Sunday, March 26, 2006
Menulis, Musik, Inspirasi dan Senandung Cresenthya
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Bandung adalah kota inspirasi. Paling tidak bagi saya, karena dari kota ini pula saya memperoleh api gairah awal dan pupuk untuk menyuburkan embrio cinta aktivitas menulis.
Anda jangan salah sangka dulu. Saya tidak pernah tinggal di kotanya tim sepakbola Maung Bandung ini. Juga tidak pernah jatuh cinta sekali pun sama mojang Priangan. Inspirasi Bandung itu saya rasakan ketika saya tinggal di Yogyakarta. Tahun 1970-an.
Setelah lulus dari SMP Negeri 1 di Wonogiri, saya tinggal di Yogyakarta. Bersama ayah saya. Bersekolah di STM Negeri 2, Jurusan Mesin Yogyakarta. Sementara di Bandung saat itu telah lama diterbitkan majalah musik, Aktuil, majalah garda depan di jamannya. Majalah itu pula yang memicu saya untuk menulis, dengan mengirimkan lelucon-lelucon pendek untuk majalah yang mangkal di bilangan Lengkong Kecil ini.
Apabila dimuat, saya memperoleh nomor bukti berupa satu eksemplar majalah. Juga tentu saja, wesel honorarium menulis lelucon itu. Boleh dipastikan, saat itu saya adalah satu-satunya siswa STM Negeri 2 yang bisa menulis untuk majalah.
Terlebih lagi karena saya menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, apalagi karena gurunya cantik Ibu Mujimah, dan juga menyukai pelajaran Bahasa Inggris yang diampu Pak Sukartolo yang rada nyentrik, oleh teman-teman yang lebih mengakrabi mesin bubut dan palu besi, saya mereka juluki sebagai siswa “STM Sastra.” Sebutan ini, ajaibnya, ternyata beberapa tahun kemudian membuahkan kenyataan. Karena saya bisa berkuliah di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Dalam majalah Aktuil itu, yang menarik, antara lain halaman yang memuat lirik lagu-lagu Barat. Saat itu saya menyukai lagu “For All We Know” dari Carpenters. Juga “Gipsy, Tramps and Thieves” dari duo Sonny and Cher. Saya menyukai Cher karena sensual, juga cantik sekali dengan potongan rambutnya yang poni. Seperti halnya Mariska “Venus” Veres dari Shocking Blue, Belanda, atau Henny Purwonegoro dari Indonesia.
Saya juga menyukai kelompok Uriah Heep dengan lagu “July Morning”, “Time To Live,” “Bird of Prey,” sampai “Salisbury.” Lagunya “Lady In Black” ("oh lady lend your hand, I cried / oh let me rest here at your side.") beberapa saat lalu masih saya gunakan sebagai ilustrasi untuk menyatakan kekaguman saya untuk seorang wanita mempesona yang bernama Erika.
Saat itu saya mempunyai teman sekelas asal Magelang, Bambang Tamtomo Adiguno. Ia menyukai kelompok The Bee Gees. Ia mampu bernyanyi seperti Robin Gibb. Teman lain yang juga bisa nyambung dalam ngobrol seputar musik adalah Muhammad Umar Hidayat yang tinggal di Demangan. Tinggal saya di Dagen, sisi barat Malioboro, dan sering bersepeda di waktu malam untuk main ke Demangan. Kami asyik mengobrolkan musik dan film hingga larut malam.
Wartawan majalah Aktuil yang paling terkenal saat itu adalah Denny Sabri (almarhum). Belakangan ia sebagai penemu bakat, termasuk yang mengorbitkan Nike Ardilla. Saat itu Denny Sabri tinggal di Jerman. Tulisannya yang paling mengesankan ketika ia melaporkan pertunjukan supergroup Deep Purple. Kelompoknya Ian Gillan dkk ini bahkan mampu dapat ia boyong untuk berpentas di Jakarta.
Dalam bayangan seorang murid STM saat itu, menjadi wartawan musik merupakan impian yang glamour dan mengundang kekaguman. Kekaguman itu beberapa tahun kemudian bahkan menjadi kenyataan. Di Solo, tahun 1970-an akhir, saya melakoni sebagai wartawan freelance yang menulis reportase pertunjukan musik dan kegiatan kesenian di Kota Bengawan.
Tegarlah Di Tengah Badai. Majalah Aktuil tersebut senyatanya telah memberi saya inspirasi bagi kehidupan saya di tahun-tahun mendatang. Untuk menyukai humor, aktivitas menulis, dan juga musik.
Untuk yang terakhir ini saya hanya sebagai apresiator saja. Saya sama sekali tidak punya bakat bermusik. Saking parahnya, ketika di SMP untuk mampu melagukan suatu notasi pun, maka di bawah jejeran angka-angka itu harus saya tuliskan dalam bentuk kata yang sesuai bunyinya.
Kegemaran terhadap lagu-lagu indah itulah pula yang mendorong setiap kali mengunjungi toko buku membuat saya tergoda menyempatkan diri untuk melongoki buku-buku yang menghimpun lirik-lirik lagu. Walau seingat saya, saya belum pernah sekali pun membelinya. Dengan rada sembunyi-sembunyi, saya mencatat beberapa lirik lagu yang saya sukai. Itu terjadi di toko-toko buku konvensional, di mana penjaganya mirip sipir penjara, berpandangan mata seperti elang yang waspada.
Tetapi di toko buku QB World of Books, Jalan Sunda, belakang Sarinah, Jakarta Pusat, Anda tak usah sembunyi-sembunyi. Ini toko buku bergaya kafe. Di sana terdapat sofa empuk, musik indah mengalun di latar belakang, dan atmosfir bebas bagi Anda untuk membaca-baca buku apa saja. Sepanjang hari pun, penjaga toko tidak akan menegur Anda.
Kalau ingin lebih nyaman, bawalah buku-buku yang ingin Anda baca ke kafe. Ditemani secangkir capuccino dan makanan kecil, dan silakan mengembarakan khayalan, mungkin seperti Anda sedang berduaan di Paris dengan panorama kafe jalanan sebagaimana digambarkan dalam lirik lagunya Oscar Hammerstein II (1895–1960), ”The Last Time I Saw Paris” (1940) : Her heart was warm and gay / I heard the laughter of her heart in ev'ry street cafĂ©.
Di QB, September 2002 yang lalu, melalui buku The Lyric Book, aku sengaja ingin mencatat lirik lagunya Oscar Hammerstein II yang lebih terkenal, “You’ll Never Walk Alone” (1945). Kalau Anda penggemar sepakbola, saya yakin Anda akan segera tahu klub Inggris terkenal mana yang memakai lagu ini sebagai himne kebanggaan mereka. Liverpool FC !
When you walk through a storm
hold your head up high
And don’t be afraid of the dark
At the end of the storm is a golden sky
And the sweet silver song of lark
Lirik yang inspiratif bila kita sedang diterjang persoalan berat dalam kehidupan. Saya juga mencatat lirik “Bless The Beasts And Children” (Carpenters, 1971), “We’ve Only Just Begun” (Carpenters, 1970), “A Dream Is A Wish Your Heart Makes” (dari film Cinderella-nya Disney, 1948), “Misty” (Johnny Mathis, 1955), sampai “You’ve Got a Friend” (James Taylor, Carole King, 1973).
Juga “A Time For Us” (Andy Williams, 1968), yang menjadi lagu tema film Romeo & Juliet, adaptasi naskah dramanya Shakespeare, yang digarap oleh sutradara Franco Zeffireli (1968).
A Time For Us. Apa manfaat musik bagi aktivitas menulisku ? Tidak ada sesuatu hal yang boleh disebut sebagai spesial. Sebuah artikel tentang tips menulis kreatif antara lain menyebutkan aktivitas mendengarkan musik dapat menjadi sarana menuai inspirasi atau gagasan. Hal yang sama juga dapat dieptik dari buku. Saat nonton televisi. Atau film. Semua itu aku setujui. Ide menulis dapat dipetik dari sumber mana saja. Aktivitas paling favorit untuk diriku, untuk tujuan yang sama, adalah dengan melakukan olahraga jalan kaki pagi.
Bulan November 2005 yang lalu, cakrawala pemahaman saya mengenai manfaat musik, kiranya bertambah kaya. Sumbernya adalah teman yang ketemunya di jagat maya, Lasma Siregar, yang mengaku sebagai petani pemetik strawberry di hutan Vermont. Ini bukan nama negara bagian di ujung timur laut Amerika Serikat, tetapi Vermont yang konon berjarak 20 stasiun kereta api dari kota Melbourne, Australia.
Di antara setengah lusin buku yang ia kirimkan, Lasma Siregar menyelipkan sebuah buku mungil manis, bersampul ungu, dihiasi foto artistik seorang wanita tanpa busana. Tetapi sosoknya tidak menyemburkan pesona erotika yang banal. Dirinya tampil dalam pose salah satu posisi olah yoga, seolah mengambangkan tranquality, suasana keheningan. Judulnya, 5-Minute Therapies : Natural Remedies for Body, Mind & Spirit (1999). Ditulis oleh Denise Rowley. Manfaat musik dibahas dalam bab “Mind-Body Harmony”.
“Musik adalah darah kehidupan tradisi kita”, tulis Denise Rowley. Musik mampu mengangkat semangat jiwa kita, memesona, menyemaikan kesedihan dan memekarkan penghiburan. Musik terkait dengan emosi-emosi kita, memberikan ilham, meneguhkan kemanusiaan kita dan juga tempat kita di dunia ini. Musik membangkitkan kenangan dan harapan, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh kita pula.
Inilah nasehat Denise Rowley : nikmati dan hayati musik dalam pelbagai interaksi. Bernyanyilah seirama melodi yang mengalun. Gerakkan tubuh Anda seharmoni iramanya. Rubuhkan sikap malu-malu atau menahan diri pada diri Anda.
Integrasikan musik dalam kehidupan Anda sehari-hari. Apakah Anda sedang berada di mobil, ketika meresapi sejuknya semprotan air di bawah shower, ketika makan malam, saat-saat melamun, atau ketika mengisi formulir pembayaran pajak.
Atau seperti tutur William Shakespeare dalam Twelfth Night (1601), ”If music be the food of love, play on,” maka bayangkanlah betapa indah dan bergeloranya pengalaman yang terjadi apabila musik juga dirancang serasi untuk dihadirkan saat Anda sedang bercinta.
A time for us, someday there’ll be
when chains are torn by courage born
of a love that’s free
A time when dreams, so long denied
Can flourish, as we unveil the love
we now must hide
A time for us someday there’ll be
A new world, a world of shining hope
for you and me.
Saat itu, seorang Cresenthya menarikku untuk sama-sama menyenandungkan “A Time For Us” itu. Dirinya yang begitu muda, memendam gejolak ice and desire, membuatnya berani melakukan pengembaraan fantasi yang terjauh. Terbang untuk menjadi warga Verona, sekaligus membayangkan kami masing-masing sebagai reinkarnasi anggota keluarga Montague dan Capulet yang saling berperang dan bercinta.
Bagi saya, orkestrasi totalitas dirinya saat itu ibarat musik pula, sehingga menjadi momen eternal yang sering berkelebat untuk menjadi ide tulisan ini. Sebagai ilustrasi telah diawali dengan inspirasi melambung tentang kota Bandung, kemudian dirampungkan dengan iringan jeritan khasnya Dolores O’Riordan dari The Cranberries. Dalam lagunya : “Linger.”
Wonogiri, 8-27/3/2006
Email : humorliner@yahoo.com
Bandung adalah kota inspirasi. Paling tidak bagi saya, karena dari kota ini pula saya memperoleh api gairah awal dan pupuk untuk menyuburkan embrio cinta aktivitas menulis.
Anda jangan salah sangka dulu. Saya tidak pernah tinggal di kotanya tim sepakbola Maung Bandung ini. Juga tidak pernah jatuh cinta sekali pun sama mojang Priangan. Inspirasi Bandung itu saya rasakan ketika saya tinggal di Yogyakarta. Tahun 1970-an.
Setelah lulus dari SMP Negeri 1 di Wonogiri, saya tinggal di Yogyakarta. Bersama ayah saya. Bersekolah di STM Negeri 2, Jurusan Mesin Yogyakarta. Sementara di Bandung saat itu telah lama diterbitkan majalah musik, Aktuil, majalah garda depan di jamannya. Majalah itu pula yang memicu saya untuk menulis, dengan mengirimkan lelucon-lelucon pendek untuk majalah yang mangkal di bilangan Lengkong Kecil ini.
Apabila dimuat, saya memperoleh nomor bukti berupa satu eksemplar majalah. Juga tentu saja, wesel honorarium menulis lelucon itu. Boleh dipastikan, saat itu saya adalah satu-satunya siswa STM Negeri 2 yang bisa menulis untuk majalah.
Terlebih lagi karena saya menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, apalagi karena gurunya cantik Ibu Mujimah, dan juga menyukai pelajaran Bahasa Inggris yang diampu Pak Sukartolo yang rada nyentrik, oleh teman-teman yang lebih mengakrabi mesin bubut dan palu besi, saya mereka juluki sebagai siswa “STM Sastra.” Sebutan ini, ajaibnya, ternyata beberapa tahun kemudian membuahkan kenyataan. Karena saya bisa berkuliah di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Dalam majalah Aktuil itu, yang menarik, antara lain halaman yang memuat lirik lagu-lagu Barat. Saat itu saya menyukai lagu “For All We Know” dari Carpenters. Juga “Gipsy, Tramps and Thieves” dari duo Sonny and Cher. Saya menyukai Cher karena sensual, juga cantik sekali dengan potongan rambutnya yang poni. Seperti halnya Mariska “Venus” Veres dari Shocking Blue, Belanda, atau Henny Purwonegoro dari Indonesia.
Saya juga menyukai kelompok Uriah Heep dengan lagu “July Morning”, “Time To Live,” “Bird of Prey,” sampai “Salisbury.” Lagunya “Lady In Black” ("oh lady lend your hand, I cried / oh let me rest here at your side.") beberapa saat lalu masih saya gunakan sebagai ilustrasi untuk menyatakan kekaguman saya untuk seorang wanita mempesona yang bernama Erika.
Saat itu saya mempunyai teman sekelas asal Magelang, Bambang Tamtomo Adiguno. Ia menyukai kelompok The Bee Gees. Ia mampu bernyanyi seperti Robin Gibb. Teman lain yang juga bisa nyambung dalam ngobrol seputar musik adalah Muhammad Umar Hidayat yang tinggal di Demangan. Tinggal saya di Dagen, sisi barat Malioboro, dan sering bersepeda di waktu malam untuk main ke Demangan. Kami asyik mengobrolkan musik dan film hingga larut malam.
Wartawan majalah Aktuil yang paling terkenal saat itu adalah Denny Sabri (almarhum). Belakangan ia sebagai penemu bakat, termasuk yang mengorbitkan Nike Ardilla. Saat itu Denny Sabri tinggal di Jerman. Tulisannya yang paling mengesankan ketika ia melaporkan pertunjukan supergroup Deep Purple. Kelompoknya Ian Gillan dkk ini bahkan mampu dapat ia boyong untuk berpentas di Jakarta.
Dalam bayangan seorang murid STM saat itu, menjadi wartawan musik merupakan impian yang glamour dan mengundang kekaguman. Kekaguman itu beberapa tahun kemudian bahkan menjadi kenyataan. Di Solo, tahun 1970-an akhir, saya melakoni sebagai wartawan freelance yang menulis reportase pertunjukan musik dan kegiatan kesenian di Kota Bengawan.
Tegarlah Di Tengah Badai. Majalah Aktuil tersebut senyatanya telah memberi saya inspirasi bagi kehidupan saya di tahun-tahun mendatang. Untuk menyukai humor, aktivitas menulis, dan juga musik.
Untuk yang terakhir ini saya hanya sebagai apresiator saja. Saya sama sekali tidak punya bakat bermusik. Saking parahnya, ketika di SMP untuk mampu melagukan suatu notasi pun, maka di bawah jejeran angka-angka itu harus saya tuliskan dalam bentuk kata yang sesuai bunyinya.
Kegemaran terhadap lagu-lagu indah itulah pula yang mendorong setiap kali mengunjungi toko buku membuat saya tergoda menyempatkan diri untuk melongoki buku-buku yang menghimpun lirik-lirik lagu. Walau seingat saya, saya belum pernah sekali pun membelinya. Dengan rada sembunyi-sembunyi, saya mencatat beberapa lirik lagu yang saya sukai. Itu terjadi di toko-toko buku konvensional, di mana penjaganya mirip sipir penjara, berpandangan mata seperti elang yang waspada.
Tetapi di toko buku QB World of Books, Jalan Sunda, belakang Sarinah, Jakarta Pusat, Anda tak usah sembunyi-sembunyi. Ini toko buku bergaya kafe. Di sana terdapat sofa empuk, musik indah mengalun di latar belakang, dan atmosfir bebas bagi Anda untuk membaca-baca buku apa saja. Sepanjang hari pun, penjaga toko tidak akan menegur Anda.
Kalau ingin lebih nyaman, bawalah buku-buku yang ingin Anda baca ke kafe. Ditemani secangkir capuccino dan makanan kecil, dan silakan mengembarakan khayalan, mungkin seperti Anda sedang berduaan di Paris dengan panorama kafe jalanan sebagaimana digambarkan dalam lirik lagunya Oscar Hammerstein II (1895–1960), ”The Last Time I Saw Paris” (1940) : Her heart was warm and gay / I heard the laughter of her heart in ev'ry street cafĂ©.
Di QB, September 2002 yang lalu, melalui buku The Lyric Book, aku sengaja ingin mencatat lirik lagunya Oscar Hammerstein II yang lebih terkenal, “You’ll Never Walk Alone” (1945). Kalau Anda penggemar sepakbola, saya yakin Anda akan segera tahu klub Inggris terkenal mana yang memakai lagu ini sebagai himne kebanggaan mereka. Liverpool FC !
When you walk through a storm
hold your head up high
And don’t be afraid of the dark
At the end of the storm is a golden sky
And the sweet silver song of lark
Lirik yang inspiratif bila kita sedang diterjang persoalan berat dalam kehidupan. Saya juga mencatat lirik “Bless The Beasts And Children” (Carpenters, 1971), “We’ve Only Just Begun” (Carpenters, 1970), “A Dream Is A Wish Your Heart Makes” (dari film Cinderella-nya Disney, 1948), “Misty” (Johnny Mathis, 1955), sampai “You’ve Got a Friend” (James Taylor, Carole King, 1973).
Juga “A Time For Us” (Andy Williams, 1968), yang menjadi lagu tema film Romeo & Juliet, adaptasi naskah dramanya Shakespeare, yang digarap oleh sutradara Franco Zeffireli (1968).
A Time For Us. Apa manfaat musik bagi aktivitas menulisku ? Tidak ada sesuatu hal yang boleh disebut sebagai spesial. Sebuah artikel tentang tips menulis kreatif antara lain menyebutkan aktivitas mendengarkan musik dapat menjadi sarana menuai inspirasi atau gagasan. Hal yang sama juga dapat dieptik dari buku. Saat nonton televisi. Atau film. Semua itu aku setujui. Ide menulis dapat dipetik dari sumber mana saja. Aktivitas paling favorit untuk diriku, untuk tujuan yang sama, adalah dengan melakukan olahraga jalan kaki pagi.
Bulan November 2005 yang lalu, cakrawala pemahaman saya mengenai manfaat musik, kiranya bertambah kaya. Sumbernya adalah teman yang ketemunya di jagat maya, Lasma Siregar, yang mengaku sebagai petani pemetik strawberry di hutan Vermont. Ini bukan nama negara bagian di ujung timur laut Amerika Serikat, tetapi Vermont yang konon berjarak 20 stasiun kereta api dari kota Melbourne, Australia.
Di antara setengah lusin buku yang ia kirimkan, Lasma Siregar menyelipkan sebuah buku mungil manis, bersampul ungu, dihiasi foto artistik seorang wanita tanpa busana. Tetapi sosoknya tidak menyemburkan pesona erotika yang banal. Dirinya tampil dalam pose salah satu posisi olah yoga, seolah mengambangkan tranquality, suasana keheningan. Judulnya, 5-Minute Therapies : Natural Remedies for Body, Mind & Spirit (1999). Ditulis oleh Denise Rowley. Manfaat musik dibahas dalam bab “Mind-Body Harmony”.
“Musik adalah darah kehidupan tradisi kita”, tulis Denise Rowley. Musik mampu mengangkat semangat jiwa kita, memesona, menyemaikan kesedihan dan memekarkan penghiburan. Musik terkait dengan emosi-emosi kita, memberikan ilham, meneguhkan kemanusiaan kita dan juga tempat kita di dunia ini. Musik membangkitkan kenangan dan harapan, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh kita pula.
Inilah nasehat Denise Rowley : nikmati dan hayati musik dalam pelbagai interaksi. Bernyanyilah seirama melodi yang mengalun. Gerakkan tubuh Anda seharmoni iramanya. Rubuhkan sikap malu-malu atau menahan diri pada diri Anda.
Integrasikan musik dalam kehidupan Anda sehari-hari. Apakah Anda sedang berada di mobil, ketika meresapi sejuknya semprotan air di bawah shower, ketika makan malam, saat-saat melamun, atau ketika mengisi formulir pembayaran pajak.
Atau seperti tutur William Shakespeare dalam Twelfth Night (1601), ”If music be the food of love, play on,” maka bayangkanlah betapa indah dan bergeloranya pengalaman yang terjadi apabila musik juga dirancang serasi untuk dihadirkan saat Anda sedang bercinta.
A time for us, someday there’ll be
when chains are torn by courage born
of a love that’s free
A time when dreams, so long denied
Can flourish, as we unveil the love
we now must hide
A time for us someday there’ll be
A new world, a world of shining hope
for you and me.
Saat itu, seorang Cresenthya menarikku untuk sama-sama menyenandungkan “A Time For Us” itu. Dirinya yang begitu muda, memendam gejolak ice and desire, membuatnya berani melakukan pengembaraan fantasi yang terjauh. Terbang untuk menjadi warga Verona, sekaligus membayangkan kami masing-masing sebagai reinkarnasi anggota keluarga Montague dan Capulet yang saling berperang dan bercinta.
Bagi saya, orkestrasi totalitas dirinya saat itu ibarat musik pula, sehingga menjadi momen eternal yang sering berkelebat untuk menjadi ide tulisan ini. Sebagai ilustrasi telah diawali dengan inspirasi melambung tentang kota Bandung, kemudian dirampungkan dengan iringan jeritan khasnya Dolores O’Riordan dari The Cranberries. Dalam lagunya : “Linger.”
Wonogiri, 8-27/3/2006
Subscribe to:
Posts (Atom)