Friday, November 11, 2005

Please, Mister Postman, Kartupos Adis dan Surat November Untuk Seorang Calista

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com



There must be some word today
From my boy friend so far away
Please Mister Postman, look and see
If there's a letter, a letter for me

I've been standin' here waitin' Mister Postman
So patiently
For just a card, or just a letter
Sayin' he's returnin' home to me

(Carpenters, “Please Mister Postman”)


SENSASI MENANTI PAK POS TIBA. Kartupos itu bergambar lanskap kota Sevilla, ibukota Andalusia, Spanyol Selatan. Lain kali panorama Birmingham, Inggris, Istana Terlarang dan poster foto Ketua Mao di Beijing atau Guangzhou di Cina, stadion PSV di Eindhoven, Belanda, sampai Atlanta di Amerika Serikat.

Selain kontak lewat e-mail, adik saya Broto Happy W. yang berprofesi sebagai wartawan olahraga selalu mengirimkan kartupos dari tempat ia meliput event olahraga kelas dunia.

Aktivitas sederhana itu kemudian ia jadikan tradisi dan kini ia tularkan pada putrinya, Adis, (komplitnya : Gladys Erika Septeria) yang masih TK. Setiap ke luar kota, putrinya ia ajak membeli kartupos bergambar khas kota setempat. Lalu mengajarinya untuk menulisi kartupos itu dengan satu-dua kata atau coretan gambar.

Kebetulan Adis sudah lancar menulis namanya sendiri, alamat, juga nama kakak, orang tua dan kakek-neneknya. Kartupos-kartupos itu lalu dimasukkan ke bis surat, ditujukan pada dirinya sendiri dan orang tuanya.

Ketika tiba kembali ke rumahnya di Bogor, sensasi mulai ia rasakan. Mungkin mirip situasi komedik-romantik dari lagu “Please, Mister Postman” dari The Beatles dan juga dinyanyikan oleh Carpenters dulu-dulu itu. Yaitu mengharap-harap kartuposnya tiba, merasakan kegembiraan ketika mendengar suara pak pos memanggil, dan terutama ketika menerimanya.

Tentu saja diperkaya dengan cerita-cerita seisi keluarga menyambut tibanya kartupos-kartupos tersebut. Secara tidak langsung, sejak dini ia merasakan kegembiraan dalam menulis, merasakan keajaiban dan manfaat kata-kata tertulis, dan tentu saja mulai terbina mencintai aktivitas membaca dan menulis.

Semua keluarga mampu melakukan hal yang sama, menjadikan menulis kartupos sebagai tanda awal cinta anak-anak mereka terhadap aktivitas belajar tanpa henti, sepanjang hayat, yang semakin dibutuhkan oleh tiap insan di tengah cepatnya perubahan global dewasa ini. Menulis dan membaca. Silakan, hari ini Anda pun dapat memulainya untuk putra-putri tercinta Anda !


KULIAH CINTA DAN AIRMATA Sensasi menantikan datangnya surat –surat cinta pernah saya alami sekitar tahun 1982-an. Atau tahun 1983. Sebagai mahasiswa dan anak kos yang pendatang baru di Rawamangun, Jakarta, dengan kemungkinan harus jadi nomad, alias sering pindah-pindah alamat, saya memutuskan untuk menyewa fasilitas kotakpos di kantor pos pembantu Rawamangun.

Nomor saya adalah Kotakpos 55/JNG-RA Jakarta 13220. Lalu diubah oleh fihak pos menjadi 55/Jatra. Terakhir, di tahun 90-an berubah lagi menjadi 6255/Jatra. Saya menyewa fasilitas kotakpos itu selama hampir 15 tahun !

Kantorpos Rawamangun saat itu cukup ramai karena kampus Universitas Indonesia (UI) seperti Fakultas Sastra, Hukum, Ilmu Sosial dan Politik, juga Psikologi, masih berada di Rawamangun. Belum lagi ikut berdempet pula kampus IKIP Jakarta, yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta.

Oleh komedian mahasiswa saat itu, Pepeng (Ferasta Subardi, yang Sersan Prambors, dan kini menderita lumpuh pinggang ke bawah), IKIP Jakarta itu sering dia jadikan lelucon dengan menyebutnya sebagai “USU”. Tentu saja bukan “Universitas Sumatra Utara”, melainkan “Universitas Sebelah UI”.

Di kantorpos ini pernah aku lihat artis Ira Wibowo, blasteran Jawa-Jerman yang kelahiran Berlin. Saat itu ia tercatat sebagai mahasiswa FISIP-UI. Demikian juga pernah aku temui, penyanyi Louise Hutahuruk. Juga dari FISIP-UI pula.

Fasilitas kotakpos itu di tahun 1982 pernah, salah satunya, aku jadikan alamat Universitas Kecil Indonesia (UKI). “Universitas” ini adalah milikku, yang aku gagas sebagai ajang korespondensi melalui surat guna mendorong anak-anak SD-SMP belajar menulis, mengungkapkan gagasan ke dalam bahasa.


Salah satu “mahasiswi”-ku saat itu adalah Riaty Raffiudin. Saat itu ia duduk di kelas 3 SMP Regina Pacis, Palmerah Utara, Jakarta Barat. Kontak kita terus berlanjut sampai 4 atau 5 tahun kemudian, hingga Ria menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Politik di FISIP UI, di Rawamangun pula.

Ia menyebutku sebagai Mas Hari. Ia anak pertama dari 3 bersaudara, dan ia seperti menemukan seorang kakak yang bisa diajak curhat pada diriku. Saking lama atau intensifnya kontak kita, sampai ia tahu kalau aku marah, yang ia sebut sebagai “marahnya kaum intelektual”. Menurut Ria, marahku itu tidak nampak di permukaan, tetapi dapat ia rasakan. Ia pun menyebutku sebagai perhiasan kristal. Maksudnya, kalau pecah atau retak, bisa ditangkupkan kembali, tetapi tetap ada cacat yang tersisa. Hmmm.

Pernah suatu malam aku main ke rumahnya. Duduk di teras, pagar tanaman bambu taman mengepung kita. Kita berdua sampai berurai air mata. Gara-gara tertawa saat membedah humor-humor seks dari buku-bukunya Larry Wilde. Atau di momen lain, aku sampai menangis terharu, menerima hadiah ulang tahun unik darinya : 33 butir permen Fox warna-warni yang berkilauan.


FOR ALL WE KNOW UNTUK CALISTA. “Mahasiswi”-ku yang istimewa lainnya adalah Calista. Sosoknya ramping, walau tak sekurus artis Calista Flockhart yang pemeran utama Ally McBeal yang saya sukai itu.

Ternyata ia malah sudah lulus SMA Kristen 1, Pintu Air, Jakarta Pusat. Calista yang pengin meneruskan kuliah ke Fakultas Hukum, tetapi saat itu meneruskan bisnis perusahaan sepatu perempuan milik keluarganya. Ia pernah memintaku untuk membuatkan sesuatu merek untuk produk sepatunya. Atau minta diantar ke perpustakaan untuk mencari-cari buku yang membahas seluk-beluk desain sepatu.

Pernah ia agak “memaksa” agar aku mau belajar menjadi sales, keliling pasar, untuk menjajakan sepatunya. Maksud Calista baik. Ia pengin membantuku, dengan memberikan kail. Bukan memberiku ikan. Sebab saat itu aku yang selain dikejar untuk menyelesaikan kuliah juga harus mencari uang untuk menopang kehidupan sehari-hari.

Calista sempat memberiku support, “anggap saja sepatu-sepatu ini merupakan produk perusahaan Mas Hari sendiri”. Pembekalan yang bagus, tetapi belum cukup membuatku bisa tegar sebagai penjaja kelilingan. Training-nya kurang lama, kurang intensif. Aku kemudian memang masuk pasar, tetapi lewat pintu lain, aku terus saja pulang. Rada ngambek. Calista kemudian menjadi kebingungan. Lalu ia pun mungkin bisa mengerti, keterampilanku terbaik bukan di bidang yang memerlukan social skill yang tinggi tersebut.

Berbeda dengan Ria, Calista ini melarangku untuk main ke rumahnya. Ia takut terhadap reaksi ayahnya. Ia gadis keturunan Tionghoa. Diskusi awal kita bertopik hal-hal yang klasik. Dirinya sebagai warga etnis minoritas selalu merasa tidak aman bila berhubungan dengan orang-orang pribumi.

Aku maklum dan mengerti kecemasan tipikal seperti itu. Pelan-pelan, lewat obrolan dan surat-surat yang panjang, akhirnya kita dapat menerima masing-masing apa adanya. Ternyata kita sebagai manusia banyak memiliki kesamaan. Ingin mencintai dan dicintai, ingin pula diterima seperti apa adanya. Rendezvous kita lalu terjadi di Pasar Baru, bioskop seputar Gunung Sahari, atau tempat kosku di Rawamangun. Pertemuan-pertemuan rahasia yang singkat-singkat, temponya selalu tergesa-gesa.


Mula-mula ia tampil sebagai perempuan yang keras hati, tetapi nampak, sori, agak awkward dalam berinteraksi. Ia merasa kekurangan waktu. Kurang flow. Serba tergesa. Ia mengaku, baru pertama kali ini ia mengenal lelaki. Aku juga merasakan belum harmoninya reaksi kimia antara kita, yang mungkin tepat tergambar seperti isi lirik dari lagu “For All We Know”-nya Carpenters berikut ini :

Love, look at the two of us
Strangers in many ways
Let's take a lifetime to say
I knew you well
For only time will tell us so
And love may grow
For all we know.


Suatu hari minggu siang di bulan November, setelah melakukan rendezvous penuh bara di Rawamangun, aku mengantar Calista, naik bus pulang. Rumahnya di kawasan Gunung Sahari. Tetapi di depan kampus UI Salemba aku turun, pengin menonton pagelaran rutin yang diselenggarakan oleh mahasiswa FEUI, yaitu Jazz Goes To Campus 1984.

Calista pulang sendiri.

Rupanya saat itu aku telah melakukan kesalahan besar dan fatal yang tidak aku sadari. Mungkin reaksinya merupakan puncak dari akumulasi masalah dari gesekan atau interaksi kita yang selama ini terjadi.


Love, look at the two of us
Strangers in many ways.

Sayangku, lihatlah kita berdua ;
kita adalah orang asing satu sama lain dalam pelbagai hal.


Sejak itu Calista tidak lagi menjadi “mahasiswi”-ku lagi. Tidak ada pula penjelasan darinya secara verbal : mengapa. Ternyata kita memang masih saja asing satu sama lainnya. Kuliah cinta kita usai. Waktu yang ada memang tidak berpihak kepada kita, baik padaku dan dan juga pada Calista.

Realitas yang konon sering membutuhkan waktu seumur hidup bagi pasangan untuk akhirnya bisa saling bilang, “aku memahami dirimu sepenuhnya”, kemudian cinta itu pun tumbuh, tentu saja hanyalah menjadi fata morgana bagi kita berdua.


November 2005 ini, Calista dan sepotong kisah dari kotakpos di Rawamangun, menggoda atensi untuk sekedar dikenang. Tulisan ini anggaplah sebagai surat maya untuk dia, seorang Calista yang motif tulisan tangannya begitu indah, yang kini entah berada di mana. Walau mungkin pula, tidak seperti halnya harapan dan kerinduan yang dijeritkan oleh Carpenters, Calista justru tidak mengharap-harapkannya.

Bagiku, yang pasti, dengan menuliskannya aku berikhtiar berdamai dengan masa lalu. Juga mereguk hikmah darinya.


Wonogiri, 28/10 – 12/11/2005