Tuesday, January 16, 2007
Masa Pensiun dan We’ve Only Just Begun
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Resep Sehat Voice of America. Penguasaan dua bahasa, bilingual, berpotensi memperlambat seseorang dari ancaman kepikunan. Informasi kesehatan menarik itu saya dengar dari radio Voice of Amerika (VoA) Siaran Indonesia, 15/1/2007. Penggunaan dua bahasa secara aktif diwartakan memacu otak penggunanya menjadi lebih “cemerlang” dan “tahan lama” dibanding otak mereka para pengguna satu bahasa saja.
Kabar ini, sekali lagi, nampaknya semakin mengukuhkan pendapat use it or lose it, gunakan atau kehilangan, baik yang menyangkut otak mau pun otot Anda. Kiranya kita dapat bercermin dari pendapat Alfred Eisenstaedt (1898–1995), fotografer dan jurnalis kenamaan Amerika kelahiran Jerman. Seperti telah dikutip edisi elektronik majalah Life 24 Agustus 1995 (“tepat saya berumur 42 tahun”) ia telah berujar, ”although I am 92, my brain is 30 years old.” Walau saya berusia 92 tahun, tetapi otak saya berusia 30 tahun.
Umur saya kini menjelang 54 tahun. Juga sudah terasa mulai dihinggapi “penyakit” mudah lupa. Pernah saya ke warnet, sesudah berjalan kaki sekitar 2 km, harus kecewa karena disket yang berisi tulisan untuk di-upload ke blog-blog saya dan materi untuk membalas email, lupa tidak saya bawa.
Sehari-hari saya yang terlibat dalam pemakaian tiga bahasa, Jawa, Indonesia dan Inggris, tetapi ketika bercermin diri saya sungguh tidak tahu pasti sejauh mana tesis informasi dari VoA di atas berlaku untuk diri saya. Dari ketiga bahasa itu, pastilah bahasa Inggris yang paling minimal saya kuasai. Maklum.
Tahun 1986 pernah ikut tes TOEFL di Kedutaan Besar Amerika Serikat, nilai saya hanya 58. Padahal untuk bisa lulus harus minimal, kalau tak salah ingat, 76. Di antara yang mampu mencapai angka lulus itu adalah Rene L. Pattiradjawane, lulusan Sastra Cina FSUI, dan kini redaktur senior di Harian Kompas.
Proses penguasaan saya untuk bahasa negerinya Putri Diana itu berlangsung asal-asalan. Sejak kecil hingga kini. Tetap saja asal-asalan. Termasuk setahun terakhir ini ketika saya membaca-baca email atau mendengar obrolan via telepon dengan Niz, my sweet heart yang tinggal di London.
Like father, like son. Belajar bahasa adalah masalah kebiasaan, kata Niz, suatu waktu. Konon ia sendiri saat tiba di Inggris lebih dari 20 tahun lalu, belajar berbahasa Inggrisnya dari anak-anak atau kaum manula saat bekerja sebagai carer, pengasuh mereka.
Bahasa Inggris menarik saya ketika saya masih duduk di klas lima SD Negeri 3 Wonogiri, 1965. Saya tidak tahu untuk tujuan apa, tetapi saat itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, yang seorang TNI Angkatan Darat, di rumah sering mengucapkan kata dan kalimat dalam bahasa Inggris. Saat itu ia bertugas di Kodim 0734 Yogyakarta. Saya punya ayah hanya setiap hari Sabtu dan Minggu. Beliau rupanya mengambil kursus bahasa Inggris di Yogyakarta dan ketika ia belajar di rumah, saya ikut mendampingi dan mendengarkan, sehingga terimbas secara alamiah.
Tahun lalu, Mas Bambang Setiawan (BS), warga Wonogiri yang lama tinggal di Jakarta, kakak dari Sri Wahyuni (teman seangkatanku di SMP Negeri 1 Wonogiri), bercerita lewat email tentang ayah saya. Mas BS bisa saling mengenal dengan diri saya gara-gara saya memiliki blog di Internet. Ketika di masa kanak-kanak, kami justru tidak saling mengenal.
Yang saya tahu kemudian, adiknya Sri Wahyuni adalah putri dari Wakil Kapolres Wonogiri saat itu. Rumah dinasnya di tepi jalan raya, depan warung menco. Kemudian saya tahu ternyata ibunya Mas BS itu, Ibu Sudarmo, telah pula mengenal ibu saya. “Bu Kastanto itu priyayi-nya tinggi besar,” kenang Ibu Sudarmo. Sebagai istri polisi rupanya beliau akrab pula dengan kalangan istri tentara di Wonogiri.
Mas BS sekarang merupakan salah satu dedengkot :-) paguyuban warga Wonogiri yang tinggal di Jakarta. Kantornya di Graha Irama Building, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta. Di antara warga paguyuban wong Wonogiri itu, begitu ceritanya, antara lain mBak Ari Selopadi. Kalau tidak salah ingat, mBak Ari yang cantik dan tinggi semampai itu, yang pernah menjadi Putri Jawa Tengah, adalah juga alumnus sekolah dasarku, SD Negeri 3 Wonogiri. Termasuk semua adiknya, Minda, Iwan sampai Jajit.
Warga paguyuban lainnya adalah Mas Handrio, putra Pak Pangat, yang jarak rumahnya sekitar 150 m dari rumahku. Menurut Mas Handrio, seperti ditirukan oleh Mas BS, bahwa ia mengenal ayahku sebagai “lancar berbahasa Inggris.” Maka di emailnya pada saat-saat awal kenal, Mas BS membom diriku dengan perkataan : like father, like son.”
Selain belajar bahasa Inggris, beberapa waktu sebelumnya ayahku bercerita bahwa dirinya juga mempelajari bahasa Rusia. Kalau tak salah ingat, beliau bercerita akan ikut tes agar bisa lolos diikutkan menempuh tugas belajar di negeri asal Nikita Khrushchev, Mikhail Baryshnikov sampai Mikhail Sergeevich Gorbachev itu.
Dari buku-buku peninggalannya yang masijh utuh, antara lain dalam Buku Bahasa Rusia : Kursus Permulaan (Moskou, 1959), ia tulis dibeli seharga Rp. 50,00 tanggal 4 Desember 1961. Tercatat ayah mulai belajar 5 Desember 1961, Jam 17.30. Saat itu saya berumur 8 tahun. Dasar anak-anak, dari buku tersebut saya terpancing untuk ikut belajar bahasa Rusia pula.
Ketika SMP, saat dilanda cinta monyet, saya pernah menulis surat cinta berbahasa Indonesia tetapi dengan huruf abjad Rusia. Nasib surat itu mencocoki isi lirik lagu lama, Night of White Satin-nya Moody Blues : “letters I've written, never meaning to send. Surat-surat yang aku tulis tidak pernah dimaksudkan untuk dikirimkan. Kalau pun saya kirimkan, siapa yang mampu menjamin sang jantung hati akan memahami isinya ?
Tahun 1980 ketika berkuliah di FSUI saya berteman dengan Arlima “Ipit” Mulyono, adik pelawak Warkop Prambors, Nanu Mulyono. Ipit pernah berkuliah di Sastra Rusia. Ketika saya mencoba mengobrol dengan satu dua patah kata Rusia, Ipit mengira saya pernah ikut kursus Bahasa Rusia, Jl. Diponegoro, Jakarta.
Memvonis Raja Gerobak. Belajar bahasa Inggris secara tidak langsung lumayan menggebu di tahun 1977-1979. Saat itu saya menghuni sanggar seni rupa yang kami sebut sebagai Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Kehidupan semi bohemian di sanggar itu membuat saya berinteraksi dengan pelbagai aktivis kesenian Solo lainnya.
Di Luar Arena Scrabble. Aktivitas kesenian di Sanggar Mandungan beragam. Antara lain pementasan musik dan pembacaan puisi. Dalam foto tergambar aktivitas latihan untuk pementasan Malam Puisi 1977. Ki-ka : Murtidjono, Marsudi (membelakangi kamera), Tatah, Harsoyo dan Efix Mulyadi.
Aktivis tersebut antara lain HB Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara, ketiganya adalah pengajar di Jurusan Seni Rupa UNS Sebelas Maret. Ada pula Murtidjono atau Eyang Murti, sebutan gaulnya, yang saat itu baru lulus dari Fakultas Filsafat UGM. Dia lagi kesengsem sama Koes Murtiyah alias Gusti Mung dari Kraton Solo, yang saat itu masih duduk di SMAN 4 Solo.
Kalau aku sih lebih menyukai adiknya, Koes Indriyah. Juga diam-diam menyukai Kenil, putri Pak Panji Mloyosuman, pelajar SMA Ursulin, yang bermurah hati menebarkan senyum penuh pesona dan lambaian tangan ketika setiap kali melintas di depan Mandungan.
Pengunjung setia sanggar lainnya adalah Didik “Fernando” Marsudi almarhum. Ia pegawai Pemkot Solo, aktivis teater dan kemudian dikenal sebagai seniman ketoprak Solo, Harsoyo Rajiyowiryono, mahasiswa Sastra Jawa UNS Sebelas Maret dan kini bekerja di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo dan juga Broto, pemuda dompu asal Laweyan, sohib-nya Eyang Murti, yang saat itu sepertinya tak selesai-selesai kuliahnya di FE UGM.
Nama-nama di atas adalah musuh-musuh utama saya dalam bermain scrabble. Papan permainan ini saya beli tanggal 6 Juni 1979. Pada boksnya tertulis : Manufactured by J.W. Spear & Sons, Ltd., Enfield, Middlesex, England. Sebelumnya saya membeli yang buatan dalam negeri, tetapi kurang memuaskan. Ibarat pembagian liga dalam kancah sepakbola, maka di Gallery Mandungan sering berlangsung permainan scrabble dalam dua arena : para pemain divisi utama menggunakan papan buatan Inggris dan divisi kedua menggunakan papan scrabble buatan dalam negeri. :-)
Selain sebagai pemain, saya sendiri didaulat sebagai pencatat kata mau pun skor. Juga penghakim karena saya yang memiliki kamus dan sekaligus sebagai motor pengejek bagi pemain lain yang kosa katanya terbatas. Mereka yang sering berulang memunculkan kata “VAN” mendapat vonis ramai-ramai dengan sebutan Raja Gerobak.
Arena permainan kadang tidak hanya di Mandungan, tetapi berpindah ke Baturan, rumah Pak Topo yang berada di kompleks perumahan dosen UNS. Atau berekspansi ke Laweyan, rumahnya Broto, atau rumah Marsudi, di Kauman.
Permainan scrabble ini begitu mencandu, membuat hidup kami seolah terbalik. Siang hari dijadikan untuk tidur dan malam hari digunakan untuk melek, bertarung meramu huruf menjadi kata yang bermakna, sekaligus menggabungkan unsur penguasaan terhadap kosa kata dengan kalkulasi demi meraih nilai tertinggi dipadu strategi membunuh peluang lawan. Sebagai pencandu scrabble dan pelintas batas malam, kami pun mengeluarkan kata-kata mutiara : “Cara terampuh untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur.”
Imbauan Menawan Dari Michigan. Sekarang ini kabar tentang teman-teman bermain scrabble di atas, kadangkala saya ketahui dari surat kabar. Sejak tahun 1980 saya meninggalkan Solo untuk berkuliah di Jakarta dan tahun-tahun sesudahnya membuat saya seperti terbuang sekaligus terputus dari seluk-beluk atmosfir sampai kiprah dunia kesenian. Seperti saya katakan via email kepada Tinuk R. Yampolsky di New Haven, Connecticut, AS, karena teman-teman sesama aktivis kesenian Solo nampak belum akrab dengan Internet, antara lain telah membuat kami yang secara geografis dekat justru sulit saling bertemu di dunia maya.
Tahun 1987 saya pernah menulis surat pembaca di Majalah Tempo (7/2/1987). Isinya menawarkan Buletin InfoSeksi, yaitu jasa informasi mutakhir kepada klien berupa puluhan daftar isi majalah-majalah ilmiah luar negeri. Saya saat itu sedang merintis bisnis sebagai broker informasi. Secara mengejutkan, alamat saya di majalah itu telah mengakibatkan saya mendapatkan surat dari Pak Topo. Dari Michigan, Colorado, Amerika Serikat. Beliau menceritakan berita gembira, bahwa dirinya telah meraih dua gelar master dan kini meraih gelar Ph.D.
Ia pun mengompori diri saya untuk tergerak pula menempuh pendidikan lanjutan di manca negara. Nasehat hebat. Tetapi karena kebacut putus asa dengan nilai TOEFL saya yang rendah itu, sehingga membuat peluang saya untuk memperoleh beasiswa Fulbright ke AS praktis tertutup karena melewati batas umur, saya mencoba menghibur diri dengan membalas : mungkin diri saya masih ada peluang untuk belajar ke Inggris. Ternyata, sampai sekarang pun impian belajar ke Inggris itu masih pula hanya sebatas sebagai impian belaka.
Pensiunan : Untapped Resources. Informasi lanjutan tentang Pak Topo saya ikuti dari surat kabar, antara lain ketika beliau diangkat sebagai guru besar di UNS Sebelas Maret. Saya lupa tahunnya. Adik saya yang terkecil, Basnendar Heriprilosadoso, masih sempat menjadi mahasiswa dari Prof. HB Sutopo tersebut.
Berita mutakhir, koran Solopos minggu lalu (13/1/2007) mewartakan bahwa Pak Topo telah memasuki masa pensiun sejak November 2006. "”Sudah tua begini, enaknya istirahat saja,” ujar pria setengah baya yang pernah menekuni dunia seni lukis itu seperti dikutip oleh Solopos.
Sementara itu koran Suara Merdeka, minggu lalu pula, mewartakan Murtidjono akan pensiun sebagai PNS bulan Juni 2007, dan berarti pula pensiun dari jabatannya yang lebih dari dua puluhan tahun. sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo itu.
Saya merasa lucu, juga rada aneh, membaca kabar-kabar di atas untuk memergoki fakta betapa sesama teman sepermainan scrabble di akhir tahun 70-an kini telah memasuki masa pensiunnya. Mungkin bila pekerjaan boleh diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka pak Topo dan Eyang Murti boleh disebut mereka tidak akan bermain lagi. Tetapi bila karier yang diibaratkan sebagai permainan scrabble, masa pensiun bukanlah batas akhir untuk melanjutkan karier mereka. Karena pekerjaan memang miliknya perusahaan, sedang karier adalah milik setiap pribadi.
Di koran tersebut diberitakan, Pak Topo masih memiliki kesibukan sebagai konsultan di Yayasan Indonesia Sejahtera. Juga tetap mengajar di kampus. Eyang Murti konon akan membantu istrinya dalam mengelola perusahaan keluarga, Sadinoe Songkopamilih. Nama ini aku dengar dari ayah sebagai perusahaan terpandang di Solo yang menyediakan peralatan tanda pangkat, seragam sampai sepatu militer.
Pak Topo dan Eyang Murti, masih sehat dan produktif. Demikian pula banyak kaum pensiunan yang lain. Nabi media digital Nicholas Negroponte dari MIT, menyebut kaum pensiunan itu sebagai untapped resources, harta karun yang terbengkalai dan belum dibudi dayakan secara maksimal. Saya telah menyuarakan keprihatinan itu dalam surat pembaca, sekitar dua tahun yang lalu :
Masa Pensiun, Masa Loyo ?
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Rabu, 17 November 2004
Setiap kali penerimaan pelajar atau mahasiswa baru, mirip sebuah ritual, mereka harus menjalani masa orientasi. Bagaimana mereka yang akan pensiun ? Apakah mereka juga memperoleh bimbingan dan orientasi dari para seniornya ? Pertanyaan itu muncul ketika Kompas (10/9/2004) mewartakan tahun 2004-2009 terdapat 590.000 pegawai negeri sipil, terbanyak guru, yang pensiun.
Jumlah yang sangat besar. Hemat saya, sangat disayangkan bila ratusan ribu kaum terdidik yang selama ini terbiasa melakukan olah intelektual, bila tanpa bimbingan dan orientasi, akan membuat sumber daya intelektual mereka jadi muspro, sia-sia, di masa pensiunnya.
Dr. Mary Furlong, pakar Internet AS yang menaruh perhatian kepada kaum lansia, menemukan istilah bahasa Perancis, troisieme age, usia ketiga, untuk sebutan periode kehidupan saat seseorang bebas melakukan apa yang ia inginkan.
Periode Usia Pertama, seseorang berkembang sebagai pribadi. Periode Usia Kedua, mengejar karier dan membentuk keluarga. Di Usia Ketiga, usia pensiun, dirinya menjadi miliknya sendiri. Berbeda dari anggapan bahwa masa pensiun adalah saat dirinya tidak lagi dibutuhkan, lalu menjadi apatis dan loyo, sebenarnya masa pensiun merupakan waktu terbaik untuk mengembangkan kreativitas, terus belajar dan terus bereksplorasi.
Bapak Soeroyo (80 tahun), asal Solo, mungkin dapat dijadikan salah satu contoh. Bangga sebagai epistoholik, sejak pensiun dari PNS tahun 1981 beliau mengisi hari-hari kreatifnya di usia sepuh dan sehat itu dengan terus mengamuk (dalam tanda kutip), menulis surat-surat pembaca.
Resepnya, banyak membaca, memperhatikan siaran radio, juga televisi. Bila ada hal-hal yang tidak laras dengan pikiran beliau, segera ia angkat pena. Tulisannya yang arif dan semangatnya yang tinggi menjadi ilham para yunior dalam komunitas Epistoholik Indonesia
Beliau juga rajin menggalang silaturahmi dalam wadah PWRI. Banyak humor. Bahkan punya slogan yang pantas dicamkan oleh sesama pensiunan dan mereka yang akan pensiun. Slogannya TOPP : Tua, Optimis, Prima dan Produktif. Beda dengan TOPP di jaman Orde Baru yang berarti Tua, Ompong, Peot dan Pikun.
Fenomena di AS tentang kaum lansia yang tetap aktif dan terus belajar ditunjukkan dengan data bahwa pengguna Internet yang terbanyak justru berasal dari kelompok demografis usia 50-an ke atas. Alias kaum usia ketiga, para pensiunan !
BAMBANG HARYANTO
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612
Bagaimana diri saya sendiri ? Bila menurut peraturan pegawai negeri sipil, saya akan pula pensiun satu-dua tahun mendatang. Tetapi saya bukan seorang pegawai negeri. Sehingga apabila pekerjaan dan karier diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka saya masih tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan orang lain untuk memainkannya.
Bahkan secara konkrit, saya pun masih memainkannya. Walau memang tidak bisa ramai-ramai lagi. Juga tidak pula harus setiap malam. Juga bukan lagi menggunakan papan scrabble buatan J.W. Spear & Sons, tetapi memanfaatkan peranti lunak permainan scrabble buatan Infogrames di komputer.
Dalam hidup kita memang saling memandang. Tetapi, there is only one success – to be able to spend your life in your own way. Hanya ada satu keberhasilan, yaitu menuntaskan waktu hidup Anda untuk menyusuri kehidupan yang telah Anda pilih sendiri. Ucapan penulis Amerika Christopher Morley (1890–1957) di atas kiranya pantas menjadi panduan kita semua. Terutama untuk diri saya pribadi yang selama ini memang tidak pernah menerjuni pekerjaan dan karier sebagai pegawai.
Ketika teman-teman sepermainan scrabble berangkat memasuki pensiun, seperti tergurat dalam lirik lagunya Carpenters yang saya sukai, We've Only Just Begun, mungkin hidup saya dalam beberapa hal justru baru akan dimulai. Lagu indah dan ucapan Morley di atas mampu membuat senyum kecil ketika di Wonogiri ini saya membaca email Niz yang mutakhir. Isinya setengah merajuk, sekaligus mengajukan pertanyaan : kapan mas mendampingi hidup saya di London ?
Wonogiri, 16 Januari 2007
cty
Email : humorliner@yahoo.com
Resep Sehat Voice of America. Penguasaan dua bahasa, bilingual, berpotensi memperlambat seseorang dari ancaman kepikunan. Informasi kesehatan menarik itu saya dengar dari radio Voice of Amerika (VoA) Siaran Indonesia, 15/1/2007. Penggunaan dua bahasa secara aktif diwartakan memacu otak penggunanya menjadi lebih “cemerlang” dan “tahan lama” dibanding otak mereka para pengguna satu bahasa saja.
Kabar ini, sekali lagi, nampaknya semakin mengukuhkan pendapat use it or lose it, gunakan atau kehilangan, baik yang menyangkut otak mau pun otot Anda. Kiranya kita dapat bercermin dari pendapat Alfred Eisenstaedt (1898–1995), fotografer dan jurnalis kenamaan Amerika kelahiran Jerman. Seperti telah dikutip edisi elektronik majalah Life 24 Agustus 1995 (“tepat saya berumur 42 tahun”) ia telah berujar, ”although I am 92, my brain is 30 years old.” Walau saya berusia 92 tahun, tetapi otak saya berusia 30 tahun.
Umur saya kini menjelang 54 tahun. Juga sudah terasa mulai dihinggapi “penyakit” mudah lupa. Pernah saya ke warnet, sesudah berjalan kaki sekitar 2 km, harus kecewa karena disket yang berisi tulisan untuk di-upload ke blog-blog saya dan materi untuk membalas email, lupa tidak saya bawa.
Sehari-hari saya yang terlibat dalam pemakaian tiga bahasa, Jawa, Indonesia dan Inggris, tetapi ketika bercermin diri saya sungguh tidak tahu pasti sejauh mana tesis informasi dari VoA di atas berlaku untuk diri saya. Dari ketiga bahasa itu, pastilah bahasa Inggris yang paling minimal saya kuasai. Maklum.
Tahun 1986 pernah ikut tes TOEFL di Kedutaan Besar Amerika Serikat, nilai saya hanya 58. Padahal untuk bisa lulus harus minimal, kalau tak salah ingat, 76. Di antara yang mampu mencapai angka lulus itu adalah Rene L. Pattiradjawane, lulusan Sastra Cina FSUI, dan kini redaktur senior di Harian Kompas.
Proses penguasaan saya untuk bahasa negerinya Putri Diana itu berlangsung asal-asalan. Sejak kecil hingga kini. Tetap saja asal-asalan. Termasuk setahun terakhir ini ketika saya membaca-baca email atau mendengar obrolan via telepon dengan Niz, my sweet heart yang tinggal di London.
Like father, like son. Belajar bahasa adalah masalah kebiasaan, kata Niz, suatu waktu. Konon ia sendiri saat tiba di Inggris lebih dari 20 tahun lalu, belajar berbahasa Inggrisnya dari anak-anak atau kaum manula saat bekerja sebagai carer, pengasuh mereka.
Bahasa Inggris menarik saya ketika saya masih duduk di klas lima SD Negeri 3 Wonogiri, 1965. Saya tidak tahu untuk tujuan apa, tetapi saat itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, yang seorang TNI Angkatan Darat, di rumah sering mengucapkan kata dan kalimat dalam bahasa Inggris. Saat itu ia bertugas di Kodim 0734 Yogyakarta. Saya punya ayah hanya setiap hari Sabtu dan Minggu. Beliau rupanya mengambil kursus bahasa Inggris di Yogyakarta dan ketika ia belajar di rumah, saya ikut mendampingi dan mendengarkan, sehingga terimbas secara alamiah.
Tahun lalu, Mas Bambang Setiawan (BS), warga Wonogiri yang lama tinggal di Jakarta, kakak dari Sri Wahyuni (teman seangkatanku di SMP Negeri 1 Wonogiri), bercerita lewat email tentang ayah saya. Mas BS bisa saling mengenal dengan diri saya gara-gara saya memiliki blog di Internet. Ketika di masa kanak-kanak, kami justru tidak saling mengenal.
Yang saya tahu kemudian, adiknya Sri Wahyuni adalah putri dari Wakil Kapolres Wonogiri saat itu. Rumah dinasnya di tepi jalan raya, depan warung menco. Kemudian saya tahu ternyata ibunya Mas BS itu, Ibu Sudarmo, telah pula mengenal ibu saya. “Bu Kastanto itu priyayi-nya tinggi besar,” kenang Ibu Sudarmo. Sebagai istri polisi rupanya beliau akrab pula dengan kalangan istri tentara di Wonogiri.
Mas BS sekarang merupakan salah satu dedengkot :-) paguyuban warga Wonogiri yang tinggal di Jakarta. Kantornya di Graha Irama Building, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta. Di antara warga paguyuban wong Wonogiri itu, begitu ceritanya, antara lain mBak Ari Selopadi. Kalau tidak salah ingat, mBak Ari yang cantik dan tinggi semampai itu, yang pernah menjadi Putri Jawa Tengah, adalah juga alumnus sekolah dasarku, SD Negeri 3 Wonogiri. Termasuk semua adiknya, Minda, Iwan sampai Jajit.
Warga paguyuban lainnya adalah Mas Handrio, putra Pak Pangat, yang jarak rumahnya sekitar 150 m dari rumahku. Menurut Mas Handrio, seperti ditirukan oleh Mas BS, bahwa ia mengenal ayahku sebagai “lancar berbahasa Inggris.” Maka di emailnya pada saat-saat awal kenal, Mas BS membom diriku dengan perkataan : like father, like son.”
Selain belajar bahasa Inggris, beberapa waktu sebelumnya ayahku bercerita bahwa dirinya juga mempelajari bahasa Rusia. Kalau tak salah ingat, beliau bercerita akan ikut tes agar bisa lolos diikutkan menempuh tugas belajar di negeri asal Nikita Khrushchev, Mikhail Baryshnikov sampai Mikhail Sergeevich Gorbachev itu.
Dari buku-buku peninggalannya yang masijh utuh, antara lain dalam Buku Bahasa Rusia : Kursus Permulaan (Moskou, 1959), ia tulis dibeli seharga Rp. 50,00 tanggal 4 Desember 1961. Tercatat ayah mulai belajar 5 Desember 1961, Jam 17.30. Saat itu saya berumur 8 tahun. Dasar anak-anak, dari buku tersebut saya terpancing untuk ikut belajar bahasa Rusia pula.
Ketika SMP, saat dilanda cinta monyet, saya pernah menulis surat cinta berbahasa Indonesia tetapi dengan huruf abjad Rusia. Nasib surat itu mencocoki isi lirik lagu lama, Night of White Satin-nya Moody Blues : “letters I've written, never meaning to send. Surat-surat yang aku tulis tidak pernah dimaksudkan untuk dikirimkan. Kalau pun saya kirimkan, siapa yang mampu menjamin sang jantung hati akan memahami isinya ?
Tahun 1980 ketika berkuliah di FSUI saya berteman dengan Arlima “Ipit” Mulyono, adik pelawak Warkop Prambors, Nanu Mulyono. Ipit pernah berkuliah di Sastra Rusia. Ketika saya mencoba mengobrol dengan satu dua patah kata Rusia, Ipit mengira saya pernah ikut kursus Bahasa Rusia, Jl. Diponegoro, Jakarta.
Memvonis Raja Gerobak. Belajar bahasa Inggris secara tidak langsung lumayan menggebu di tahun 1977-1979. Saat itu saya menghuni sanggar seni rupa yang kami sebut sebagai Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Kehidupan semi bohemian di sanggar itu membuat saya berinteraksi dengan pelbagai aktivis kesenian Solo lainnya.
Di Luar Arena Scrabble. Aktivitas kesenian di Sanggar Mandungan beragam. Antara lain pementasan musik dan pembacaan puisi. Dalam foto tergambar aktivitas latihan untuk pementasan Malam Puisi 1977. Ki-ka : Murtidjono, Marsudi (membelakangi kamera), Tatah, Harsoyo dan Efix Mulyadi.
Aktivis tersebut antara lain HB Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara, ketiganya adalah pengajar di Jurusan Seni Rupa UNS Sebelas Maret. Ada pula Murtidjono atau Eyang Murti, sebutan gaulnya, yang saat itu baru lulus dari Fakultas Filsafat UGM. Dia lagi kesengsem sama Koes Murtiyah alias Gusti Mung dari Kraton Solo, yang saat itu masih duduk di SMAN 4 Solo.
Kalau aku sih lebih menyukai adiknya, Koes Indriyah. Juga diam-diam menyukai Kenil, putri Pak Panji Mloyosuman, pelajar SMA Ursulin, yang bermurah hati menebarkan senyum penuh pesona dan lambaian tangan ketika setiap kali melintas di depan Mandungan.
Pengunjung setia sanggar lainnya adalah Didik “Fernando” Marsudi almarhum. Ia pegawai Pemkot Solo, aktivis teater dan kemudian dikenal sebagai seniman ketoprak Solo, Harsoyo Rajiyowiryono, mahasiswa Sastra Jawa UNS Sebelas Maret dan kini bekerja di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo dan juga Broto, pemuda dompu asal Laweyan, sohib-nya Eyang Murti, yang saat itu sepertinya tak selesai-selesai kuliahnya di FE UGM.
Nama-nama di atas adalah musuh-musuh utama saya dalam bermain scrabble. Papan permainan ini saya beli tanggal 6 Juni 1979. Pada boksnya tertulis : Manufactured by J.W. Spear & Sons, Ltd., Enfield, Middlesex, England. Sebelumnya saya membeli yang buatan dalam negeri, tetapi kurang memuaskan. Ibarat pembagian liga dalam kancah sepakbola, maka di Gallery Mandungan sering berlangsung permainan scrabble dalam dua arena : para pemain divisi utama menggunakan papan buatan Inggris dan divisi kedua menggunakan papan scrabble buatan dalam negeri. :-)
Selain sebagai pemain, saya sendiri didaulat sebagai pencatat kata mau pun skor. Juga penghakim karena saya yang memiliki kamus dan sekaligus sebagai motor pengejek bagi pemain lain yang kosa katanya terbatas. Mereka yang sering berulang memunculkan kata “VAN” mendapat vonis ramai-ramai dengan sebutan Raja Gerobak.
Arena permainan kadang tidak hanya di Mandungan, tetapi berpindah ke Baturan, rumah Pak Topo yang berada di kompleks perumahan dosen UNS. Atau berekspansi ke Laweyan, rumahnya Broto, atau rumah Marsudi, di Kauman.
Permainan scrabble ini begitu mencandu, membuat hidup kami seolah terbalik. Siang hari dijadikan untuk tidur dan malam hari digunakan untuk melek, bertarung meramu huruf menjadi kata yang bermakna, sekaligus menggabungkan unsur penguasaan terhadap kosa kata dengan kalkulasi demi meraih nilai tertinggi dipadu strategi membunuh peluang lawan. Sebagai pencandu scrabble dan pelintas batas malam, kami pun mengeluarkan kata-kata mutiara : “Cara terampuh untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur.”
Imbauan Menawan Dari Michigan. Sekarang ini kabar tentang teman-teman bermain scrabble di atas, kadangkala saya ketahui dari surat kabar. Sejak tahun 1980 saya meninggalkan Solo untuk berkuliah di Jakarta dan tahun-tahun sesudahnya membuat saya seperti terbuang sekaligus terputus dari seluk-beluk atmosfir sampai kiprah dunia kesenian. Seperti saya katakan via email kepada Tinuk R. Yampolsky di New Haven, Connecticut, AS, karena teman-teman sesama aktivis kesenian Solo nampak belum akrab dengan Internet, antara lain telah membuat kami yang secara geografis dekat justru sulit saling bertemu di dunia maya.
Tahun 1987 saya pernah menulis surat pembaca di Majalah Tempo (7/2/1987). Isinya menawarkan Buletin InfoSeksi, yaitu jasa informasi mutakhir kepada klien berupa puluhan daftar isi majalah-majalah ilmiah luar negeri. Saya saat itu sedang merintis bisnis sebagai broker informasi. Secara mengejutkan, alamat saya di majalah itu telah mengakibatkan saya mendapatkan surat dari Pak Topo. Dari Michigan, Colorado, Amerika Serikat. Beliau menceritakan berita gembira, bahwa dirinya telah meraih dua gelar master dan kini meraih gelar Ph.D.
Ia pun mengompori diri saya untuk tergerak pula menempuh pendidikan lanjutan di manca negara. Nasehat hebat. Tetapi karena kebacut putus asa dengan nilai TOEFL saya yang rendah itu, sehingga membuat peluang saya untuk memperoleh beasiswa Fulbright ke AS praktis tertutup karena melewati batas umur, saya mencoba menghibur diri dengan membalas : mungkin diri saya masih ada peluang untuk belajar ke Inggris. Ternyata, sampai sekarang pun impian belajar ke Inggris itu masih pula hanya sebatas sebagai impian belaka.
Pensiunan : Untapped Resources. Informasi lanjutan tentang Pak Topo saya ikuti dari surat kabar, antara lain ketika beliau diangkat sebagai guru besar di UNS Sebelas Maret. Saya lupa tahunnya. Adik saya yang terkecil, Basnendar Heriprilosadoso, masih sempat menjadi mahasiswa dari Prof. HB Sutopo tersebut.
Berita mutakhir, koran Solopos minggu lalu (13/1/2007) mewartakan bahwa Pak Topo telah memasuki masa pensiun sejak November 2006. "”Sudah tua begini, enaknya istirahat saja,” ujar pria setengah baya yang pernah menekuni dunia seni lukis itu seperti dikutip oleh Solopos.
Sementara itu koran Suara Merdeka, minggu lalu pula, mewartakan Murtidjono akan pensiun sebagai PNS bulan Juni 2007, dan berarti pula pensiun dari jabatannya yang lebih dari dua puluhan tahun. sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo itu.
Saya merasa lucu, juga rada aneh, membaca kabar-kabar di atas untuk memergoki fakta betapa sesama teman sepermainan scrabble di akhir tahun 70-an kini telah memasuki masa pensiunnya. Mungkin bila pekerjaan boleh diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka pak Topo dan Eyang Murti boleh disebut mereka tidak akan bermain lagi. Tetapi bila karier yang diibaratkan sebagai permainan scrabble, masa pensiun bukanlah batas akhir untuk melanjutkan karier mereka. Karena pekerjaan memang miliknya perusahaan, sedang karier adalah milik setiap pribadi.
Di koran tersebut diberitakan, Pak Topo masih memiliki kesibukan sebagai konsultan di Yayasan Indonesia Sejahtera. Juga tetap mengajar di kampus. Eyang Murti konon akan membantu istrinya dalam mengelola perusahaan keluarga, Sadinoe Songkopamilih. Nama ini aku dengar dari ayah sebagai perusahaan terpandang di Solo yang menyediakan peralatan tanda pangkat, seragam sampai sepatu militer.
Pak Topo dan Eyang Murti, masih sehat dan produktif. Demikian pula banyak kaum pensiunan yang lain. Nabi media digital Nicholas Negroponte dari MIT, menyebut kaum pensiunan itu sebagai untapped resources, harta karun yang terbengkalai dan belum dibudi dayakan secara maksimal. Saya telah menyuarakan keprihatinan itu dalam surat pembaca, sekitar dua tahun yang lalu :
Masa Pensiun, Masa Loyo ?
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Rabu, 17 November 2004
Setiap kali penerimaan pelajar atau mahasiswa baru, mirip sebuah ritual, mereka harus menjalani masa orientasi. Bagaimana mereka yang akan pensiun ? Apakah mereka juga memperoleh bimbingan dan orientasi dari para seniornya ? Pertanyaan itu muncul ketika Kompas (10/9/2004) mewartakan tahun 2004-2009 terdapat 590.000 pegawai negeri sipil, terbanyak guru, yang pensiun.
Jumlah yang sangat besar. Hemat saya, sangat disayangkan bila ratusan ribu kaum terdidik yang selama ini terbiasa melakukan olah intelektual, bila tanpa bimbingan dan orientasi, akan membuat sumber daya intelektual mereka jadi muspro, sia-sia, di masa pensiunnya.
Dr. Mary Furlong, pakar Internet AS yang menaruh perhatian kepada kaum lansia, menemukan istilah bahasa Perancis, troisieme age, usia ketiga, untuk sebutan periode kehidupan saat seseorang bebas melakukan apa yang ia inginkan.
Periode Usia Pertama, seseorang berkembang sebagai pribadi. Periode Usia Kedua, mengejar karier dan membentuk keluarga. Di Usia Ketiga, usia pensiun, dirinya menjadi miliknya sendiri. Berbeda dari anggapan bahwa masa pensiun adalah saat dirinya tidak lagi dibutuhkan, lalu menjadi apatis dan loyo, sebenarnya masa pensiun merupakan waktu terbaik untuk mengembangkan kreativitas, terus belajar dan terus bereksplorasi.
Bapak Soeroyo (80 tahun), asal Solo, mungkin dapat dijadikan salah satu contoh. Bangga sebagai epistoholik, sejak pensiun dari PNS tahun 1981 beliau mengisi hari-hari kreatifnya di usia sepuh dan sehat itu dengan terus mengamuk (dalam tanda kutip), menulis surat-surat pembaca.
Resepnya, banyak membaca, memperhatikan siaran radio, juga televisi. Bila ada hal-hal yang tidak laras dengan pikiran beliau, segera ia angkat pena. Tulisannya yang arif dan semangatnya yang tinggi menjadi ilham para yunior dalam komunitas Epistoholik Indonesia
Beliau juga rajin menggalang silaturahmi dalam wadah PWRI. Banyak humor. Bahkan punya slogan yang pantas dicamkan oleh sesama pensiunan dan mereka yang akan pensiun. Slogannya TOPP : Tua, Optimis, Prima dan Produktif. Beda dengan TOPP di jaman Orde Baru yang berarti Tua, Ompong, Peot dan Pikun.
Fenomena di AS tentang kaum lansia yang tetap aktif dan terus belajar ditunjukkan dengan data bahwa pengguna Internet yang terbanyak justru berasal dari kelompok demografis usia 50-an ke atas. Alias kaum usia ketiga, para pensiunan !
BAMBANG HARYANTO
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612
Bagaimana diri saya sendiri ? Bila menurut peraturan pegawai negeri sipil, saya akan pula pensiun satu-dua tahun mendatang. Tetapi saya bukan seorang pegawai negeri. Sehingga apabila pekerjaan dan karier diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka saya masih tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan orang lain untuk memainkannya.
Bahkan secara konkrit, saya pun masih memainkannya. Walau memang tidak bisa ramai-ramai lagi. Juga tidak pula harus setiap malam. Juga bukan lagi menggunakan papan scrabble buatan J.W. Spear & Sons, tetapi memanfaatkan peranti lunak permainan scrabble buatan Infogrames di komputer.
Dalam hidup kita memang saling memandang. Tetapi, there is only one success – to be able to spend your life in your own way. Hanya ada satu keberhasilan, yaitu menuntaskan waktu hidup Anda untuk menyusuri kehidupan yang telah Anda pilih sendiri. Ucapan penulis Amerika Christopher Morley (1890–1957) di atas kiranya pantas menjadi panduan kita semua. Terutama untuk diri saya pribadi yang selama ini memang tidak pernah menerjuni pekerjaan dan karier sebagai pegawai.
Ketika teman-teman sepermainan scrabble berangkat memasuki pensiun, seperti tergurat dalam lirik lagunya Carpenters yang saya sukai, We've Only Just Begun, mungkin hidup saya dalam beberapa hal justru baru akan dimulai. Lagu indah dan ucapan Morley di atas mampu membuat senyum kecil ketika di Wonogiri ini saya membaca email Niz yang mutakhir. Isinya setengah merajuk, sekaligus mengajukan pertanyaan : kapan mas mendampingi hidup saya di London ?
Wonogiri, 16 Januari 2007
cty
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment