Tuesday, August 15, 2006

Network Economy, Kelinci London, Aku dan Cinta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Cher,
The Times,30 Mei 1998



Kelinci London vs Kelinci Solo. Dalam fabel Barat, kelinci adalah lambang kecepatan. Menurut kajian profesor psikologi Robert Levine dari California State Universty di Fresno (1985), sang kelinci digambarkan harus lari pontang-panting mengikuti irama hidup di kota London, New York mau pun Tokyo. Sedang di Solo, kelinci itu justru tertidur dan mendengkur !

Itulah intro artikel berjudul “Solocon Valley” yang aku tulis dan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 5 Agustus 2006. Aku kisahkan bahwa irama hidup di Solo sungguh berbeda dibanding kota-kota lain. Aku memang lahir di kota Solo ini. Dan tanggal 24 Agustus 2006 nanti, aku akan tepat berumur 53 tahun.

Tetapi artikel Robert Levine yang termuat di majalah Psychology Today (3/1985) itu tidak aku temukan di Solo. Melainkan di Jakarta, saat browsing majalah di Perpustakaan LIA, Jl. Pramuka, Jakarta Timur.

Levine melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup di kota besar dan kota menengah di pelbagai belahan dunia. Diantaranya Jepang (Tokyo dan Sendai), Inggris (London dan Bristol), Taiwan (Taipei dan Tainan), Indonesia (Jakarta dan Solo), Italia (Roma dan Florence) dan Amerika Serikat (New York dan Rochester). Risetnya mengkaji tiga indikasi dasar : akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki dan kecepatan pegawai kantorpos melayani pembelian perangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Indonesia menempati peringkat paling buncit dari keenam negara itu. Kecepatan seseorang sendirian berjalan kaki menempuh jarak 100 kaki, menempatkan orang Indonesia berstatus paling lambat. Levine memberikan ilustrasi ketika ia mengukur efisiensi petugas pos Solo melayani pembelian perangko.

Saat ia antri, pegawai pos yang menjual perangko itu malah asyik mengajaknya ngobrol, membicarakan kerabatnya yang tinggal di Amerika. Lima orang yang antri di belakang Levine nampak sabar. Tidak mengeluh dan bahkan ikut memberi perhatian atas obrolan mereka.

Selamat datang di Solo, kota di mana waktu tersedia melimpah di sana. Merujuk fenomena yang disebut waktu sosial atau denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu, masyarakat Solo khususnya dan masayarakat Jawa pada umumnya, memiliki pandangan unik. Secara matematis manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Masyarakat Barat memaknai waktu sebagai komoditi yang pasti habis. Waktu adalah uang. Tetapi masyarakat Jawa menganggap waktu sebagai proses siklus, sesuatu yang dapat terulang kembali.

Pemaknaan waktu khas Jawa itu oleh pakar pemasaran Kafi Kurnia diungkap dengan ilustrasi menarik tentang fenomena umum di Solo. Ia sebutkan pemandangan unik : tukang becak yang menunggu konsumen sambil tertidur di becaknya. Juga budaya ngobrol di lapak-lapak wedangan yang juga terasa kental di Solo.

Kafi Kurnia menantang : mengapa tidak menjual kota Solo sebagai kota yang ideal untuk membunuh waktu, untuk santai-santai atau pun berbincang-bincang ?

Tantangan menarik. Terlebih dalam konteks era network economy, ekonomi jaringan dalam dunia digital dewasa ini, kita dapat menyimak pandangan Kevin Kelly yang mampu memberikan perspektif baru yang brilyan. Dalam karya tulis tonggak yang inspiratif, “New Rules for the New Economy : Twelve Dependable Principles for Thriving in a Turbulent World” (Wired, September 1997), ia katakan : Peter Drucker mencatat bahwa dalam abad industri setiap pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara lebih baik disebut sebagai produktivitas.

Tetapi kini dalam ekonomi jaringan di mana kebanyakan mesin-mesin mengerjakan pekerjaan manufaktur yang tak cocok untuk manusia, tugas setiap pekerja bukanlah “bagaimana mengerjakan pekerjaan secara benar” melainkan “pekerjaan apa yang benar untuk dikerjakan ?” Di era mendatang, mengerjakan segala sesuatu secara benar jauh lebih produktif dibanding mengerjakan hal yang sama secara lebih baik.

Tetapi bagaimana seseorang dapat secara mudah mengukur sense penting dalam eksplorasi dan penemuan ? Semua ini tidak terlihat dalam parameter atau patok duga produktivitas. Sejatinya, menurutnya, menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan. Suatu situs web yang dioperasikan oleh anak muda seumuran 20 tahun dapat terwujud karena ia mampu menghabiskan waktu 50 jam untuk menjadi ahli merancang situs web.

Sementara itu pekerja usia 40-an tahun tidak dapat mengambil cuti liburan tanpa berpikir bagaimana dia menentukan apakah berlibur itu bisa disebut sebagai produktif atau tidak, sementara si anak muda tadi tinggal mengikuti naluri dan menciptakan beragam hal baru dalam desain webnya, tanpa menghitung apa yang ia lakukan itu efisien atau tidak. Dari otak-atik yang tidak efisien itulah akan hadir masa depan..

Dalam era ekonomi jaringan, produktivitas bukan masalah krusial. Karena kemampuan kita dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi kebanyakan dikekang, dibatasi, terutama oleh kurangnya imajinasi dalam menemukan peluang dibanding usaha mengoptimalkan suatu solusi. Seperti simpul Peter Drucker yang dikutip oleh George Gilder, rumusnya kini berbunyi : jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang.

Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Tetapi bila Anda mencari peluang, maka Anda dapat mempercayai jaringan, network, Anda.

Apalagi sisi menarik mengenai ekonomi jaringan yang jelas bermain seirama dengan kelebihan manusia yang hakiki. Pengulangan atau repetisi, sekuel, mengopi dan otomasi, di era digital kini semua cenderung bebas biaya. Gratis. Sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya ! (Catatan : alinea penting ini justru diedit, hilang, dalam artikel saya di Kompas Jawa Tengah itu !-BH).

Berefleksi ke belakang, Solo pernah melahirkan tokoh-tokoh inovator seperti Ronggowarsito, Yosodipuro, Martopangrawit, sampai Sardono W. Kusumo, Rendra dan Arswendo Atmowiloto. Atau bahkan juga tokoh sekaliber Ahmad Baiquni dan Amien Rais. Termasuk juga kini, Mayor Haristanto dengan Republik Aeng-Aeng-nya.

Merujuk modal besar Solo seperti disebut Kafi Kurnia dan terlebih peluangnya bersinergi dengan budaya ekonomi jaringan yang mengedepankan inovasi, seluruh stakeholder kota Solo memiliki tantangan bagaimana mengubah kotanya menjadi magnit bagi kalangan inovator, dari mana pun di dunia, untuk datang di Solo. Sebagaimana kemajuan kota atau negara banyak dilakukan para pendatang, kehadiran mereka dapat menjadi katalisator dan stimulator bagi kalangan inovator asli Solo sendiri.

Akhirnya, sebagai warga kelahiran Solo dan merujuk gagasan pembangunan Techno Park di Mojosongo, saya ingin beriur gagasan dengan memimpikan Solo sebagai Solocon Valley, plesetan dari Silicon Valley, kluster area di negara bagian California AS yang dihuni perusahaan-perusahan teknologi informasi ternama di Amerika Serikat.

Pekerjanya di sana yang merupakan otak-otak brilyan itu ibarat campuran seniman dan ilmuwan. Atmosfir suasana kerja yang tidak formal karena kekakuan birokrasi akan membunuh inovasi, mereka pun berinteraksi dan mematangkan ide-idenya di kafe-kafe, dengan obrolan hingga larut malam, yang suasananya tak jauh berbeda dari suasana lapak-lapak wedangan di Solo.


Gothendipity dan Gempa Bumi. Artikelku di atas mengenai network economy itu, penginku suatu saat, bisa dibaca oleh Niniz, perempuan memesona, yang aku temui tanggal 18 Juli 2006 di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Lima hari sebelumnya ia tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan 12 jam lebih dari kota tempat tinggalnya, London.

Aku tinggal di Wonogiri. Niniz selama ini sudah lebih dari 20 tahun berdomisili di London. Kita ketemu melalui Internet. Tetapi dipertemukan secara nyata oleh gempa bumi.

Dirinya sebagai pekerja sosial dan pendiri sebuah lembaga donor, charity foundation yang berkedudukan di London, telah menjelajah sampai di daerah-daerah konflik, seperti Ambon, Poso, Ternate, sampai Aceh. Ia menaruh kepedulian terhadap nasib mereka yang sering terlupakan di daerah bencana dan konflik, yaitu anak-anak.

Slogan lembaganya begitu menyentuh : Give the children hope. Please give them opportunity to go back to school and hold their pencil again. Secara bercanda, aku katakan padanya bahwa kelak kata “their pencil” itu bisa digantikan dengan, “their laptop again.” Niniz punya angan-angan lebih tinggi. “Kalau kelak lingkupnya menjadi internasional, aku dibantu ya mas ?,” rajuknya.

Dalam foto-foto yang ia kirimkan, ia nampak sumringah dan cantik ketika berada di tengah anak-anak yatim yang menjadi anak asuhnya. Dalam dirinya nampak kental terpateri pesan luhur dari lirik lagu indahnya Carpenters, Bless The Beast And Children :

Bless the beasts and the children
For in this world they have no voice
They have no choice

Bless the beasts and the children
For the world can never be
The world they see

Light their way
When the darkness surrounds them
Give them love
Let it shine all around them

Bless the beasts and the children
Give them shelter from a storm
Keep them safe
Keep them warm


Saya pun, karena menyukai dirinya dan misi hidupnya, secara sembrono pernah menulis dalam salah satu email untuknya dengan isi berandai-andai : bila saja Wonogiri atau Jawa terjadi bencana alam atau konflik, saya berharap ia bisa datang dari London untuk menyantuni, sehingga aku bisa bertemu dengan dirinya.

Kata pepatah, hati-hati dengan harapan Anda. Karena sebagian besar harapan itu akan terpenuhi. Saya lalu teringat kata gothendipity yang dikenalkan oleh Tony Buzan (1942 - ), pakar mind mapping dan penemu istilah mental literacy yang mengajarkan bagaimana otak kita mampu belajar secara cepat dan alamiah sehingga kita mampu mempelajari apa pun yang menjadi minat-minat kita.

Kata gothendipity merupakan hasil amalgamasi, peleburan cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity, yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :

“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini,” demikian kata Tony Buzan.

Tanggal 27 Mei 2006, gempa besar itu melanda Yogyakarta, Klaten, dan Pantai Selatan Pulau Jawa. Satu jam sebelum terjadi gempa, jam 5 pagi, aku memperoleh SMS dari Niniz, ia pengin menelpon, ingin pamit karena sore harinya ia berangkat berwisata ke Turki. Obrolan pun terjadi. Ia menasehatiku untuk pergi ke dokter gigi, juga menanyakan apa aku siap untuk menikahinya di Aceh, sejurus sebelum gempa terjadi.

Aku lari keluar rumah, tanpa bilang-bilang untuk memutus pembicaraan telepon. Ketika gempa mereda, sokurlah, Niniz di London belum menutup teleponnya. Aku menceritakan apa yang terjadi.

Siang hari, tanggal 18 Juli 2006, di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, aku bertemu untuk pertama kali dengan Niniz. Setelah menyerahkan barang bawaan wajibnya ketika ia mengembara, yaitu laptop, handycam, kamera digital dan kamera semi otomatis, kepadaku, ia kembali masuk. Ia muncul lagi, mendorong trolley berisi tumpukan kardus. Isinya berupa beragam mainan edukatif untuk anak-anak, biskuit, sampai kembang gula. Itulah bawaannya, yang akan ia sumbangkan untuk anak-anak korban gempa.

Ia pun lalu menambahkan, “dan koper satu itu, semuanya untuk mas”. Isinya antara lain, buku peta kota London (“bikin pusing orang Wonogiri”) dan buku sepakbola pesananku, Ingerland : Travels With A Football Nation (2006), karya Mark Perryman. Juga oleh-oleh kejutan : CD “I Believe I Can’t Fly”-nya stand up comedian Ahmed Ahmed, keturunan Mesir asal California AS. Ia seorang komedian muslim. CD-nya itu juga berisi pentas dirinya bersama komedian Yahudi, bekas rabbi, Bob Alper, bertajuk “One Muslim, One Jew, One Stage : Two Very Funny Guys.”

Saat itu aku hanya mampu menyambut Niniz dengan sekuntum mawar. Mawar Wonogiri. Juga bisikan : “I love you.” Ia pun sering membalas dengan ungkapan canda, “same, same, mas.”


Menghamburkan Waktu dan Penemuan. John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001), antara lain telah mengatakan : “Treat the virtual as real and vice versa. Cyberspace is merely another dimension to everyday life. Do not judge reality whether it is based on technology but by more important and eternal matters such as humanity and truth.”

Aku pernah tulis dalam email : “Ninizku, alinea terakhir ini telah berbicara seratus persen pula tentang kita, bukan ? Kita ketemunya di Internet. Bukankah perasaan saling mencintai antara kita, yang tumbuh stronger and stronger day by day itu adalah eternal matters such as humanity and truth juga ? You bet. Tak salah lagi. Hidup blog. Hidup Internet !”

“Sejatinya,” kembali menurut Kevin Kelly yang aku kutip dalam tulisanku di Kompas Jawa Tengah diatas, “menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan.”

Bercermin pada apa yang aku lakukan selama ini, bagiku, menghabis-habiskan waktu untuk merancang dan mengisi situs–situs blogku selama ini, ternyata merupakan jalan menuju penemuan. Bahkan terbesar untuk hidupku : menemukan seorang Niniz, untuk masa depanku

Tentu saja semua itu tidak terjadi dalam kesempatan dan waktu yang ideal. Niniz pun pernah menulis gugatan gemes dalam SMS (30 April 2006) : Where were u all these times ? Mas kemana saja selama ini ? Kenapa baru sekarang kita jumpa ? I miss U.”

Pertanyaan Niniz yang manis. Juga menggemaskan. Kenapa aku baru menjumpainya ketika umurku mencapai 53 tahun, tepat pada tanggal 24 Agustus 2006 nanti ? Tidak masalah. Salah seorang penyanyi yang aku idolakan sejak tahun 1972 dengan lagunya Gypsies, Tramps & Thieves, yaitu Cher, mungkin telah membantuku untuk memberikan jawaban :

If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Kalau rerumputan mampu tumbuh menyeruak di permukaan semen, maka cinta pun mampu menyapa dirimu, setiap saat, dalam hidupmu.


Wonogiri, 13-16 Agustus 2006


cty