Friday, December 23, 2005
Widhiana Laneza : 20 Desember 2005
Email : epsia@plasa.com
Wir haben, wo wir lieben, ja nur dies :
einander lassen; denn dass wir uns halten,
das fällt uns leicht und ist nicht erst zu lernen.
(Rainer Maria Rilke, 1875–1926
Penyair Jerman)
The MySpace Generation. “Mereka hidup secara online. Mereka berbelanja secara online. Mereka bermain secara online. Kekuatan mereka semakin menguat.” Itulah judul laporan utama majalah bisnis terkemuka, Business Week (12/12/2005).
Anak-anak muda kini hidupnya semakin terintegrasi dengan sarana-sarana teknologi informasi dan layanan yang tersedia. Mereka juga semakin tergantung pada apa yang disebut sebagai jaringan sosial online, termasuk bersaranakan blog, untuk menancapkan identitas sosial mereka.
Situs blog seperti MySpace sampai Xanga.com, adalah tempat nongkrong online yang semakin populer. Dalam lingkar pergaulan seperti itu, virtual community center, pusat komunitas maya, mereka dapat curhat, menemukan tempat untuk mengadu saat patah hati, mendapat teman untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah, dan alamat serta acara pesta Sabtu malam.
Walau pun jaringan semacam ini perkembangannya masih dalam tahap awal, tetapi kalangan ahli memperkirakan bahwa kini telah tercipta suatu bentuk kebiasaan sosial yang baru, yang mengaburkan perbedaan antara interaksi secara online dengan interaksi di dunia nyata.
Artikel itu sungguh mengusik saya.
“Apakah diriku juga sudah terjerumus ke kubangan kebiasaan sosial baru di atas ?”
Seperti juga Anda, saya menulis blog untuk kesenangan. Senang pula bisa mengetahui isi kepala blogger lain, seperti Andrew Sullivan, Caterina Fake, Dan Gillmor, Dave Wiener, Glenn Reynolds, Jeff Jarvis, Jeff Rosen (ini professor sekaligus blogger), Joe Trippi, Mickey Kaus, Nick Denton, Peter Rojas, Robert Scoble sampai si rambut jabrik Xeni Jardin.
Bisa puas lagi bebas mengeluarkan uneg-uneg sampai gagasan dengan gaya personal. Semau kita. Tak ada lagi batasan tirani kolom atau diktator media. Aktivitas yang mengasyikkan, terlebih seperti diungkap oleh Bapak Pencipta Snoopy, Charles Schulz, karena pahalanya justru otomatis ternikmati ketika kita lagi mengerjakannya.
The reward is in the doing.
Bila tulisan mendapatkan komentar dari blogger lain, itu adalah bonus. Termasuk bisa berkenalan dengan teman-teman baru, tempat meminta nasehat dan bimbingan. Konsultan blog saya yang baik hatinya, Tina, tinggal di Ulm, Jerman. Atau sekadar saling bertukar cerita-cerita jenaka.
Bahkan saya punya sahabat online, Lasma Siregar, mengaku sebagai TKI di Melbourne, Australia, yang luar biasa. Dia sudah lebih dari setengah lusin kali membanjiri saya dengan hadiah : buku-buku hebat, decoder (buku unik, bukan alat TV), artikel, kaos, sampai majalah-majalah Playboy edisi era Jurrasic.
Mungkin karena saya sudah berumur 53 tahun, oleh Lasma Siregar sengaja dipilihkan edisi majalahnya Hugh Heffner itu yang khusus memuat artis-artis yang kini pasti sudah jadi nenek-nenek.
Anda tahu artis Indonesia, Ratna Assan, puteri Devi Dja dari kelompok hiburan Dardanella, yang satu jaman dengan Tan Tjeng Bok ? Ratna Assan pernah tampil polos saat ikut membintangi film Papillon bersama Steve McQueen. Di majalah Playboy edisi era brontosaurus :-)) itu Ratna Assan berpose dengan penuh pesona.
Well, dengan menulis di blog, kejutan demi kejutan juga mewarnai hidup saya. Disapa oleh seseorang yang tidak dikenal, ternyata mengaku sama-sama sebagai warga WNA. WoNogiri Asli. Atau oleh sesama mahasiswa seangkatan, tapi beda jurusan, yang dulu justru tidak saling kenal.
Blog bagiku kini juga tiba-tiba ibarat mesin waktu. Hal-hal yang selama ini nampak maya, berjarak, seperti main-main dan tidak serius, ternyata ketika menjadi realitas mampu hadir menggetarkan. Karena blog pula, masa lalu tiba-tiba di ujung Desember 2005 ini merenggutku untuk kembali. Dengan bahasa panggil yang sangat berbeda.
Oleh dia. Oleh sebuah nama.
Widhiana Laneza.
Widhiana Laneza
Satu Tahun Lalu : 2004. Kamis, 28 Oktober. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang) Wanita-Wanita Terindah : Jacquline Bisset. Isabelle Adjani. Sherry Bilsig, pramugari dalam Die Hard 2 : Die Harder. Arie Kusmiran. Miduk. Kenil. Cresenthya Hartati. Widhiana Laneza. Dwi Retno “Tutut” Setiarti. Erika "Michiko" Diana Rizanti. (Posting di blog Buka Buka Beha/28 Oktober 2004).
Lima Bulan Lalu : 2005. Senin, 11 Juli. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an) ”WTS-WTS” Yang Memesona. Di komplek kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, terdapat taman yang dipayungi rimbun pepohonan yang diisi beberapa kupel dan bangku taman. Di sana-sini mangkal pedagang makanan.
Komplek ini tiap hari kuliah selalu ditaburi sosok-sosok yang mampu melahirkan inspirasi, bukan saja cantik dan jelita, tetapi juga memesona. Mereka itulah yang lajim disebut sebagai para “WTS” : Wanita Taman Sastra.
Misalnya, dari Arkeologi ada Widhiana Laneza. Bercelana jin biru, baju jin biru pula, rambut panjangnya digerai. Mirip penyanyi rock. Kacamatanya frame besar seperti yang dipakai komedian Drew Carrey. Sekilas mirip tokoh feminis Gloria Steinem. Bagiku, ini pemandangan yang memesona.
Ada pula Deasy Indriati, yang mungil dan gemintang. Dari Ilmu Perpustakaan : Saraswati, Sri Mulungsih, Arlima Mulyono (adik dari pelawak Warkop, almarhum Nanu Mulyono), Poppy sampai Evy yang mengejar-ejar cinta saya.
Dari Sastra Cina, misalnya penyanyi Christine Panjaitan. Teman kentalnya, Prianti Gagarin Singgih, yang seperti cewek bule Amerika. Sosok menawan dari Sastra Inggris antara lain, Siti Rabyah Parvati. Ayahnya dari Padang, ibunya, Ibu Poppy, priyayi dari Solo.
Rumah eyangnya di Solo kini menjadi lokasi berdirinya Balai Sudjatmoko. Intelektual raksasa dan Rektor Universitas PBB di Tokyo tersebut tidak lain adalah oomnya Siti Rabyah Parvati, yang akrab dipanggil Upik ini. Ayah Upik adalah Perdana Menteri Sutan Syahrir. (Posting di blog Esai Epistoholica No. 24/Juli 2005/11 juli 2005).
Tujuh Bulan Lalu : 2005. Selasa, 14 Juni. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an). Rayuan Bu Dosen Perancis. Cita rasa saya terhadap wanita yang ada “bau-bau” Perancisnya, tetapi bukan wanita impian yang hanya bergerak-gerak di layar-layar bioskop, saya temui pada diri seorang Anez.
Mahasiswi Sastra Perancis.
Juga arkeologi.
“Namamu pakai huruf z, terasa eksotis”, pujiku. Ia menerangkan bahwa namanya diilhami dari kosa kata bahasa Spanyol.
Nama Spanyol, cinta Perancis. Saking kentalnya Anez dengan Perancis, anjingnya yang kecil dan lucu, juga punya nama dalam bahasa Perancis : Grigri. Artinya, jimat. Saat itu dengan bantuan teman, saya membuat kop surat dengan komputer. Tertulis “Grigri Petshop” lengkap dengan alamat rumahnya, yang disambut Anez dengan tertawa-tawa.
Sayang, bahasa Perancisku tidaklah canggih. Aku pernah ikut dalam mata kuliah Bahasa Sumber di FSUI, kini Fakultas Ilmu Budaya UI. Di sini setiap mahasiswa, baik Arkeologi, Ilmu Perpustakaan (jurusanku) dan Filsafat (jurusannya Dian Sastro kini), Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Cina, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra Jawa, Sastra Jepang, Sastra Jerman, Sastra Perancis, Sastra Rusia dan Sejarah, wajib mengikuti mata kuliah tersebut. Para mahasiswa boleh memilih : bahasa Belanda, Italia atau Perancis.
Aku memilih Perancis. Tetapi karena metode belajarku tidak efektif, selain tuntutan untuk berfokus pada mata kuliah di jurusanku sendiri, membuat mata kuliah Bahasa Perancis ini menjadi kurang membahagiakanku. Apalagi, mungkin ini bisa disebut sebagai ge-er berat, ibu dosen Perancisku yang masih muda dan charmant itu, aku rasa, terlalu berlimpah memberikan perhatian rada khusus pada diriku. Memuat rayuan terselubung. Godaan yang menggairahkan. Mendebarkan dan menggelisahkan.
Teman sekelasku dari jurusan yang berbeda, yaitu cewek-cewek yang radar atau naluri kewanitaannya peka, sering mencandaiku akan hal spesial satu ini. Termasuk pula Upik, anak Sastra Inggris dan putri mantan Perdana Menteri RI Sutan Syahrir, yang sering aku repoti ketika aku sulit mengerjakan PR atau saat tes-tes dadakan Bahasa Perancis.
Semua gunjingan itu membuatku jadi jengah. Aku seperti Benjamin Braddock yang naif di depan Mrs. Robinson yang berpengalaman. Akhirnya, aku melakukan desersi. Hanya ikut kuliah bahasa Perancis itu satu semester. Au Revoir ! Lalu pindah ke mata kuliah Bahasa Belanda.
Kembali ke Anez. Aku belum berani membelai Grigri, anjing kesayangannya itu. Aku merasa kurang yakin bahwa diriku memiliki keramahan alami untuk seekor anjing. Pernah saya bertemu seekor anjing, di mana mulutku tidak berkata apa-apa kepadanya. Hanya sorot mataku ingin berkata : “Hei, kamu anjing jelek”. Kami pun berpapasan dengan damai. Tetapi, sekejap kemudian, saya rasakan sebuah gigitan mencengkeram tumit saya. Anjing itu rupanya memahami bahasa nonverbal saya.
Untung rabies tidak mendera saya.
Grigri dan Anez, sungguh ajaib, menjadi pemicu terbitnya buku kumpulan lelucon satwa, yang saya tulis, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987). Begitulah modal rayuan saya. Perasaan jatuh cinta yang mendalam telah berujung dengan terbitnya sebuah buku.
Kutipan sebagian isinya :
“Apakah Grigri seekor anjing penjaga yang baik, Anis ?” “Yah, lumayan. Kalau mendengar gemerisik di malam hari, aku harus membangunkan dia dan barulah ia menyalak.”
Aku telah menghabiskan waktu 5 bulan untuk melatih anjingku agar menjadi anjing penjaga yang baik dan berani. Istriku juga mengajarinya membawakan keranjang belanjaan dan surat kabar. Suatu hari rumahku didatangi pencuri, dan apa yang terjadi ? Anjing sialan itu memegangi obor dan menerangi pencuri dalam beraksi.
Sebuah perusahaan industri makanan anjing berhasil mengeruk keuntungan yang melimpah lewat produknya yang terbaru. Konon makanan itu cita rasanya persis sama dengan kaki pegawai pengantar pos !
Proses (penulisan buku) yang terjadi memang menggairahkan, mungkin tercampur dengan mabuk, terpagut ekstasi, sekaligus tidak memikirkan apa hasil akhir yang terjadi. Kalau Anda percaya, itulah fenomena menakjubkan yang disebut sebagai flow, mengalir, temuan psikolog Mihaly Csikszentmihalyi dari Universitas Chicago.
Flow adalah kondisi bahagia dan terkonsentrasi yang seakan-akan tidak dibatasi waktu, yang Anda raih ketika pekerjaan tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu sederhana, namun cukup menarik untuk memikat seluruh perhatian Anda. Flow sering bersamaku ketika menulis surat-surat rayuan yang panjang atau bergulat merampungkan tulisan-tulisan yang membahagiakan.
Mengilas balik di antara momen-momen interaksi yang istimewa dan terjadi dengan Anez, adalah ketika saya ikut makan malam dengan ayah dan ibunya. Beliau adalah seorang duta besar di pelbagai negara francophone, negara-negara yang kuat dipengaruhi budaya Perancis, di benua Afrika. Terakhir menjadi duta besar di Kamboja.
Ketika malam itu obrolan bergulir tentang makanan, saya menyinggung kegemaran orang Perancis yang keranjingan makan escargot. Bekicot. Saya memberanikan diri nyeletuk, “Orang Perancis suka makan bekicot, membuat mereka jadi lamban ketika ditagih bayar hutang”.
Pak dutabesar meledak dalam tawa. Tetapi putrinya saat itu tidak antusias untuk ikut tertawa. Sinyal lampu merah tentang masa depan pdkt, pendekatan saya telah menyala. (Cuplikan dari posting di blog Esai Epistoholica No. 21/Juni 2005/Selasa, 14 Juni 2005).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 09.00, nerusin halaman 4 surat untuk Ria, tapi ogah memposinnya segera. Jam 12.00 keluar, innerku bilang, “kalau kamu pas goreh begini, tidak sarapan, pucat begini, kisruh begini...jangan-jangan ntar malah kepergok Anez.” Aku ke kantor pos : dapat 5 wesel dan 1 surat untuk ITSC (Ideas T-Shirt Club) dari tetangganya Ria, sama-sama Tawakal ; memposin surat ke Ria.
Aktivitas baru, nongkrong di shelter : jam 12.15. Innerku benar, di seberang sana, jalan sendirian, di mulut gang bertemu teman-temannya, ada cewek berjean dan baju merah kecoklatan :
Itulah Anez, Widhiana Laneza, cewek Arkeologi 82 yang sejak 1981 telah memenjarakanku dalam impian, “aku itu pengin mencintai dia, tapi jalan pengecutku selama ini, udah 5-6 kontak via surat, tak ada hasilnya”.
Saat itu, kerna perfeksionisku, aku memutuskan untuk off, ke fotokopi. “Hati gundah. Oalah, betapa kerdilnya aku ini” (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 30 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 08.00, ke JIP (kampus FSUI). Ke BAP : aku ambil ijazah SIP-ku, hari ini, dan sudah jadi. Ijazahku itu (baru dua tahun kuambil setelah kelulusanku) tak berdampak apa-apa padaku, “kenapa ya ?”. Keluar dari kampus FSUI... Jam 11.30. aku sudah di shelter, nongkrong. Ada bis 38, kukira 39, dan intuisiku berkedip-kedip, “Anez mana ?”
Dari pintu depan tak ada, ketika panning ke pintu belakang, “Ya Tuhan, itu Anez !”, gadis yang selama 4-5 tahun ini hanya hidup di angan-anganku. Hari ini ia berjean lusuh, t-shirt beige (coklat kemerah-merahan) dengan lengan dipotong, rambut tergerai nampak kusut, ia nampak kurus, berjalan tak acuh.
Seluruh badanku terasa beku : aku mau apa saat itu ? Mulutku tak bisa memanggilnya, aku cuman berjalan untuk memandanginya. Anez terus saja melangkah. Tanpa hirau. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 4 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ini, beberapa menit yang lalu, aku memberanikan diri untuk ketemu dan ngobrol a la kadarnya dengan Anez, Widhiana Laneza, di shelter Sunan Giri (15.30 WIB). Sebelumnya aku emang nunggu di shelter Rawamangun, eh dia malah lewat bersama temennya, acuh tak acuh di depanku, ke timur. “Apa yang harus aku lakukan ?”
Aku lalu membuntuti. Ia berhenti di shelter Sunan Giri : bercelana panjang warna khaki, baju garis-garis kecil warna coklat merah, menenteng tas kulit, saat itu temennya baru naik. Aku lalu berdiri di kirinya. Aku sapa :
“Anez ya ?”
Ia menengok. Aku mengajak salaman. Ia mau dan ramah. Aku bilang : “Aku yang pernah kirim surat kepada Anez” Dia tanya : “Sekarang kerja dimana ?’ Aku jawab, “bukan dimana, tetapi apa. Aku menulis”
Aku bilang, “aku malu, aku kan sulit ngomong, maka aku tulis surat”. Dia bilang, “iseng saja”. Kusahut : “tapi aku serius lho...”. Sambil ngomong itu aku memukul lembut pundaknya. Ia tak ada kesan benci atau menolak atas perlakuanku ini.
Oh ya aku tadi bilang : “Anez sekarang dimana sih ?” Ia nyebut alamat yang aku sudah tahu. “Saya pengin ngobrol atau main. Boleh engga sih ?”
Ia bilang : “boleh” (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Rabu, 12 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Terima kasih, Tuhan, aku telah ketemu lagi sama Anez, di rumahnya. Sepanjang senja dan malam tadi.
Kamar tamu yang sederhana interiornya. Di tembok kiriku ada foto besar, pengangkatan babenya Anez, Taufik Rachman Soedarbo, sebagai duta besar di Senegal (?), 11 Juni 1982. Berfoto bersama Bapak/Ibu Presiden RI. Anez dalam foto itu berkain, nampak langsing, tinggi, di dekat babenya.
Lalu Anez keluar, dikerubuti anjing-anjingnya. Yang hitam bernama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis) dan anjing merah bernama Pancho atau Cakil. Anjing putih yang di luar, galak (yang menyalakku kemarin Sabtu) dia sebut Minggo. Anez saat itu berdress : celana jean biru, baju biru, di kaki ada gelang emas, tangan bergelang, pakai jam tangan seperti di foto opspek.
Anez nampak antusias cerita tentang anjing. Aku berusaha menimpali dengan tanya, “anjingnya Liz Taylor yang bisa dikantongi itu jenis apa ?” sampai cerita humor seputar anjing yang bikin redaksi (koran) kalang kabut. Anez juga cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris, Sekolah Teknik Tinggi dan satunya lagi di komputer. Anez pengin ambil kursus komputer.
Malam itu, hmmm, aku ikut makan malam bersama ayah dan ibunya Anez. “Ini orang Jawa asli”, kata Anez mengenalkanku. Pak Taufik tanya, “Dari mana ? Jawa Timur ?” Aku bilang, Jawa Tengah. Wonogiri. Solo ke selatan. Beliau tidak tahu. “Engga pernah dapat pelajaran ilmu bumi”, kilah beliau.
Bapak dan Ibu Taufik makannya pakai tangan. Muluk. Ketika saya nanya mengenai makanan khas Afrika, cerita Pak Taufik banyak sekali dan aku asyik mendengarkannya. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Kamis, 13 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 19.30 : aku sampai ke rumah Ria. Ngobrol tentang buku humor dokter, juga tentang surat kabar kampus Warta UI (Ria jadi anggota redaksinya). “Kayak baca Suara Karya”, celetukku. Ria bilang, “Makasih Mas Hari”. Sambil ngakak.
Ria bilang (dirinya) udah damai sama papanya. Udah (pula) kursus Perancis. Akhirnya aku buka kartu ke Ria : “aku kini lagi berburu cewek.” Aku suka sama dia engga (ada bumbu) romantisnya, engga ada sexual drive, tapi datar-datar saja. Rasional. Cewek itu anonim bagi Ria. (Kusebut juga) suka Perancis dan aku sebut ia (sebagai) Garuda : terbang sendiri dan mandiri. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 15 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 11.30 berangkat pula jadinya, dan, di shelter Rawamangun terus tergambar Anez di sana. Sampai di JIP-FSUI, temu Ibu Soma (Ketua Jurusan). Hasil revisi skrip (yang aku tulis untuk televisi) diterima.
Engga banyak obrolan. Beliau cuman nawarin ; “mbok kamu belajar komputer, biar komputer ini engga underuse”. Aku jawab ya (dengan hati senang). Pulang. Mampir PO Box : dapat 2 surat ke ITSC, 1 tagihan dari Yani, dan Infokilat PDIN, (isinya antara lain daftar isi ) majalah Discover (September) yang ada artikel arkeologi : “moga-moga Anez bulan ini juga telah menerimanya”. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 29 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Baru saja aku nelpon Anez. “Ada apa ?’, tanya Anez. Aku agak nervous nanya bab seminar Arkeologi Publik, 2-3 Desember 1986. “Sebagai pendengar boleh kok”, katanya.
“Oh ya, kabarnya Grigri ?”, tanyaku. “Baik-baik aja. Sekarang baru mau makan”, jawab Anez. “(Anjing) yang kecil, siapa sih ?”. Anez jawab, “Bobi. Dan makasih untuk fotokopinya. Sudah diterima” Aku : “Yeah, mudah-mudahan ada gunanya” (Anez mengiakan : “ada gunanya, kok”).
“Udahan ya, Anez”
Jawab dia : “Kalau mau nelpon, nelpon aja”
“Yuk. Dadag” (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 2 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 9 sudah tiba di (gedung pertemuan di komplek UI Rawamangun) Sarwahita. Upacara seminar dibuka, aku masuk. Suasana orang-orang Arkeologi FSUI adalah, “yeah, suasana jurusan yang kering, tidak favorit, underdog, tersingkir”, gitu kesanku. Seperti juga jurusanku.
Aku ikut mendengarkan makalah pertama, “Museum dan Arkeologi”, oleh Bambang Soemadio dan penanggap Aristides Katopo. Isunya : bagaimana meningkatkan kesadaran publik tentang museum dan arkeologi.
Jam 12, aku cabut, dipelototi banyak mata. Nampaknya Anez tidak ada di antara mereka. Di pintu temu Paulina, Arkeologi 1986, (sebelumnya aku kenal sebagai) anak Himpunan Astronomi Amatir Jakarta/HAAJ. Ngobrol sebentar. Lalu aku off ke (perpustakaan) PPIA.
Melihat cewek berkaki putih, innerku bilang : “Itu Upik kah ?”. Tapi aku membantah sendiri. Tapi ya, ia bener-bener Upik. Kita (lalu) terlibat ngobrol. Ia belum lulus (Sastra Inggris UI). Daftar artikelku dulu (untuknya) mubazir. Ya udahlah.
Aku berkomentar mengenai surat pembaca (yang ia tulis) di majalah Tempo. “Wah, kayak Cory Aquino”. Ia nampak senang, dengan sikap mau memukul. Komentarku lanjut : “mau jadi golput ya ?”
Upik Syahrir pergi ke rak, aku scanning majalah Scientific American. Nampak ia mau cabut, aku pura-pura tak tahu. Eh, Upik menghampiri kursiku dan bilang, “duluan, ya”.
Perpustakaan PPIA tak lagi menarik. Aku pulang, sambil menyapa “mBak PPIA” (yang kukira udah pindah). Ia bilang, “lama tidak ke sini ya ?” Aku jawab : “sore hari”. Pulang, jam 13.30. Scanning shelter UI (Rawamangun) : tak ada Anez. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Senin, 8 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ketemu banyak orang : Museum Satria Mandala, aku ikut acara Pengarahan Kursus Perpustakaan Mabes ABRI 86/87. Aku tiba on time, temu banyak ABRI : letnan kolonel. Aku duduk di barisan (dosen-dosen) UI.
Ke PDII, temu mbak Jati dan Suwarto. “Untung deh gue”. Riset majalah Romantika Arkeologia (FSUI) : temu berita bagus : Anez baca makalah tentang perkotaan kuno pra-Islam di acara diskusi. “Hebat juga anak satu ini ; dan aku tidak salah pilih ya ? Ia ilmuwan, aku juga, he..he”
Ini mengkhayal bab Anez : “kurasa dia itu juga cinta ilmu seperti juga aku ; dari luar sederhana tapi isi kepalanya cukup kompleks; dan pendekatanku selama ini kira-kira cocok engga ? Ya, embuhlah.....”
Dari PDII, aku tur ke Redaksi Pelita : ambil honor artikelku (“Terorisme Media”), 4 Nov 1986, “dapat Rp. 30.950,00”. Okay. Mampir American Cultural Center (Wisma Metropolitan 2), melamar jadi anggota. Ketemu bu Is Prayoga (kepala perpustakaannya dan dosenku) : “Buset, kerjaku freelance dikaitkan sama status singleku. Dia bilang aku harus cepat-cepat kawin”. Wah, aku menjawab : “Nasehat ibu saya dengarkan”. He-he, status freelance-ku kok tidak bercitra positif ya ?
Haus fotokopi artikel, eh, ketemu bab “melatih anjing”, aku ingat Anez : 24 halaman. Aku sangsi, jadi atau engga ? Akhirnya, demi cinta, harga segitu kupandang murah atau tak seberapa. Okay, aku fotokopi aja (artikel) “Four Ways To Walk a Dog” dari majalah Atlantic Monthly (April 1986) itu. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun pagi, tak ada orientasi. Seharian merampungkan desain (t-shirt) ITSC : Reagan – selesai. Pagi : menyalin dan menyalin surat cinta untuk Anez, “tapi gundah lagi, ditunda lagi”. OK.
Mandi sore untuk meredakan gundah dan bara di kepala dan dadaku sehubungan dengan cintaku pada Anez dan kesepian-kesepianku. Belum reda. Malam : box, blong, dan rasa sepi itu makin merujit-rujit. Ya Tuhan, begini hidupku. Escape : makan soto, kenyang, agak adem hati ini. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu :1986. Senin, 29 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari bersejarah dalam karirku sebagai penulis. Aku menyerahkan naskah kepada penerbit : naskah sebuah buku, buku kumpulan humor satwa, dengan motivasi : mempersembahkan karya itu bagi orang yang ingin aku cintai, Widhiana Laneza ! Anez, sebutannya. (Buku Harian).
Petikan isinya lagi :
”Mengapa engkau menangis, Ani ?”
“Aku sedang sedih karena anjingku mati pagi ini”
“Lho ? Mertuaku juga baru saja mati, tetapi aku tidak bersedih seperti kamu saat ini.”
“Iya, habis kamu tidak membesarkan mertuamu sejak kecil”
”Aku telah menemukan cara terbaru untuk mengusir pinjal dari tubuh anjingku.”
“Bagaimana caranya ?”
”Gampang ! Anjingku kuajak naik pesawat terbang, lalu pilotnya kusuruh untuk berakrobat di udara. Pinjal-pinjal itu menjadi ngeri dan mereka pun berhamburan pergi.”
Seekor ayam babon tua memanggil sekelompok ayam babon muda. “Maukah kalian mendengar nasehatku ?”, tanya si Tua.
“Nasehat apa ?”
“Sehari sebutir telur menjauhkan lehermu dari pisau dapur”
Sembilan Belas Tahun Lalu :1986.Rabu, 31 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia bilang, fotokopi tentang anjing itu telah ia terima. Juga cerita tentang jadwal ujiannya, awal Januari 1987, dan bahkan ia cerita pengin kerja freelance. “Kerja apa ?”, tanyaku. “Engga tahu. Bapak yang mencarikannya”
“Pada diri Anez apa yang bisa dijual ?”, tanyaku. Bercanda secara otomatis muncul. Terdengar dia tertawa besar. Segar. “Maksudku, skillnya”, jelasku. “Bahasa”, kata Anez.
Anez nanya ; “Apa acara Tahun Baru ?”. “Evaluasi tahun 1986,” kataku, dan “rencana tahun 1987”, Anez menambahkan. Aku bilang : “biasanya semangat tinggi ada di bulan Januari, sesudah itu biasa-biasa lagi” (Buku Harian).
Delapan Belas Tahun Lalu : 1987. Jumat, 9 Januari. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia cerita anjingnya yang hilang. Si Cakil atau Pancho. Dicuri orang ? Ia cerita tentang pagar rumahnya yang bolong. “Anez nangis engga ?”, godaku. “Engga. Mudah-mudahan dicuri oleh pemiliknya”, kata Anez. “Lalu anjing baru, jenisnya apa ?”, tanyaku. Dan jawabnya : “Biasa. Anjing kampung”
“Jadi semua (anjingmu) serba kampungan ya ?”
Anez tertawa. Aku lalu nanya bab anjing Labrador, Alsatian, dan melucu tentang anjing Dachshund yang bisa dikomersilkan : untuk membersihkan cerobong asap. Anez bilang : “jangan kejam-kejam dong.” Aku me-recall humor tentang cewek yang disukai anjing bukan karena cantiknya, tetapi “she has a good bone structure. Anyway, all the dogs loves her”.
Anez inisiatif buka obrolan lain. Kali ini tentang rencana pertunjukan maestro ballet di Jakarta. “Rudolph Nureyev, kan ?”, sergahku.
Cocok.
“Tapi karcisnya mahal”. Anez menjawab : “Ya. Karcisnya mahal”. Aku usulkan : “lebih baik nonton videonya, lebih murah. Oh ya, Anez, aku sering terkicuh antara Nureyev dengan....”, dan Anez gantian cepat menjawab : “Mikhail Baryshnikov”
Cocok. Nyambung.
Aku nelpon kali ini tanganku yang pegang handle gemetaran. Lapar ? Masih soal Baryshnikov aku berkata : “kan dia kini lagi main film”. Anez kembali cepat menimpali : “White Night”.
Cocok dan nyambung lagi.
“Anez suka film semacam Return To Eden ?” Ia bilang : dulu suka, tapi sesudah melingkar-lingkar, ia bilang tidak mengikuti. “Itulah opera sabun”, kataku, dan kusambung cerita tentang penulis opera sabun versus istri tukang ledeng.
(Konon, ada penulis opera sabun yang pipa ledeng di rumahnya rusak. Ia nelpon tukang ledeng, tetapi yang menerima istrinya. Istri itu surprise setelah tahu yang menelpon itu penulis opera sabun favorit yang sering ia tonton di televisi. Ia lalu tergoda pengin tahu bagaimana kelanjutan kisah si tokoh utama. Katanya, “ kalau saya dibocorin lanjutan kisah si tokoh, saya akan meminta suami saya untuk membantu Anda. Kalau tidak dibocorin, saya akan tutup telepon ini” Si penulis opera sabun itu menyerah.)
Anez terdengar tertawa.
Aku bersiap menutup pembicaraan. Ketika koin keempat jatuh, menit ke 9 -12 mulai, aku bilang : “Tahu engga, bahwa Anez itu menarik ?” Anez tertawa. Surprise. Dapat tembakan rayuan. Tapi dia hendak mengelak : “Engga kok. Tapi engga tahu deh anggapan orang lain”
Saat itu aku hendak nerangin soal Johari Window, tapi tak jadi. Aku bilang lagi : “Bener kok, Anez itu menarik”. Ia tertawa lagi dan dengan cerdas ia berkelit. “Anyway, thank you”, katanya dengan tutur yang luwes. Sambil tertawa gembira. Aku juga.
“Yuk, dadag”, tutup Anez. (Buku Harian).
FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Saya menulis email balasan berikut ini :
Dear Mas Anto,
Terima kasih untuk email Anda, Mas Anto. Salam kenal. Saya mengingat, kalau tak salah ingat, Anez pernah cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris. Di elektro ? Apakah itu Mas Anto ?
Anez bercerita sepintas hal itu di rumah, sambil direcoki oleh Grigri (kata Anez, artinya "jimat" dalam bahasa Perancis) dan si Cakil, keduanya adalah anjing kesayangannya. Gara-gara anjingnya Anez itu sampai saya tergerak menyusun buku kumpulan humor satwa.
Suatu saat di telepon Anez cerita bahwa si Cakil itu pergi. Saya tanya ke Anez, apa jenis anjingnya itu ? Anez bilang, anjing kampung. Lalu saya tanya : semua anjingmu itu kampungan ya ? Anez hanya tertawa kecil.
Pernah juga saya katakan di telepon : "Anez itu menarik" Kalau saya ketemu sekarang, masih akan saya katakan : "Anez itu menarik" Saya yakin kini Tuhan Yang Maha Penyayang juga akan mengatakan bahwa Widhiana Laneza itu menarik, sehingga ia dipanggil lebih cepat untuk menghadapNya.
Saya ikut merasa kehilangan, Mas Anto.
Semoga Mas Anto, suaminya Anez, Ibu dan Bapak Taufik ("saya senang ketika diberi cerita beliau tentang makanan khas Senegal") dan keluarga besar di sini diberi ketabahan dan kekuatan iman.
"Selamat jalan Anez, semoga kau di surga sana mendapat tugas arkeologi yang lebih menantang"
Wassalam.
Hormat saya,
Bambang Haryanto
FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Sebelumnya saya mendapat email tak terduga-duga berikut ini :
Mas Bambang,
Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan situs blog anda "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list “wanita-wanita terindah” Anda.
Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya.
Salam,
Anto,
kakaknya Anez.
Apa Daya Saya Hanya Manusia. Penyair Jerman Rainer Maria Rilke telah bilang, dalam cinta satu-satunya hal yang harus dipraktekkan adalah : berilah kebebasan bagi orang-orang yang Anda cintai. Kalau ingin membelenggunya, itu perkara mudah, kita tidak usah belajar tentangnya.
Kebebasan Anez, kebebasanku dan kebebasan kami, akhirnya membuat jatuh cintaku kepada Anez kandas. Aku bisa mengerti. Karen Carpenter, penyanyi favoritku yang mati muda di usia 33 tahun dalam “When I Fall In Love” seolah mengabadikan kepedihan itu :
In a restless world like this,
love is ended before it’s begun.
Hal ini pun, Anez, juga bisa aku mengerti.
Tetapi memperoleh kabar bahwa Widhiana Laneza telah dijemput kebebasan puncaknya sebagai manusia untuk kembali keharibaan Tuhan di bulan Desember ini, betapa momen menggetarkan dan penuh misteri dariNya tersebut masih terasa sulit untuk bisa aku mengerti.
Apa daya, saya hanya manusia.
Wonogiri, 22-23 Desember 2005
Friday, November 11, 2005
Please, Mister Postman, Kartupos Adis dan Surat November Untuk Seorang Calista
Email : epsia@plasa.com
There must be some word today
From my boy friend so far away
Please Mister Postman, look and see
If there's a letter, a letter for me
I've been standin' here waitin' Mister Postman
So patiently
For just a card, or just a letter
Sayin' he's returnin' home to me
(Carpenters, “Please Mister Postman”)
SENSASI MENANTI PAK POS TIBA. Kartupos itu bergambar lanskap kota Sevilla, ibukota Andalusia, Spanyol Selatan. Lain kali panorama Birmingham, Inggris, Istana Terlarang dan poster foto Ketua Mao di Beijing atau Guangzhou di Cina, stadion PSV di Eindhoven, Belanda, sampai Atlanta di Amerika Serikat.
Selain kontak lewat e-mail, adik saya Broto Happy W. yang berprofesi sebagai wartawan olahraga selalu mengirimkan kartupos dari tempat ia meliput event olahraga kelas dunia.
Aktivitas sederhana itu kemudian ia jadikan tradisi dan kini ia tularkan pada putrinya, Adis, (komplitnya : Gladys Erika Septeria) yang masih TK. Setiap ke luar kota, putrinya ia ajak membeli kartupos bergambar khas kota setempat. Lalu mengajarinya untuk menulisi kartupos itu dengan satu-dua kata atau coretan gambar.
Kebetulan Adis sudah lancar menulis namanya sendiri, alamat, juga nama kakak, orang tua dan kakek-neneknya. Kartupos-kartupos itu lalu dimasukkan ke bis surat, ditujukan pada dirinya sendiri dan orang tuanya.
Ketika tiba kembali ke rumahnya di Bogor, sensasi mulai ia rasakan. Mungkin mirip situasi komedik-romantik dari lagu “Please, Mister Postman” dari The Beatles dan juga dinyanyikan oleh Carpenters dulu-dulu itu. Yaitu mengharap-harap kartuposnya tiba, merasakan kegembiraan ketika mendengar suara pak pos memanggil, dan terutama ketika menerimanya.
Tentu saja diperkaya dengan cerita-cerita seisi keluarga menyambut tibanya kartupos-kartupos tersebut. Secara tidak langsung, sejak dini ia merasakan kegembiraan dalam menulis, merasakan keajaiban dan manfaat kata-kata tertulis, dan tentu saja mulai terbina mencintai aktivitas membaca dan menulis.
Semua keluarga mampu melakukan hal yang sama, menjadikan menulis kartupos sebagai tanda awal cinta anak-anak mereka terhadap aktivitas belajar tanpa henti, sepanjang hayat, yang semakin dibutuhkan oleh tiap insan di tengah cepatnya perubahan global dewasa ini. Menulis dan membaca. Silakan, hari ini Anda pun dapat memulainya untuk putra-putri tercinta Anda !
KULIAH CINTA DAN AIRMATA Sensasi menantikan datangnya surat –surat cinta pernah saya alami sekitar tahun 1982-an. Atau tahun 1983. Sebagai mahasiswa dan anak kos yang pendatang baru di Rawamangun, Jakarta, dengan kemungkinan harus jadi nomad, alias sering pindah-pindah alamat, saya memutuskan untuk menyewa fasilitas kotakpos di kantor pos pembantu Rawamangun.
Nomor saya adalah Kotakpos 55/JNG-RA Jakarta 13220. Lalu diubah oleh fihak pos menjadi 55/Jatra. Terakhir, di tahun 90-an berubah lagi menjadi 6255/Jatra. Saya menyewa fasilitas kotakpos itu selama hampir 15 tahun !
Kantorpos Rawamangun saat itu cukup ramai karena kampus Universitas Indonesia (UI) seperti Fakultas Sastra, Hukum, Ilmu Sosial dan Politik, juga Psikologi, masih berada di Rawamangun. Belum lagi ikut berdempet pula kampus IKIP Jakarta, yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta.
Oleh komedian mahasiswa saat itu, Pepeng (Ferasta Subardi, yang Sersan Prambors, dan kini menderita lumpuh pinggang ke bawah), IKIP Jakarta itu sering dia jadikan lelucon dengan menyebutnya sebagai “USU”. Tentu saja bukan “Universitas Sumatra Utara”, melainkan “Universitas Sebelah UI”.
Di kantorpos ini pernah aku lihat artis Ira Wibowo, blasteran Jawa-Jerman yang kelahiran Berlin. Saat itu ia tercatat sebagai mahasiswa FISIP-UI. Demikian juga pernah aku temui, penyanyi Louise Hutahuruk. Juga dari FISIP-UI pula.
Fasilitas kotakpos itu di tahun 1982 pernah, salah satunya, aku jadikan alamat Universitas Kecil Indonesia (UKI). “Universitas” ini adalah milikku, yang aku gagas sebagai ajang korespondensi melalui surat guna mendorong anak-anak SD-SMP belajar menulis, mengungkapkan gagasan ke dalam bahasa.
Salah satu “mahasiswi”-ku saat itu adalah Riaty Raffiudin. Saat itu ia duduk di kelas 3 SMP Regina Pacis, Palmerah Utara, Jakarta Barat. Kontak kita terus berlanjut sampai 4 atau 5 tahun kemudian, hingga Ria menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Politik di FISIP UI, di Rawamangun pula.
Ia menyebutku sebagai Mas Hari. Ia anak pertama dari 3 bersaudara, dan ia seperti menemukan seorang kakak yang bisa diajak curhat pada diriku. Saking lama atau intensifnya kontak kita, sampai ia tahu kalau aku marah, yang ia sebut sebagai “marahnya kaum intelektual”. Menurut Ria, marahku itu tidak nampak di permukaan, tetapi dapat ia rasakan. Ia pun menyebutku sebagai perhiasan kristal. Maksudnya, kalau pecah atau retak, bisa ditangkupkan kembali, tetapi tetap ada cacat yang tersisa. Hmmm.
Pernah suatu malam aku main ke rumahnya. Duduk di teras, pagar tanaman bambu taman mengepung kita. Kita berdua sampai berurai air mata. Gara-gara tertawa saat membedah humor-humor seks dari buku-bukunya Larry Wilde. Atau di momen lain, aku sampai menangis terharu, menerima hadiah ulang tahun unik darinya : 33 butir permen Fox warna-warni yang berkilauan.
FOR ALL WE KNOW UNTUK CALISTA. “Mahasiswi”-ku yang istimewa lainnya adalah Calista. Sosoknya ramping, walau tak sekurus artis Calista Flockhart yang pemeran utama Ally McBeal yang saya sukai itu.
Ternyata ia malah sudah lulus SMA Kristen 1, Pintu Air, Jakarta Pusat. Calista yang pengin meneruskan kuliah ke Fakultas Hukum, tetapi saat itu meneruskan bisnis perusahaan sepatu perempuan milik keluarganya. Ia pernah memintaku untuk membuatkan sesuatu merek untuk produk sepatunya. Atau minta diantar ke perpustakaan untuk mencari-cari buku yang membahas seluk-beluk desain sepatu.
Pernah ia agak “memaksa” agar aku mau belajar menjadi sales, keliling pasar, untuk menjajakan sepatunya. Maksud Calista baik. Ia pengin membantuku, dengan memberikan kail. Bukan memberiku ikan. Sebab saat itu aku yang selain dikejar untuk menyelesaikan kuliah juga harus mencari uang untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Calista sempat memberiku support, “anggap saja sepatu-sepatu ini merupakan produk perusahaan Mas Hari sendiri”. Pembekalan yang bagus, tetapi belum cukup membuatku bisa tegar sebagai penjaja kelilingan. Training-nya kurang lama, kurang intensif. Aku kemudian memang masuk pasar, tetapi lewat pintu lain, aku terus saja pulang. Rada ngambek. Calista kemudian menjadi kebingungan. Lalu ia pun mungkin bisa mengerti, keterampilanku terbaik bukan di bidang yang memerlukan social skill yang tinggi tersebut.
Berbeda dengan Ria, Calista ini melarangku untuk main ke rumahnya. Ia takut terhadap reaksi ayahnya. Ia gadis keturunan Tionghoa. Diskusi awal kita bertopik hal-hal yang klasik. Dirinya sebagai warga etnis minoritas selalu merasa tidak aman bila berhubungan dengan orang-orang pribumi.
Aku maklum dan mengerti kecemasan tipikal seperti itu. Pelan-pelan, lewat obrolan dan surat-surat yang panjang, akhirnya kita dapat menerima masing-masing apa adanya. Ternyata kita sebagai manusia banyak memiliki kesamaan. Ingin mencintai dan dicintai, ingin pula diterima seperti apa adanya. Rendezvous kita lalu terjadi di Pasar Baru, bioskop seputar Gunung Sahari, atau tempat kosku di Rawamangun. Pertemuan-pertemuan rahasia yang singkat-singkat, temponya selalu tergesa-gesa.
Mula-mula ia tampil sebagai perempuan yang keras hati, tetapi nampak, sori, agak awkward dalam berinteraksi. Ia merasa kekurangan waktu. Kurang flow. Serba tergesa. Ia mengaku, baru pertama kali ini ia mengenal lelaki. Aku juga merasakan belum harmoninya reaksi kimia antara kita, yang mungkin tepat tergambar seperti isi lirik dari lagu “For All We Know”-nya Carpenters berikut ini :
Love, look at the two of us
Strangers in many ways
Let's take a lifetime to say
I knew you well
For only time will tell us so
And love may grow
For all we know.
Suatu hari minggu siang di bulan November, setelah melakukan rendezvous penuh bara di Rawamangun, aku mengantar Calista, naik bus pulang. Rumahnya di kawasan Gunung Sahari. Tetapi di depan kampus UI Salemba aku turun, pengin menonton pagelaran rutin yang diselenggarakan oleh mahasiswa FEUI, yaitu Jazz Goes To Campus 1984.
Calista pulang sendiri.
Rupanya saat itu aku telah melakukan kesalahan besar dan fatal yang tidak aku sadari. Mungkin reaksinya merupakan puncak dari akumulasi masalah dari gesekan atau interaksi kita yang selama ini terjadi.
Love, look at the two of us
Strangers in many ways.
Sayangku, lihatlah kita berdua ;
kita adalah orang asing satu sama lain dalam pelbagai hal.
Sejak itu Calista tidak lagi menjadi “mahasiswi”-ku lagi. Tidak ada pula penjelasan darinya secara verbal : mengapa. Ternyata kita memang masih saja asing satu sama lainnya. Kuliah cinta kita usai. Waktu yang ada memang tidak berpihak kepada kita, baik padaku dan dan juga pada Calista.
Realitas yang konon sering membutuhkan waktu seumur hidup bagi pasangan untuk akhirnya bisa saling bilang, “aku memahami dirimu sepenuhnya”, kemudian cinta itu pun tumbuh, tentu saja hanyalah menjadi fata morgana bagi kita berdua.
November 2005 ini, Calista dan sepotong kisah dari kotakpos di Rawamangun, menggoda atensi untuk sekedar dikenang. Tulisan ini anggaplah sebagai surat maya untuk dia, seorang Calista yang motif tulisan tangannya begitu indah, yang kini entah berada di mana. Walau mungkin pula, tidak seperti halnya harapan dan kerinduan yang dijeritkan oleh Carpenters, Calista justru tidak mengharap-harapkannya.
Bagiku, yang pasti, dengan menuliskannya aku berikhtiar berdamai dengan masa lalu. Juga mereguk hikmah darinya.
Wonogiri, 28/10 – 12/11/2005
Tuesday, October 18, 2005
Patah Hatinya Carpenters Sampai Dicari Komedian Indonesia Yang Marah Dan Frustrasi !
Email : epsia@plasa.com
It's such a dirty old shame
When you got to take the blame for a love song
Because the best love songs are written
With a broken heart
(Carpenters, “All You Get From Love Is A Love Song”)
Lagu Lagi Patah Hati. Phoebe Buffay yang dimainkan oleh Lisa Kudrow adalah tokoh dalam sitkom “Friends” yang paling saya sukai. Karakternya jujur, kadang suka menipu, tidak jaim dan suka berterus terang. Karakter yang dalam khasanah comedy writing disebut sebagai outrageous character, karakter nyeleneh, dan urakan. Tetapi justru kehadirannya merupakan formula penting hidupnya suatu komedi situasi.
Sekadar ilustrasi : Phoebe pernah bertamu guna menemui orang tua pacarnya, Mike Hanigan, yang berasal dari golongan elite. Saat ditanya, ia enak saja mengenalkan diri. Katanya, dia pernah mengidap sakit hepatitis gara-gara seorang mucikari meludahi mulutnya. Ibunya ia katakan, terus terang, tewas akibat bunuh diri. Kalau dipuji bahwa dirinya cantik, ia akan polos mengaku, “ya, saya memang cantik”
Ketika Mike, di kesempatan lain, memutuskan bahwa dia tidak ingin menikah akibat trauma dengan kegagalan perkawinannya yang pertama, membuat hubungan Phoebe-Mike merenggang. Phoebe, sebagai wanita pada umumnya, tentu saja ingin menikah.
Tetapi Mike tetap menolak.
Dengan hati hancur, Phoebe mengadu pada Monica. Antara lain, ia mengaku dirinya sampai kesulitan menggubah perasaan galau dan deraan patah hati itu untuk menjadi sebuah lagu !
Bagi Anda yang setia menonton sitkom garapan produser eksekutif David Crane, Marta Kauffman dan Kevin S. Bright (ia kenal sama Artika Saridewi yang Putri Indonesia), pengakuan sok gaya model Phoebe ini pastilah memicu bahak tawa. Karena senyatanya Phoebe adalah penyanyi dan gitaris yang hanya bermodal nekad.
Coba cerna, kalau judul-judul lagu yang ia ciptakan seperti Shut Up and Go Home sampai The Pervert Parade ? Nyanyian dan petikan gitarnya jelas kalah kualitas dan jauh dari enak didengar bila dibandingkan, misalnya, dengan para pengamen yang piawai menyanyikan (juga oleh Carpenters) Ticket To Ride atau I Saw You Standing There-nya The Beatles di Stasiun KRL Bogor.
Phoebe Buffay memang tidak seperti Karen Carpenter yang menyatakan bahwa “lagu cinta terindah justru tercipta ketika seseorang sedang patah hati.” Bahkan mampu pula membuktikannya saat menampilkan lanskap suasana hati khas Carpenters, di mana patah hati pun terasa indah :
“Air mata di mataku selalu membutakanku / masa depan yang terhampar di hadapanku tak mampu kulihat / walau kutahu esok hari matahari kan bersinar / menerangi dunia untuk siapa pun, tetapi bukanlah untuk diriku”
Anjing Hitam Lord Byron. Suasana hati yang kelabu, tidak semata bisa dipicu oleh patah hati. Melainkan juga, misalnya, oleh depresi. Novelis Kanada, Robertson Davies (1913-1995) pernah mengatakan bahwa depresi itu disebut sebagai anjing hitam oleh penyair Inggris legendaris, penulis satir Don Juan, yaitu Lord Byron (1788–1824).
Seperti diungkap Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004), betapa depresi itu sering dirasakan oleh para penulis.
Tetapi mereka terus menulis di tengah depresi. Depresi bisa melumpuhkan, tetapi jika Anda dengan disiplin yang kuat, mampu mengalahkannya dan tetap bertahan di tempat Anda menulis, Anda akan tercengang melihat kualitas karya Anda.
Robertson Davies menimpali, “Saya belum pernah tahu atau mendengar ada seorang penulis yang tidak kenal dengan Anjing Hitam itu. Tetapi bagaimana pun, buku itu akhirnya berhasil ditulis, dan kadang-kadang bagian yang ditulis saat Anjing Hitam itu sedang buas-buasnya, merupakan bagian yang terbaik”
Butir Pasir Yang Menyakitkan ! Patah hati, depresi sampai frustrasi, bagi kalangan komedian merupakan bahan mentah yang berharga sebagai materi lawakannya.
Sekadar cerita : tanggal 13/9/2005 saya mendengarkan siaran radio Voice of America (VoA) seksi Indonesia. Siaran jam 18.45 itu mengudarakan Kennedy Muslim sedang menceritakan kelompok musik Switchfoot asal San Diego. Kelompok ini baru-baru ini (13 September) merilis sebuah album baru berjudul "Nothing is Sound" yang diluncurkan di AS.
Kennedy Muslim saat itu mengutip pendapat vokalis Switchfoot, Jon Foreman, bahwa dalam album terbaru mereka menggubah pengalaman hidupnya dengan memakai metafora yang indah.
Yaitu, tentang sebutir pasir yang masuk dalam cangkang kerang. Tentu saja pasir, benda asing itu, sangat menyakitkan bagi kerang bersangkutan. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu membuat hal-hal yang semula menyakitkan tersebut justru mampu mereka olah sehingga akhirnya berubah menjadi mutiara.
Metafora indah itu yang membuat saya tergerak memberanikan diri, mengirimkan email kepada Kennedy Muslim di kantor VoA, di Independence Avenue, Washington D.C., Amerika Serikat. Kennedy Muslim, dan sebelumnya juga penyiar VoA lainnya yaitu Ni Made Yoni, berbeda dari respons yang biasa saya peroleh dari pekerja media, mereka justru bermurah hati. Mereka membalas email saya, juga memberikan cerita sana-sini, yang membuat saya merasa tersanjung dan terhormat.
Butir pasir di cangkang kerang.
Kita semua, baik warga biasa atau pun para komedian pastilah sama-sama pernah mengalami penderitaan atau kesengsaraan. Tetapi yang membedakan antara orang biasa dan komedian adalah bahwa kemarahan sampai penderitaan yang dialami itu, oleh seorang komedian, mampu mereka ubah dan mereka gubah menjadi sebuah hiburan. Di atas panggung, para komedian itu mengusung penderitaan, obsesi kesedihan, nasib buruk, ketakutan sampai bencana, sengaja mereka bedah guna mengguncang tawa audiensnya.
Patah hati mampu menelorkan lagu cinta yang terindah, begitu senandung Karen Carpenter. Lalu kondisi macam apa yang mampu melahirkan seorang komedian ? Steve Silberberg, moderator newsgroup alt.comedy.standup, mengatakan :
“But just as pressure and heat transform coal into diamonds, it's that frustration, social pressure and the heat of anger that transforms us into comedians”.
“Sebagaimana gencetan dan panasnya api mampu mengubah arang menjadi intan, maka frustrasi, tekanan sosial dan panasnya api kemarahan mampu pula mengubah diri kita menjadi seorang komedian”
Apakah hal serupa juga terjadi di kalangan komedian di Indonesia ?
Sayang, di Indonesia dewasa ini, sepertinya hal tersebut tidak terjadi. Sekadar ilustrasi aktual : kenaikan harga BBM yang benar-benar mencekik leher rakyat banyak, tim perekonomian SBY-Kalla yang gagal total, merebaknya wacana penghidupan kembali komando teritorial yang mengancam embrio kehidupan berdemokrasi yang mulai mekar sampai ledakan bom Bali 2, justru tidak nampak memicu empati, kemarahan sampai rasa frustrasi kalangan komedian Indonesia untuk tampil menyuarakan nurani dan akal sehatnya. Lelucon-lelucon mereka tidak pernah memihak kepada rakyat.
Mungkin mereka memang tidak punya nyali. Atau sudah tuli ? Atau sudah tidak pula punya nurani ? Apa pendapat Anda ?
Wonogiri, 3/9 – 18/10/2005
Friday, September 23, 2005
Carpenters, Man Smart, Woman Smarter dan Kenangan Untuk Ibu
Email : epsia@plasa.com
I LOVE YOU, POPCORN ! Anda kaum perempuan dan termasuk kelompok mayoritas yang kini selalu merasa terintimidasi oleh teknologi, simaklah gambaran aktivitas rutin Anda di pagi hari, di masa depan yang tak terlalu jauh ini. Untuk kaum pebisnis, simaklah kata-kata berhuruf miring di bawah ini. Lalu persiapkanlah diri Anda untuk siap-siap menyabet subjek bersangkutan menjadi lahan bisnis Anda di masa depan. Bisnis untuk melayani kaum perempuan, bisnis signifikan di masa depan !
"Saat ini pukul 06.00 dan elektroda pembangun saya dengan lembut menyadarkan saya. Lima belas menit sebelumnya, Intel smart home saya telah mengembuskan aroma vanila dengan aromaterapi jahe ke dalam kamar saya. Untuk menaikkan semangat saya pada hari yang diramalkan akan mendung dan berawan.
Lebih banyak jahe ditambahkan hari ini karena sensor bantal saya (dibuat oleh Sun Microsystems, yang menjual dengan positioning, “Awali Hari Anda Dengan Sedikit Sun” (matahari) mendeteksi rendahnya imunitas pada sistem darah saya, tanda awal akan terserang flu.
Di latar belakang, lemari baju otomatis saya memilihkan baju untuk saya, berdasarkan laporan cuaca dan semua saran yang diberikan oleh penganalisis mimpi pada bantal saya.
Saat saya memasuki kamar mandi, laporan pagi Sony yang telah dikostumisasi milik saya melaporkan secara lengkap berita setempat mau pun global (dipilihkan sesuai dengan bidang yang saya minati), e-mail suara, dan daftar pekerjaan saya hari ini.
Laporan pagi saya termasuk pesan produk yang ditata dengan cermat : informasi lembut dari Amazon.com yang memberi tahu saya kalau penyanyi jazz kesayangan saya, Chet Baker, telah meluncurkan CD terbarunya ; pesan dari United Airlines yang meminta saya memerikasa email hari ini karena kemungkinan penerbangan sore saya ke California ditunda akibat kabut ; dan peringatan dari TwinLab agar saya meminum vitamin penambah daya tahan tubuh dan formula herbal berdasarkan pindaian bantal saya semalam.
Sementara itu, di kamar sebelah putri saya bersiap untuk pergi ke sekolah. Perlengkapan Internet-nya menyajikan laporan pagi yang telah terkostumisasi, termasuk jadwalnya hari ini dan pengingat pekerjaan rumah, ciptaan Disney. Dia juga bisa melacak jalur bus sekolahnya hingga dia bisa tiba di pemberhentian bus pada saat yang tepat...
Usai sarapan pagi ia berjalan membawa Smart Backpack buatan Apple. Saat dia mengambilnya, sebuah suara kecil mengingatkannya, “hari ini tak ada pelajaran fisika, jadi tak usah membawa e-book beratmu itu, kecuali kau mau belajar di ruang belajar pukul 14.00. Dan, kau melupakan sabuk karatemu”
Fantastis ?
Itulah masa depan. Itulah paparan Faith Popcorn, konsultan pemasaran dan peramal tren pasar, bersama Lys Marigold dalam bukunya EVEolution : 8 Secrets of Marketing to Women (2000).
Saya sudah lama suka sama Faith Popcorn. Ketika di tahun 80-an kita banyak dihebohkan oleh ramalan masa depan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dengan buku sohornya, Megatrends, saya lebih suka mengamati dan mencoba mencerna isi buku Clicking, yaitu bukunya Faith Popcorn yang terbit terdahulu.
Paparan di atas adalah ilustrasi dari Kebenaran Ketiga dari EVEolusi, yang mereka kemukakan, dalam memasarkan produk atau jasa kepada wanita. Kebenaran itu berbunyi : “Jika Dia (Wanita) Harus Bertanya, Sudah Terlambat”. Katanya, untuk bisa berhasil memasarkan kepada wanita, Anda harus mengerti apa yang membuat wanita senang.
Tetapi Anda tahu apa yang membuat perempuan senang ? Apa sih yang diinginkan oleh wanita ?
Kalau Anda merasa pusing mencari jawabnya, Anda tidak sendirian. Bahkan seorang sekaliber Sigmund Freud (1856-1939), psikiater Austria dan penemu psikoanalisis, pernah curhat berat begini : The great question that has never been answered and which I have not yet been able to answer, despite my thirty years of research into the feminine soul, is "What does a woman want?'".
Pertanyaan terbesar yang tak pernah terjawab dan yang belum bisa saya jawab meski saya telah tiga puluh tahun melakukan penelitian ke dalam jiwa wanita adalah, “Apa yang diinginkan wanita ?”
Faith Popcorn menggertak lagi, yang bisa membuat kaum pria dan pebisnis jadi ciut nyali. Katanya : Jika Anda menunggu sampai wanita mengutarakan pikirannya, coba tebak ? Anda terancam dicampakkan. Apakah Anda seorang pacar, suami, bos, bawahan, atau merek !
KOMPUTER SI BIANG KEROK. Salah satu industri yang dituduh berat tidak mengetahui kemauan atau kebutuhan kaum perempuan adalah industri komputer. Julie Connelly di majalah bisnis bergengsi Fortune (14/11/1994) menulis kolom berjudul “Why I Fear and Loathe My Computer” yang provokatif.
Perhatikan ucapannya, betapa ia terus terang merasa takut dan benci kepada komputer. Julie pun mengaku dirinya sebagai pengidap teknofobia. Takut teknologi. Fenomena ini bersifat universal. Salah satu akibat sampingnya, kaum perempuan seringkali pula menjadi objek guyonan bila dikaitkan dengan teknologi informasi.
Sebagai pengkaji dan penggemar komedi jenis yang cerdas dan bermutu, saya rada beruntung bisa mengajak Anda mengunjungi situs blognya John Hendrawan yang shio-nya sama dengan saya ini. Insinyur kimia yang kini berburu jutaan riyal di Doha, ibukota negara kaya minyak Qatar, rupanya suka mengoleksi lelucon seputar perempuan dan komputer. Saya petikkan beberapa di bawah ini. Untuk kaum Hawa yang tersinggung, silakan protes kepada Hendra. Bukan kepada saya.
Wanita INTERNET,
Wanita yang sulit diakses...
Wanita SERVER,
Selalu sibuk saat Anda butuhkan...
Wanita WINDOW,
Semua orang tahu bahwa dia tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik, namun tak seorang pun yang bisa hidup tanpanya...
Wanita E-MAIL,
Tiap sepuluh hal yang dia katakan, maka yang delapan adalah bualan...
Saya tidak tahu apa reaksi Julie Connelly bila membaca lelucon tadi. Tetapi dirinya yang merasa terteror oleh teknologi, nyatanya tidaklah sendirian. Menurut riset Dell Computer, sebanyak 55 persen warga Amerika resisten atau terkena fobi bila berurusan dengan produk-produk teknologi.
Jangan menganggap fobi ini hal main-main. Sebab seorang Jack Welch, CEO dari General Electrics, juga tidak pernah memakai komputer pribadinya. John Akers, boss IBM, memang memiliki komputer di kantornya tetapi tak pernah menyentuhnya sama sekali. Gene Amdahl, pendiri Amdahl Corp. dan yang menelorkan komputer mainframe IBM System/360, juga tidak pernah menggunakan komputer. “Saya goblog memakai papan ketik. Saya tak pernah belajar”, akunya.
Anda tahu, seorang David Beckham juga buta komputer ? Ketika melongoki toko buku Newslink di Terminal 1 Bandara Changi Singapura, Januari 2005, saya pergoki buku menarik. Buku tentang bintang sepakbola Inggris yang glamor, suami dari Victoria “Spice Girls” Adams, dan kini bermain di Real Madrid itu. Sebelumnya saya pernah baca-baca biografi Beckham yang berjudul My World (2000). Salah satu isi buku yang saya curi baca di Changi itu berbunyi :
“Pertanyaan : Bagaimana Anda tahu kalau komputer Anda baru saja dipakai David Beckham ? Jawab : Banyak bekas Tipp-Ex di monitornya !”
Buku tersebut memang buku kumpulan lelucon tentang Beckham. Termasuk melucukan istrinya, yang penyanyi dengan kaki belalangnya yang menawan itu. Saya kadang muter CD-nya saat ia dan kelompok Spice Girls konser bersama Luciano Pavarotti dan kawan-kawan untuk anak-anak korban perang di Liberia. Konser di kota Modena, Italia, 1998, diramaikan pula oleh Celine Dion, The Corrs, Eros Ramazzoti, Florent Pagny, Jon Bon Jovi, Natalie Cole, Pino Daniele, Stevie Wonder, Trisha Yearwood sampai Vanessa Williams.
Lelucon tentang istrinya Beckham itu berbunyi : “Kapan Victoria Adams bernyanyi dengan suara fals ? Pada semua lagu-lagunya !”.
KARTINI JANGAN TERBUNUH DI SEKOLAH. Fobi terhadap komputer yang diidap Julie Connely dan jutaan warga AS jelas bukanlah lelucon. Tahun lalu, menjelang Hari Kartini 2004, saya telah menulis artikel untuk Harian Suara Merdeka (20/4/2004). Judulnya, “Kartini Jangan Terbunuh Di Sekolah”. Intinya, saya mempersoalkan betapa banyak perempuan tidak mampu mengakses dan menggunakan peranti teknologi informasi akibat dari bias jender yang terjadi.
Majalah Newsweek satu dekade lalu , edisi 16 Mei 1994, memajang laporan utama mengenai kesenjangan jender di dunia teknologi tinggi, yaitu komputer. Mengutip laporan LIPI-nya AS, National Science Foundation, jumlah lulusan sarjana ilmu komputer berbanding 3-1 untuk keunggulan pria, dan angka itu semakin melebar. Fenomena yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia.
Siti Nur Aryani (2004), mengutip kajian BPPT, memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer.
Masih sedikit perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI. Bahkan menurut pengalamannya, tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer.
Simpulnya, penyebab dari gambaran suram di atas, antara lain, akibat masih kuatnya cengkeraman kesenjangan jender di dunia industri dan akarnya mudah ditemui ketika Kartini-Kartini muda kita duduk di bangku sekolah.
Kevin Treu, Professor Ilmu Komputer dari Furman University, South Carolina, AS (Technology & Learning, 5/1997), menyebutkan bahwa ilmu komputer dikarakterisasikan dengan apa yang disebut sebagai efek pipa ledeng. Semula tidak ada perbedaan prestasi antara pelajar laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran komputer di tingkat sekolah dasar. Mereka sama-sama menunjukkan minat yang tinggi.
The Pluto Institute, lembaga penelitian media di AS, pada tahun 1996 mengukuhkan hal yang sama ketika mengeluarkan buku putih berjudul Perempuan dan Revolusi Digital. Mereka melakukan kajian terhadap 140.000 perempuan AS dari tingkat pra-sekolah, kelas 1 SD, 5 SD, 2 SLP, 3 SLA dan tingkat mahasiswa, mengenai persepsi mereka tentang teknologi informasi (TI).
Hasilnya menggembirakan.
Ketika diajukan pertanyaan, apakah perempuan mampu seperti halnya lelaki dalam berurusan dengan informasi digital, sebanyak 23 persen menjawab sama mampu, 2 persen kurang mampu dan 75 persen mengatakan lebih mampu. Sebanyak 80 persen menyatakan bahwa revolusi digital memberikan peluang bagi kaum perempuan yang semula belum terbuka untuk mereka dan 20 % menyatakan sebaliknya. Ketika didesak mengapa, 6 persen tidak menjawab dan 94 persen menyatakan karena teknologi tidak mengenal jender.
Contoh menarik : simaklah sosok Emy Maslina Zubaiti. Gadis remaja kelahiran 1 November 1991 ini duduk di bangku kelas II SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah, di desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Di rumahnya yang berdinding kayu rapuh, anak dari Ismanto (43) yang tukang servis mebel dan Latifah (37) yang penjual jamu gendong, tiap hari bisa bersibuk-ria merancang animasi bersuara di komputernya. Emy, komputer, keluarganya dan kehidupannya sehari-hari telah menjadi subjek esai foto yang menyentuh, karya wartawan foto Harian Kompas Eddy Hasby di Kompas Minggu (15/5/2005 : 12).
Bahkan di sekolahnya, yang tidak jauh dari rumahnya, Emy juga terbiasa mengakses Internet untuk memanfaatkan account emailnya, emy123@plasa.com, guna menyapa dan disapa oleh dunia.
Sekolah Emy adalah sekolah alternatif yang pantas dibanggakan. Karena mampu menjangkaukan akses anak didiknya yang berasal dari keluarga berpenghasilan minimal sehingga mampu memiliki perangkat teknologi informasi, komputer, sebagai sarana belajar dan berpikir mereka. Dengan cara mencicil, seribu rupiah tiap harinya. Persoalan klasik kemudian muncul, bagi Emy dan teman-teman perempuan sebayanya, apakah mereka akan juga beruntung di masa depan ?
KOMPUTER ITU BARANG PRIA ! Kita belum tahu. Sebab dalam realitas, seperti analisis Kevin Treu, pada setiap tingkat proses pendidikan peserta perempuan bila terkait dengan interaksinya dengan teknologi informasi, semakin banyak yang berguguran. Di tingkat SLTA semakin sedikit pelajar putri terjun dalam aktivitas memakai komputer, misalnya keikutsertaannya dalam lomba pemrograman.
Ketika berkuliah, semakin sedikit mahasiswi mengambil jurusan ilmu komputer dibanding teman prianya. Akibatnya, makin sedikit pula perempuan yang mengambil jalur pasca-sarjana di bidang ilmu komputer, demikian juga ketika terjun berkarier sesudahnya.
Kesenjangan jender itu, menurut Treu, terjadi akibat kuatnya prasangka subtil yang mendera kalangan siswa perempuan selama duduk di bangku pendidikan. Contohnya, kalau anak-anak lelaki dibiarkan oleh orang tuanya untuk bermain-main lumpur, tetapi anak perempuannya diharuskan bersih dan rapi, hanya boleh bermain dengan bonekanya. Anak perempuan juga sering ditakut-takuti mengenai angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka.
Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik ditunjukkan oleh kalangan guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak terciptanya harapan yang lebih rendah bagi kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai teknologi.
Sarah Douglas, professor ilmu komputer dari Universitas Oregon, dalam eksperimennya memajang komputer yang telah diisi aneka program menarik dalam sebuah bursa kerja. Tujuannya untuk mengenalkan profesi-profesi baru yang belum populer dikenali para mahasiswi. Hasilnya saat itu, tak ada satu pun mahasiswi yang singgah di kiosnya.
Ketika ditanya, para mahasiswi itu menjelaskan bahwa komputer itu “barang” dan “dunia” kaum pria, di mana ketika mereka ingin mencoba memasukinya, mereka akan diusir dan dilecehkan. Akibatnya, para perempuan muda terdidik itu menjadi frustrasi dan akhirnya minatnya pun menjadi mati.
Mencoba memperbaiki keadaan, Kevin Treu merancang ulang mata kuliah Pengantar Komputasi dan Ilmu Komputer yang diajarkannya. Tujuan kuliah tetap, tetapi isinya mengalami perubahan, kini dengan sentuhan yang lebih ramah terhadap perempuan. Ketika membahas sejarah komputasi, ia tekankan pentingnya kontribusi kaum perempuan dalam pengembangan ilmu komputer.
Misalnya, salah satu programer komputer yang pertama adalah seorang perempuan. Dia adalah Ada Lovelace yang bekerja bersama Charles Babbage pada tahun 1800 saat merancang komputer mekanis yang pertama.
Kalau selama ini kalangan laki-laki selalu menganggap komputer sebagai peralatan mandiri yang canggih, sementara itu kaum perempuan lebih cenderung mengharapkannya sebagai alat yang berguna secara praktis dan relevan bagi kepentingannya sehari-hari.
Merujuk hal itu, Treu kemudian merancang mata pelajaran praktik yang melibatkan bahasan manfaat komputer dalam kehidupan nyata. Perubahan ini berimbas pada perubahan suasana dan aktivitas kelas. Ia mendorong mereka untuk bekerjasama dalam sebuah tim, memaksimalkan pengalaman sosial masing-masing dalam memecahkan masalah dan meminimalkan pola kerja individualis yang penuh persaingan, pola kerja yang tidak disukai kaum perempuan.
Perubahan dalam materi kuliahya termasuk ditambahkannya pelajaran etika dan kajian mengenai semakin pentingnya peran komputer dalam aktivitas bekerja jarak jauh (telecommuting), bedah jarak jauh dan pendidikan.
Riset menunjukkan bahwa kalangan perempuan lebih tertarik bila dibukakan pemahamannya mengenai manfaat komputer sebagai sarana untuk menolong orang lain dan mempersatukan mereka. Lanskap dunia teknologi informasi pun kemudian berubah !
PEREMPUAN KINI PRIMADONA ! “It’s Not Just E-Male : Multimedia is hot, and these women are at the top of the game”, demikian salah satu judul artikel dari majalah Working Woman (June 1996) yang terbit spesial mengupas teknologi informasi. Simak pengantarnya yang berkobar-kobar sikap optimismenya :
Inilah industri tanpa kaum mapan. Industri yang tidak dikangkangi koneksi para kaum lelaki. Tidak ada langit-langit gelas yang harus dipecahkan. Multimedia, yang meliputi Internet, CD-ROM dan TV Interaktif, merupakan boom lahan kerja teknologi tinggi untuk kaum perempuan.
Pekerjaannya tidak berkutat seputar penulisan kode-kode program yang hanya dimengerti oleh komputer dan para pemrogram lainnya, melainkan menciptakan isi yang mampu merenggut atensi para pakar dan juga pemula, seperti situs Web yang menawan, CD-ROM yang mengundang aksi petualangan dan program TV interaktif yang menyerap perhatian.
Titik beratnya bertumpu kepada keterampilan yang melimpah ruah dimiliki kaum perempuan : penulisan, desain, juga pemasaran. Semua yang mencebur dalam bidang ini adalah para pionir. Mereka itu (untuk detilnya, manfaatkan mesin penelusur Google) antara lain :
Kim Polese. Connie Connors. Caitlin Curtin. Shelley Day. Michelle DiLorenzo. Esther Dyson. Lucie Fjeldstatd. Deborah Forte. Jessica Helfand. Stacy Horn. Roberta Katz. Susan Lammers. Liza Landsman. Ilene Lang. Jane Metcalfe. Sherry Miller. Sally Nardick. Nancy Rhine. Sharleen Smith. Victoria Wayne. Ann Winblad.
Di antara mereka, saya agak mengenal sama Esther Dyson. Salah satu pendiri Electronic Frontier Foundation dan putri maha fisikawan Freeman Dyson. Kolom sindikasinya pernah muncul di Kompas, menggantikan kolomnya Nicholas Negroponte. Sayang, baru beberapa kali muncul, tidak dilanjutkan. Saya juga suka sama Sherry Miller yang memiliki slogan unik : Wanita Tertua Di Web.
Untuk Anda yang berminat memoles isi blog atau webnya agar semakin menawan, simak nasehat Sherry Miller di bawah ini :
“Kebanyakan isi gagal karena tidak tampil sebagai sebuah cerita. Oleh karena itulah saya membaca novelnya Stephen King dan Tom Clancy – dan mempelajarinya secara osmosis, ketimbang memakai teknik analisis atau dekonstruksi, untuk menyerap daya dan dampak dari penceritaan. Saya juga membaca materi populer yang dimuat di koran, majalah dan juga buku-buku untuk menghayati apa saja yang mereka baca”
Kalau saya boleh menambahkan daftar perempuan mempesona di atas, antara lain dengan nama-nama : Patricia Beckmann. Stephanie Bergman. Bonnie Bracey. Janette Bradley. Mala Chandra. Jayne Cravens. Karan Eriksson. Ruann Ernst. Carly Fiorina. Roberta Furger. Mary “ThirdMedia” Furlong. Megan Gaiser. Doreen Galli. Monika Henzinger. Louise Kirkbride. Joan Korenman. Mie-Yun Lee. Mari Matsunaga. Katharine Mieszkowski. Carol Muller . Ann Navarro. Netochka Nezvanova. Evelyn Pine. Tracey Pettengill. Ardith Ibanez Rigby. Sharron Rush. Aliza “Cybergrrl” Sherman. Tiffany Shlain. Barbara Simons. Meg “Ebay” Whitman. Julie Wainwright. Tracy Wilen.
Daftar perempuan yang berkiprah di dunia teknologi informasi, jelas akan semakin panjang. Seorang ilmuwan perempuan Indonesia, Dr. Karlina Leksono-Supelli, pernah dalam wawancara di harian Republika (5/10/1997), dengan lantang bilang : “Bila wanita menguasai teknologi, pria bisa tersaingi”. Pernyataan ini jelas sesuai dengan isi nyanyiannya Carpenters, Man Smart, Woman Smarter :
Let us put man and woman together
And see which one is smarter
Some say man, but I say no
The women got the man like a puppet show
It ain't me, it's the people that say
The men are leadin' the women astray
But I say, that the women today
Are smarter than men in every way
Well, that's right, the women are smarter
That's right, the women are smarter
LALU APA MANFAAT PRIA ? Kalau di masa depan kaum perempuan semakin cakap dan bahkan melebihi kaum laki-laki, oh, betapa makin susahnya menjadi laki-laki. Apakah nasib lelaki nantinya hanya seperti pejantan laba-laba Janda Hitam, yang setelah memenuhi kuwajiban seks lalu habis dimakan oleh sang betinanya ?
Coba simak pula pendapat tokoh wartawan dan feminis Amerika Serikat, pendiri majalah Ms., Gloria Steinem (1934- ) yang mengatakan, “perempuan tanpa laki-laki ibarat ikan tanpa sepeda !”
Apa mangsud Anda, mbak Gloria ?
Ketakutan lelaki terhadap perempuan pernah mencuat saat peristiwa heboh yang terjadi di Grinnel College (Iowa, AS), tahun 70-an. Saat itu perwakilan majalah Playboy hendak memaparkan topik mengenai filosofi majalahnya. Sebagian yang hadir adalah para mahasiswi, mereka sengaja datang dengan telanjang bulat. Mereka bersiteguh agar perwakilan dari Playboy, yang seorang lelaki, untuk tampil bertelanjang juga. Pria tersebut kabur.
Margaret “Wanita Besi” Thatcher yang Perdana Menteri Inggris (1979 -1990) pernah bilang, “Dalam politik, bila untuk berbual-bual bicara, pilihlah pemimpin pria. Tetapi bila ingin tugas dituntaskan, pilihlah wanita”
“Bila dikaji menurut kriteria panjangnya usia, daya tahan terhadap penyakit dan stres, kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sebagainya, maka lelaki merupakan fihak yang lebih lemah di antara dua jenis seks” – kata Landrum B. Shuttles, M.D., Ph.D.
Nancy Reagan (1923– ), bintang film dan istri Presiden AS, Ronald Reagan, bilang : “Perempuan itu ibarat kantung teh celup – hanya dalam air panas Anda jadi tahu betapa kuat diri mereka”
Ibu saya almarhumah Sukarni, yang sampai mempunyai anak 11 orang, satu meninggal, gemar melucu di rumah juga di panggung dengan riasan sebagai Petruk dalam acara organisasi istri tentaranya, serta suka menulis surat yang panjang-panjang untuk saya, sering saya lupakan untuk tercatat sebagai perempuan yang mengagumkan.
Tetapi saya sebagai bujangan tua, kini saya merasa sulit untuk mengakhiri atau meneruskan tulisan ini. Apalagi mengambil kesimpulan. Mungkin ini merupakan sinyal jelas betapa memang tidak mudah untuk memahami kaum perempuan.
Bagi saya, dirinya bisa hadir fragile e innocente seperti anak merpati yang baru keluar dari cangkang telurnya, nampak rapuh ketika merintih “peluk aku”, tetapi di kesempatan lain mampu membuat hati lelaki ini hancur berkeping-keping karena saya tak dikaruniai mukjijat mind reader untuk mengetahui apa mau dirinya. Faith Popcorn memang benar, “Jika dia (wanita) harus bertanya, sudah terlambat”.
Dalam suasana limbung, mungkin seperti Freud yang bingung, aku menjadi tertarik menyimak komentar John Hendrawan tentang wanita setelah ia memposting tulisan “Dunia Komputer dan Wanita” di situs blognya sendiri. Angka-angka yang ada dalam pernyataan di bawah ini adalah tambahan dari saya :
“Ahhh aku yg duluan kasih koment..aku suka (1) wanita karier, (2) pinter, (3) sibuk dan (4) asik di ajak diskusi...!!”
Bolehkah saya berbisik kepadanya ?
“John, mungkinkah Anda kini lagi terbius oleh budaya Timur Tengah, tempat Anda bekerja kini? Di dunia yang semakin terspesialisasi, cita-cita Anda tersebut sungguh luar biasa. Benarkah Anda nyata-nyata ingin melakukan poligami ? Sekaligus dengan empat istri ?Bayangkan bila nama-nama mereka itu Arlene, Ophelia,Rita dan Katrina !”
Wonogiri, 19-23 September 2005
Thursday, September 15, 2005
Ketawang Puspawarna, Carpenters Dan Cinta Yang Menari Di Antara Kerlip Bintang
Email : epsia@plasa.com
Somewhere out there
beneath the pale moonlight
someone's thinkin' of me
and loving me to night
Somewhere out there
someone's saying a prayer
that we'll find one another
in that big somewhere out there.
(“Somewhere” - The Sound of Music)
MUSIK SOLO SAPA LUAR ANGKASA. “Andai makhluk ruang angkasa memang ada, bayangkan apa reaksi mereka mendengar musik ciptaan manusia di Bumi. Mana yang lebih cocok dengan pendengaran makhluk luar angkasa, musik ciptaan Johann Sebastian Bach, Ludwig von Beethoven, Mozart, atau musik lain yang belum semasyhur karya-karya mereka ?
Tanda tanya ini memang belum terjawab sampai kini, meski tahun 1977 pesawat Voyage dalam misinya ke angkasa luar membawa serta 27 rekaman musik, di antaranya sejumlah komposisi ciptaan ketiga komposer klasik tadi. Para ahli pasti penasaran dan kita juga boleh penasaran. Soalnya satu dari musik yang dipilih untuk dibawa adalah musik asal Indonesia. Tepatnya asal Jawa, yaitu gending Ketawang Puspawarna, ciptaan Mangkunegara IV.
Dalam urut-urutan 27 musik yang dibawa ilmuwan NASA itu, Ketawang Puspawarna ada pada urutan kedua, dengan durasi empat menit 43 detik, sesudah Bradenburh Concerto No 2 in F karya Johann Sebastian Bach” (Kompas, 22/5/2005).
Gending Ketawang Puspawarna itu bisa saya saksikan ketika menjadi penutup pagelaran musik Megalitikum-Kuantum 29-30 Juni 2005 di Plenary Hall Jakarta Convention Center, saat disiarkan ulang di Stasiun TV7, 10 Juli 2005. Digarap dalam semangat kolaborasi menawan antara musik pop dan gamelan Jawa, diwakili masing-masing oleh pemusik Dwiki Dharmawan dan etnomusikolog asal Solo, Rahayu Supanggah.
Hasilnya terasa agung, mistis, indah, metalik dan luar biasa.
Dijalin antara lain oleh suara pesinden muda berbakat Peni dengan ornamen timpalan yodel dari Ubiet, vokalis Aceh untuk mewakili ekspresi gaya vokal luar Jawa, dipadu upaya visualisasinya dengan rangkaian interpretasi gerak tari oleh Didi Nini Thowok dalam bentuk sajian siluet yang berselang-seling panorama layar multimedia yang menyuguhkan eksotika isi angkasa raya. Jiwa yang tampil mewadag kental rasa Jawanya, tetapi sekaligus terasa alien eksotika yang dihadirkannya.
Penggagas konsep Megalitikum Kuantum, Rizaldi Siagian, mengatakan tentang sajian baru gending Ketawang Puspawarna itu : “Ini kesempatan buat kedua musisi untuk menginterpretasi, andai benar ada alien, bagaimana makhluk-makhluk itu mendengar gamelan”
KABUT ANDROMEDA ! Upaya umat manusia menggalang kontak dengan makhluk luar angkasa, termasuk dengan bunyi-bunyian gamelan, menunjukkan betapa luar angkasa dan makhluk-makhluknya, sudah lama menjadi obsesi, baik visi sampai impian, baik atau buruk, pada diri umat manusia. Luar angkasa tak pelak merupakan the final frontier, perbatasan akhir, yang sarat pesona, juga misteri, seperti diungkap dalam film seri fiksi-ilmiah Star Trek yang terkenal.
Daya tarik the final frontier tidak hanya dalam fiksi. Realita ilmiah kadang jauh lebih mengagumkan. Simak siaran radio BBC (13/9/2005) yang mewartakan bahwa satelit NASA baru-baru saja ini mencatat kilatan cahaya dari tepian luar angkasa. Kilatan itu merupakan ledakan bintang mati yang berjarak 12,5 milyar tahun cahaya dari bumi.
Sekadar info : satu tahun cahaya adalah satuan jarak yang digunakan dalam disiplin ilmu astronomi. Yaitu jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam ruang hampa selama satu tahun. Satu tahun cahaya (!) itu setara dengan 9.4650 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 meter atau 5.8785 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 mil. Jarak sejauh 12,5 milyar tahun cahaya tersebut mengindikasikan betapa bintang bersangkutan lahir jauh sebelum matahari beserta tata surya yang kita kenal ini terbentuk.
Misteri dan rasa ingin tahu manusia yang kental terhadap luar angkasa menimbulkan harapan sekaligus ancaman. Dalam ranah penciptaan di bidang sastra, luar angkasa merupakan papan permainan yang menggairahkan untuk karya-karya fiksi ilmiah. Di ranah menggetarkan ini tercatat raksasa pengarang seperti Jules Verne, H.G. Wells, Robert A. Heinlein, Isaac “Bapak Robot” Asimov, Poul Anderson, Edgar Rice Burroughs, A.E. van Vogt, Arthur C. Clarke, Fritz Leiber, Henry Kuttner, sampai Ursula K. Le Guin.
Dua puluh tahun yang lalu, dalam buku katalog yang menyertai Pameran Buku Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) 1985, 4 – 14 Mei 1985 di Balai Sidang Senayan Jakarta, saya telah menulis artikel berjudul, “Fiksi Ilmiah : Bekal Anak-Anak Menghadapi Zaman Serba Teknologi”. Antara lain saya tuliskan :
“Cerita-cerita sains-fiksi atau fiksi ilmiah dalam kerangka menghadirkan dunia-dunai tidak dikenal sebenarnya tidak jauh dari usaha memberi kemasan baru bagi proyeksi yang jauh-jauh hari telah dilakukan. Misalnya saja konsep teologi inferno dari Dante.
Eksplorasi ke dunia tidak dikenal tersebut juga merupakan ekstensifikasi tema-tema karya pengarang abad 18-an yang berusaha meyakinkan adanya realitas dalam karyanya dengan mematok seting ceritanya pada daerah yang eksotis saat itu : satu-dua pulau terpencil di lautan Pasifik.
Sedang hari ini ketika tidak ada lagi bagian dunia yang belum terjamah oleh manusia, proyeksi daerah tidak dikenal itu segera mendongak ke atas : Planet Cygnus. Perang Antargalaksi. Kabut Andromeda. Angkasa Raya !”
EFEK MOZART DAN KECERDASAN. Alunan gamelan dalam gending Ketawang Puspawarna mungkin kini sudah menjadi top hit atau menjadi nomor klasik di kalangan makhluk angkasa luar. Mungkin mereka menyukainya.
Dugaan spekulatif ini ditopang asumsi yang selama ini kuat terbangun bahwa makhluk- makhluk angkasa luar memiliki kecerdasan yang tinggi. Steven “I dream for a living” Spielberg dengan film ET-nya telah menghadirkan fantasi manusia tentang makhluk angkasa luar yang cerdas dalam cerita di layar putih yang mempesona.
Dengan merujuk asumsi tersebut maka merupakan pilihan yang jenius bila kehendak manusia bumi untuk mengontak mereka adalah melalui musik. Sebab musik merupakan determinan yang sangat erat terkait dengan kecerdasan, bukan ?
Simak saja pendapat seorang Joseph Chilton Pearce ketika mengantar bukunya Don Campbell yang terkenal, The Mozart Effect for Children (2000), yang antara lain menulis :
Sebagai pencinta musik seumur hidup, saya ingat pernah membaca bahwa sekitar akhir tahun 1940-an, para ilmuwan atom di Oak Ridge, Tennesse, berkumpul pada saat-saat senggang mereka di malam hari untuk memainkan kuartet alat musik gesek.
Saya terkesan sekali ketika membaca jawaban penerima hadiah Nobel, David Hubel, seorang ilmuwan saraf, sewaktu ditanyai tentang apakah ia punya minat lain di samping bidang keahlian yang ditekuninya, penelitian otak yang berhubungan dengan penglihatan. Jawabnya adalah, “Sesungguhnyalah rupanya saya telah menghabiskan sebagian besar masa hidup saya di depan piano”
Paparan Pearce itu kemudian mudah mengingatkan pada sosok Albert Einstein (1879–1955), fisikawan termasyhur yang lahir di kota yang kini jadi tempat tinggalnya Tina, “Sang Putri Duyung Jelita Dari Sungai Donau” (klik Love for All Season untuk menemui blog dan foto diri Tina yang menawan), yaitu Ulm, Jerman. Kisah cinta yang panjang antara Einstein dengan biolanya telah dikenal oleh banyak orang. Dunia tentu tidak bisa melupakan kenangan terhadap peristiwa yang terjadi di tahun 1921, saat Einstein hendak berangkat ke Stockholm guna mengambil hadiah Nobel yang dimenanginya. Ia naik kereta api kelas 3 dengan di ketiaknya terkempit biola kesayangannya.
CINTA UNTUK KAREN TERCINTA. Upaya umat manusia menggalang kontak dengan media musik untuk para penghuni luar angkasa juga menjadi salah satu balada dalam lagu kelompok Carpenters. Inilah kelompok musik soft rock legendaris era 70-an. Terbentuk tahun 1968, di New Haven, Connecticut, yang dimotori oleh Richard Carpenter (1946- ) sebagai pianis dan produser, dan adiknya, Karen Carpenter (1950-1983), sebagai penyanyi utama.
Seorang fan menuliskan : Karen Carpenter's voice can make anyone fall in love. “Suara Karen Carpenter mampu membuat semua orang jatuh cinta”.
Yang lain mengimbuhi tak kalah indah : “Dia dan suara uniknya tatkala membawakan cinta akan menyentuh semua hati di antara kita, dan bakal abadi selamanya. Mendengarkan lagu-lagunya membuat kita serasa kembali ke jaman ketika kelompok ini baru tampil...dan ketika kita masih pula berusia muda.”
Karen Carpenter meninggal dunia pada usia 32 tahun, pada tanggal 4 Februari 1983. Ia meninggal karena gagal jantung akibat komplikasi penyakit anoreksia nervosa yang lama ia perjuangkan untuk memperoleh kesembuhannya. Ketika denyut jantungnya berhenti, jutaan jantung penggemarnya di seluruh dunia terguncang karenanya.
Seorang penggemar tak ayal menulis rasa dukanya yang mendalam : “Karen memiliki vokal yang unik. Jadi sungguh menyedihkan ketika Tuhan memanggilnya pulang dalam usia mekar 32 tahun. Duka kami tersalur lewat lagu-lagunya...Semoga Tuhan memberkati arwahnya.”
Simaklah juga betapa cintanya kepada sosok Karen Carpenter sampai seorang penggemarnya yang lain menuliskan kesan seperti menulis surat wasiat yang mengharukan : “Suara Karen sungguh luar biasa dan demikian pula musiknya yang mampu mengisi hati saya dengan kebahagiaan ketika mendengarnya...Saya katakan kepada anak saya, seumpama terjadi sesuatu pada diri saya (yaitu kematian), tempat untuk mengenangku kembali adalah pada musik Karen Carpenter... Tidak ada kata-kata lain yang lebih pantas untuknya.”
Dalam lagu Calling Occupations of Interplanetary Craft telah digambarkan betapa makhluk luar angkasa yang justru berprakarsa mengontak umat manusia. Dalam acara permintaan lagu-lagu dari stasiun radio All Hits Radio, penyiarnya tiba-tiba dibuat bingung karena muncul penelpon bersuara metalik yang tidak dikenal, kemudian terdengar mengabarkan :
We are observing your earth
And we'd like to make
a contact with you. Baby.
Para makhluk luar angkasa itu sedang mengamati bumi. Mereka pun ingin mengontak umat manusia. Mereka melakukan kontak melalui gelombang radio. Media kontak yang dipilih makhluk luar angkasa, yaitu melalui gelombang radio, tentu tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ilmu radio astronomi, yang dipelopori oleh Karl.C. Jansky (1905-1940), ilmuwan pada Bell Laboratory, sejak tahun 1932. Jansky yang pertama menemukan gelombang radio yang berasal dari luar atmosfir bumi, yaitu dari galaksi Bima Sakti.
Disiplin ilmu radio astronomi ini, yang kemudian menjadi cabang terpenting astronomi, adalah mengkaji objek-objek luar angkasa melalui gelombang radio yang mereka pancarkan. Perkembangan ini menghadirkan perangkat teleskop radio yang menggantikan teleskop optik astronomi visual yang lama. Fasilitas teleskop radio terbesar di dunia dengan piring parabola berdiameter sampai 305 m adalah Observatorium Arecibo di Puertorico.
CINTA DI ANTARA KERLIP BINTANG. Lagu indahnya Carpenters, yang diawali bunyi mirip sirene lembut, antara lain mengabarkan pesan-pesan damai umat manusia untuk para makhluk luar angkasa. Seolah digambarkan mereka sedang menaiki kendaraan luar angkasanya dalam misi perjalanan menjelajah antarplanet di angkasa raya.
”And please come on peace, we beseech you”, demikian pinta Karen Carpenter. “Hanya dengan mendarat di bumi, mengajari kami, karena tanpamu maka bumi ini tak akan lestari, maka kumohon segera kedatanganmu.” Mereka pun, sekali lagi, menjawab :
We've been observing your earth
And one night we'll make a contact with you
We are your friends
Mengapa untuk bisa mengontak makhluk-makhluk luar angkasa sepertinya harus terjadi di malam hari ? Pengarang Amerika, Ursula K. Le Guin (1929– ), mengajukan tesis yang menarik. Katanya, selama ini kita hanya terbiasa berpikir bahwa hidup kita selalu berada di siang hari. Tetapi sebenarnya setengah dari dunia ini selalu gelap ; dan oleh karena itu fantasi, demikian juga puisi, berbicara dalam bahasa malam hari.
Eksotika malam hari telah diungkap oleh sosiolog dari Universitas Boston, Murray Melbin dalam bukunya Night as Frontier (1987). Berdasarkan sensus, terdapat 29 juta warga Amerika terbangun ketika lewat tengah malam. Diperkirakan 20 juta dari mereka beraktivitas untuk menghamburkan uang, dengan makan-makan di restoran, berbelanja atau bepergian.
Sedang sebanyak 7,1 juta melakukan pekerjaannya. Bahkan pada jam tiga dan empat dini hari, pada saat paling sepi menjelang fajar, terdapat 10,6 juta warga yang terjaga dan terhitung 4,1 adalah mereka yang bekerja.
Pesona malam menjadi lahan kreatif penyiar radio Neil Myer yang mengudara antara jam satu sampai empat pagi di acara Talknet pada jaringan radio NBC. Seperti dilaporkan Gurney Williams III di majalah Reader’s Digest (10/1988), acara Talknet itu mempunyai pendengar 7,5 juta tiap mingggunya yang terentang pada 270 kota. Telepon di studio pusatnya di New York, selalu kebanjiran telepon yang memacetkan.
Orang-orang tipe “kelelawar”, nocturnal ini, menurut Myer tidak memiliki stereotip tertentu. “Mereka memiliki beragam pekerjaan. Mereka menelepon ketika mau berangkat kerja atau baru datang dari kantor. Tak ada dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bahkan sepuluh persen penelpon adalah anak-anak, yang saya pikir mereka seharusnya sudah mendengkur di atas kasur”
Orang-orang yang bekerja dengan komputer, penyair dan pekerja kreatif lainnya sering pula digambarkan sebagai orang-orang malam. Nicholas Negroponte, nabi digital dari Media Labs MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan pengarang buku sohor favorit saya, Being Digital (1995), mengaku dirinya terkena mild imsoniac, orang yang agak sulit tidur di malam hari. Ia sering terbangun di dini hari, lalu menghidupkan komputer untuk membalas beberapa email atau menulis. Kemudian tertidur lagi.
Negroponte tentu tidak sendirian. Akhir-akhir ini aku juga tertarik meneliti jam saat seseorang mengirimkan email atau memposting sesuatu informasi untukku. Dengan bantuan World Time Chart (sebelumnya sih pakai PDA, tetapi karena PDA-ku hilang di Singapura, Januari 2005 lalu, maka terpaksa harus pakai tabel manual itu), aku surprise melihat, misalnya ada postingan pada jam mendekati jam dua dini hari dan setengah tiga dini hari.
Kira-kira apa penyebab yang mendorong ia melakukan aktivitas ini justru ketika kebanyakan orang tidur di keheningan dini hari ?
Murray Melbin menjawab : karena orang-orang “kelelawar” tersebut nyata-nyata lebih bersahabat dibanding orang-orang siang. Keramahtamahan dalam pergaulan dan kooperasi, kerja sama, ritmenya mencapai puncaknya di malam hari, tambahnya lagi.
Itulah rupanya satu sisi keajaiban malam yang melimpah sebagai berkah pada diriku. Terima kasih. Aku mengerti. Pesan itu sampai. Persahabatan, ramah tamah, kerja sama, bahkan puisi dan fantasi, seperti simpul Ursula K. Le Guin, rupanya memang bahasa malam hari. Malam identik keheningan. Konsentrasi. Kontemplasi. Momen terbaik untuk membebaskan pengembaraan khayalan tanpa batas. Juga persemaian subur untuk impian.
Maka Karen Carpenter ketika melanjutkan nyanyiannya, ia pun mengajak dirinya sebagai manusia dan makhluk luar angkasa untuk melakukan kontak dengan saling berkonsentrasi di malam hari :
With your mind you have ability to form
And transmit thought energy far beyond the norm
You close your eyes, you concentrate
Together that's the way
To send the message
We declare world contact day
Kekuatan pikiran yang terkonsentrasi mampu memancarkan energi yang luar biasa. Kita bisa melakukan konsentrasi itu dengan memejamkan mata. Pesan-pesan akan sampai. Kontak pun akan terjadi pula karenanya.
Dalam karya sastra, seorang pengarang wanita Italia, Susana Tamaro dalam novelnya yang indah, Va’Dove Ti Porte Il Cuore (Pergilah Kemana Hati Membawamu), juga sekilas menceritakan upaya kontak dua hati, yang digelayuti kerinduan menggunung, dengan masing-masing mengonsentrasikan pikiran guna melambungkan pesan-pesan antarkeduanya di antara kerlipan bintang.
Novel ini merupakan percakapan panjang melalui surat antara seorang nenek dengan cucu perempuannya, yang kini terpisah. Terpisah jarak karena beda benua dan seringkali pula beda jalan pikiran. Hanya hati mereka yang masih mampu mempertemukannya.
Apabila rindu antara mereka begitu mendesak, sang nenek telah meminta cucunya pada malam-malam tertentu untuk keluar rumah, membawa foto dirinya di pucuk malam. Melangkah tiga kali, membentuk tanda salib dan berbisik kepada langit : “Ini aku. Aku di sini”
Sampaikah pesan-pesan antarmereka ?
Nora Ephron, pengarang dan sutradara film kelahiran New York 19 Mei 1941 rupanya percaya akan kekuatan takdir dan bahasa getar-getar langit. Dalam garapan film komedi romantis Sleepless in Seattle (1993) yang tokohnya diperani Tom Hank dan Meg Ryan, ia kisahkan sejak awal betapa domisili antara mereka saling berjauhan ribuan kilometer jaraknya. Mereka pun tidak saling kenal satu dengan lainnya.
Tetapi cinta antarmereka dapat bertaut berkat program siaran radio yang mereka dengar. Kesamaan perasaan akan kerinduan, penghargaan, kasih sayang dan cekikan kesepian, hal-hal yang sungguh manusiawi, membuat diri mereka tergerak melangkah saling mendekat untuk meraih kesempurnaan dalam kebersamaan.
Film yang unik, karena kedua tokohnya hanya bertemu pada lima menit terakhir. Di puncak Empire State Building, New York. Inilah pertemuan yang sudah tertakdir dalam garis-garis getar kosmis hanya untuk mereka berdua.
WHEN MY LOVE FOR LIFE IS RUNNING DRY. Dini hari Rabu (14/9), ketika waktu menunjuk sekitar jam tiga dini hari, saat jeda pertandingan sepakbola Liga Champion antara Villareal melawan Manchester United (Wayne Rooney mendapatkan kartu merah), aku keluar rumah.
Lengkung langit di atas Wonogiri terasa agak muram. Tidak banyak bintang bertebaran. Kabut pagi mulai pekat mengambang. Sungguh ajaib, dari radio tetangga masih terdengar nyaring alunan lagu indah, If, lagu klasik dari grup musik Bread. Lagu itu berasal dari acara Wonderful Night-nya Radio Karavan FM Solo yang akan berakhir jam 4 dini hari.
And when my love for life is running dry,
you come and pour yourself on me.
If a man could be two places at one time,
I'd be with you.
Tomorrow and today, beside you all the way
If the world should stop revolving
Spinning slowly down to die,
I'd spend the end with you.
And when the world was through,
Then one by one the stars would all go out,
And you and I would simply fly away.
Aku mendongak ke langit.
Memejamkan mata. Menyapa bintang-bintang.
Sambil menyebutkan sebuah nama.
Kemudian membiarkan kelompok Bread meneruskan pesan hatiku kepadanya. Pesan itu pun segera melesat terbang di antara kerlip bintang yang menari. Dan di luar sana, somewhere out there, aku yakin ada hati yang mengerti.
Wonogiri,12-15 September 2005
Thursday, September 08, 2005
Nubuat Para Nabi di Blog, Carpenters dan Apakah Diriku Seorang Desperado Yang Sudah Terlambat ?
Email : epsia@plasa.com
MINDSET KAUM BLOGGER. Hari ini, 25 Agustus 2005, aku menapaki hari pertama untuk memasuki umur 53 tahun. Pagi-pagi aku bergairah menulis untuk milis komunitas BlogFam yang antara lain aku ingin mengabarkan sisi-sisi positif budaya interaksi antarkaum blogger. Aku ingin mengutip isi artikel John Ellis di majalah Fast Company (April 2002).
Majalah .Fast Company ini pernah aku pergoki di toko buku QB, Jl. Sunda, dekat Sarinah, Jakarta Pusat. Kalau majalah dalam negeri seharga belasan ribu rupiah, majalah ini sampai 125 ribu. Sementara majalah Harvard Business Review, hingga 300 ribu. Terlalu maha berat untuk bisa terjangkau kantong wong Wonogiri ini.
Menurut John Ellis, berbeda dibanding mindset para pengelola media cetak atau situs web, para blogger rata-rata berasumsi bahwa pembaca blognya adalah as smart as they are, if not smarter, secakap dirinya atau bahkan melebihinya.
Kasus kecil yang pernah aku alami : aku pernah agak lancang dengan mengirimkan email untuk usil mendiskusikan suatu tulisan kepada wartawan yang bersangkutan. Ada yang dijawab dengan nada tinggi, tetapi kebanyakan tidak pernah dijawab sama sekali. Itulah beda kontrasnya trait, karakter, antara pengelola “media lama” dengan kaum blogger. John Ellis menulis lagi :
Bloggers spend most of their time engaged in constant communication with their readers. In so doing, they create a network of sources who are always on the lookout for interesting articles, columns, stories, and items.
Kaum blogger menghabiskan sebagian besar waktunya untuk terlibat dalam komunikasi secara teratur dengan para pembaca situs-situs blognya. Dengan demikian antarmereka terbentuk suatu jaringan sumber informasi yang senantiasa memantau artikel-artikel baru, tulisan kolom, cerita dan hal-hal lainnya yang menarik.
Jaringan sumber informasi, network of sources itu saya bahasakan sebagai jaringan pulau-pulau cendekia. David Weinberger, pakar Internet Amerika, punya istilah small pieces, loosely joined, yang kemudian menjadi judul bukunya. Menurutnya, berkat Internet kini pelbagai pulau itu bisa secara mudah terintegrasi satu dengan lainnya. Komunitas BlogFam kita ini, adalah representasi dari network of sources itu, bukan ?
Dalam blog saya, Esai Epistoholica No. 9/September 2004 berjudul Nubuat Nabi-Nabi Tertulis Di Tembok-Tembok Subway telah saya tuliskan :
“Pulau-pulau cendekia yang kecil-kecil itu akan berdampak dahsyat bila tergabung dalam sebuah jaringan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman (terlebih lagi, seperti kata ibu Asrie M. Iman, seorang epistoholik senior dari Jakarta, pengalaman yang hanya bisa didapatkan melalui perjalanan waktu), keahlian sampai kearifan, nantinya berharga sebagai rujukan atau pos informasi tempat kita untuk saling bertanya, meminta nasehat, berbagi informasi, saling menyemangati dalam menempuh kehidupan di dunia, yang dalam nyanyian Karen Carpenter disebut sebagai a restless world, dunia yang gelisah.
Dunia yang gelisah, dunia yang membutuhkan nubuat nabi-nabi. Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu Sound of Silence mencoba memberi petunjuk, dikutip sebagai judul tulisan ini : the words of the prophets are written on the subway walls. Siapa tahu, di era Internet ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru : tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam situs-situs blog masa kini.”
INDAHNYA DANUBE BIRU JOHANN STRAUSS. Setelah memposting, aku keluyuran menjelajahi blog warga BlogFam lainnya. Saya sengaja mengunjungi situs blognya Zeventina, di mana pemiliknya adalah sebagian dari fenomena keajaiban Internet yang aku pergoki akhir-akhir ini.
Sekadar cerita, pada artikelku di blog Esai Epistoholica No. 26/Agustus 2005 yang berjudul Menari Bersama Jerangkong : Blogger, Lurker, dan Miduk Dalam Kenangan Seorang Epistoholik, pada bagian akhir aku tuliskan kalimat : “Melalui situs blog ini, tarian jerangkong saya, tarian perayaaan bagi kebebasan jiwa itu, bisa saya kabarkan kepada dunia.”.
Dunia pun rupanya bermurah hati menanggapinya. Melalui kebaikan hati seseorang yang sebelumnya tidak pernah aku kenal sama sekali, dan bahkan secara geografis antara kita terpisah ribuan kilometer jaraknya. Tetapi berkat Internet, dirinya telah sudi menuliskan komentar yang encouraging untuk tulisan saya di atas. Dia yang baik hatinya itu adalah Tina. Saya harus membalas kebaikannya, dengan mengunjungi situs blognya.
Blognya Tina cerah-ceria. Menyejukkan hati dan mata. Tina meracik blog indahnya tersebut dari Ulm, kota industri di tepian sungai Danube (ingat nomor indahnya Johann Strauss, Blue Danube?) di negara bagian Baden-Württemberg, Jerman. Pasukan Napoleon tercatat pernah meluluh lantakkan bala tentara Austria di kota ini pada tahun 1805. Ulm adalah pula kota kelahiran fisikawan termashur, Albert Einstein. Hmmm, gara-gara Tina, aku jadi belajar tentang kota Jerman dan juga Ulm....
Blog Tina tampil elegan. Dihiasi foto pemiliknya yang cantik dan menawan. Pemotretnya pasti profesional. Artisnya juga dong :-). Kalau boleh berkomentar, aku menyayangkan hadirnya ornamen bintang dalam foto Tina tersebut. Menurutku kok justru merusak dan memecah fokus. Silakan berkunjung, Anda akan disambut puisinya Tina yang indah dan menebarkan optimisme :
If you can look at the sunset and smile,
then you still have hope.
If you can find beauty in the colors of a small flower,
then you still have hope.
If you can find pleasure in the movement of a butterfly,
then you still have hope.
If receiving an unexpected card or letter still brings a pleasant surprise,
then you still have hope.
(Ini favorit saya, karena tiba-tiba, tak disangka blog saya ketiban komentar menyenangkan dari seseorang yang tak aku kenal, dari Jerman sana....)
Lanjutan puisinya Tina masih puanjang,
indah-indah, makin bernas dan inspiratif!
PS : Apa Tina itu masih punya hubungan famili dengan penulis Amerika terkenal, Studs Terkel ? Nama ini pernah muncul selintas dalam sitkom Friends, tertera di sampul buku yang dipegang oleh dosen dinosaurus, Ross Geller. Studs Terkel terakhir menulis buku Hope Dies Last: Keeping the Faith in Difficult Times . Apakah Tina terinspirasi dari buku ini atau sebaliknya ? Ditunggu cerita-ceritanya.
WE’VE ONLY JUST BEGUN. Setelah menorehkan komentar (pemajangan asesori kotak komentar untuk blog, saya sudah tahu sumbernya, tetapi aku masih gaptek untuk mencobanya di blogku !), aku menelusuri para pengunjung blognya Tina. Tina rupanya memang figur yang populer di jagat blogosfir.
Aku men-klik salah satu nama, yaitu “Emil”, dan segera di bawa menuju blog Emil Mansur yang berpangkalan di kota Karlsruhe, masih juga di Jerman. Pria Jakarta dan lulusan ITB ini sedang kuliah (atau bekerja ?) di kota pada tepian sungai Rheine di Jerman bagian barat.
Sebagai pendukung tim sepakbola nasional Jerman sejak tahun 1974, sekaligus tim Bayern Muenchen, saya tahu kota Karlsruhe adalah tempat kelahiran salah satu pemain tim nasional Jerman yang saya sukai : Thomas Hassler. Pemain yang posturnya kecil ini, 168 cm, adalah eksekutor untuk bola-bola mati yang mematikan !
Isi blog Emil Mansur antara lain menceritakan peristiwa pernikahannya dengan Sandra, di Bandung. Saya pun, setelah memuji penampilan blognya (karena blog-blogku memang polos, tanpa asesori, ibaratnya masih hidup di jaman pak Flintstone !) tergerak pula untuk ikut mengucapkan selamat untuk pengantin baru itu. Saya selipkan rayuan agar mereka sudi menyimaki isi lagunya Carpenters, We’ve Only Just Begun. Lagu wajib yang teramat indah untuk para pengantin baru.
Lagu ini menurut Robert T. Kiyosaki dalam bukunya yang berjudul Rich Dad’s Guide To Investing : What The Rich Invest In, That The Poor and Middle Class Do Not ! (2000), telah ia daulat sebagai soundtrack semangat jaman bahwa dunia kita ini baru mulai. Kiyosaki merujuk sinyalemennya itu kepada isi iklan lembaga keuangan sohor Meryll Lynch yang terpasang sehalaman penuh pada koran-koran AS tanggal 11 Oktober 1998, yang memproklamasikan bahwa dunia baru berusia 10 tahun.
Mengapa baru 10 (kini : 17) tahun ? Sebab baru sekitar sepuluh tahun Tembok Berlin dirubuhkan. Pembongkaran Tembok Berlin adalah peristiwa yang digunakan oleh para sejarawan ekonomi untuk menandai akhir abad Industri dan awal Abad Informasi.
Robert T. Kiyosaki menulis : “Karen dan Richard Carpenter menyanyikan sebuah lagu besar We’ve Only Just Begun. Bagi mereka yang mengira mereka terlalu tua untuk mulai dari nol lagi, ingatlah selalu bahwa Kolonel Sanders mulai dari nol lagi pada usia 66 tahun. Keunggulan yang kita miliki dibandingkan Kolonel Sanders adalah kita semua sekarang hidup di Abad Informasi, di mana yang penting adalah seberapa muda kita secara mental, bukan seberapa tua kita secara fisik.”
Bagiku, ucapan Kiyosaki tersebut dan lagunya Carpenters ini memang indah dan sarat makna :
We've only just begun to live
White lace and promises
A kiss for luck and we're on our way
Before the rising sun we fly
So many roads to choose
We start out walking and learn to run
Sharing horizons that are near to us
Watching the signs along the way
Talking it over just the two of us
Working together day to day, together
And yes we're just begun to live
Di warnet SalsaNet, setelah merampungkan kuajiban untuk komunitas BlogFam, juga mengucapan terima kasih ke Tina, aku masih penasaran terhadap isi situs yang memuat foto-foto upacara pemakaman yang bertajuk
In Memoriam Bambang Haryanto itu.
Bayangkan : seseorang yang namanya sama dengan diriku telah meninggal dunia. Foto-foto prosesi dan upacara pemakamannya dipajang di media berskala global, Internet.
Apalagi setelah mengopi foto-fotonya dalam format lebih besar, aku semakin terperanjat : Bambang Haryanto itu orang Wuryantoro, Wonogiri. Melihat ciri-ciri lingkungan pemakamannya, aku yakin adalah makam yang sama tempat kakekku, Kasan Luwar, dan pakdeku, Juhar, juga disemayamkan.
Peristiwa aneh dan luar biasa ini telah aku tuliskan dalam Esai Epistoholica No. 27/Agustus 2005 – Blog, Internet dan Kematian : Menurut Yahoo Namaku Telah Meninggal Dunia Tetapi Seseorang Di Paris Juga Telah Mencatatnya.
LOVE IS SURRENDER. Malamnya, dalam acara Selekta Malam di Radio Solopos FM (103.00 Mhz), selepas jam 22 malam, aku mengirimkan SMS meminta lagu. Tentu saja, lagunya Carpenters. Penyiarnya saat itu adalah Yanto Martono. Radio ini studionya berada satu gedung dengan koran Solopos, di Solo. Antara Solo dan Wonogiri dipisahkan jarak sekitar 32 km.
Beberapa malam sebelumnya, aku mendapat telepon kejutan dari Yanto Martono ini. Gara-gara malam itu aku mengirim teka-teki mengenai judul lagunya Carpenters, yang aku ubah dalam bahasa Jawa.
Aku tulis : Tresno Iku Pasrah Bongkokan. Silakan tebak. Sudah pula aku beri isyarat, clue, yaitu kata Love is....
Saat Yanto menelepon, dirinya langsung bilang : “Menyerah...”. Kami lalu terlibat obrolan di saat jeda, sementara radionya masih mengudarakan lagu. Akhirnya aku bocorkan jawabannya : Love Is Surrender.
Mungkin terinspirasi oleh situs yang memajang foto-foto penguburan, aku meminta lagunya Carpenters yang agak “berisik”, Deadman’s Curve. Lagu ini termuat dalam album Now And Then. Aku juga mengajukan pilihan lain, lagu yang lebih manis dan mesra, salah satu dari album Made In America, yaitu Those Good Old Dreams :
It's a new day for those good old dreams
One by one it seems they're comin' true
Here's the morning that my heart had seen
Here's the morning that just had to come through
Same old stage but what a change of scene
No more dark horizons, only blue
It's a new day for those good old dreams
All my life I dreamed of lovin' you
Ternyata lagu yang diputar, menjelang acara Selekta Malam itu berakhir, adalah lagu Carpenters yang lain. Lagu ini belum pernah aku dengar sebelumnya. Judulnya, Desperado. Terjemahannya : penjahat yang nekad, bandit atau bajingan. Lagu ini aslinya dibawakan Eagles, 1973. Judul yang sama juga menjadi judul film yang dibintangi Antonio Banderas dan Salma Hayek.
Liriknya, oh, merujit-rujit nurani. Mencabik-cabik hatiku. Mengapa Yanto Martono bisa “pas” menemukan lagu satu ini ? Apakah ia sengaja memilihnya, untuk menyindirku dan hidupku ? Apakah ada sesuatu getar-getar kosmis di Atas Sana yang telah menuntunnya, karena lagu ini kemudian berubah menjadi sebuah “wahyu” pencerahan bagiku ?
Impian-impian lama yang indah mengenai keinginan untuk mencintai seseorang, dan sebaliknya, yang pernah terjadi tetapi tidak bisa lestari atau justru kandas sebelum mulai, kini menghadapkanku pada realitas yang lebih rough dan nyata. Antara lain ketika kini waktu tak lagi punya kompromi. Semua konsekuensi itu terjadi, karena diriku adalah seorang desperado selama ini ?
Desperado
Why don't you come to your senses
You been out ridin' fences
For so long now
Oh, you're a hard one
But I know that you've got your reasons
These things that are pleasin' you
Can hurt you somehow
Ya – dalam hal tertentu, saya adalah seseorang yang berkepala batu. Idealis. Perfeksionis. Soliter. Walau pun demikian saya juga memiliki alasannya. Tetapi juga dengan jujur mengakui tatkala seorang Marina Margaret Heiss ketika menulis profil seorang INTJ (Introverted, iNtuitive, Thinking, Judge), profil yang mendekati diriku dalam tes Humanmetrics, telah menyebutkan sisi kelemahan INTJ. Katanya, hubungan pribadi, terutama yang romantis, merupakan tumit Achilles, pengapesan, atau kelemahan pokok dari sosok INTJ ini.
Kata Heiss,walau INTJ mampu memberikan perhatian secara mendalam bagi orang lain (sedikit dan terpilih), bersedia berkurban waktu dan usaha dalam membina hubungan, tetapi pengetahuan dan rasa percaya diri yang mengantarnya mampu meraih sukses dalam bidang tertentu tiba-tiba justru merusak atau menyesatkan dalam situasi hubungan antarpribadi.
Hal ini sebagian terjadi akibat kaum INTJ itu tidak memahami ritus sosial. Misalnya, mereka cenderung memiliki kesabaran yang tipis dan kurang memahami pentingnya hal-hal “remeh temeh” seperti mengobrol atau pun merayu, di mana sebagian besar orang menganggapnya sebagai setengah dari keasyikan sesuatu hubungan.
Lebih membuat rumit lagi, sosok INTJ seringkali adalah seseorang yang penyendiri, through this world all alone, tanpa emosi, hingga mudah sekali untuk menjadi korban “salah baca” dan mudah pula disalahfahami.
Freedom, ah freedom
That's just some people talkin'
You're prisoners walkin'
Through this world all alone
Masalah paling pokoknya, tegas Heiss lebih lanjut, sosok INTJ menginginkan orang lain berperilaku masuk akal. Hal ini jelas menjerumuskannya untuk berlaku naif. Alih-alih dirinya berusaha melimpahi seseorang dengan kasih sayang dan empati dalam hubungan yang romantis, kaum INTJ justru mengharapkan hal-hal yang logis, serba langsung, dan terus terang.
Desperado
Why don't you come to your senses
Come down from your fences
Open the gate
Aku memang masih terkungkung di balik jeruji penjara. Penjara buatanku sendiri. Penjara yang aku anggap sebagai istana. Pintu gerbang hati saya untuk cinta, setelah Miduk pergi sampai Thya pergi, aku masih saja trauma untuk membukanya. Padahal itu terjadi sudah lama sekali. Bahkan mereka sendiri pun pasti sudah pula melupakannya.
Desperado
Oh you ain't gettin' no younger
Your pain and your hunger
They're drivin' you home
Ya. Benar - aku jelas tidak muda lagi. Hari ini aku menjalani hari pertama untuk melangkahkan kakiku menuju usia 53 tahunku. Di dunia masa kini yang begitu memuja kemudaan, bertambahnya umur seringkali bukan hal yang mudah untuk diterima dengan ikhlas dan legawa. Anda juga selalu pengin awet muda ?
Komedian Bob Hope pernah mengajukan rahasia cespleng agar seseorang selalu awet muda. Katanya, “Saya punya rahasia agar saya selalu awet muda. Saya berbohong tentang umur saya sebenarnya”.
Sementara itu tokoh ayah kaya dari Robert T. Kiyosaki, seperti yang ia ungkapkan dalam bukunya Rich Dad’s Guide To Investing (2002), telah memberi wawasan lain yang menarik mengenai bagaimana seseorang menyikapi usia.
“Secara fisik kamu pasti akan lebih tua, tapi itu tidak berarti secara mental kamu akan lebih tua. Jika kamu ingin awet muda lebih lama, pakai saja ide-idemu yang lebih muda. Orang-orang menua atau ketinggalan zaman karena mereka berpegang pada jawaban-jawaban benar yang sebenarnya adalah jawaban-jawaban lama”
Apakah ucapan Kiyosaki tersebut merupakan sebuah pain killer yang berguna ? Juga bagiku ? Yang pasti, akhirnya setiap orang memang bebas untuk memilih. Boleh memilih sikap pesimistis atau sikap optimistis dalam menjalani hidup ini. Carpenters masih menyanyi :
It may be rainin'
But there's a rainbow above you
Anda lebih memilih menggerutu karena jatuhnya hujan ?
Atau memilih takjub saat menikmati keindahan sebentuk lengkung pelangi ?
Bagiku, ucapan Kiyosaki dan baris akhir lirik lagu Desperado-nya Carpenters masih memberiku secercah sinar optimisme :
You better let somebody love you
You better let somebody love you
Before it's too late
Wonogiri, 25/8-5/9/2005.