Sunday, July 02, 2006
Send Me An Angel, Mawar Bromley dan Mimpi Jerman Juara Dunia 2006
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Wise man said just find your place
In the eye of the storm
Seek the rose along the way
Just beware of the thorns
(Scorpions, “Send Me An Angel”)
Jembatan Budaya Antarbangsa. “Sepakbola merupakan salah satu aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia,” demikian pendapat Nelson Mandela. Di tengah mabuk dan demam Piala Dunia 2006 saat ini, pendapat pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan yang sering berpakaian batik itu tentu tak bisa dipungkiri kebenarannya.
Juga bagi diri saya pribadi.
Saya yang tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia, seperti mudah terkait dengan isi pikiran seorang Klaus Meine, seseorang yang tinggal di Jerman sana. Ia berkata mula-mula bahwa musik rock ‘n’ roll dan sepakbola berjalan bergandengan tangan.
“Sepakbola dan musik mampu mengubah dunia sebagaimana yang terjadi di Jerman saat ini. Seluruh negeri terbius dalam suasana pesta dan perayaan untuk penggemar sepakbola di seluruh dunia. Perasaan yang sungguh-sungguh fantastis. Hanya sepakbola dan musik yang mampu menjembatani beragam negara dan beragam budaya karena keduanya merupakan bahasa yang bersifat universal,” tutur Klaus Meine.
Klaus Meine adalah vokalis kelompok musik legendaris Jerman, Scorpions. Ketika menelusuri situs resmi Piala Dunia 2006, saya seperti terlempar kembali ke tahun 1974 ketika membaca cerita tentang dirinya dan Piala Dunia. Saat ditodong pertanyaan sejak kapan ia pertama kali menonton helat Piala Dunia, Klaus Meine menjawabnya : Tahun 1974. Ia dan kelompoknya yang menelurkan monster hit lagu “Wind of Change” (1991) kemudian mengenang pertandingan final Piala Dunia 1974 saat Jerman bertemu Belanda yang ia saksikan melalui televisi.
“Piala Dunia 1974 sangat penting maknanya bagi generasi saya dan telah mengabadikan sosok-sosok pesepakbola besar di jamannya. Tentu saja Franz Beckenbauer, tetapi juga pemain besar lainnya seperti Gerd Müller, Paul Breitner, Sepp Maier dan lainnya. Citra kejayaan tim Jerman tak terlupakan seperti halnya ketika Beckenbauer berjalan di stadion Roma saat Jerman meraih Piala Dunia ketiga kalinya di tahun 1990. Kenangan itu akan terpateri abadi pada sepanjang hidup Anda.”
Piala Dunia 1974 saya saksikan pertandingan finalnya melalui televisi hitam putih di Tamtaman, Baluwarti, Solo. Saat itu saya berkuliah di Jurusan Mesin, Fakultas Keguruan Teknik, IKIP Surakarta. Saya ikut menumpang di rumah Eyang Laksmintorukmi, guru tarinya Guruh Soekarnoputra. Salah seorang kerabatnya, Joko Waluyono, adalah teman sekelas saya di SD Wonogiri III ketika ia mengikuti Eyang Laksmintorukmi yang suaminya, Brotopranoto, menjadi Bupati Wonogiri saat itu.
Piala Dunia 1974 oleh seorang Eduardo Galeano dalam bukunya Football In Sun And Shadow (2003) disebutkan betapa lawan Jerman di final, yaitu tim Belanda, oleh seorang wartawan Brazil disebutkan sebagai disorganized organization, organisasi yang tidak terorganisasikan, karena tidak ada pembagian tugas yang terinci baku di antara pemainnya. Mereka menyerang secara bersama dan juga melakukan hal yang sama ketika bertahan.
Tim Belanda juga punya julukan sebagai Machine, selain memperoleh sebutan sebagai Clockwork Orange, metafora yang diambil dari judul film terkenalnya Stanley Kubrick untuk menggambarkan kreasi dahsyat permainan total football yang digubah sosok-sosok jenius Johan Cruyff, Neeskens, Rensenbrink, Kroll dan pemain lainnya. Dengan dirijen pelatih Rinus Mitchels.
Saat itu, saya yang berumur 21 tahun, belum tahu istilah-istilah keren di atas. Intuisi saya yang membawa untuk memilih Jerman. Pertandingan mendebarkan tersebut berakhir dengan kemenangan 2-1 untuk Jerman. Sejak saat itu saya selalu memfavoritkan tim Jerman.
Saya mengalami kekecewaan di Piala Dunia 1986 Meksiko. Kali ini saya menontonnya di rumah mBah Suroto, Jl. Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur. Saat itu saya sudah menyelesaikan kuliah saya di Universitas Indonesia dan menjadi penulis lepas tentang teknologi informasi di pelbagai surat kabar di Jakarta.
Jerman saat itu bisa menyamakan kedudukan 2-2 melawan Argentina. Tetapi umpan jauh lewat kaki kiri si boncel jenius Maradona ke arah Jorge “Number Seven” Burruchaga, membuat benteng Jerman bocor. Gol terjadi, 2-3 dan Argentina meraih juara Piala Dunia untuk kedua kalinya.
Saya berhurra, di tahun 1990. Gantian Jerman dengan gol penalti pemain belakang Andreas Brehme, yang saat itu bermain bersama Lotthar Mathaeus dan Jurgen Klisnmann di Inter Milan, meremukkan hati pendukung Argentina. Jerman meraih gelar ketiganya sebagai Juara Dunia.
The Dreadful Night. Bayangan masa lalu perseteruan sengit antara Jerman-Argentina itu muncul lagi, pada babak perempat final Piala Dunia 2006 Jerman, 1 Juli 2006 yang lalu. Saya menontonnya di Wonogiri. Saya menyebutnya sebagai the dreadful night, malam yang mengerikan.
Sebelum pertandingan digambarkan tim Jerman sedang berlatih memanah. Foto kapten Michael Ballack nampak fokus sedang membidik sasaran. Latihan visualisasi untuk mampu fokus pada sasaran, yang mungkin sengaja disiapkan oleh Klinsmann untuk pemainnya guna menghadapi penentuan hidup-mati melalui adu tendangan penalti.
Ketika kick-off di Olympiastadion Berlin tepat jam 22.00 WIB, saya segera dilanda ketegangan. Walau pun di stadion itu terpampang spanduk bertuliskan “GER 50 - ARG 0 Das Wunder '06'” atau “Keajaiban 2006 : Jerman 50 – Argentina 0,” saya harus terus berusaha mengontrol rasa tak nyaman itu. Upaya saya, antara lain, dengan mengirimkan SMS kepada Niniz, kekasih saya yang tinggal di London :
“Yankku, aku lagi nervous, jagoku tim Jerman masih 0-0 vs Argentina. Aku pengiin banget memelukmu yank utk meredakan rasa tegang. Oh, soothe me darling. I love you.”
Ia pun membalas : “Dont be too frustating. Its only game. Close your eyes and let me kiss them to soothe your tension. I think I know you wish me to be there.”
Begitulah, kalau memiliki kekasih yang tidak begitu faham akan sepakbola. Kalau aku disuruh merem, memejamkan mata, mana mungkin saya bisa menonton sepakbola ? Aku pun membalas lagi : “ Thx darling. If I closed my eyes & think of u, very nice & comforting my tension, but I missed the game. Score now, 1-1. I want u desperately & hug you tighter..ILU.”
Skor akhir 90 menit adalah : 1-1. Tandukan dahsyat bek Argentina, Roberto Ayala, menerima umpan silang Juan Roman “Si Muka Dingin” Riquelme dibalas dengan tandukan hasil set piece yang tak kalah brilyan. Kombinasi antara umpan terukur Ballack, disambut tandukan Borowksi (dalam adegan ulangan pada layar televisi nampak Klinsnmann melakukan gerakan simulasi yang merupakan fotokopi aksi tandukan umpan mautnya Borowski itu) yang akhirnya diselesaikan secara mematikan oleh tandukan Miroslav Klose.
Dalam tim Jerman ini saya memiliki favorit, Per Mertesacker (17), defender muda kelahiran 29 September 1984, jangkung (196 cm) dan tangguh asal Hannover 96. Sokurlah, akhirnya Jerman menang.dalam adu penalti. Oliver Neuville, Michael Ballack, Lukas Podolski dan Tim Borowski, secara dingin dan telak membobol gawang Argentina.
Jerman 4, Argentina 2.
Penalti Roberto Ayala dan Esteban Cambiasso berhasil dihadang oleh kiper Jens Lehman. Keduanya kemudian pantas menyenandungkan lagu dari Madonna atau Julia Covington yang dipetik dari opera “Evita”-nya Andrew Louis Webber yang terkenal : “Jangan Tangisi Aku Argentina.”
Untuk seorang pendukung fanatik Argentina, Nengah Rikon Gunadharma, yang managing director majalah sepakbola Freekick, telah saya kirimi SMS : “ Argentina terlalu cepat menarik the menacing Riquelme. Kiper utama cedera, Messi gagal masuk. Jerman beruntung punya Lehman. Next time better, bos Rikon.”
Ia pun membalas : “Iya, saya sedih di tengah sorai sorai pendukung Jerman di depan haufbahnhof Frankfurt. Selamat mas Bambang, Jerman bisa juara.” Rupanya Nengah Rikon menonton dari layar lebar di pelataran stasiun kereta api Frankfurt.
Seperti ucapannya, sebagai fans tentu saja saya memimpikan Jerman menekuk Italia di semifinal (walau dalam pertandingan persahabatan sebelumnya di Florence, Jerman dibantai Andrea Pirlo dkk 4-1), melaju ke final, lalu meraih juara keempat kalinya dengan menghabisi jago-jago tua Perancis atau pun tim kelas dua dan kejutan, Louis Figo dan tim Portugalnya.
Hari penentuan itu akan datang.
Di tengah eforia kemenangan Jerman atas Hernan Crespo dkk itu saya memperoleh SMS dari Niniz (London) : “Aku di train mau pulang. I found the book and bought for you. Masih ada football ? Aku tiba di rumah ½ jam lagi.”
Terima kasih, sweetheart.
Buku yang ia beli itu adalah karya Mark Perryman, Ingerland : Travels with a Football Nation. Menurut penulisnya, sejak Piala Eropa 1996 lanskap dunia sepakbola Inggris mengalami perubahan yang signifikan. Terutama yang menyangkut dunia suporternya, akibat semakin kuatnya dukungan penggemar dari kaum perempuan, ras berkulit hitam dan juga dari keluarga. Perubahan itu berdampak pada pendekatan keamanan, liputan media dan juga perilaku suporter di negara-negara lainnya.
Ketika mengirim email Ke Niniz seputar buku itu telah aku katakan impianku : selain ingin menulis biografi tentang kiprah dirinya sebagai pendiri lembaga charitiy kelas dunia untuk anak-anak yatim dan para dhuafa di daerah-daerah konflik di Indonesia, aku pun ingin menulis budaya sepakbola Inggris dari kacamata suporter sepakbola asal Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia ini.
Keajaiban cinta pun terjadi. Niniz walau tidak suka sepakbola, tetapi dirinya telah berbaik hati membelikanku buku tentang sepakbola. Perilaku bak malaikat. Malaikat satu ini, yang menyintai anak-anak yatimnya di Lhoong Aceh itu, juga menyukai tanaman bunga mawar.
Begitulah, kalau Klaus Meine telah mampu membawaku untuk kembali mengenang peristiwa Piala Dunia 1974 untuk kemudian selalu menjagokan Jerman, ia pun juga memiliki lagu indah, “Send Me An Angel,” yang penuh makna bagi hidupku kini dan masa depan.
Kata mutiara Klaus Meine, bahwa orang bijak telah bersabda agar kita mampu menemukan jalan otentik kita masing-masing, walau pun harus melewatinya dalam badai. Temukan selalu mawar dalam perjalananmu, walau harus hati-hati pula terhadap onak di rerantingnya.
Hari ini rasanya aku telah melewati sebuah badai bersangkutan. Badai ketegangan. Kemudian juga ikut menikmati kemenangan. Dalam perjalanan meraih itu semua aku telah ditemani dengan sepenuh atensi, juga cinta, oleh sang pemilik hati dan cinta yang aku sebut sebagai Si Pemuja Mawar. Mawar dari Bromley, London.
Aku tahu duri dan onaknya yang tajam. Tetapi di kelopak mawar itu pula aku telah memutuskan untuk melabuhkan impianku tentang masa depan.
Bersamanya.
Wonogiri, 3 Juli 2006
cty
Email : humorliner@yahoo.com
Wise man said just find your place
In the eye of the storm
Seek the rose along the way
Just beware of the thorns
(Scorpions, “Send Me An Angel”)
Jembatan Budaya Antarbangsa. “Sepakbola merupakan salah satu aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia,” demikian pendapat Nelson Mandela. Di tengah mabuk dan demam Piala Dunia 2006 saat ini, pendapat pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan yang sering berpakaian batik itu tentu tak bisa dipungkiri kebenarannya.
Juga bagi diri saya pribadi.
Saya yang tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia, seperti mudah terkait dengan isi pikiran seorang Klaus Meine, seseorang yang tinggal di Jerman sana. Ia berkata mula-mula bahwa musik rock ‘n’ roll dan sepakbola berjalan bergandengan tangan.
“Sepakbola dan musik mampu mengubah dunia sebagaimana yang terjadi di Jerman saat ini. Seluruh negeri terbius dalam suasana pesta dan perayaan untuk penggemar sepakbola di seluruh dunia. Perasaan yang sungguh-sungguh fantastis. Hanya sepakbola dan musik yang mampu menjembatani beragam negara dan beragam budaya karena keduanya merupakan bahasa yang bersifat universal,” tutur Klaus Meine.
Klaus Meine adalah vokalis kelompok musik legendaris Jerman, Scorpions. Ketika menelusuri situs resmi Piala Dunia 2006, saya seperti terlempar kembali ke tahun 1974 ketika membaca cerita tentang dirinya dan Piala Dunia. Saat ditodong pertanyaan sejak kapan ia pertama kali menonton helat Piala Dunia, Klaus Meine menjawabnya : Tahun 1974. Ia dan kelompoknya yang menelurkan monster hit lagu “Wind of Change” (1991) kemudian mengenang pertandingan final Piala Dunia 1974 saat Jerman bertemu Belanda yang ia saksikan melalui televisi.
“Piala Dunia 1974 sangat penting maknanya bagi generasi saya dan telah mengabadikan sosok-sosok pesepakbola besar di jamannya. Tentu saja Franz Beckenbauer, tetapi juga pemain besar lainnya seperti Gerd Müller, Paul Breitner, Sepp Maier dan lainnya. Citra kejayaan tim Jerman tak terlupakan seperti halnya ketika Beckenbauer berjalan di stadion Roma saat Jerman meraih Piala Dunia ketiga kalinya di tahun 1990. Kenangan itu akan terpateri abadi pada sepanjang hidup Anda.”
Piala Dunia 1974 saya saksikan pertandingan finalnya melalui televisi hitam putih di Tamtaman, Baluwarti, Solo. Saat itu saya berkuliah di Jurusan Mesin, Fakultas Keguruan Teknik, IKIP Surakarta. Saya ikut menumpang di rumah Eyang Laksmintorukmi, guru tarinya Guruh Soekarnoputra. Salah seorang kerabatnya, Joko Waluyono, adalah teman sekelas saya di SD Wonogiri III ketika ia mengikuti Eyang Laksmintorukmi yang suaminya, Brotopranoto, menjadi Bupati Wonogiri saat itu.
Piala Dunia 1974 oleh seorang Eduardo Galeano dalam bukunya Football In Sun And Shadow (2003) disebutkan betapa lawan Jerman di final, yaitu tim Belanda, oleh seorang wartawan Brazil disebutkan sebagai disorganized organization, organisasi yang tidak terorganisasikan, karena tidak ada pembagian tugas yang terinci baku di antara pemainnya. Mereka menyerang secara bersama dan juga melakukan hal yang sama ketika bertahan.
Tim Belanda juga punya julukan sebagai Machine, selain memperoleh sebutan sebagai Clockwork Orange, metafora yang diambil dari judul film terkenalnya Stanley Kubrick untuk menggambarkan kreasi dahsyat permainan total football yang digubah sosok-sosok jenius Johan Cruyff, Neeskens, Rensenbrink, Kroll dan pemain lainnya. Dengan dirijen pelatih Rinus Mitchels.
Saat itu, saya yang berumur 21 tahun, belum tahu istilah-istilah keren di atas. Intuisi saya yang membawa untuk memilih Jerman. Pertandingan mendebarkan tersebut berakhir dengan kemenangan 2-1 untuk Jerman. Sejak saat itu saya selalu memfavoritkan tim Jerman.
Saya mengalami kekecewaan di Piala Dunia 1986 Meksiko. Kali ini saya menontonnya di rumah mBah Suroto, Jl. Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur. Saat itu saya sudah menyelesaikan kuliah saya di Universitas Indonesia dan menjadi penulis lepas tentang teknologi informasi di pelbagai surat kabar di Jakarta.
Jerman saat itu bisa menyamakan kedudukan 2-2 melawan Argentina. Tetapi umpan jauh lewat kaki kiri si boncel jenius Maradona ke arah Jorge “Number Seven” Burruchaga, membuat benteng Jerman bocor. Gol terjadi, 2-3 dan Argentina meraih juara Piala Dunia untuk kedua kalinya.
Saya berhurra, di tahun 1990. Gantian Jerman dengan gol penalti pemain belakang Andreas Brehme, yang saat itu bermain bersama Lotthar Mathaeus dan Jurgen Klisnmann di Inter Milan, meremukkan hati pendukung Argentina. Jerman meraih gelar ketiganya sebagai Juara Dunia.
The Dreadful Night. Bayangan masa lalu perseteruan sengit antara Jerman-Argentina itu muncul lagi, pada babak perempat final Piala Dunia 2006 Jerman, 1 Juli 2006 yang lalu. Saya menontonnya di Wonogiri. Saya menyebutnya sebagai the dreadful night, malam yang mengerikan.
Sebelum pertandingan digambarkan tim Jerman sedang berlatih memanah. Foto kapten Michael Ballack nampak fokus sedang membidik sasaran. Latihan visualisasi untuk mampu fokus pada sasaran, yang mungkin sengaja disiapkan oleh Klinsmann untuk pemainnya guna menghadapi penentuan hidup-mati melalui adu tendangan penalti.
Ketika kick-off di Olympiastadion Berlin tepat jam 22.00 WIB, saya segera dilanda ketegangan. Walau pun di stadion itu terpampang spanduk bertuliskan “GER 50 - ARG 0 Das Wunder '06'” atau “Keajaiban 2006 : Jerman 50 – Argentina 0,” saya harus terus berusaha mengontrol rasa tak nyaman itu. Upaya saya, antara lain, dengan mengirimkan SMS kepada Niniz, kekasih saya yang tinggal di London :
“Yankku, aku lagi nervous, jagoku tim Jerman masih 0-0 vs Argentina. Aku pengiin banget memelukmu yank utk meredakan rasa tegang. Oh, soothe me darling. I love you.”
Ia pun membalas : “Dont be too frustating. Its only game. Close your eyes and let me kiss them to soothe your tension. I think I know you wish me to be there.”
Begitulah, kalau memiliki kekasih yang tidak begitu faham akan sepakbola. Kalau aku disuruh merem, memejamkan mata, mana mungkin saya bisa menonton sepakbola ? Aku pun membalas lagi : “ Thx darling. If I closed my eyes & think of u, very nice & comforting my tension, but I missed the game. Score now, 1-1. I want u desperately & hug you tighter..ILU.”
Skor akhir 90 menit adalah : 1-1. Tandukan dahsyat bek Argentina, Roberto Ayala, menerima umpan silang Juan Roman “Si Muka Dingin” Riquelme dibalas dengan tandukan hasil set piece yang tak kalah brilyan. Kombinasi antara umpan terukur Ballack, disambut tandukan Borowksi (dalam adegan ulangan pada layar televisi nampak Klinsnmann melakukan gerakan simulasi yang merupakan fotokopi aksi tandukan umpan mautnya Borowski itu) yang akhirnya diselesaikan secara mematikan oleh tandukan Miroslav Klose.
Dalam tim Jerman ini saya memiliki favorit, Per Mertesacker (17), defender muda kelahiran 29 September 1984, jangkung (196 cm) dan tangguh asal Hannover 96. Sokurlah, akhirnya Jerman menang.dalam adu penalti. Oliver Neuville, Michael Ballack, Lukas Podolski dan Tim Borowski, secara dingin dan telak membobol gawang Argentina.
Jerman 4, Argentina 2.
Penalti Roberto Ayala dan Esteban Cambiasso berhasil dihadang oleh kiper Jens Lehman. Keduanya kemudian pantas menyenandungkan lagu dari Madonna atau Julia Covington yang dipetik dari opera “Evita”-nya Andrew Louis Webber yang terkenal : “Jangan Tangisi Aku Argentina.”
Untuk seorang pendukung fanatik Argentina, Nengah Rikon Gunadharma, yang managing director majalah sepakbola Freekick, telah saya kirimi SMS : “ Argentina terlalu cepat menarik the menacing Riquelme. Kiper utama cedera, Messi gagal masuk. Jerman beruntung punya Lehman. Next time better, bos Rikon.”
Ia pun membalas : “Iya, saya sedih di tengah sorai sorai pendukung Jerman di depan haufbahnhof Frankfurt. Selamat mas Bambang, Jerman bisa juara.” Rupanya Nengah Rikon menonton dari layar lebar di pelataran stasiun kereta api Frankfurt.
Seperti ucapannya, sebagai fans tentu saja saya memimpikan Jerman menekuk Italia di semifinal (walau dalam pertandingan persahabatan sebelumnya di Florence, Jerman dibantai Andrea Pirlo dkk 4-1), melaju ke final, lalu meraih juara keempat kalinya dengan menghabisi jago-jago tua Perancis atau pun tim kelas dua dan kejutan, Louis Figo dan tim Portugalnya.
Hari penentuan itu akan datang.
Di tengah eforia kemenangan Jerman atas Hernan Crespo dkk itu saya memperoleh SMS dari Niniz (London) : “Aku di train mau pulang. I found the book and bought for you. Masih ada football ? Aku tiba di rumah ½ jam lagi.”
Terima kasih, sweetheart.
Buku yang ia beli itu adalah karya Mark Perryman, Ingerland : Travels with a Football Nation. Menurut penulisnya, sejak Piala Eropa 1996 lanskap dunia sepakbola Inggris mengalami perubahan yang signifikan. Terutama yang menyangkut dunia suporternya, akibat semakin kuatnya dukungan penggemar dari kaum perempuan, ras berkulit hitam dan juga dari keluarga. Perubahan itu berdampak pada pendekatan keamanan, liputan media dan juga perilaku suporter di negara-negara lainnya.
Ketika mengirim email Ke Niniz seputar buku itu telah aku katakan impianku : selain ingin menulis biografi tentang kiprah dirinya sebagai pendiri lembaga charitiy kelas dunia untuk anak-anak yatim dan para dhuafa di daerah-daerah konflik di Indonesia, aku pun ingin menulis budaya sepakbola Inggris dari kacamata suporter sepakbola asal Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia ini.
Keajaiban cinta pun terjadi. Niniz walau tidak suka sepakbola, tetapi dirinya telah berbaik hati membelikanku buku tentang sepakbola. Perilaku bak malaikat. Malaikat satu ini, yang menyintai anak-anak yatimnya di Lhoong Aceh itu, juga menyukai tanaman bunga mawar.
Begitulah, kalau Klaus Meine telah mampu membawaku untuk kembali mengenang peristiwa Piala Dunia 1974 untuk kemudian selalu menjagokan Jerman, ia pun juga memiliki lagu indah, “Send Me An Angel,” yang penuh makna bagi hidupku kini dan masa depan.
Kata mutiara Klaus Meine, bahwa orang bijak telah bersabda agar kita mampu menemukan jalan otentik kita masing-masing, walau pun harus melewatinya dalam badai. Temukan selalu mawar dalam perjalananmu, walau harus hati-hati pula terhadap onak di rerantingnya.
Hari ini rasanya aku telah melewati sebuah badai bersangkutan. Badai ketegangan. Kemudian juga ikut menikmati kemenangan. Dalam perjalanan meraih itu semua aku telah ditemani dengan sepenuh atensi, juga cinta, oleh sang pemilik hati dan cinta yang aku sebut sebagai Si Pemuja Mawar. Mawar dari Bromley, London.
Aku tahu duri dan onaknya yang tajam. Tetapi di kelopak mawar itu pula aku telah memutuskan untuk melabuhkan impianku tentang masa depan.
Bersamanya.
Wonogiri, 3 Juli 2006
cty
Subscribe to:
Posts (Atom)