNS Sebelas Maret. Saya lupa tahunnya. Adik saya yang terkecil, Basnendar Heriprilosadoso, masih sempat menjadi mahasiswa dari Prof. HB Sutopo tersebut.

Berita mutakhir, koran Solopos minggu lalu (13/1/2007) mewartakan bahwa Pak Topo telah memasuki masa pensiun sejak November 2006. "”Sudah tua begini, enaknya istirahat saja,” ujar pria setengah baya yang pernah menekuni dunia seni lukis itu seperti dikutip oleh Solopos.

Sementara itu koran Suara Merdeka, minggu lalu pula, mewartakan Murtidjono akan pensiun sebagai PNS bulan Juni 2007, dan berarti pula pensiun dari jabatannya yang lebih dari dua puluhan tahun. sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo itu.

Saya merasa lucu, juga rada aneh, membaca kabar-kabar di atas untuk memergoki fakta betapa sesama teman sepermainan scrabble di akhir tahun 70-an kini telah memasuki masa pensiunnya. Mungkin bila pekerjaan boleh diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka pak Topo dan Eyang Murti boleh disebut mereka tidak akan bermain lagi. Tetapi bila karier yang diibaratkan sebagai permainan scrabble, masa pensiun bukanlah batas akhir untuk melanjutkan karier mereka. Karena pekerjaan memang miliknya perusahaan, sedang karier adalah milik setiap pribadi.

Di koran tersebut diberitakan, Pak Topo masih memiliki kesibukan sebagai konsultan di Yayasan Indonesia Sejahtera. Juga tetap mengajar di kampus. Eyang Murti konon akan membantu istrinya dalam mengelola perusahaan keluarga, Sadinoe Songkopamilih. Nama ini aku dengar dari ayah sebagai perusahaan terpandang di Solo yang menyediakan peralatan tanda pangkat, seragam sampai sepatu militer.

Pak Topo dan Eyang Murti, masih sehat dan produktif. Demikian pula banyak kaum pensiunan yang lain. Nabi media digital Nicholas Negroponte dari MIT, menyebut kaum pensiunan itu sebagai untapped resources, harta karun yang terbengkalai dan belum dibudi dayakan secara maksimal. Saya telah menyuarakan keprihatinan itu dalam surat pembaca, sekitar dua tahun yang lalu :


Masa Pensiun, Masa Loyo ?
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Rabu, 17 November 2004


Setiap kali penerimaan pelajar atau mahasiswa baru, mirip sebuah ritual, mereka harus menjalani masa orientasi. Bagaimana mereka yang akan pensiun ? Apakah mereka juga memperoleh bimbingan dan orientasi dari para seniornya ? Pertanyaan itu muncul ketika Kompas (10/9/2004) mewartakan tahun 2004-2009 terdapat 590.000 pegawai negeri sipil, terbanyak guru, yang pensiun.

Jumlah yang sangat besar. Hemat saya, sangat disayangkan bila ratusan ribu kaum terdidik yang selama ini terbiasa melakukan olah intelektual, bila tanpa bimbingan dan orientasi, akan membuat sumber daya intelektual mereka jadi muspro, sia-sia, di masa pensiunnya.

Dr. Mary Furlong, pakar Internet AS yang menaruh perhatian kepada kaum lansia, menemukan istilah bahasa Perancis, troisieme age, usia ketiga, untuk sebutan periode kehidupan saat seseorang bebas melakukan apa yang ia inginkan.

Periode Usia Pertama, seseorang berkembang sebagai pribadi. Periode Usia Kedua, mengejar karier dan membentuk keluarga. Di Usia Ketiga, usia pensiun, dirinya menjadi miliknya sendiri. Berbeda dari anggapan bahwa masa pensiun adalah saat dirinya tidak lagi dibutuhkan, lalu menjadi apatis dan loyo, sebenarnya masa pensiun merupakan waktu terbaik untuk mengembangkan kreativitas, terus belajar dan terus bereksplorasi.

Bapak Soeroyo (80 tahun), asal Solo, mungkin dapat dijadikan salah satu contoh. Bangga sebagai epistoholik, sejak pensiun dari PNS tahun 1981 beliau mengisi hari-hari kreatifnya di usia sepuh dan sehat itu dengan terus mengamuk (dalam tanda kutip), menulis surat-surat pembaca.

Resepnya, banyak membaca, memperhatikan siaran radio, juga televisi. Bila ada hal-hal yang tidak laras dengan pikiran beliau, segera ia angkat pena. Tulisannya yang arif dan semangatnya yang tinggi menjadi ilham para yunior dalam komunitas Epistoholik Indonesia

Beliau juga rajin menggalang silaturahmi dalam wadah PWRI. Banyak humor. Bahkan punya slogan yang pantas dicamkan oleh sesama pensiunan dan mereka yang akan pensiun. Slogannya TOPP : Tua, Optimis, Prima dan Produktif. Beda dengan TOPP di jaman Orde Baru yang berarti Tua, Ompong, Peot dan Pikun.

Fenomena di AS tentang kaum lansia yang tetap aktif dan terus belajar ditunjukkan dengan data bahwa pengguna Internet yang terbanyak justru berasal dari kelompok demografis usia 50-an ke atas. Alias kaum usia ketiga, para pensiunan !

BAMBANG HARYANTO
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


Bagaimana diri saya sendiri ? Bila menurut peraturan pegawai negeri sipil, saya akan pula pensiun satu-dua tahun mendatang. Tetapi saya bukan seorang pegawai negeri. Sehingga apabila pekerjaan dan karier diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka saya masih tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan orang lain untuk memainkannya.

Bahkan secara konkrit, saya pun masih memainkannya. Walau memang tidak bisa ramai-ramai lagi. Juga tidak pula harus setiap malam. Juga bukan lagi menggunakan papan scrabble buatan J.W. Spear & Sons, tetapi memanfaatkan peranti lunak permainan scrabble buatan Infogrames di komputer.

Dalam hidup kita memang saling memandang. Tetapi, there is only one success – to be able to spend your life in your own way. Hanya ada satu keberhasilan, yaitu menuntaskan waktu hidup Anda untuk menyusuri kehidupan yang telah Anda pilih sendiri. Ucapan penulis Amerika Christopher Morley (1890–1957) di atas kiranya pantas menjadi panduan kita semua. Terutama untuk diri saya pribadi yang selama ini memang tidak pernah menerjuni pekerjaan dan karier sebagai pegawai.

Ketika teman-teman sepermainan scrabble berangkat memasuki pensiun, seperti tergurat dalam lirik lagunya Carpenters yang saya sukai, We've Only Just Begun, mungkin hidup saya dalam beberapa hal justru baru akan dimulai. Lagu indah dan ucapan Morley di atas mampu membuat senyum kecil ketika di Wonogiri ini saya membaca email Niz yang mutakhir. Isinya setengah merajuk, sekaligus mengajukan pertanyaan : kapan mas mendampingi hidup saya di London ?


Wonogiri, 16 Januari 2007


cty

Tuesday, August 15, 2006

Network Economy, Kelinci London, Aku dan Cinta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Cher,
The Times,30 Mei 1998



Kelinci London vs Kelinci Solo. Dalam fabel Barat, kelinci adalah lambang kecepatan. Menurut kajian profesor psikologi Robert Levine dari California State Universty di Fresno (1985), sang kelinci digambarkan harus lari pontang-panting mengikuti irama hidup di kota London, New York mau pun Tokyo. Sedang di Solo, kelinci itu justru tertidur dan mendengkur !

Itulah intro artikel berjudul “Solocon Valley” yang aku tulis dan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 5 Agustus 2006. Aku kisahkan bahwa irama hidup di Solo sungguh berbeda dibanding kota-kota lain. Aku memang lahir di kota Solo ini. Dan tanggal 24 Agustus 2006 nanti, aku akan tepat berumur 53 tahun.

Tetapi artikel Robert Levine yang termuat di majalah Psychology Today (3/1985) itu tidak aku temukan di Solo. Melainkan di Jakarta, saat browsing majalah di Perpustakaan LIA, Jl. Pramuka, Jakarta Timur.

Levine melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup di kota besar dan kota menengah di pelbagai belahan dunia. Diantaranya Jepang (Tokyo dan Sendai), Inggris (London dan Bristol), Taiwan (Taipei dan Tainan), Indonesia (Jakarta dan Solo), Italia (Roma dan Florence) dan Amerika Serikat (New York dan Rochester). Risetnya mengkaji tiga indikasi dasar : akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki dan kecepatan pegawai kantorpos melayani pembelian perangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Indonesia menempati peringkat paling buncit dari keenam negara itu. Kecepatan seseorang sendirian berjalan kaki menempuh jarak 100 kaki, menempatkan orang Indonesia berstatus paling lambat. Levine memberikan ilustrasi ketika ia mengukur efisiensi petugas pos Solo melayani pembelian perangko.

Saat ia antri, pegawai pos yang menjual perangko itu malah asyik mengajaknya ngobrol, membicarakan kerabatnya yang tinggal di Amerika. Lima orang yang antri di belakang Levine nampak sabar. Tidak mengeluh dan bahkan ikut memberi perhatian atas obrolan mereka.

Selamat datang di Solo, kota di mana waktu tersedia melimpah di sana. Merujuk fenomena yang disebut waktu sosial atau denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu, masyarakat Solo khususnya dan masayarakat Jawa pada umumnya, memiliki pandangan unik. Secara matematis manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Masyarakat Barat memaknai waktu sebagai komoditi yang pasti habis. Waktu adalah uang. Tetapi masyarakat Jawa menganggap waktu sebagai proses siklus, sesuatu yang dapat terulang kembali.

Pemaknaan waktu khas Jawa itu oleh pakar pemasaran Kafi Kurnia diungkap dengan ilustrasi menarik tentang fenomena umum di Solo. Ia sebutkan pemandangan unik : tukang becak yang menunggu konsumen sambil tertidur di becaknya. Juga budaya ngobrol di lapak-lapak wedangan yang juga terasa kental di Solo.

Kafi Kurnia menantang : mengapa tidak menjual kota Solo sebagai kota yang ideal untuk membunuh waktu, untuk santai-santai atau pun berbincang-bincang ?

Tantangan menarik. Terlebih dalam konteks era network economy, ekonomi jaringan dalam dunia digital dewasa ini, kita dapat menyimak pandangan Kevin Kelly yang mampu memberikan perspektif baru yang brilyan. Dalam karya tulis tonggak yang inspiratif, “New Rules for the New Economy : Twelve Dependable Principles for Thriving in a Turbulent World” (Wired, September 1997), ia katakan : Peter Drucker mencatat bahwa dalam abad industri setiap pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara lebih baik disebut sebagai produktivitas.

Tetapi kini dalam ekonomi jaringan di mana kebanyakan mesin-mesin mengerjakan pekerjaan manufaktur yang tak cocok untuk manusia, tugas setiap pekerja bukanlah “bagaimana mengerjakan pekerjaan secara benar” melainkan “pekerjaan apa yang benar untuk dikerjakan ?” Di era mendatang, mengerjakan segala sesuatu secara benar jauh lebih produktif dibanding mengerjakan hal yang sama secara lebih baik.

Tetapi bagaimana seseorang dapat secara mudah mengukur sense penting dalam eksplorasi dan penemuan ? Semua ini tidak terlihat dalam parameter atau patok duga produktivitas. Sejatinya, menurutnya, menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan. Suatu situs web yang dioperasikan oleh anak muda seumuran 20 tahun dapat terwujud karena ia mampu menghabiskan waktu 50 jam untuk menjadi ahli merancang situs web.

Sementara itu pekerja usia 40-an tahun tidak dapat mengambil cuti liburan tanpa berpikir bagaimana dia menentukan apakah berlibur itu bisa disebut sebagai produktif atau tidak, sementara si anak muda tadi tinggal mengikuti naluri dan menciptakan beragam hal baru dalam desain webnya, tanpa menghitung apa yang ia lakukan itu efisien atau tidak. Dari otak-atik yang tidak efisien itulah akan hadir masa depan..

Dalam era ekonomi jaringan, produktivitas bukan masalah krusial. Karena kemampuan kita dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi kebanyakan dikekang, dibatasi, terutama oleh kurangnya imajinasi dalam menemukan peluang dibanding usaha mengoptimalkan suatu solusi. Seperti simpul Peter Drucker yang dikutip oleh George Gilder, rumusnya kini berbunyi : jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang.

Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Tetapi bila Anda mencari peluang, maka Anda dapat mempercayai jaringan, network, Anda.

Apalagi sisi menarik mengenai ekonomi jaringan yang jelas bermain seirama dengan kelebihan manusia yang hakiki. Pengulangan atau repetisi, sekuel, mengopi dan otomasi, di era digital kini semua cenderung bebas biaya. Gratis. Sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya ! (Catatan : alinea penting ini justru diedit, hilang, dalam artikel saya di Kompas Jawa Tengah itu !-BH).

Berefleksi ke belakang, Solo pernah melahirkan tokoh-tokoh inovator seperti Ronggowarsito, Yosodipuro, Martopangrawit, sampai Sardono W. Kusumo, Rendra dan Arswendo Atmowiloto. Atau bahkan juga tokoh sekaliber Ahmad Baiquni dan Amien Rais. Termasuk juga kini, Mayor Haristanto dengan Republik Aeng-Aeng-nya.

Merujuk modal besar Solo seperti disebut Kafi Kurnia dan terlebih peluangnya bersinergi dengan budaya ekonomi jaringan yang mengedepankan inovasi, seluruh stakeholder kota Solo memiliki tantangan bagaimana mengubah kotanya menjadi magnit bagi kalangan inovator, dari mana pun di dunia, untuk datang di Solo. Sebagaimana kemajuan kota atau negara banyak dilakukan para pendatang, kehadiran mereka dapat menjadi katalisator dan stimulator bagi kalangan inovator asli Solo sendiri.

Akhirnya, sebagai warga kelahiran Solo dan merujuk gagasan pembangunan Techno Park di Mojosongo, saya ingin beriur gagasan dengan memimpikan Solo sebagai Solocon Valley, plesetan dari Silicon Valley, kluster area di negara bagian California AS yang dihuni perusahaan-perusahan teknologi informasi ternama di Amerika Serikat.

Pekerjanya di sana yang merupakan otak-otak brilyan itu ibarat campuran seniman dan ilmuwan. Atmosfir suasana kerja yang tidak formal karena kekakuan birokrasi akan membunuh inovasi, mereka pun berinteraksi dan mematangkan ide-idenya di kafe-kafe, dengan obrolan hingga larut malam, yang suasananya tak jauh berbeda dari suasana lapak-lapak wedangan di Solo.


Gothendipity dan Gempa Bumi. Artikelku di atas mengenai network economy itu, penginku suatu saat, bisa dibaca oleh Niniz, perempuan memesona, yang aku temui tanggal 18 Juli 2006 di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Lima hari sebelumnya ia tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan 12 jam lebih dari kota tempat tinggalnya, London.

Aku tinggal di Wonogiri. Niniz selama ini sudah lebih dari 20 tahun berdomisili di London. Kita ketemu melalui Internet. Tetapi dipertemukan secara nyata oleh gempa bumi.

Dirinya sebagai pekerja sosial dan pendiri sebuah lembaga donor, charity foundation yang berkedudukan di London, telah menjelajah sampai di daerah-daerah konflik, seperti Ambon, Poso, Ternate, sampai Aceh. Ia menaruh kepedulian terhadap nasib mereka yang sering terlupakan di daerah bencana dan konflik, yaitu anak-anak.

Slogan lembaganya begitu menyentuh : Give the children hope. Please give them opportunity to go back to school and hold their pencil again. Secara bercanda, aku katakan padanya bahwa kelak kata “their pencil” itu bisa digantikan dengan, “their laptop again.” Niniz punya angan-angan lebih tinggi. “Kalau kelak lingkupnya menjadi internasional, aku dibantu ya mas ?,” rajuknya.

Dalam foto-foto yang ia kirimkan, ia nampak sumringah dan cantik ketika berada di tengah anak-anak yatim yang menjadi anak asuhnya. Dalam dirinya nampak kental terpateri pesan luhur dari lirik lagu indahnya Carpenters, Bless The Beast And Children :

Bless the beasts and the children
For in this world they have no voice
They have no choice

Bless the beasts and the children
For the world can never be
The world they see

Light their way
When the darkness surrounds them
Give them love
Let it shine all around them

Bless the beasts and the children
Give them shelter from a storm
Keep them safe
Keep them warm


Saya pun, karena menyukai dirinya dan misi hidupnya, secara sembrono pernah menulis dalam salah satu email untuknya dengan isi berandai-andai : bila saja Wonogiri atau Jawa terjadi bencana alam atau konflik, saya berharap ia bisa datang dari London untuk menyantuni, sehingga aku bisa bertemu dengan dirinya.

Kata pepatah, hati-hati dengan harapan Anda. Karena sebagian besar harapan itu akan terpenuhi. Saya lalu teringat kata gothendipity yang dikenalkan oleh Tony Buzan (1942 - ), pakar mind mapping dan penemu istilah mental literacy yang mengajarkan bagaimana otak kita mampu belajar secara cepat dan alamiah sehingga kita mampu mempelajari apa pun yang menjadi minat-minat kita.

Kata gothendipity merupakan hasil amalgamasi, peleburan cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity, yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :

“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini,” demikian kata Tony Buzan.

Tanggal 27 Mei 2006, gempa besar itu melanda Yogyakarta, Klaten, dan Pantai Selatan Pulau Jawa. Satu jam sebelum terjadi gempa, jam 5 pagi, aku memperoleh SMS dari Niniz, ia pengin menelpon, ingin pamit karena sore harinya ia berangkat berwisata ke Turki. Obrolan pun terjadi. Ia menasehatiku untuk pergi ke dokter gigi, juga menanyakan apa aku siap untuk menikahinya di Aceh, sejurus sebelum gempa terjadi.

Aku lari keluar rumah, tanpa bilang-bilang untuk memutus pembicaraan telepon. Ketika gempa mereda, sokurlah, Niniz di London belum menutup teleponnya. Aku menceritakan apa yang terjadi.

Siang hari, tanggal 18 Juli 2006, di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, aku bertemu untuk pertama kali dengan Niniz. Setelah menyerahkan barang bawaan wajibnya ketika ia mengembara, yaitu laptop, handycam, kamera digital dan kamera semi otomatis, kepadaku, ia kembali masuk. Ia muncul lagi, mendorong trolley berisi tumpukan kardus. Isinya berupa beragam mainan edukatif untuk anak-anak, biskuit, sampai kembang gula. Itulah bawaannya, yang akan ia sumbangkan untuk anak-anak korban gempa.

Ia pun lalu menambahkan, “dan koper satu itu, semuanya untuk mas”. Isinya antara lain, buku peta kota London (“bikin pusing orang Wonogiri”) dan buku sepakbola pesananku, Ingerland : Travels With A Football Nation (2006), karya Mark Perryman. Juga oleh-oleh kejutan : CD “I Believe I Can’t Fly”-nya stand up comedian Ahmed Ahmed, keturunan Mesir asal California AS. Ia seorang komedian muslim. CD-nya itu juga berisi pentas dirinya bersama komedian Yahudi, bekas rabbi, Bob Alper, bertajuk “One Muslim, One Jew, One Stage : Two Very Funny Guys.”

Saat itu aku hanya mampu menyambut Niniz dengan sekuntum mawar. Mawar Wonogiri. Juga bisikan : “I love you.” Ia pun sering membalas dengan ungkapan canda, “same, same, mas.”


Menghamburkan Waktu dan Penemuan. John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001), antara lain telah mengatakan : “Treat the virtual as real and vice versa. Cyberspace is merely another dimension to everyday life. Do not judge reality whether it is based on technology but by more important and eternal matters such as humanity and truth.”

Aku pernah tulis dalam email : “Ninizku, alinea terakhir ini telah berbicara seratus persen pula tentang kita, bukan ? Kita ketemunya di Internet. Bukankah perasaan saling mencintai antara kita, yang tumbuh stronger and stronger day by day itu adalah eternal matters such as humanity and truth juga ? You bet. Tak salah lagi. Hidup blog. Hidup Internet !”

“Sejatinya,” kembali menurut Kevin Kelly yang aku kutip dalam tulisanku di Kompas Jawa Tengah diatas, “menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan.”

Bercermin pada apa yang aku lakukan selama ini, bagiku, menghabis-habiskan waktu untuk merancang dan mengisi situs–situs blogku selama ini, ternyata merupakan jalan menuju penemuan. Bahkan terbesar untuk hidupku : menemukan seorang Niniz, untuk masa depanku

Tentu saja semua itu tidak terjadi dalam kesempatan dan waktu yang ideal. Niniz pun pernah menulis gugatan gemes dalam SMS (30 April 2006) : Where were u all these times ? Mas kemana saja selama ini ? Kenapa baru sekarang kita jumpa ? I miss U.”

Pertanyaan Niniz yang manis. Juga menggemaskan. Kenapa aku baru menjumpainya ketika umurku mencapai 53 tahun, tepat pada tanggal 24 Agustus 2006 nanti ? Tidak masalah. Salah seorang penyanyi yang aku idolakan sejak tahun 1972 dengan lagunya Gypsies, Tramps & Thieves, yaitu Cher, mungkin telah membantuku untuk memberikan jawaban :

If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Kalau rerumputan mampu tumbuh menyeruak di permukaan semen, maka cinta pun mampu menyapa dirimu, setiap saat, dalam hidupmu.


Wonogiri, 13-16 Agustus 2006


cty

Sunday, July 02, 2006

Send Me An Angel, Mawar Bromley dan Mimpi Jerman Juara Dunia 2006

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


Wise man said just find your place
In the eye of the storm
Seek the rose along the way
Just beware of the thorns

(Scorpions, “Send Me An Angel”)




Jembatan Budaya Antarbangsa. “Sepakbola merupakan salah satu aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia,” demikian pendapat Nelson Mandela. Di tengah mabuk dan demam Piala Dunia 2006 saat ini, pendapat pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan yang sering berpakaian batik itu tentu tak bisa dipungkiri kebenarannya.

Juga bagi diri saya pribadi.

Saya yang tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia, seperti mudah terkait dengan isi pikiran seorang Klaus Meine, seseorang yang tinggal di Jerman sana. Ia berkata mula-mula bahwa musik rock ‘n’ roll dan sepakbola berjalan bergandengan tangan.

“Sepakbola dan musik mampu mengubah dunia sebagaimana yang terjadi di Jerman saat ini. Seluruh negeri terbius dalam suasana pesta dan perayaan untuk penggemar sepakbola di seluruh dunia. Perasaan yang sungguh-sungguh fantastis. Hanya sepakbola dan musik yang mampu menjembatani beragam negara dan beragam budaya karena keduanya merupakan bahasa yang bersifat universal,” tutur Klaus Meine.

Klaus Meine adalah vokalis kelompok musik legendaris Jerman, Scorpions. Ketika menelusuri situs resmi Piala Dunia 2006, saya seperti terlempar kembali ke tahun 1974 ketika membaca cerita tentang dirinya dan Piala Dunia. Saat ditodong pertanyaan sejak kapan ia pertama kali menonton helat Piala Dunia, Klaus Meine menjawabnya : Tahun 1974. Ia dan kelompoknya yang menelurkan monster hit lagu “Wind of Change” (1991) kemudian mengenang pertandingan final Piala Dunia 1974 saat Jerman bertemu Belanda yang ia saksikan melalui televisi.

“Piala Dunia 1974 sangat penting maknanya bagi generasi saya dan telah mengabadikan sosok-sosok pesepakbola besar di jamannya. Tentu saja Franz Beckenbauer, tetapi juga pemain besar lainnya seperti Gerd Müller, Paul Breitner, Sepp Maier dan lainnya. Citra kejayaan tim Jerman tak terlupakan seperti halnya ketika Beckenbauer berjalan di stadion Roma saat Jerman meraih Piala Dunia ketiga kalinya di tahun 1990. Kenangan itu akan terpateri abadi pada sepanjang hidup Anda.”

Piala Dunia 1974 saya saksikan pertandingan finalnya melalui televisi hitam putih di Tamtaman, Baluwarti, Solo. Saat itu saya berkuliah di Jurusan Mesin, Fakultas Keguruan Teknik, IKIP Surakarta. Saya ikut menumpang di rumah Eyang Laksmintorukmi, guru tarinya Guruh Soekarnoputra. Salah seorang kerabatnya, Joko Waluyono, adalah teman sekelas saya di SD Wonogiri III ketika ia mengikuti Eyang Laksmintorukmi yang suaminya, Brotopranoto, menjadi Bupati Wonogiri saat itu.

Piala Dunia 1974 oleh seorang Eduardo Galeano dalam bukunya Football In Sun And Shadow (2003) disebutkan betapa lawan Jerman di final, yaitu tim Belanda, oleh seorang wartawan Brazil disebutkan sebagai disorganized organization, organisasi yang tidak terorganisasikan, karena tidak ada pembagian tugas yang terinci baku di antara pemainnya. Mereka menyerang secara bersama dan juga melakukan hal yang sama ketika bertahan.

Tim Belanda juga punya julukan sebagai Machine, selain memperoleh sebutan sebagai Clockwork Orange, metafora yang diambil dari judul film terkenalnya Stanley Kubrick untuk menggambarkan kreasi dahsyat permainan total football yang digubah sosok-sosok jenius Johan Cruyff, Neeskens, Rensenbrink, Kroll dan pemain lainnya. Dengan dirijen pelatih Rinus Mitchels.

Saat itu, saya yang berumur 21 tahun, belum tahu istilah-istilah keren di atas. Intuisi saya yang membawa untuk memilih Jerman. Pertandingan mendebarkan tersebut berakhir dengan kemenangan 2-1 untuk Jerman. Sejak saat itu saya selalu memfavoritkan tim Jerman.

Saya mengalami kekecewaan di Piala Dunia 1986 Meksiko. Kali ini saya menontonnya di rumah mBah Suroto, Jl. Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur. Saat itu saya sudah menyelesaikan kuliah saya di Universitas Indonesia dan menjadi penulis lepas tentang teknologi informasi di pelbagai surat kabar di Jakarta.

Jerman saat itu bisa menyamakan kedudukan 2-2 melawan Argentina. Tetapi umpan jauh lewat kaki kiri si boncel jenius Maradona ke arah Jorge “Number Seven” Burruchaga, membuat benteng Jerman bocor. Gol terjadi, 2-3 dan Argentina meraih juara Piala Dunia untuk kedua kalinya.

Saya berhurra, di tahun 1990. Gantian Jerman dengan gol penalti pemain belakang Andreas Brehme, yang saat itu bermain bersama Lotthar Mathaeus dan Jurgen Klisnmann di Inter Milan, meremukkan hati pendukung Argentina. Jerman meraih gelar ketiganya sebagai Juara Dunia.


The Dreadful Night. Bayangan masa lalu perseteruan sengit antara Jerman-Argentina itu muncul lagi, pada babak perempat final Piala Dunia 2006 Jerman, 1 Juli 2006 yang lalu. Saya menontonnya di Wonogiri. Saya menyebutnya sebagai the dreadful night, malam yang mengerikan.

Sebelum pertandingan digambarkan tim Jerman sedang berlatih memanah. Foto kapten Michael Ballack nampak fokus sedang membidik sasaran. Latihan visualisasi untuk mampu fokus pada sasaran, yang mungkin sengaja disiapkan oleh Klinsmann untuk pemainnya guna menghadapi penentuan hidup-mati melalui adu tendangan penalti.

Ketika kick-off di Olympiastadion Berlin tepat jam 22.00 WIB, saya segera dilanda ketegangan. Walau pun di stadion itu terpampang spanduk bertuliskan “GER 50 - ARG 0 Das Wunder '06'” atau “Keajaiban 2006 : Jerman 50 – Argentina 0,” saya harus terus berusaha mengontrol rasa tak nyaman itu. Upaya saya, antara lain, dengan mengirimkan SMS kepada Niniz, kekasih saya yang tinggal di London :

“Yankku, aku lagi nervous, jagoku tim Jerman masih 0-0 vs Argentina. Aku pengiin banget memelukmu yank utk meredakan rasa tegang. Oh, soothe me darling. I love you.

Ia pun membalas : “Dont be too frustating. Its only game. Close your eyes and let me kiss them to soothe your tension. I think I know you wish me to be there.

Begitulah, kalau memiliki kekasih yang tidak begitu faham akan sepakbola. Kalau aku disuruh merem, memejamkan mata, mana mungkin saya bisa menonton sepakbola ? Aku pun membalas lagi : “ Thx darling. If I closed my eyes & think of u, very nice & comforting my tension, but I missed the game. Score now, 1-1. I want u desperately & hug you tighter..ILU.

Skor akhir 90 menit adalah : 1-1. Tandukan dahsyat bek Argentina, Roberto Ayala, menerima umpan silang Juan Roman “Si Muka Dingin” Riquelme dibalas dengan tandukan hasil set piece yang tak kalah brilyan. Kombinasi antara umpan terukur Ballack, disambut tandukan Borowksi (dalam adegan ulangan pada layar televisi nampak Klinsnmann melakukan gerakan simulasi yang merupakan fotokopi aksi tandukan umpan mautnya Borowski itu) yang akhirnya diselesaikan secara mematikan oleh tandukan Miroslav Klose.

Dalam tim Jerman ini saya memiliki favorit, Per Mertesacker (17), defender muda kelahiran 29 September 1984, jangkung (196 cm) dan tangguh asal Hannover 96. Sokurlah, akhirnya Jerman menang.dalam adu penalti. Oliver Neuville, Michael Ballack, Lukas Podolski dan Tim Borowski, secara dingin dan telak membobol gawang Argentina.

Jerman 4, Argentina 2.

Penalti Roberto Ayala dan Esteban Cambiasso berhasil dihadang oleh kiper Jens Lehman. Keduanya kemudian pantas menyenandungkan lagu dari Madonna atau Julia Covington yang dipetik dari opera “Evita”-nya Andrew Louis Webber yang terkenal : “Jangan Tangisi Aku Argentina.”

Untuk seorang pendukung fanatik Argentina, Nengah Rikon Gunadharma, yang managing director majalah sepakbola Freekick, telah saya kirimi SMS : “ Argentina terlalu cepat menarik the menacing Riquelme. Kiper utama cedera, Messi gagal masuk. Jerman beruntung punya Lehman. Next time better, bos Rikon.”

Ia pun membalas : “Iya, saya sedih di tengah sorai sorai pendukung Jerman di depan haufbahnhof Frankfurt. Selamat mas Bambang, Jerman bisa juara.” Rupanya Nengah Rikon menonton dari layar lebar di pelataran stasiun kereta api Frankfurt.

Seperti ucapannya, sebagai fans tentu saja saya memimpikan Jerman menekuk Italia di semifinal (walau dalam pertandingan persahabatan sebelumnya di Florence, Jerman dibantai Andrea Pirlo dkk 4-1), melaju ke final, lalu meraih juara keempat kalinya dengan menghabisi jago-jago tua Perancis atau pun tim kelas dua dan kejutan, Louis Figo dan tim Portugalnya.

Hari penentuan itu akan datang.

Di tengah eforia kemenangan Jerman atas Hernan Crespo dkk itu saya memperoleh SMS dari Niniz (London) : “Aku di train mau pulang. I found the book and bought for you. Masih ada football ? Aku tiba di rumah ½ jam lagi.”

Terima kasih, sweetheart.

Buku yang ia beli itu adalah karya Mark Perryman, Ingerland : Travels with a Football Nation. Menurut penulisnya, sejak Piala Eropa 1996 lanskap dunia sepakbola Inggris mengalami perubahan yang signifikan. Terutama yang menyangkut dunia suporternya, akibat semakin kuatnya dukungan penggemar dari kaum perempuan, ras berkulit hitam dan juga dari keluarga. Perubahan itu berdampak pada pendekatan keamanan, liputan media dan juga perilaku suporter di negara-negara lainnya.

Ketika mengirim email Ke Niniz seputar buku itu telah aku katakan impianku : selain ingin menulis biografi tentang kiprah dirinya sebagai pendiri lembaga charitiy kelas dunia untuk anak-anak yatim dan para dhuafa di daerah-daerah konflik di Indonesia, aku pun ingin menulis budaya sepakbola Inggris dari kacamata suporter sepakbola asal Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia ini.

Keajaiban cinta pun terjadi. Niniz walau tidak suka sepakbola, tetapi dirinya telah berbaik hati membelikanku buku tentang sepakbola. Perilaku bak malaikat. Malaikat satu ini, yang menyintai anak-anak yatimnya di Lhoong Aceh itu, juga menyukai tanaman bunga mawar.

Begitulah, kalau Klaus Meine telah mampu membawaku untuk kembali mengenang peristiwa Piala Dunia 1974 untuk kemudian selalu menjagokan Jerman, ia pun juga memiliki lagu indah, “Send Me An Angel,” yang penuh makna bagi hidupku kini dan masa depan.

Kata mutiara Klaus Meine, bahwa orang bijak telah bersabda agar kita mampu menemukan jalan otentik kita masing-masing, walau pun harus melewatinya dalam badai. Temukan selalu mawar dalam perjalananmu, walau harus hati-hati pula terhadap onak di rerantingnya.

Hari ini rasanya aku telah melewati sebuah badai bersangkutan. Badai ketegangan. Kemudian juga ikut menikmati kemenangan. Dalam perjalanan meraih itu semua aku telah ditemani dengan sepenuh atensi, juga cinta, oleh sang pemilik hati dan cinta yang aku sebut sebagai Si Pemuja Mawar. Mawar dari Bromley, London.

Aku tahu duri dan onaknya yang tajam. Tetapi di kelopak mawar itu pula aku telah memutuskan untuk melabuhkan impianku tentang masa depan.

Bersamanya.


Wonogiri, 3 Juli 2006


cty

Friday, June 09, 2006

Plaisir d’Amour, Museum Topkapi dan Ninizku Yang Lagi Berjalan Sendiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Melina Mercouri adalah aktris Yunani. Ia mengasingkan diri ketika Yunani dicengkeram oleh pemerintahan junta militer, dan kembali ke negerinya setelah pemerintahan sipil berdaulat di Yunani. Ia bahkan menjabat sebagai menteri kebudayaan , 1981-1989.

Aku mengenalnya sebagai penyanyi dengan lagu lembut dan indah. Kalau tak salah judulnya, Plaisir d’Amour. The Pleasure of Love. Ketika Niniz, perempuan London yang membuatku jatuh cinta akhir-akhir ini bercerita baru saja mengunjungi Turki, nama Melina Mercouri itu tiba-tiba muncul di ingatanku kembali.

Tambahan info : hari saat Ninizku akan berangkat berwisata ke Turki, saat ia berpamitan di hari Sabtu Pagi, 27 Mei 2006, di tengah obrolan telepon itulah terjadi gempa bumi besar di Wonogiri. Gempa yang sama yang meluluhlantakkan Bantul, Yogyakarta, Klaten, dan kota-kota sekitarnya. Adakah sesuatu firasat di balik gempa ini, terkait antara diriku dengan Ninizku ? Aku tidak tahu.

Lalu, ada apa dengan Turki dan kaitannya dengan Melina Mercouri ? Aku pernah menonton film di televisi, aku lupa tahun berapa, judulnya Topkapi. Memang menyangkut nama gedung bersejarah, yaitu museum indah, dengan nama yang sama di Istanbul, Turki. Bagi orang Turki, nama lengkapnya adalah Topkapi Sarayi. Cannongate Palace. Istana Topkapi. Dibangun mulai tahun 1459 atas perintah Sultan Mehmed II dan selesai tahun 1465.

Bruce Geller, yaitu kreator film seri Mission : Impossible (1966) yang kini dilayarlebarkan oleh Tom Cruise, menyebutkan bahwa film Topkapi yang ia jadikan sebagai ilham. Film itu memang sebuah crime thriller, menceritakan kisah upaya maling canggih yang berusaha mencuri keris bertatahkan berlian dari museum Topkapi itu.

Salah satu bintang dari Topkapi ini, adalah aktris Melina Mercouri tadi. Bintang lainnya adalah aktor Inggris, pemenang Oscar, Peter Ustinov. Nama komplitnya, Sir Peter Alexander Ustinov. Lahirnya, 16 April 1921. Meninggal, 28 Maret 2004.

Sampai di tulisan ini, saya mengharapkan Ninizku akan tersenyum membacanya. Lihatlah, Niz, tanggal kelahiran Peter Ustinov itu adalah sama dengan tanggal kelahiranmu. Hari ulang tahunnya Niniz. Sama pula dengan hari lahirnya petenis Spanyol, Conchita Martinez (1972), petenis asal Belarusia, Natasha Zvereva (1971), pebasket legendaris Los Angeles Lakers, Kareem Abdul-Jabbar (1947), penyanyi Bobby Vinton (1935) yang memiliki lagu top Roses are Red (“bunga kecintaan dari Niniz”) dan Blue on Blue, Robert Stigwood (1934), produser film Saturday Night Fever (ada lagu indah yang kiranya pantas untuk aku persembahkan untuk Niniz, How Deep Is Your Love) dan film sekuelnya, Grease, yang sama-sama dibintangi oleh John Travolta.

Tanggal 16 April apa selalu terkait dengan mawar ? Aku tidak tahu. Tetapi penyanyi Vince Hill yang lahir tahun 1932 pada tanggal yang sama memiliki lagu hits berjudul Roses of Picardy dan La Vie en Rose (Life and Rose).

Sementara Roy Hamilton, penyanyi kelahiran tahun 1929, terkenal karena membawakan lagu karya duet Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II, yang kini menjadi lagu kebanggaan tim sepakbola Liverpool, You'll Never Walk Alone.

Ninizku tercinta tinggalnya di London, bukan di Liverpool. Mungkin saja, karena faktor itulah, Niniz belum menyimaki atau mengakrabi pesan-pesan dalam lirik indah dari lagu You’ll Never Walk Alone itu.

When you walk through a storm
hold your head up high
And don’t be afraid of the dark
At the end of the storm is a golden sky
And the sweet silver song of lark

Lirik yang inspiratif bila kita sedang diterjang persoalan berat dalam kehidupan. Karena kita tidak sedang berjalan sendirian. Tetapi, baiklah, kiranya kini Ninizku ini ingin sedang menyendiri. Ingin berjalan sendiri. Sokurlah apabila bisa ia lakukan setiap pagi. Saya bisikkan kata Raymond Inman : If you are seeking creative ideas, go out walking. Angel whisper to a man when he goes for a walk. Temukan gagasan kreatif itu, baby, guna mencerna dan mengurai persoalan-persoalan yang membelitmu kini. Kau mampu. Kau bisa.

Aku kini menanti Ninizku untuk bisa menyanyi, tersenyum, dan tertawa lagi. Paling tidak, semoga Ninizku ini mau mengakui makna ucapan aktor besar Inggris yang sama tanggal kelahirannya dengan dirinya, Peter Ustinov, yang bilang : “Laughter…the most civilized music in the world.”

Musik tentang cinta, mawar, doa di Masjid Biru sampai rencana indah pernikahan kita, untuk sementara tidak terdengar dari Ninizku ini. Aku merasa seperti kehilangan dunia. Semoga, seperti halnya cerita hilangnya keris bertatahkan berlian dari Museum Topkapi yang akhirnya bisa ditemukan kembali, dengan memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahanku padanya, aku ingin agar Ninizku ini juga bisa kembali.

I miss you. I love you.


Wonogiri, 10 Juni 2006


cty

Wednesday, May 10, 2006

We’ve Only Just Begun, Netnizing dan Pesan Cinta Yang Melintasi Benua

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


Before the rising sun we fly
So many roads to choose
We start out walking and learn to run

Sharing horizons that are near to us
Watching the signs along the way
Talking it over just the two of us
Working together day to day, together

And yes we're just begun to live
White lace and promises
A kiss for luck and we're on our way

(Carpenters, “We’ve Only Just Begun”)



Lelaki Dungu Umur 53 Tahun. Ucapan teolog Protestan Jerman yang terkenal, Martin Luther (1483–1546), pernah membuat saya senyum-senyum. Tokoh yang pernah menjadi guru besar di Universitas di Wittenberg University (1511) itu telah bilang :

Wer nicht liebt Wein, Weib und Gesang, Der bleibt ein Narr sein Leben lang. Mereka yang tidak mencintai perempuan, anggur dan lagu, akan tetap menjadi orang dungu pada seluruh sepanjang hidupnya.

Saya pribadi, jelas tidak pernah meminum anggur. Kalau boleh dibilang pernah, itu sudah lama sekali. Saya mencuri minum anggur milik ibu saya, yaitu anggur untuk kaum ibu yang baru saja melahirkan anak. Saya juga sudah terlalu lama menikmati liburan panjang dalam hal urusan mencintai perempuan. Saya hanya menyukai lagu-lagu saja. Termasuk, tentu saja, lagunya Carpenters.

Dalam posisi seperti ini, bagi lelaki berumur 53 tahun dan bujangan ini, bolehlah saya disebut berstatus setengah dungu atau bahkan dua pertiga dungu. Seratus persen dungu, juga OK.

Kini tidak lagi. Saya masih tetap menyukai lagu-lagu indah. Terakhir, saya terpesona akan pesan ketegaran dari lagu lamanya Dido, “White Flag” yang menawan :

I will go down with this ship
And I won't put my hands up and surrender
There will be no white flag above my door
I'm in love and always will be

Saya kini pun bisa kembali menyukai perempuan yang indah. Mencintainya. I'm in love and always will be. Walau demikian, saya tetap tidak terbiasa meminum anggur. Hari-hari belakangan ini muncul perbincangan asyik mengenai minuman lain yang tidak kalah berkelas disamping anggur. Tetapi bukan kopi. Selamat tinggal, Howard Schulz dan imperium Starbucknya. Aku kini lebih orientalis,dengan memilih teh.

Camellia sinensis, begitu nama latin untuk teh. Perbincangan tentang teh dan teh itu saya lakukan dengan dia yang tercinta, dengan teteh, begitu nama yang saya kenal saat kenalan pertama. Tak sangka ia begitu mendamba teh. Sehingga kalau seorang novelis dan dramawan Inggris Henry Fielding (1707-1754) berkata bahwa love and scandal are the best sweeteners of tea, maka cinta yang kita rajut memang terasa menjadi klop adanya. Teh kiranya bakal menjadi menu utama pemanis bagi cinta kita berdua.


Sementara itu penyair, kritikus dan penyusun kamus terkenal dari Ingggris, Samuel Johnson (1709-1784), menambahkan pula komentar elok tentang teh. Katanya, “with tea amuses the evening, with tea solaces the midnight, and with tea welcomes the morning.” Dengan teh menghibur di senja hari, dengan teh melipur duka nestapa di puncak malam, dengan teh mengucap salam untuk menjemput pagi.

Sementara penyair perempuan Amerika, Alice Walker (1944), dalam kumpulan buku puisinya yang terkenal, The Color Purple (1982), menyinggung teh dan orang Inggris. Katanya, “Tea to the English is really a picnic indoors.” Teh bagi orang Inggris merupakan aktivitas berwisata dalam ruangan. Saya setuju, mbak Alice. Saya pun tergoda untuk berfantasi telah mengerjakannya pula. Untuk pemuja teh yang tercinta. Pasti, dengan setting Inggris juga.

Bayangkan,suatu pagi musim semi di Bromley, pinggiran kota London yang di sana-sini masih menyisakan hutan, aku menunggui seorang perempuan memesona yang masih dipeluk mimpi-mimpinya. Aku memiliki nama panggilan sayang, Niniz, kepadanya.

Aku pernah mendapatkan cerita dari dirinya, bahwa ia pernah dalam mimpinya telah menikah dengan seorang pria misterius, berbaju kotak-kotak. Mimpi unik itu kemudian aku jadikan sebagai bahan ledekan, canda.

Saya katakan, “pria dalam mimpimu itu pasti orang Skotlandia. Bukankah mereka memiliki tradisi unik, memakai kilt, rok pria, yang bermotif kotak-kotak ? Nah, malam itu, dalam mimpimu, rok itu ia jadikan sebagai baju. Sementara bagian bawahnya ia tak memakai apa-apa. Pantas bila pria misterius itu segera menjauh, ketika kau berusaha mendekatinya.”

Niniz pula yang mengajarkan makna dari ritus minum teh orang Inggris kepada saya. “Orang Inggris,” katanya, “kalau sedang terjadi adu argumentasi dan macet, maka salah satu dari mereka akan meminta ijin untuk membuat teh. Itulah momen gencatan senjata.”

Dirinya, pagi itu, dalam fantasiku, masih saja belum terbangun. Dengan sabar, aku menyiapkan beberapa cangkir teh hangat. And with tea welcomes the morning.

Umpama Niniz yang lebih dulu terbangun, dirinya telah punya ikrar terhadapku : "When I opened my eyes I whispered “I Love You” as if you are next to me. Done this recently and I’ll do this when we marry. Goodbye to sorrow and loneliness, you are my hero."

Harap Anda catat : sang hero itu, rencana jangka panjangnya punya pekerjaan tetap tiap pagi -- ya menjadi tukang teh baginya. Menyeduh lalu membawa ke ranjang tempat tidurnya. Untuk memberikan salam selamat pagi bagi bangunnya sang bidadari.

Untuk mulusnya ritus spesial ini, saya telah belajar dari seorang aktris Lynn Fontanne yang pernah memberikan nasehat bagaimana menyajikan minuman teh yang sungguh-sungguh nikmat.

Tambahan info : aktris Hollywood yang istri bintang film Alfred Lunt selama 55 tahun ini, memang rada unik. Pernah ia berterus terang seperti dimuat di surat kabar The New York Times (24/4/1978), bahwa dirinya suka berdusta. “Saya berdusta kepada semua orang. Saya pandai berdusta, secara alamiah sebagai seorang aktris layaknya” tegasnya. Yang ia dustakan itu adalah umurnya. Bahkan kepada sang suami, Lynn Fontanne sampai tega dan tidak pernah mengaku umur dia yang sebenarnya.

Untuk "kebohongan" khas wanita yang satu ini, Lynn Fontanne, jelas tidak sendirian. Kita hormati saja hak istimewa, privilege. kaum perempuan yang satu ini. Bicara umur dan wanita, memang masalah yang peka. Seorang Ellen Kreidman, Ph.D., guru saya dalam hal keterampilan merayu wanita (“so pasti, saya adalah murid paling bodoh ”), menyatakan isu itu sebagai hot button. Ultra sensitif. Tetapi untuk seorang Niniz, aku telah mendapatkan akolade darinya sebagai Qualified !

Walau pun demikian, sebagai lelaki, ijinkanlah saya berbagi rahasia kecil kepada kaum pria lainnya. Kalau seseorang perempuan telah sudi mengaku umur dia yang sebenarnya, atau telah memberi Anda beberapa buah foto dirinya, itulah pertanda dirinya telah mengibarkan bendera putih. Sweet, sweet surrender. Dirinya telah menyerah. Kini saya memiliki belasan fotonya Niniz, dari pelbagai rekaman peristiwa. Akhir bulan ini ia mau ke Turki, aku sudah memesan foto-foto (“ia punya hobi fotografi”) jepretannya dari negara Kemal Attaturk ini pula.

Kembali ke teh. Inilah resep menyajikan teh nikmat menurut metode aktris Lynn Fontanne : hangatkan tekonya dulu, tuang teh dua sendok penuh ke dalam teko, jangan berupa teh celup, yang berisi air yang mendidih. Aduk. “Ketika Anda sajikan kepada saya, gantian saya yang akan mengaduknya lagi,” tuturnya.


Hati, sayap dan naga terbang. Teh yang ingin saya sajikan untuk menyapa selamat pagi bagi Niniz memang bukan sembarang teh. Kita kenal tiga varietas besar tanaman teh, yaitu yang berasal dari Cina, Assam (India) dan Kamboja. Teh yang ingin kukenalkan untuk Niniz adalah teh spesial dari Cina.

Niniz, sayang, teh ini berasal dari propinsi Fujian di Cina. Untuk sampai ke sana pemetik teh harus menaiki rakit-rakit bambu menelusuri ngarai Jiuqu Xi (Ngarai Berkelok Sembilan). Menembusi kabut. Sesudah itu harus mendaki bukit demi bukit, menaiki karang-karang pegunungan Wuyi yang legendaris untuk mencari Yancha atau teh karang yang langka. Yang kadang-kadang disebut sebagai Teh Yang Dipetik Oleh Monyet.

Kalau Anda sangsi atas kisah ini, bacalah bukunya Ron Rubin dan Stuart Avery Gold, Dragon Spirit : How to Self-Market Your Dreams. (2003). Sebagai orang yang memiliki kredo hidup dreams is my business, buku ini adalah termasuk yang inspiratif untuk saya baca.

Kata mereka berdua, ketika orang Jepang di dalam ritual resminya memerlukan waktu untuk penghayatan penuh yang ditampilkan dalam upacara mempersiapkan dan menyajikan teh pada tamu-tamu mereka, orang Cina secara sederhana menghabiskan waktu justru untuk teh. Mengetahui bahwa teh pada bagian terdalam dari setiap manusia terdapat rasa spiritual teh.

Dengan memegang semangkuk teh dan menghirup ketenangan alaminya, Anda dapat merasakan keheningan alam. Segera teh itu merasuki Anda dan Anda merasuki teh tersebut. “Dengan menyerahkan diri pada apa yang telah memasukimu, kau meraih suatu keadaan bahagia yang tidak terucapkan, menjadi satu dengan segala sesuatu, mendapatkan suatu penerangan yang memungkinkan untuk merasakan makna dasar kehidupan, yang tidak lain adalah napas paling dasar dari bumi ini sendiri.”

“Niniz, tahukah kau bahwa teh menciptakan Pikiran Teh ? “

“Pikiran Teh adalah puncak dari semua misteri. Tidak ada tangan yang dapat melukiskannya. Tidak ada suara yang dapat menjelaskannya. Ia adalah keheningan di dalam aktivitas dan aktivitas dalam keheningan – sumber untuk semua kemungkinan, tempat pertanyaan-pertanyaan bagus dan ide-ide cerdas sedang menunggu untuk dilahirkan.”

“Niniz, kau adalah pekerja kreatif, bahkan pendiri dan chairwoman sebuah lembaga karitas, charity kelas dunia. Hematku, kau sangat membutuhkan asupan teh Yancha ini. Dan lahirkanlah ide-ide cerdas untuk program lembaga karitasmu itu di masa depan nanti. Coba lihat kertas ini. Ada tulisan Cina. Ini artinya, camkan dalam hatimu, sayang : seekor naga yang tidak memberikan sayap pada hatinya tidak akan pernah terbang.”

Niniz, kau selalu memberi sayap pada hatimu. Hatimu pula yang membawa kau berani menempuh perjalanan, yang mungkin dapat disebut sebagai one way ticket : musim gugur 1998 di bulan Oktober, telah kau tuliskan, “kusaksikan spektakularnya Eropa. Antara London-Bosnia, merayap lewat Dover lanjut ke Belgium lalu Humberg, Austria, Croatia hingga kota Mostar, Bosnia. Suasana autumn inilah yang menggoreskan kenangan lama akan sebuah permulaan di mana kami menyaksikan sisa sisa perang baik reruntuhan serta yatim dan janda sekaligus trauma. yang tragis.”

Penamu meneruskan catatanmu : “Lalu di autumn lainnya aku berada di ujung timur Indonesia, di gugusan pulau seribu sana. Hatilah yang telah menerbangkanku kesana, dibarengi rasa penasaran dan determinasi dan rasa nekad yang membuatku sampai kesana. Tiba di sana saat konflik mereda, saat semua biduk telah kehabisan bekal, tenaga, spirit, saat hampir beranjak semua, kecuali 7 biduk-biduk raksasa tak akan hengkang karena misi dan agendanya baru saja memulai. Aku sungguh terhenyak – menyaksikan sebuah kerusakan total.”


Pertemuan Hati Dipandu Kerlipan Bintang. Aku kenal Niniz dipandu oleh momen dan media yang mudah membuat kita tidak mudah mempercayainya. Bagiku, suatu keajaiban. Kami bertemu melalui blog. Melalui Internet. Satu di Wonogiri. Satunya lagi di London. Hitung berapa ribu kilometer jaraknya.

Untuk menggambarkan nuansa kontak antara kami, simak SMS-nya Niniz yang sungguh graphic, mampu menghadirkan lanskap penuh makna pada benak pembaca antara lain yang berbunyi, "I read your lovely mail on the train to London City. You make me alive again. Agreed that we just begun. Thanks for loving me. You are so wonderful. I LOVE YOU."

Atau yang berbau promosi pariwisata, "Yank, aku lagi di Westminter, Big Ben. Wish you were here. Wonderful weather like our love."

Merujuk fenomena semacam ini, dan kalau selama ini kita mengenal istilah networking, membina koneksi atau jaringan, gara-gara Niniz saya kini ingin mengenalkan istilah baru. Semoga penyusun kamus Oxford bisa mengesahkannya. Istilah baru itu adalah netnizing, yang berarti menggalang kontak melalui Internet yang dipandu oleh cinta.

Kami berdua, setelah saling mencocokan isi buku harian, merasa yakin telah dipandu oleh getar-getar kosmik, pesan yang terpancar pada kerlipan bintang, yang mungkin sudah tergurat di sana ribuan tahun lalu, untuk mampu bersatu. Nora Ephron telah memvisualisasikan secara indah, dengan bintang Tom Hank dan Meg Ryan, dalam Sleepless in Seattle yang saya sukai pula. "The twinkle stars have told me your wish. I love you and I do," tulis Niniz padaku.

Simak saja pertanyaan dan gugatan Niniz kemudian ketika asmara mengamuk di hati kami : "My heart is singing with joy. Where were you all these times ? Mas kemana saja selama ini ? Kenapa baru sekarang kita jumpa ? I miss you."

Dirinya memang telah sekitar 20 tahun lebih tinggal di London sana. Tetapi hatinya, derai air matanya dan senyumnya menyertai anak-anak yatim, para janda, kaum dhuafa di Aceh, daerah konflik di Poso, Ambon, dan bahkan Bosnia.

Ia mengerahkan segala macam daya dan dana, di Inggris sana, lalu terjun untuk menyantuni mereka-mereka yang papa. Langsung di tengah-tengah mereka. Ia kini ibarat menjadi album berisi rekaman tragika dan selaksa kepedihan sebagian anak bangsa kita yang terlalu mudah untuk dilupakan.

Dirinya tidak melupakan mereka yang papa. Ia terus saja bekerja. Ia tak mau dikenal secara umum. Ia agak alergi terhadap publisitas media. Ia maunya hanya bekerja dan bekerja, katanya, agar kelak mampu mengantarnya ke emperan jannah.

Saya tidak tahu isyarat langit apa yang telah terjadi, karena kini saya bisa mengenalnya. Mengetahui impiannya. Mengetahui kegelisahannya. Adalah suatu perjudian besar ketika saya menyatakan diri bahwa saya menyukai dirinya. The stakes are high. The risks are enormous. Taruhannya besar. Resikonya besar.

Tetapi anehnya, ternyata ibaratnya ia mau saya ajak berjalan berdua ke bibir jurang. Lalu, bersama, let’s jump ! Keberanian memang memiliki power dan magisnya tersendiri, demikian kata Johann Wolfgang von Goethe (1749–1832), sehingga membuat kami tidak terantuk cadas atau bebatuan hitam di dasar jurang.

Kami berdua kini justru mampu terbang.

Bahkan baru jadian yang belum lama, sudah muncul kecenderungan yang mudah mengingatkan kata novelis Inggris, Jane Austen (1775–1817) : A lady’s imagination is very rapid; it jumps from admiration to love, from love to matrimony in a moment. Kami mengibarkan “We’ve Only Just Begun”-nya Carpenters sebagai lagu kebangsaan. "Agreed we just begun," tulisnya dalam SMS.


Begitulah akibatnya, hari-hari ini komunikasi kami selalu diwarnai istilah ILU atau IMU. Mungkin lema yang tidak termuat dalam kamus-kamus standar. Ritus penggunaan istilah itu sebenarnya juga sudah belasan tahun terbengkalai di padang dried loneliness, di hati saya.

Tetapi, oh, kini kami sering dan wajib memakainya. Di SMS, email, juga obrolan real time di pucuk malam dengan pesan bolak-balik yang melintasi benua. Memang benarlah, love will find a way. Tanggal 6 Mei 2006 lalu, ketika saya memberanikan diri untuk melamarnya, dari Wonogiri tempat tinggal saya kini, ia di London sana telah pula memberikan jawaban : I will. Ia pun kemudian bernyanyi dalam puisi :


Hujan

Cintamu ibarat derainya hujan yang menyiram bumi kerontang
mengguyur reranting mawar yang hampir mati kekeringan
Namun di kedalaman sang bumi masih tersisa akar yang terbenam
Lalu hujanmu merambah, menghujam ke dasar tanah paling dalam
menjadikan sang akar dan reranting yang kerontang menggeliat
Curah hujanmu adalah curah cinta, curah kasih sayang
Kini, pucuk dan kuntum senyum menyambut kehidupan.

Kalau mawarku kemarin buram, gruesome
kini ia bugar dan tegar
siap menata hidup
bersamamu.



Niniz
yang mencintaimu
Ash Row, 9 Mei 2006


Hari-hari baru bagi kami berdua memang baru saja dimulai. Tetapi mungkin kita telah pernah berjumpa ribuan tahun lalu.

“Aku membayangkan dirimu sebagai seorang gadis remaja yang cantik. Berbaju putih-putih. Di tengah padang hijau maha luas. Ia asyik bermain. Menganyam angan. Berbisik-bisik, berbicara kepada angin. Kapas-kapas putih yang terbang. Gelembung-gelembung sabun dengan warna-warna pelangi. Memandang dunia ini dengan kedamaian. Tranquality. Kesentosaan. Tanpa rasa kuatir, tabula rasa, lalu kau mengajakku untuk ikut bermain pula.

Kita berdua mengejar kupu-kupu. Sampai di batas hutan. Dalam rerimbunan yang sunyi, selain tetes air di kelopak daun talas yang kemilau bak air raksa, yang ada kemudian adalah debaran hati dan jantung kita. Kita saling menyukai. Kita saling mencintai.

Mungkin kita-kita ini sudah ditautkan oleh masa ribuan tahun silam. Masa sebanyak itu lalu digambarkan dalam barisan ribuan kupu-kupu raja, monarch, yang mungkin terusik kehadiran kita, lalu berhamburan.

Kita melepaskan pelukan dan kembali mengejar mereka, menangkapnya satu persatu, lalu mengagumi keindahan ukir dan pahatan warna di sayap-sayapnya. Itulah keindahan cinta kita berdua, sayangku. Kita membincangkannya sampai sore. Sampai tak terasa, merah senja di barat telah semburat tiba.

Ayo kita pulang, kekasihku. Mungkin kita kecapekan. Lalu melanjutkan journey kita tadi dalam mimpi-mimpi kita. Juga esok hari, yang masih panjang. Sampai jumpa, Ninizku.”



Wonogiri, 11 Mei 2006.



cty